SENANDUNG LAGU CINTA
Anang Yoga menarik nafasnya dalam-dalam, meyakinkan diri sebelum mulai mengeluarkan suaranya.
Gitar akustik tua di tangannya, sudah disetem senarnya dengan kencang dan pas nada.
Dengan percaya diri, Anang mulai bernyanyi di atas bus pariwisata, yang penuh sesak dengan penumpang malam.
Anang bernyanyi sepenuh hati, seakan dunia akan berakhir saat itu juga, dan dia ingin mencurahkan kesungguhan hatinya, lewat lagu indah tentang cinta, yang bertentangan dengan kenyataan hidupnya.
Sambil memejamkan mata, Anang berharap, agar di suatu saat nanti, dia bisa mendapatkan kebahagiaan seperti lirik lagu, yang dia nyanyikan.
Meski perhatian penumpang di situ tidak sesuai harapannya, Anang tetap bernyanyi dengan pasti.
Satu lagu telah usai dinyanyikan Anang. Dengan memegang sebuah kantong plastik bekas keripik, Anang berjalan sambil meminta sedikit penghargaan, bagi suara dan jarinya yang sakit, saat menekan senar gitar.
Ada yang dengan sukarela memberikannya selembar uang kertas, atau sebuah koin. Ada juga yang hanya melihatnya, tanpa memberikan apa-apa. Nasib baik, hari ini tidak ada yang membentaknya seperti di hari-hari biasanya.
Namun, hasil mengamen hari ini, benar-benar jauh dari harapan.
Uang yang Anang dapatkan hanya cukup untuk membeli separuh porsi bakso, yang dijual di pedagang, yang berjualan memakai gerobak di pinggir jalan.
Anang membatalkan niatnya untuk makan, malam ini.
Semakin hari, hasil dari bernyanyi di dalam bus, semakin tidak bisa menjadi harapan untuk membantu keuangannya. Anang harus segera mencari tempat mangkal baru.
Anang menggeser tali yang menggantung gitar di bahunya, berpindah ke belakang. Bekas beban ember adonan semen dengan pasir, masih menyisakan luka lecet di bahunya.
Gulungan rambut gondrongnya tampak semakin tidak terawat. Beberapa bagian sudah gimbal karena jarang dilewati sisir, belum lagi sisa semen yang menempel di situ.
"Bagaimana, Bro?" Udi, seorang pemuda sebaya dengan Anang, melipat tikar yang digelar di atas trotoar tempat Anang turun dari bus. Seorang pengemis yang berpura-pura lumpuh, sehari-hari duduk berdiam diri di bawah lampu rambu jalan.
"Parah! Makin parah...." Anang duduk di dekat Udi, yang baru saja selesai memasukkan tikarnya ke dalam gerobak tua.
"Kamu tidak mau mencoba mengemis sepertiku?" Udi dengan bangga menunjukkan uang, hasil kerjanya sejak sore sampai malam.
"Beberapa jam saja. Duduk tanpa perlu banyak bergerak, dan tidak perlu lelah bernyanyi. Kamu dari siang sampai ke sore." Udi memasukkan uangnya ke saku celananya.
Anang mendengus. Udi memang selalu mengajaknya untuk ikut mengemis, sejak mereka berkenalan lima bulan lalu di trotoar itu.
Akan tetapi, Anang tidak mau kalau dirinya harus menipu pengguna jalan, yang merasa iba melihatnya yang pura-pura cacat.
Anang berpikir, kalau suaranya cukup merdu untuk dipergunakan mencari uang, daripada harus jadi penipu.
Malam sudah semakin larut. Jalanan yang biasanya padat kendaraan berlalu-lalang, kini sudah sepi diterangi lampu jalan yang temaram.
Udi sudah berjalan pergi sambil mendorong gerobaknya, meninggalkan Anang yang masih memandangi kehidupannya, yang semakin tidak ada jalan.
Dengan lunglai, Anang melangkahkan kakinya menyusuri trotoar. Dia akan kembali ke tempat sewa'an, yang hanya bisa dia bayar mingguan.
Kalau sampai terlambat mendapat pembayaran gaji dari mandor lagi, Anang mungkin akan tidur di jalanan.
Bekerja serabutan sebagai pembantu tukang bangunan, tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Satu-satunya hasil dari pekerjaan itu, hanyalah tubuh kekar, padat, berotot, dengan luka lecet di mana-mana.
Hanya memiliki latar belakang pendidikan terakhir di sekolah menengah atas, sangat sulit bersaing dalam mencari pekerjaan yang layak di kota itu.
Kota pariwisata yang indah, tapi tidak ada satupun keindahan yang bisa Anang lihat.
Dengan bersandar di dinding kamarnya, Anang hanya bisa bersyukur karena dia tidak perlu menggunakan kardus bekas, untuk jadi alas tidurnya.
Kasur tua peninggalan penghuni lama, masih empuk untuk jadi tempat Anang meletakkan tubuhnya yang sakit.
Celengan ayam plastik, belum berhasil terisi meski hanya separuhnya.
Sampai kapan perjuangan ini?
Medan perang mungkin akan lebih menyenangkan daripada jalan hidup Anang.
Iya ... Kalau lelah berperang, tinggal menyerah agar ditembak mati oleh lawan. Tapi, tidak mungkin Anang harus bunuh diri, hanya karena tidak mampu berjuang.
Takdir sungguh kejam.
Atau manusia yang kejam?
Warisan mendiang orang tuanya dihabiskan oleh pamannya—kakak laki-laki dari mendiang ayah Anang, untuk berjudi.
Anang yang masih di bawah umur waktu itu, hanya bisa melihat rumah dan sepetak sawah peninggalan orang tuanya, dipasang segel dari pihak bank. Mengharuskan Anang menjalani hidup seperti pamannya, yang tidak jelas mau jadi apa.
Anang yang sejak kecil bercita-cita akan jadi penyanyi terkenal, hanya menjadi 'penyanyi' tanpa ada 'terkenal'nya.
Gitar tua yang dia beli sejak sekolah menengah pertama, untung saja masih bisa berfungsi dengan baik, meski catnya sudah pudar dan terkelupas karena usia.
Sudah hampir lima tahun setelah kelulusan Anang dengan seragam putih abu-abunya. Nekat mengadu nasib ke kota, meski hanya berbekal satu buntalan pakaian yang dibungkus kain sarung.
Nasibnya masih belum juga membaik.
Anang berbaring menatap langit-langit kamar sewaannya. Petakan sempit dari kayu triplek tipis yang didirikan sang juragan kost liar, di bawah jembatan layang.
Getaran kendaraan berat yang berlalu-lalang di atas jembatan, bisa membuat jantung Anang juga ikut bergetar, saat melihat langit-langit yang juga menjadi atapnya, seolah akan jatuh menimpanya.
Belum lagi saat menggunakan kakus umum, yang dibuat di atas air sungai yang sering tiba-tiba menjadi deras, karena luapan air banjir dari hulu sungai. Rasa tegangnya, melebihi sensasi tegang saat menaiki roller coaster.
Bukan cuma kotoran yang hanyut dibawa air, nyali pun ikut larut dan menghilang.
Tapi, di situ tempat Anang bisa merasakan kebebasan menonton wanita-wanita yang sedang mencuci dan mandi, tanpa diteriaki mesum.
Kakus itu akan selalu dia kenang, kalau sampai dia diusir lagi dari tempat sewaannya yang ini. Dinding kakus yang hanya menutup sebagian tubuhnya, meskipun dia sudah berjongkok.
Malam itu, Anang tertidur dengan perut kosong.
Dia hanya memakan semur daging beberapa potong dengan sepiring nasi, di dalam mimpinya.
Mimpi yang indah, sampai meneteskan air liur Anang, dan menenggelamkan kutu busuk yang ada di dalam kasur kapuk tua, tanpa ada alas seprai di atasnya.
Sesekali dalam tidurnya, Anang berlari secepat yang dia bisa. Kakinya menendang-nendang angin. Bayangan dikejar Satuan Polisi Pamong Praja, cukup membuat Anang kelelahan dalam mimpinya.
"Tolong, Pak! ... Ibu Satpol PP! ... Izinkan kami mencari sesuap nasi!"
Anang melipat kedua tangannya, sambil memohon ampun kepada alam, yang memberi malam yang terlalu dingin.
Andaikan bisa memilih, Anang lebih memilih mimpi terjun bebas dari pesawat. Itu mimpi ekstrem yang menarik, dan berguna. Adrenalin yang ditimbulkan, bisa membuat perut Anang yang lapar, menjadi kenyang seketika.
Anang terlalu banyak bermimpi, malam ini.
Anang mengubah posisi tidurnya, otot leher yang tegang, membuatnya hampir tidak bisa menggerakkan kepalanya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 196 Episodes
Comments
Celloh Legorr
🥰
2024-05-24
0
Marsya Chandra
sebuah cerita bagus
2023-11-07
0
💕febhy ajah💕
mampir dimari, suka cerita kek gini. seperti kisah dijah dan Tini,klau ini laki2nya penuh perjuangan.
2023-04-07
0