“Hahhh!” Ia menghela nafas sambil bangkit dari posisi duduknya. “Kau tenang saja,” ucapnya kemudian dengan santai sambil membersihkan butiran tanah yang sedikit melekat di roknya.
“Dia tidak akan berani melapor ke polisi,” ucapnya lalu bergegas berjalan meninggalkanku.
“Tapi, bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanyaku heran lalu segera menyusulnya.
"Kau ini memang pria bodoh ya," ledeknya. “Dia itu penjahat dalam peristiwa tadi dan tindakan yang kita lakukan padanya hanyalah pembelaan diri. Jadi, dia tidak mungkin akan berani datang ke kantor polisi dan melaporkan semua peristiwa tadi. Karena, itu sama saja dengan mengakui kejahatannya sendiri,” jelasnya sambil terus berjalan menuju pintu rumahnya.
“Jadi, sekarang pulanglah ke rumahmu dengan tenang!” ucapnya. “Dia tidak akan melapor ke polisi. Santai saja dan nikmati harimu!” ucapnya lagi dan aku hanya terdiam. Sementara itu, ia segera mengambil kunci dari dalam tasnya dan membuka pintu rumahnya.
Lalu, “Kau gila.” Perkataan itu begitu saja tercetus dari bibirku sebelum ia sempat melangkahkan kakinya ke dalam rumah.
“Apa kau bilang?” tanyanya spontan.
“Kau gila,” ulangku sambil terus menatapnya.
“Apa maksudmu?” tanyanya dengan sedikit emosi.
“Kau masih bisa berkata ‘Santai saja dan nikmati harimu!’ dengan begitu tenang. Apa kau tidak tahu bahwa kau sudah melakukan kesalahan besar,” ucapku kemudian.
“Kesalahan besar?” ucapnya tak terima. “Memberi pelajaran pada preman itu kau anggap kesalahan besar,” ucapnya lagi.
“Sadarlah!” ucapku. “Setelah kejadian tadi aku yakin preman itu tidak akan melepaskanmu. Ia akan terus mengejarmu. Apa kau tidak takut dengan semua itu, hah?”
“Atau, kau memang sengaja melakukannya agar seluruh pohon yang menyaksikan mengakui bahwa kau benar-benar seorang wanita pemberani?” tanyaku dan ia hanya terdiam.
“Sebaiknya kau berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak!” ucapku serius.
“Omong kosong,” ucapnya kemudian dengan ketus. “Mengapa aku harus berpikir-pikir terlebih dulu untuk membela kebenaran? Jika aku benar, mengapa aku harus takut?” ucapnya begitu keras kepala. “Kita tak perlu takut jika kita melakukan hal yang benar,” tegasnya tak mau mengalah.
“Hikkkhhh!” Aku begitu geram padanya. “Mengapa kau selalu begitu menyebalkan dan keras kepala?” ucapku. “Aku benar-benar muak padamu.”
“Lalu, mengapa kau masih di sini dan tidak segera pergi menjauhiku?” ucapnya.
“Seandainya bisa, aku sudah melakukannya sejak tadi,” ucapku kesal.
“Mengapa tidak bisa?” ucapnya keras. “Kau bisa pergi sekarang juga.” Ia bergegas masuk ke dalam rumahnya lalu, “Brakkk!” Dengan cepat ia menutup pintu rumahnya dengan keras.
Sehingga, aku segera mengetuknya dari luar sambil berteriak, “Heei, aku tak bisa pergi dari sini sebelum menemukan benda yang kucari.”
“Apa peduliku?” ucapnya dari dalam rumah.
“Houhhhh... Kau benar-benar tidak berperasaan,” makiku begitu kesal. Lalu, tiba-tiba ponselku bergetar.
“Mama,” gumamku. Lalu, aku pun menjawab panggilan di ponselku itu. “Ada apa, Ma?” tanyaku seadanya.
“Rhama, kau ada dimana sekarang? Mengapa belum pulang, Nak?” tanya mama begitu gelisah. “Biasanya kau sudah sampai di rumah sekarang.”
“Sebentar lagi aku akan sampai di rumah, Ma,” ucapku. “Tadi aku memang keluar sedikit telat dari kelasku. Jadi, sekarang aku masih dalam perjalanan pulang.” Aku berusaha menenangkan mama.
“Syukurlah jika begitu,” ucap mama sedikit tenang. “O ya, ingat sebagai laki-laki sejati kau harus segera sholat Jumat! Jadi, segeralah pulang!” perintah mama.
“Iya, Ma,” ucapku.
“Hati-hati di jalan!” pesan mama.
“Iya, Ma,” ucapku lagi. “Daaaggghhh!” Aku berusaha mengakhiri pembicaraan kami.
“Daggghhh!” balas mama. Lalu, aku segera menekan tombol di ponselku untuk memutuskan pembicaraan kami berdua.
Aku melirik angka yang menunjukkan waktu di ponselku lalu bergumam, “Sepertinya aku memang harus segera pulang.” Karena itu, akhirnya dengan sedikit ragu aku melangkahkan kakiku meninggalkan rumah gadis cerewet itu. Tapi, sebelum benar-benar pergi aku sempat berdiri mematung sejenak di depan rumahnya sambil memperhatikan tripleks penutup jendelanya yang pecah.
'Sepertinya aku harus menggantinya,' pikirku. 'Aku akan kembali lagi ke sini,' ucapku dalam hati lalu aku pun benar-benar pergi meninggalkan rumahnya.
Begitu usai sholat Jumat aku sudah kembali berada di sekitar rumah gadis cerewet itu, tepatnya di lapangan bola kaki belakang rumahnya.
“Tuan, apa yang kita lakukan di sini?” tanya Pak Parman, sopir mama, yang kupinta untuk mengantarku.
“Mencari cincin,” jawabku singkat. Lalu, aku bergegas menyusuri tanah lapangan di dekat tembok pembatas rumah gadis cerewet itu.
“Cincin,” ucap Pak Parman.
“Ya, cincin putih berinisial M,” jelasku. “Ayo bantu aku!” ajakku.
Sehingga, kami berdua pun dalam sekejap menjadi begitu sibuk memperhatikan setiap detil tanah di dekat tembok pembatas rumah gadis cerewet itu. Hingga, akhirnya aku dengan lelah berkata, “Hahhh! Dimana cincin itu?”
“Sepertinya tidak ada cincin seperti itu di sini, Tuan.” Pak Parman memberikan pendapatnya.
“Hohh... Baiklah. Kita ke tempat tujuan berikutnya,” ucapku lalu bergegas masuk ke dalam mobil mama yang sejak tadi terparkir di lapangan itu.
Lalu, tak beberapa lama kemudian kami telah berada di depan rumah gadis cerewet itu.
'Sepi sekali,' pikirku ketika menatap rumahnya. 'Ini kesempatan bagus untuk mencari cincin itu,' batinku.
“Pak, tolong ukur panjang dan lebar kaca yang ditutupi tripleks itu,” ucapku kemudian sambil memberikan meteran yang kubawa kepada Pak Parman. Sehingga, Pak Parman pun bergegas menuju ke arah jendela rumah gadis cerewet itu.
Sementara itu, aku bergegas menuju ke halaman belakang dengan mengendap-endap. Karena, aku tidak ingin gadis cerewet itu tahu aku kembali ke rumahnya. 'Jika ia tahu, ia pasti akan segera mengusirku,' pikirku sambil terus berjalan dengan sangat berhati-hati dan akhirnya aku pun sampai di halaman belakangnya.
'Aku harus segera menemukannya,' ucapku dalam hati. 'Mungkin saja cincin itu keluar dari sakuku dan terjatuh di tempat ini saat aku melompati tembok,' pikirku sambil segera mengamati tanah di sekitar tembok yang menjadi pembatas antara rumah gadis cerewet itu dengan lapangan bola.
“Hohh, dimana? Mengapa aku tidak bisa menemukannya,” keluhku sambil terus membungkukkan badan untuk mengamati tanah di sekitarku.
“Apa yang kau lakukan?” Tiba-tiba aku mendengar suara yang begitu sensitif di telingaku.
Aku pun spontan menegakkan badanku dan ternyata gadis cerewet itu telah ada di hadapanku.
'Hahh! Aku tertangkap basah,' pikirku.
Sementara itu, dengan wajah yang terlihat begitu siap untuk mengamuk ia segera mengeluarkan jurus teriakannya, “Pergi kau!”
Lalu, entah mengapa dalam sekejap aku pun mendadak panik dan bergegas berlari menuju halaman depan.
“Beraninya kau mengendap-endap di rumahku. Jangan pernah kembali lagi ke sini!” teriaknya sambil ikut berlari mengejarku.
“Pak Parman, ayo kita pergi!” teriakku sambil terus berlari menuju mobil mama.
“Hahhh!” Gadis cerewet itu pun melihat Pak Parman yang masih berdiri kebingungan di depan jendela berlapis tripleks.
“Pak Parman, ayo cepat!” teriakku lagi.
“Hohh... Ya, Tuan,” jawab Pak Parman lalu bergegas menuju mobil.
“Jangan pernah kembali lagi ke sini!” Teriakannya terdengar begitu menyeramkan di telingaku.
“Ia seperti monster,” pikirku setelah berada di dalam mobil bersama Pak Parman. Lalu, aku segera berkata, “Pak, kita langsung kembali ke rumah!”
Sehingga, dalam sekejap mobil kami pun mulai pergi meninggalkan rumah gadis cerewet itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments