NovelToon NovelToon

SENANDUNG LAGU CINTA

Part 1

Anang Yoga menarik nafasnya dalam-dalam, meyakinkan diri sebelum mulai mengeluarkan suaranya.

Gitar akustik tua di tangannya, sudah disetem senarnya dengan kencang dan pas nada.

Dengan percaya diri, Anang mulai bernyanyi di atas bus pariwisata, yang penuh sesak dengan penumpang malam.

Anang bernyanyi sepenuh hati, seakan dunia akan berakhir saat itu juga, dan dia ingin mencurahkan kesungguhan hatinya, lewat lagu indah tentang cinta, yang bertentangan dengan kenyataan hidupnya.

Sambil memejamkan mata, Anang berharap, agar di suatu saat nanti, dia bisa mendapatkan kebahagiaan seperti lirik lagu, yang dia nyanyikan.

Meski perhatian penumpang di situ tidak sesuai harapannya, Anang tetap bernyanyi dengan pasti.

Satu lagu telah usai dinyanyikan Anang. Dengan memegang sebuah kantong plastik bekas keripik, Anang berjalan sambil meminta sedikit penghargaan, bagi suara dan jarinya yang sakit, saat menekan senar gitar.

Ada yang dengan sukarela memberikannya selembar uang kertas, atau sebuah koin. Ada juga yang hanya melihatnya, tanpa memberikan apa-apa. Nasib baik, hari ini tidak ada yang membentaknya seperti di hari-hari biasanya.

Namun, hasil mengamen hari ini, benar-benar jauh dari harapan.

Uang yang Anang dapatkan hanya cukup untuk membeli separuh porsi bakso, yang dijual di pedagang, yang berjualan memakai gerobak di pinggir jalan.

Anang membatalkan niatnya untuk makan, malam ini.

Semakin hari, hasil dari bernyanyi di dalam bus, semakin tidak bisa menjadi harapan untuk membantu keuangannya. Anang harus segera mencari tempat mangkal baru.

Anang menggeser tali yang menggantung gitar di bahunya, berpindah ke belakang. Bekas beban ember adonan semen dengan pasir, masih menyisakan luka lecet di bahunya.

Gulungan rambut gondrongnya tampak semakin tidak terawat. Beberapa bagian sudah gimbal karena jarang dilewati sisir, belum lagi sisa semen yang menempel di situ.

"Bagaimana, Bro?" Udi, seorang pemuda sebaya dengan Anang, melipat tikar yang digelar di atas trotoar tempat Anang turun dari bus. Seorang pengemis yang berpura-pura lumpuh, sehari-hari duduk berdiam diri di bawah lampu rambu jalan.

"Parah! Makin parah...." Anang duduk di dekat Udi, yang baru saja selesai memasukkan tikarnya ke dalam gerobak tua.

"Kamu tidak mau mencoba mengemis sepertiku?" Udi dengan bangga menunjukkan uang, hasil kerjanya sejak sore sampai malam.

"Beberapa jam saja. Duduk tanpa perlu banyak bergerak, dan tidak perlu lelah bernyanyi. Kamu dari siang sampai ke sore." Udi memasukkan uangnya ke saku celananya.

Anang mendengus. Udi memang selalu mengajaknya untuk ikut mengemis, sejak mereka berkenalan lima bulan lalu di trotoar itu.

Akan tetapi, Anang tidak mau kalau dirinya harus menipu pengguna jalan, yang merasa iba melihatnya yang pura-pura cacat.

Anang berpikir, kalau suaranya cukup merdu untuk dipergunakan mencari uang, daripada harus jadi penipu.

Malam sudah semakin larut. Jalanan yang biasanya padat kendaraan berlalu-lalang, kini sudah sepi diterangi lampu jalan yang temaram.

Udi sudah berjalan pergi sambil mendorong gerobaknya, meninggalkan Anang yang masih memandangi kehidupannya, yang semakin tidak ada jalan.

Dengan lunglai, Anang melangkahkan kakinya menyusuri trotoar. Dia akan kembali ke tempat sewa'an, yang hanya bisa dia bayar mingguan.

Kalau sampai terlambat mendapat pembayaran gaji dari mandor lagi, Anang mungkin akan tidur di jalanan.

Bekerja serabutan sebagai pembantu tukang bangunan, tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Satu-satunya hasil dari pekerjaan itu, hanyalah tubuh kekar, padat, berotot, dengan luka lecet di mana-mana.

Hanya memiliki latar belakang pendidikan terakhir di sekolah menengah atas, sangat sulit bersaing dalam mencari pekerjaan yang layak di kota itu.

Kota pariwisata yang indah, tapi tidak ada satupun keindahan yang bisa Anang lihat.

Dengan bersandar di dinding kamarnya, Anang hanya bisa bersyukur karena dia tidak perlu menggunakan kardus bekas, untuk jadi alas tidurnya.

Kasur tua peninggalan penghuni lama, masih empuk untuk jadi tempat Anang meletakkan tubuhnya yang sakit.

Celengan ayam plastik, belum berhasil terisi meski hanya separuhnya.

Sampai kapan perjuangan ini?

Medan perang mungkin akan lebih menyenangkan daripada jalan hidup Anang.

Iya ... Kalau lelah berperang, tinggal menyerah agar ditembak mati oleh lawan. Tapi, tidak mungkin Anang harus bunuh diri, hanya karena tidak mampu berjuang.

Takdir sungguh kejam.

Atau manusia yang kejam?

Warisan mendiang orang tuanya dihabiskan oleh pamannya—kakak laki-laki dari mendiang ayah Anang, untuk berjudi.

Anang yang masih di bawah umur waktu itu, hanya bisa melihat rumah dan sepetak sawah peninggalan orang tuanya, dipasang segel dari pihak bank. Mengharuskan Anang menjalani hidup seperti pamannya, yang tidak jelas mau jadi apa.

Anang yang sejak kecil bercita-cita akan jadi penyanyi terkenal, hanya menjadi 'penyanyi' tanpa ada 'terkenal'nya.

Gitar tua yang dia beli sejak sekolah menengah pertama, untung saja masih bisa berfungsi dengan baik, meski catnya sudah pudar dan terkelupas karena usia.

Sudah hampir lima tahun setelah kelulusan Anang dengan seragam putih abu-abunya. Nekat mengadu nasib ke kota, meski hanya berbekal satu buntalan pakaian yang dibungkus kain sarung.

Nasibnya masih belum juga membaik.

Anang berbaring menatap langit-langit kamar sewaannya. Petakan sempit dari kayu triplek tipis yang didirikan sang juragan kost liar, di bawah jembatan layang.

Getaran kendaraan berat yang berlalu-lalang di atas jembatan, bisa membuat jantung Anang juga ikut bergetar, saat melihat langit-langit yang juga menjadi atapnya, seolah akan jatuh menimpanya.

Belum lagi saat menggunakan kakus umum, yang dibuat di atas air sungai yang sering tiba-tiba menjadi deras, karena luapan air banjir dari hulu sungai. Rasa tegangnya, melebihi sensasi tegang saat menaiki roller coaster.

Bukan cuma kotoran yang hanyut dibawa air, nyali pun ikut larut dan menghilang.

Tapi, di situ tempat Anang bisa merasakan kebebasan menonton wanita-wanita yang sedang mencuci dan mandi, tanpa diteriaki mesum.

Kakus itu akan selalu dia kenang, kalau sampai dia diusir lagi dari tempat sewaannya yang ini. Dinding kakus yang hanya menutup sebagian tubuhnya, meskipun dia sudah berjongkok.

Malam itu, Anang tertidur dengan perut kosong.

Dia hanya memakan semur daging beberapa potong dengan sepiring nasi, di dalam mimpinya.

Mimpi yang indah, sampai meneteskan air liur Anang, dan menenggelamkan kutu busuk yang ada di dalam kasur kapuk tua, tanpa ada alas seprai di atasnya.

Sesekali dalam tidurnya, Anang berlari secepat yang dia bisa. Kakinya menendang-nendang angin. Bayangan dikejar Satuan Polisi Pamong Praja, cukup membuat Anang kelelahan dalam mimpinya.

"Tolong, Pak! ... Ibu Satpol PP! ... Izinkan kami mencari sesuap nasi!"

Anang melipat kedua tangannya, sambil memohon ampun kepada alam, yang memberi malam yang terlalu dingin.

Andaikan bisa memilih, Anang lebih memilih mimpi terjun bebas dari pesawat. Itu mimpi ekstrem yang menarik, dan berguna. Adrenalin yang ditimbulkan, bisa membuat perut Anang yang lapar, menjadi kenyang seketika.

Anang terlalu banyak bermimpi, malam ini.

Anang mengubah posisi tidurnya, otot leher yang tegang, membuatnya hampir tidak bisa menggerakkan kepalanya lagi.

Part 2

Masih subuh, tapi keributan di luar kamar Anang mengalahkan keramaian pasar malam, yang penuh dengan wahana ekstrim.

Teriakan dan gosip ibu-ibu tetangga Anang, mampu membangunkan ayam-ayam jantan yang masih tertidur, dan terlambat berkokok.

Anang mengucek matanya yang kering. Hari ini dia harus pergi ke rumah salah seorang langganan bosnya yang sedang direnovasi. Harus pergi pagi-pagi sekali, demi menikmati segelas kopi panas, dan kue jajanan pasar.

Kalau sampai dia kesiangan lagi, dan terlambat tiba di sana, yang akan dia dapatkan hanya segelas air putih dengan sisa remahan kue.

Tanpa perlu mandi, Anang mengganti celana panjangnya dengan celana pendek yang sudah berat dan keras dengan debu semen. Begitu juga kausnya, kini berganti dengan kaus dengan lambang partai politik yang dibagikan saat kampanye.

Pakaian kerja Anang itu, sekarang lebih kokoh daripada dinding kamar sewaannya.

Memakai sepatu yang dipakai dari jaman masih sekolah, sudah sempit dan menganga seperti mulut buaya yang kelaparan. Jari-jari kakinya menyembul keluar dari ujung sepatu.

Perut Anang sama laparnya dengan sepatunya.

Terburu-buru Anang berjalan di antara orang-orang penghuni kolong jembatan, yang sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Semua penghuni kost liar, berprofesi serabutan. Kesulitan ekonomi mereka sama dengan Anang jika dibandingkan di atas timbangan.

Ada satu petakan yang terlihat lumayan. Anang melewati petakan sang juragan pemilik kost-kost'an. Petakan cukup besar lengkap dengan perabotan rumah tangga.

Didalam situ, sudah banyak anak-anak yang menumpang menonton televisi, meski siaran yang ditayangkan hanya berita pagi.

Mungkin anak-anak itu lebih tahu tentang informasi keadaan di masyarakat daripada pejabat kota yang berwenang.

Cahaya matahari sudah mulai terlihat dari ufuk timur, Anang mempercepat langkah kakinya. Suara gesekkan celana pendeknya, sudah seperti suara amplas tukang kayu yang bekerja terburu-buru.

Ketika Anang tiba di perumahan tempat dia bekerja jadi pembantu tukang, dia sempat dihadang sekuriti baru, karena dikira orang dengan gangguan jiwa.

Sekuriti perumahan, tiba-tiba menjadi dokter jiwa yang bisa mendiagnosa tingkat kewarasan Anang.

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, Anang akhirnya diijinkan masuk ke dalam perumahan.

Anang mau saja memaki satpam muda itu, tapi dia mengurungkan niatnya. Kalau dia sampai tidak bisa mengendalikan emosinya, maka hasil diagnosa satpam baru itu akan membuatnya dijemput satpol pp, saat itu juga.

Dari kejauhan, Anang bisa melihat lokasi kerja yang sudah ramai dengan pekerja. Anang kemudian berlari.

Tolong sisakan, walau hanya sepotong kue!

Untung saja ada yang berbaik hati membiarkan Anang mengambil potongan kue terakhir. Atau mungkin karena orang itu jijik melihat tangan Anang yang kotor, memegang erat-erat sepotong kue yang tersisa di atas piring.

Tangan Anang dengan urat yang timbul di sepanjang punggung tangan sampai ke lengan, dengan kulitnya berwarna kecoklatan karena terbakar sinar matahari.

Bukan itu masalahnya, tapi karena kukunya yang hitam kebiruan seperti kuku nenek sihir buruk rupa, yang baru saja selesai membuat ramuan beracun. Tampak sangat menakutkan kalau harus berebutan makanan dengannya.

Sepotong kue dadar gulung, cukup untuk mengganjal perutnya sementara. Dicukup-cukupkan saja, sambil dibantu dengan kopi yang langsung diminum Anang dari ceretnya.

Tidak ada lagi gelas yang tersisa. Sedikit cairan yang bercampur dengan ampas kopi lumayan saja untuk ditelan.

Bubur kopi yang pahit manis, mengalahkan rasa nikmatnya bubur ayam yang biasa dijual tetangganya, dan dibagi-bagikan percuma saat tidak habis terjual.

Anang sudah siap dan bertenaga untuk bekerja sampai gemetar.

Gula dan kafein berlebihan, membuatnya bersemangat mengangkat beban ember di bahunya, sambil menaiki tangga rumah tiga lantai yang jadi tempatnya mencari nafkah utama.

Anang bukan pemuda bodoh, hanya saja di sekolah Anang, tidak pernah diajarkan bagaimana caranya untuk membuat bangunan. Mau tidak mau, meski berat, Anang hanya jadi pembantu tukang dengan gaji tidak masuk akal.

Lebih tepatnya gaji yang hanya bisa untuk membayar sewaan dan sabun untuk mandi, yang juga dipakai untuk mencuci tiga pasang baju yang masih muat di badannya.

Sambil bolak-balik naik dan menuruni tangga, Anang memikirkan di mana lagi dia akan mengamen nanti malam.

Terlalu sibuk berpikir, membuat Anang tidak memperhatikan lagi langkahnya. Kaki dengan jari-jarinya yang terbuka mencium sesuatu dengan keras. Rasa ngilu menyentuh sampai ke ubun-ubun.

Bukan ciuman yang nikmat dan menyenangkan.

Anang berdebar-debar, tapi bukan merasa berdebar-debar karena cantiknya wanita yang mengungkapkan cinta untuknya.

Melainkan debaran ketegangan saat melihat ke bawah kakinya, yang lebih dari dua meter ketinggian sampai ke dasar, tanpa penghalang untuk memperlambat jatuhnya.

Anang tidak patah semangat, meski kuku kakinya patah dan terangkat dari jarinya, saat tersandung potongan beton yang belum disingkirkan dari anak tangga.

Hanya patah kuku, itu bukan masalah bagi Anang, 'kan hanya sedikit berdarah di pinggir jari kakinya. Apalagi, jari-jarinya tidak perlu terjepit di dalam sepatu.

Yang penting, dia tidak sampai jatuh terguling-guling dari lantai dua, sampai ke lantai dasar.

Kalau sampai terjadi begitu, bukan cuma kukunya yang patah, bisa-bisa dari ujung jari sampai ujung rambut gimbalnya juga ikut patah. Lalu Anang akan jadi penghuni lampu merah, selamanya.

Jam makan siang adalah waktu yang paling membahagiakan bagi lambung Anang. Meski hanya berlauk tempe atau ikan asin, dengan sedikit sayur, Anang pasti bisa makan kenyang dengan porsi nasi yang tidak dibatasi.

Saat itulah tenaga dan semangat hidup Anang kembali ada.

Anang benar-benar mensyukuri makanan dari langit untuknya.

Sesederhana itu permohonan Anang kepada Tuhannya. Tidak muluk-muluk, hanya agar Tuhan mengijinkan dia bisa merasakan perutnya kenyang meski hanya sekali dalam sehari.

Setiap perutnya kenyang, Anang menghitung dan menyisihkan meski hanya sebagian kecil gajinya untuk diberikan ke rumah ibadah.

Mungkin itu juga sebabnya, sehingga sejak Anang datang ke kota itu, dia tidak pernah merasa kelaparan sampai seharian penuh. Pasti ada saja yang bisa mengenyangkan perutnya meski hanya sekali dalam sehari.

Bahunya kini tidak ada lagi yang tidak lecet. Ember dipindah-pindahkan ke kiri ke kanan bahunya.

Semakin ke atas pembangunan renovasi rumah, semakin berat pekerjaan Anang. Semakin banyak anak tangga yang harus dia lewati.

Sampai sore, Anang masih berlalu-lalang di tangga, sampai akhirnya jam kerja berakhir.

Anang hari ini semestinya sudah waktunya menerima upah untuk tenaga dan waktu hidupnya yang dia pakai untuk bekerja.

Anang dan pekerja lain dengan sabar menunggu lembaran uang kertas yang dibagikan mandor yang mengawasi pekerjaan, atas perintah sang empunya rumah.

Giliran Anang menerima bagiannya. Seperti biasa, dalam perjalanan pulang, Anang sudah memikirkan pembagian uang di tangannya.

Beberapa lembar untuk membayar sewaan, beberapa lembar untuk membeli sabun, dan sisanya untuk disinggahkan ke rumah ibadah di dekat tempat tinggalnya.

Anang melangkahkan kakinya dengan semangat. Tidak ada lagi rasa sakit yang tersisa dari ujung jarinya yang menyentuh aspal, saat dia berjalan.

Part 3

Belum lama setelah matahari tenggelam, Anang sudah segar setelah mandi dan merasa tampan memakai kaos andalan dengan celana panjang, dan seperti biasa, dengan gitar yang menggantung di punggungnya.

Dari kejauhan, Anang melihat tempat bersantai di pinggir pantai, yang sudah dipenuhi pengunjung.

Belajar dari pengalaman kenalan sesama pencari uang di jalanan, Anang mencari-cari anggota pengemis atau pengamen di daerah itu.

Daerah baru, Anang tidak bisa mengamen dan mencari uang begitu saja.

Anang harus melapor kepada bos preman yang biasanya menguasai tempat-tempat yang potensial seperti itu. Kecuali dia mau menerima bogem mentah dan pulang dengan gitar yang hancur.

Anang bertemu dengan seorang pengemis yang masih bocah.

"Apa bisa ngamen di sini?" tanya Anang ketika bocah itu sudah didekatnya.

"Laporan dulu!" bocah itu tampak ketakutan, segera berlari menjauh dari Anang.

"Hey! Di mana bosnya?" Anang berlari mengejar bocah itu sambil berteriak.

Bocah itu hanya berbalik sebentar, lalu menunjuk ke arah gang di belakang ruko yang sudah tutup.

Anang berhenti berlari.

Tampaknya bos di sini cukup menyeramkan, sampai membuat bocah itu ketakutan.

Perlahan tapi pasti Anang berjalan memasuki gang yang gelap.

Asap rokok yang mengepul, memaksa keluar dari tempat sempit, yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Anang melihat samar-samar, jauh disana bayangan beberapa orang yang sedang duduk berhadap-hadapan. Suara bentakkan keras dan tangisan anak kecil, campur aduk memecah keheningan tempat itu.

"Hanya segini?"

"Kamu mau aku patahkan kakimu?"

Suara bentakkan itu semakin nyaring terdengar oleh Anang, juga tidak kalah nyaring suara tangisan anak-anak yang meminta ampun.

Anang menghentikan langkahnya. Dia berbalik arah, Anang mengurungkan niatnya untuk mencari nafkah di daerah itu.

Meski Anang mau mencari uang lebih, tapi tidak dengan bos yang terlalu kejam, sampai kaki anak kecil mau dipatahkannya. Bisa bayangkan apa yang akan dilakukan bos preman kepada orang dewasa?

Anang kembali berjalan menyisir jalanan. Kiri-kanan jalan berjejer rumah makan yang ramai pengunjung.

Tidak, Anang tidak bisa di situ. Pokoknya dia harus mencari tempat yang tidak terlalu ramai, agar tidak perlu berurusan dengan bos preman.

Sampai hampir ke pinggiran kota, Anang melihat warung makan lesehan, yang hanya berjualan dengan bergelar tikar di atas trotoar.

Pengunjungnya tidak terlalu ramai, tapi tampaknya cukup kalau semua mau membagi sedikit rejeki mereka kepada Anang.

Anang mencoba peruntungannya disitu.

Seperti biasa, Anang akan melakukan ritual mengatur nafas, seolah-olah dia adalah seorang penyanyi profesional.

Suara Anang memang cukup merdu. Buktinya saat dia bernyanyi, masih banyak mata yang memandangnya dengan rasa kagum. Atau mungkin kesal, karena perbincangan mereka sambil makan yang terganggu.

Anang tetap bernyanyi lagu-lagu favoritnya, dari salah satu grup band ternama di zamannya masih SMA dulu. Diiringi senar gitarnya yang masih mau bergetar, dan mengeluarkan suara indah, saat dipetik jari-jari tangan kasar Anang.

Satu lagu berakhir seperti sedang konser. Anang mendapat tepuk tangan dari beberapa pengunjung yang menontonnya. Untung saja, berarti mereka menikmati pertunjukan Anang.

Anang lupa membawa kantong yang biasa dipakai untuk memungut harga tiket konsernya. Hanya dengan membuka kedua tangannya, dia meminta sedikit rejeki dari orang-orang di situ.

Lumayan!

Bisa untuk membeli dua porsi bakso.

Anang lalu membagi sedikit hasil mengamennya kepada yang berdagang makanan di situ, tapi mereka menolak. Pedagang yang rata-rata tampak sudah berumur.

"Tidak apa-apa anak muda, kami sudah ada rejekinya." Pria tua dengan rambut penuh uban, sampai tidak ada lagi yang bagian rambutnya terlihat masih hitam, menolak dengan halus pemberian Anang.

"Terimakasih, pak. Apa saya besok bisa mengamen di sini lagi?" tanya Anang berhati-hati. Dia khawatir nanti akan merepotkan, atau mengganggu usaha dagang orangtua yang baik itu.

"Tidak jadi masalah. Kita sama-sama mencari rejeki." Pria tua itu memang baik. Sambil menghaluskan cabai dalam sambal kacang untuk tahu tek-tek dagangannya, dia memberi kesempatan bagi Anang untuk mencari nafkah di situ.

Anang memesan tahu tek-tek dagangan pria tua itu, sekedar berbagi rejeki karena pria itu tidak mau kalau diberi uang cuma-cuma.

Enak!

Pantas saja ... Tampak pelanggannya di situ sudah banyak yang berumur. Mungkin sudah jadi pelanggan lama, dan tetap jadi pelanggan setia di tempat itu.

Anang menikmati satu porsi makanan pesanannya dengan rasa syukur. Harga seporsi tahu tek-tek, hanya separuh harga bakso.

Kenyangnya? Lebih kenyang makan itu daripada bakso.

Rejeki malam itu jauh melebihi harapan Anang. Perut kenyang, dengan sisa uang lumayan untuk tambahan isi celengan ayamnya.

Sebelum Anang pulang ke tempat tinggalnya, Anang masih menyumbang beberapa lagu lagi, tanpa memungut bayaran. Dengan ucapan terimakasih, yang sempat berulang-ulang Anang ucapkan.

Langkah Anang terasa ringan. Rasa syukur membuat kehidupannya yang sulit, bisa lebih bermakna.

Anang mencoba peruntungannya lagi disebuah tempat makan yang hampir sama seperti tempat dia tadi datangi.

Hasilnya? Sama.

Sepertinya di daerah pinggiran kota itu, jadi tempat berkumpulnya orang-orang yang sudah berumur.

Mereka menikmati suara Anang, yang menyanyikan lagu-lagu lawas nostalgia yang pernah dia dengar di radio tua, di pondok yang ada di atas sawah ayahnya, waktu dia masih kecil.

Kalau begini keadaannya, Anang bisa membeli sendal jepit baru. Warna tali sendal yang sudah seperti siang dan malam itu, akan terganti dengan pasangan baru yang serasi dan cocok untuk kaki Anang.

Lumayan jauh perjalanan yang ditempuh Anang, sudah waktunya dia kembali ke kolong jembatan. Jalanan sudah mulai sepi, dan jadi arena balap liar anak-anak muda kumpulan geng motor.

Anang sempat menonton sebentar, aksi valentino rosi, dan aksi akrobatik yang mereka pertunjukkan ditengah jalan. Sebelum sirine patroli polisi berbunyi nyaring mendatangi lokasi itu, dan membuat mereka semua kocar-kacir.

Pandangan mata Anang terpaku pada benda yang disinari lampu jalan yang kekuningan.

Hey! itu sepasang sendal jepit yang tertinggal di tengah jalan.

Anang mencoba memasangnya di kakinya. Cocok. Tapi, itu bukan miliknya, Anang meletakkan sandal tepat di bawah tiang lampu jalan.

Kalau besok malam masih ada di situ, berarti itu memang akan menjadi miliknya.

Anang kembali melanjutkan perjalanannya. Sesekali dia membunyikan sendi bahunya bergantian, dengan memutar-mutar lengannya ke satu arah.

Pegal ototnya hari ini, tidak seberapa. Besok, pekerjaan renovasi naik ke lantai empat. Anang menatap jempol kakinya yang hanya berbalut perban kecil, yang dia beli di warung seharga satu koin.

Besok, jangan sampai mencium sesuatu yang tidak berguna lagi. Akibatnya nanti bukan hanya berdebar-debar, bisa-bisa jantung Anang copot, dan berpindah ke kaki.

Masih cukup jauh Anang harus berjalan, baru Anang bisa tiba ke tempat tinggalnya. Jembatan layang hanya bisa terlihat seperti bayang-bayang, dari tempatnya sekarang.

Anang mempercepat langkah kakinya. Dia harus cepat tidur malam ini, pekerjaan besok akan membutuhkan banyak tenaga. Tidak ada yang akan tertawa, kalau melihatnya tidak mampu lagi menaiki anak tangga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!