Aku segera panik mencari tempat berteduh. Aku memutar pandangan ke segala arah. Tapi, tidak ada, kecuali sebuah pohon rambutan rindang di sudut depan halaman rumahnya.
Aku ragu untuk berteduh di sana, apalagi saat melihat tatapan sinisnya. Tapi, daripada bedakku luntur dan pulang dengan baju basah, lebih baik aku merelakan jiwa dan ragaku untuk dipelototinya.
Aku pun segera berlari ke bawah pohon itu dan berteduh di sana. Tapi, ternyata masih ada sedikit tetesan air hujan yang berhasil menembus daun-daun pohon itu dan membasahi kepalaku. Aku segera menutupi kepalaku dengan tas yang kupegang. Lalu, aku merogoh saku celanaku untuk mengambil sapu tangan karena aku ingin mengelap bekas tetesan air hujan di kepalaku. Namun, aku lupa jika aku telah memberikan sapu tangan itu pada Mei.
"Mei," ucapku lirih saat teringat padanya.
Dia gadis pertama yang mencuri perhatianku sejak hari pertamaku masuk sekolah itu. Sejak awal aku begitu mencintainya dengan tulus. Tak sedikitpun perasaanku padanya berkurang, meskipun saat ini aku tahu... aku tak mungkin memilikinya dan dia takkan mungkin membalas perasaanku padanya.
Aku sudah sangat bahagia selama ini bisa berada di dekatnya, apalagi bisa melihatnya tersenyum dan tertawa bahagia setiap hari. Aku takkan pernah melupakan tawanya, wajah cerianya, dan senyumannya. Aku teringat pada senyumnya saat ia pergi meninggalkanku bersama anak IPS itu tadi siang. Ia terlihat begitu bahagia dan terus tersenyum.
Selamanya aku akan memendam perasaanku padanya. Meskipun, sangat berat bagiku, tapi aku akan berusaha merelakannya. Aku ingin melihatnya selalu bahagia. Aku ingin melihatnya tetap tersenyum meskipun aku akan menangis, terluka, dan menderita.
Tanpa kusadari air mata sudah mengalir dari mataku dan aku benar-benar tak kuasa menahannya. Aku menangis, tenggelam, dan terhanyut dalam kesedihanku. Ditambah lagi suasana hujan yang bertambah deras, membuatku semakin larut dalam emosiku.
Lalu, tiba-tiba, "Hei, Pria Bodoh! Berteduhlah di rumahku." Gadis cerewet itu ternyata menghampiriku dengan membawa sebuah payung lebar.
Aku segera menoleh dan dia segera berkata, "Hei, kau menangis?"
"Tidak," elakku cepat sambil menghapus air mata di pipiku. "Ini tetesan air hujan. Apa kau tidak bisa membedakannya?" ucapku.
"Sudahlah. Ayo berteduh di rumahku!" ajaknya dengan suara pelan.
"Tidak. Aku tidak mau. Aku ingin pulang."
"Lalu, untuk apa kau kembali lagi kemari? Mengapa kau tidak pulang, hah?" Suaranya mulai meninggi.
"Aku mau pulang. Tapi, aku tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh. Aku sudah berkeliling di daerah ini lebih dari setengah jam, tapi hasilnya aku malah kembali lagi kemari." Kami pun mulai kembali bertengkar seperti kucing dan anjing yang selalu bertengkar setiap bertemu.
"Pria Bodoh! Jika kau mengelilingi suatu daerah berarti itu sama saja dengan kau berputar-putar di daerah yang sama. Tentu saja kau akan kembali ke tempat semula." Ia menceramahiku dengan konsep lingkaran.
"Lalu, mengapa kau tak menanyakan jalan pada orang lain, hah?" tanyanya.
"Tadinya aku ingin bertanya pada anak-anak yang sedang bermain. Tapi, belum sempat aku bertanya mereka sudah menertawakan wajahku lebih dulu. Mereka mengira aku ini waria karena mungkin bedakku terlalu tebal. Aku malu dan tidak jadi bertanya. Lalu, di sepanjang perjalanan selanjutnya aku terus menundukkan wajahku dan akhirnya sampai di tempat ini," aku memberi penjelasan padanya dengan begitu kesal.
"Hoh, ternyata kau ini benar-benar bodoh ya. Kau pria terbodoh yang pernah kukenal. Kau rela tersesat lebih dari setengah jam, bahkan mungkin untuk selamanya hanya karena rasa malu seperti itu." Gadis cerewet itu terus mengejekku.
"Kau tidak tahu bagaimana perasaanku. Aku bukan hanya malu, tapi juga mempertaruhkan harga diriku sebagai seorang pria," ucapku.
"Cukup! Bagiku itu bukan harga diri, melainkan hanya sebuah gengsi. Kau tak lebih dari pria bodoh dengan sejuta gengsi." Ucapannya membuatku tersentak.
Aku terdiam menatapnya. Sedangkan, ia segera berjalan kembali menuju rumahnya. Ia meninggalkanku, membiarkanku kehujanan di bawah pohon rambutan ini. Ia terus berjalan tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun kepadaku.
'Apa benar aku pria seperti itu?' tanyaku dalam hati. 'Apa benar selama ini yang kupertahankan hanyalah sebuah gengsi?' Otakku terus berpikir keras dan hati kecilku mengatakan, "Mungkin benar, aku memang pria seperti itu." Selama ini pun aku tak berani menyatakan perasaanku pada Mei hanya untuk mempertahankan gengsi. Aku tak sanggup menghadapi kenyataan terburuk jika Mei menolakku. Aku pasti akan merasa malu jika Mei menolakku, padahal sangat banyak wanita lain yang mengejarku. Ternyata tanpa sadar aku memang selalu mempertahankan gengsiku. Dan, sekarang aku tak mau berteduh di rumah gadia cerewet itu juga hanya karena gengsi. Aku memang bodoh.
"Hei, Pria bodoh!"
"Hah!" Aku tersentak kaget karena melihat gadis cerewet itu sudah ada di hadapanku lagi. "Mengapa kau masih ada di sini?"
"Sudah, diam! Ayo aku antar kau pulang," ucapnya.
"Tapi... untuk apa kau kembali ke rumahmu tadi?"
"Aku hanya mengunci pintu rumahku. Kau mau pulang tidak?" tanyanya dengan ketus.
Aku terdiam beberapa detik, aku malu untuk menjawab 'ya'. Tapi, akhirnya aku berkata, "Hmmmhh, baiklah." Untuk pertama kalinya hari ini aku menanggalkan rasa gengsiku.
Gadis cerewet itu pun tersenyum lalu mulai memayungiku dan berkata, "Ayo!"
Kami pun mulai berjalan berdua di tengah hujan deras dan di bawah satu payung yang sama. Lalu, aku pun segera bertanya, "Hei, apa kau tak punya payung yang lain?"
"Sudah, diam! Kau jangan banyak protes! Ini payung satu-satunya di rumahku," ucapnya ketus sambil menarik gagang payung ke arahnya. Sehingga, tetesan air hujan di pinggiran payung pun jatuh membasahi lengan kanan bajuku.
Secara spontan aku pun juga segera menarik gagang payung yang dipegangnya ke arahku sambil berteriak, "Hei, kau tidak adil! Lengan bajuku menjadi basah."
"Pakk!" Ia memukul tanganku. "Ini kan payungku. Jadi, wajar saja jika aku memakainya lebih banyak darimu. Kau kan hanya menumpang," ucapnya santai.
"Hoh, kau egois sekali," ucapku kesal. Aku pun segera berusaha melindungi lengan bajuku dari serbuan tetesan air hujan dengan merapatkan badanku kle bawah payungnya. Lalu, tanpa sengaja lengan kami saling bersentuhan.
Ia pun segera menginjak kakiku dengan keras dan berteriak, "Hei, kau jangan mendekat! Aku tak suka berdempetan dengan seorang pria."
"Hoh, kau ge-er sekali. Aku hanya ingin melindungi lengan bajuku," ucapku kesal dan rasanya aku tak tahan lagi berpayung bersamanya. 'Seandainya dia Mei,' pikirku. Aku pasti akan sangat bahagia dan tidak merasa kesal seperti saat ini.
"Mei," ucapku pelan. Aku pun mulai membayangkan betapa romantisnya jika aku berpayung bersama Mei. Kami saling menatap dan tersenyum ceria. Hujan turun dengan begitu indah dan mendamaikan perasaan hati. Setiap tetesan air hujan yang mengalir dari sehelai daun membawa kesegaran dan kebahagiaan. Butiran-butiran embun menempel tidak beraturan di permukaan kaca-kaca mobil yang melalui jalan ini. Semua terlihat begitu indah. "Indah sekali," gumamku.
Tapi, tiba-tiba, "Dhuaarrrrr!!!"
"Aaaarrgggghhh!" jeritku spontan. Suara keras petir membuyarkan semua khayalanku. Aku begitu terkejut dan hampir terloncat.
Gadis cerewet itu memelototiku sambil berkata, "Kau ini pria atau wanita?" Mendengar suara petir saja ekspresimu sudah seperti ini."
"Aku ini pria," teriakku keras. Lalu, "Dusshhh!" Sebuah mobil lewat dan mencipratkan air hujan ke tubuhku seakan tidak setuju pada pernyataanku.
"Hoh, sial!" teriakku. Akhirnya, bajuku menjadi basah. Padahal, sejak tadi aku terus berusaha agar tidak pulang dengan baju basah. Tapi, sekarang aku harus rela pulang dengan baju basah dan penuh noda.
"Menyebalkan sekali," ucapku ketika telah berada dalam sebuah bis. Aku berharap kejadian seperti ini tidak akan pernah terulang lagi dalam hidupku.
"Cukup hari ini saja," ucapku letih sambil menyandarkan kepalaku di kaca jendela bis yang akan membawaku ke rumah. Akhirnya aku pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments