Dan akhirnya, aku sampai di sekolah dengan semangat 0,001 %. Sehingga, aku sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya diajarkan para guru hari ini. Yang kutahu hanya satu, hatiku begitu nyeri dan sepanjang pelajaran aku bertanya dalam hati, 'Mengapa ini semua harus terjadi?'
Seandainya Mei tahu bahwa aku begitu mencintainya, bahkan terlalu mencintainya. Aku rela berikan apapun untuknya, aku rela jika harus menunggunya bertahun-tahun sekalipun. Aku yakin bahwa sebenarnya aku lebih mencintai Mei daripada pria itu dan aku bisa membuat Mei jauh lebih bahagia. Tapi, sungguh sayang sekarang sedikitpun aku tak punya kesempatan untuk mewujudkan semua itu. Aku tak punya celah untuk membuktikannya pada Mei. Sebaliknya, yang aku punya hanyalah sebuah lubang untuk mengubur setiap inginku, harapanku, dan ketulusan cintaku.
Aku tak dapat tersenyum secuilpun sejak tadi, bahkan sejak kemarin siang. Semangatku pun hilang entah kemana. Meskipun, teman-temanku tertawa terbahak-bahak karena mendengar gurauan, aku tetap tak dapat tersenyum. Rasanya hatiku benar-benar hancur. Aku seperti kehilangan semua gairah hidupku, rasanya semua hal yang kumiliki sama sekali tak berarti saat ini.
Aku benar-benar lelah menghadapi hal ini. Bagaimana agar aku bisa segera mengakhiri semuanya? 'Sungguh sulit untuk melupakan Mei,' pikirku. Hati kecilku sejujurnya bahkan menolak untuk melupakan Mei. Aku ingin terus mengingatnya sepanjang hidupku. Aku ingin ia selalu bersamaku. Aku tak bisa melupakannya.
Hingga bel pulang sekolah berbunyi hatiku tetap terus berkecamuk. Sudah dapat dipastikan hari ini aku pasti tampak seperti orang bodoh di sekolah ini. Aku sama sekali tak peduli pada orang di sekitarku. Aku bahkan tak peduli sejak tadi sudah empat orang yang menabrak dan mendorong tubuhku ketika menyusuri koridor kelas. Sejak tadi aku hanya terus berjalan perlahan menyusuri koridor tanpa pikiran yang jelas.
Hingga akhirnya, aku melihat seseorang di depanku yang sepertinya juga berjalan perlahan sepertiku. Aku segera memperhatikan sekitarku. Semua orang tampak begitu bersemangat untuk pulang sekolah dan berjalan dengan cepat meninggalkan koridor ini. Tapi, orang itu ... ia sama sepertiku, ia berjalan seperti tanpa semangat sedikitpun dan ia tak lain adalah si gadis cerewet.
Ia berjalan pelan dengan menundukkan wajah dan sepertinya ia belum menyadari bahwa sebentar lagi di hadapannya ada sebuah tiang kayu penyangga atap teras kelas. Ia terus berjalan lalu tiba-tiba, “Dukk!” Dahinya membentur tiang itu.
“Aduhh!” ucapnya lirih sambil menatap tiang itu dan mengusap dahinya.
'Hehh ... Sepertinya sejak tadi dia melamun,' pikirku. 'Tiang di depan mata pun, ia masih tidak sadar.'
“Dasar gadis cerewet,” gumamku tanpa mempedulikannya sedikitpun. Aku segera berlalu begitu saja melewatinya dengan pelan dan ia masih berdiri di depan tiang itu sambil berkata dengan dirinya sendiri, “Hukh! Aku menabrak tiang lagi.”
Itu artinya dia sudah pernah menabrak tiang berkali-kali. Tapi, ucapan itu sama sekali tak membuatku tersenyum, apalagi tertawa. Karena, hati dan pikiranku sedang benar-benar kacau saat ini. Aku tak tahu bagaimana agar aku segera bisa melupakan masalah ini?
Jika aku segera pulang ke rumah, aku pasti akan kembali selalu memikirkan masalah ini. Aku tak ingin memikirkannya lagi. Karena itu, hingga kini aku belum pulang. Aku masih berdiri di halte depan sekolah dan menatap satu per satu siswa meninggalkan halte itu.
Kini hanya tinggal aku sendirian di sana. Sekolah pun sudah begitu sepi. 'Semua orang –selain aku- sepertinya sudah pulang,' pikirku. Tapi, ternyata aku salah. Ada orang lain yang juga belum pulang. Dia adalah gadis cerewet.
'Mengapa aku harus selalu bertemu dengannya?' pikirku sambil memperhatikannya menuju toko kue kecil yang tampak sepi di samping sekolah. Ia memasuki toko itu dan aku bisa melihatnya dengan jelas karena seluruh kaca toko itu begitu bening.
Ia menunjuk sebuah kue tart coklat mungil yang terpajang di toko itu dan sepertinya ia menanyakan sesuatu. Tapi, kemudian wajahnya tampak kecewa. Lalu, ia keluar dari toko itu dan untuk beberapa saat ia menatap kue itu kembali melalui kaca bening toko. Kemudian, ia berjalan menuju trotoar. Sepertinya ia ingin menyeberang.
Lalu, aku berpikir. 'Coklat bisa membuat mood menjadi lebih baik.' Mungkin dengan menikmati kue coklat, aku akan bisa melupakan masalah ini sejenak dan merasa lebih baik. Karena itu, tanpa pikir panjang aku berjalan ke toko itu.
Begitu memasuki toko, perhatianku segera terfokus pada kue tart coklat mungil yang ditunjuk gadis cerewet tadi. 'Sepertinya kue itu memang tampak sangat lezat,' pikirku sambil mengeluarkan uang seratus ribu dari dalam dompet.
Aku tak menanyakan lagi berapa harga kue itu. Aku segera membelinya dan tiba-tiba aku menjadi penasaran mengapa wajah gadis cerewet tadi tampak kecewa. Karena itu, aku bertanya pada pelayan toko itu. “Maaf ... jika aku boleh tahu, aku ingin tahu apa yang ditanyakan gadis SMA yang memasuki toko ini tadi?”
“Oohh ... Dia hanya menanyakan berapa harga kue ini dan menawarnya,” jawab pelayan itu sambil mengemas kue itu ke dalam sebuah kotak.
“Sepertinya dia tertarik ingin membeli kue ini, tapi uangnya tidak cukup,” jelas pelayan itu.
“Oohh ....” gumamku pelan.
“Ini,” ucap pelayan itu ketika menyerahkan kantong plastik yang berisi kue itu kepadaku.
“Terima kasih,” ucapku sebelum bergerak meninggalkan toko itu. Lalu, ternyata saat aku keluar dari toko, hujan sedang turun.
'Sejak kapan hujan ini turun?' pikirku. Mengapa aku tak menyadarinya? Tapi, untunglah hujan ini tidak terlalu deras. Sehingga, tanpa berpikir lagi aku segera berlari menuju halte. Aku ingin menunggu hujan berhenti di sana.
Namun, aku terkejut ketika menemukan sosok gadis cerewet itu sedang berteduh di halte. “Kau belum pulang?” tanyaku spontan. Tadi kulihat ia ingin menyeberang. Kupikir ia sudah menyeberang dan berjalan pulang.
Ia tak menjawab pertanyaanku. Wajahnya tampak sendu. Ia memalingkan muka dan menatap tetesan air hujan dari atas atap halte.
Sementara itu, aku segera duduk di bangku halte itu, tak jauh darinya. Tadinya aku ingin menikmati kue coklat itu, tapi kini aku merasa tidak nyaman jika harus menikmatinya di depan gadis cerewet itu. Apalagi, aku tahu ia tadi sempat berniat untuk membeli kue yang kini ada padaku ini.
'Sepertinya ia begitu menginginkan kue ini,' pikirku sambil memperhatikan wajahnya yang begitu tampak kecewa.
“Apa yang kau lihat?” tanyanya tiba-tiba saat menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya.
“Kau menginginkan kue coklat di toko itu tadi, bukan?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Aaahh ....” Gadis cerewet itu sedikit terkejut. “Kau mengawasiku, ya?” tanyanya gugup.
“Hmmh ....” Sepertinya gadis cerewet ini tidak ingin aku mengetahuinya. Tapi, bagaimanapun juga aku sudah terlanjur tahu bahwa ia begitu menginginkan kue itu.
Lalu, tanpa banyak berpikir aku segera menyodorkan tanganku dan berkata, “Ini ... ambillah!” Aku memberikan kue itu padanya.
“Apa ini?” tanyanya sambil melirik kantong kue itu.
“Kue tart coklat yang kau ingin kau beli tadi,” jawabku. “Ambillah!”
Gadis cerewet itu tampak begitu ragu untuk menerima kue itu. Ia malah menatap wajahku dengan ekspresi heran.
“Aku tidak berniat buruk padamu,” ucapku. “Aku sangat ikhlas memberikannya padamu. Apa kau tak percaya?”
Gadis cerewet itu terdiam sejenak. Lalu, tanpa kuduga sedikitpun ia langsung menitikkan air matanya.
“Hakh! Kau menangis,” ucapku spontan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments