"Aku Lelah, Aku Ingin Menyerah "
Dua bulan sudah pernikahan aku dengan Mas Elang, duda beranak satu yang usianya lumayan terpaut jauh denganku, 12 tahun. Diusia yang terbilang muda yaitu 23 tahun, aku dipersunting olehnya. Mas Elang tidak sendiri, dia menikahiku dengan membawa anak hasil dari pernikahan yang terdahulu. Awal yang sangat indah Aku lalui.
Pagi itu Aku bersiap mengantar anak sambungku, Sya Perkasa ke sekolah Taman Kanak-kanak. Bocah kecil berusia 5 tahun yang tampan dan imut itu begitu menggemaskan setelah memakai seragam TKnya. Ketampanannya mewarisi Ayahnya. Bulu matanya lentik, kulitnya kuning langsat bersih, tutur katanya lembut dan baik. Cerdas dan nampak lebih dewasa dibanding anak seusianya.
"Bundaaa..., Sya sudah siap, let's go!" ajaknya dengan gaya cool super menggemaskan penuh semangat.
"Come on, baby...!" balasku menuntun jemarinya.
"Jangan lupa pamit Papa, Sya!" ujarku mengingatkan.
"Ok, Bunda...!" balasnya patuh.
"Papa...Sya pamit dulu. Assalamualaikum!" ujar Sya, seraya mencium punggung tangan Papanya.
"Mas, aku pergi ya....!" ucapku sambil meraih tangannya lalu menciumnya mirip yang dilakukan Sya.
"Kamu, tidak perlu lagi antar Sya sekolah menyetir sendiri. Sekarang ada supir yang akan antar jemput Sya!" tegas Mas Elang datar padaku. Aku melongo heran, menatap Mas Elang meminta penjelasan. "Mulai besok, biar supir yang antar jemput Sya sekolah!" tegasnya lagi.
Belum hilang rasa heranku karena keputusannya yang mendadak, yang tiba-tiba mengultimatum bahwa besok hanya supir yang akan antar jemput Sya, bocah menggemaskan itu.
"Tapi kenapa Mas?" tanyaku heran.
"Tidak apa-apa, Aku hanya ingin Sya tidak terlalu tergantung padamu!" jawabnya datar. Aku semakin heran dengan perubahan Mas Elang yang tiba-tiba, walau sikap dingin dan datarnya sudah menjadi biasa bagiku, namun kali ini berbeda. Ada apa dengan Mas Elang, apakah aku melakukan kesalahan? Hatiku bertanya-tanya tanpa menemukan jawaban.
"Tugasmu kali ini hanya membujuk Sya supaya dia terbiasa tanpamu, tanpa harus diantar-antar Ibu tirinya lagi!" tekannya lagi. Aku terhenyak seketika mendengar kata Ibu tiri yang ditekankan Mas Elang barusan. Walau pada kenyataannya aku memang seorang Ibu tiri, tapi kalau boleh jujur aku sudah menganggap Sya sebagai anak kandungku sendiri. Rasaku pada Sya tulus dan begitu menyayanginya. Kenapa sekarang Mas Elang mempermasalahkannya, padahal dua bulan yang lalu sejak kami menikah dia memberikan tugas mengantar jemput padaku, dengan dalih supaya aku dan Sya bisa lebih dekat dan tidak kaku.
Dan rupanya benar, saking seringnya kami bersama, hubungan interaksiku dengan Sya, berjalan lancar bak Ibu dan anak kandung. Aku bersyukur banget, Sya anaknya begitu mudah menerima kehadiranku. Tapi kini dengan tiba-tiba aku dipaksa seakan-akan menjaga jarak dari Sya.
Mas Elang bahkan menatapku dengan tatapan yang sangat dingin, tidak seperti biasanya.
Aku segera menuju mobil mengikuti Sya yang sudah berlari kecil menuju mobil. Di sana sudah ada sopir menyambut. Sopir itu membungkuk hormat padaku.
"Sikahkan Bu...!" supir mempersilahkanku masuk, sementara Sya sudah duduk di depan dekat supir.
"Sya sayang, mulai besok Sya diantar jemput oleh Pak Supir ya!" ucapku. Sya menoleh ke arahku dengan tatapan heran.
"Kenapa Bun, kok cuma dengan Pak supir? Memangnya Bunda mau kemana tidak antar jemput Sya lagi?" tanyanya dengan celotehan yang lucu.
"Papa yang suruh Sya. Sya nurut ya sama Bunda, terutama sama Papa!" bujukku lembut.
"Ihhhh... Papa kok gitu. Kenapa Papa tidak boleh Bunda yang antar jemput Sya?" rajuknya dengan mimik muka yang menggemaskan.
"Nanti kita tanya Papa ya, setelah Sya pulang sekolah!" ucapku lagi lembut.
Mobil berjalan sedang menuju sekolah TK Bahagia, 10 menit kemudian mobil sampai di depan sekolah TK. Aku segera turun, lalu menuntun lengan Sya dan mengantarkannya sampai pintu kelas. Aku berpesan dulu sejenak dengan Guru kelas Sya.
"Assalamualaikum Bu Guru...!" sapaku ramah. Bu Nadia membalas sahutanku dengan senyuman ramah juga.
"Waalaikumsalam Bunda Sya!" sambutnya diiringi senyuman manis.
"Begini Bu, saya ingin memberitahukan bahwa untuk besok dan seterusnya yang akan mengantar jemput anak saya adalah Pak Supir," beritaku seraya menoleh ke arah Pak Supir dan melambai memanggilnya.
"Ohh... begitu!" seru Bu Nadia.
"Ini, Pak Supir yang akan selalu menjemput anak saya. Mulai besok beliau yang bertugas antar jemput. Jika Bu Nadia belum mendapati Pak Supir menjemput, maka Bu Nadia harus tahan anak saya dulu di dalam lingkungan sekolah." peringatku mewanti-wanti. Bu Nadia manggut-manggut paham.
"Siapa nama Pak Supirnya, maaf?"
"Nama saya Pak Udin, Bu Guru!" jawab lelaki paruh baya bernama Pak Udin itu ramah. Bu Nadia manggut-manggut.
"Mungkin itu yang bisa saya informasikan Bu, untuk informasi lain jika diperlukan Bu Nadia bisa menghubungi kami, saya dan Papanya Sya sebagai wali murid," terangku.
"Saya permisi dulu!" ucapku mengakhiri perbincangan kami. Bu Nadia tersenyum ramah dan menatap kepergianku yang mulai melangkah menjauh.
"Pak Udin, kembali ke rumah!" perintahku. Pak Udin patuh dan segera menyalakan mesin mobil. Mobil yang kami tumpangi berjalan sedang dengan lalu lalang yang lancar.
Tiba di rumah, aku masih mendapati mobil Mas Elang di depan garasi rumah. Tidak heran, sebab Mas Elang pergi ke restoran tidak tentu waktu, kadang pagi jam 8, kadang jam 10 siang.
Mas Elang merupakan pengusaha restoran dan Cafe di kota ini, usahanya di kota ini tersisa dua restoran dan satu Cafe, ada juga di luar kota sebuah restoran kenamaan yang masih berdiri tegar atas perjuangannya yang hampir diujung kebangkrutan.
Tiga tahun yang lalu saat usia Sya 2 tahun, Mas Elang mengalami tragedi terpahit dalam hidupnya. Istri yang pergi dengan lelaki lain, sebagian harta dan aset yang digondol, beberapa restoran yang bangkrut sehingga menyisakan dua restoran saja di kota ini, dan satu diluar kota yang masih bertahan. Semua keadaan ini berawal dari perbuatan mantan istrinya yang tega mengkhianatinya.
Bersyukur masih ada restoran yang tersisa atas nama dirinya yang tidak berhasil digondol mantan istrinya. Semua aset yang digondol itu semua atas nama mantan istrinya, sehingga dengan mudah bisa dibawa kabur.
Betapa besar rasa cinta Mas Elang kepada mantan istrinya saat itu, sehingga dia tidak segan-segan semua aset hampir atas nama mantan istrinya.
Begitu cerita Mas Elang tempo hari saat dia sedikit menceritakan penyebab perceraiannya dengan mantan istrinya padaku.
Aku turun dari mobil yang ditumpangi Pak Udin, segera aku bergegas masuk tidak lupa mengucap salam. Karena tidak ada jawaban, aku langsung menuju lantai atas kamar kami.
Samar-samar aku mendengar suara orang yang sepertinya sedang berbicara dari arah kamar kami, kamar Mas Elang dan aku. Semakin dekat suara itu mirip suara Ibu mertuaku dan Mas Elang. Kapan Ibu datang kemari? Heranku.
Aku berjalan mengendap-endap perlahan dan semakin dekat ke bibir pintu. Pembicaraan itu nampak serius. Tanpa niat menguping aku berdiam diri di balik tembok luar kamarku. Aku berpikir kalau langsung masuk takutnya Ibu tidak enak melihatku. Pikirku.
"Sekarang mantan istrimu yang jahat itu keluar dari persembunyiannya, bahkan dia berani menampakkan batang hidungnya di hadapanmu dan Mama, dengan dalih ingin menemui Sya." jedanya.
"Mama tidak akan biarkan Sya bertemu dengan wanita begundal itu, Mama kecewa dan sakit hati, coba bayangkan saat Sya dua tahun yang masih memerlukan kasih sayang Ibunya, dia pergi dengan lelaki lain dengan membawa kabur semua asetmu. Dasar ******." umpat Ibu mertua menggebu-gebu.
"Makanya El, kamu harus hati-hati juga dengan istri barumu itu. Jangan beri kesempatan untuk dia menguasaimu. Jangan pernah memanjakannya. Kamu harus waspada. Dia begitu dekat dengan Sya, jangan-jangan cuma kedok belaka. Kamu harus hati-hati El!" peringat Ibu mertuaku pada Mas El.
"Kamu sih, mau Mama jodohkan dengan anak teman Mama, kamu malah menolak. Padahal dia cantik dan wanita sosialita. Tidak seperti istri barumu yang biasa dan miskin itu!" jlebbbb... makian yang diucapkan Ibu mertuaku yang baru saja ku dengar sontak membuatku tiba-tiba lemas. Dadaku seakan sesak dan berat.
Perlahan aku menjauh dari balik tembok kamarku, dan berjalan perlahan menuju tangga, kembali ke bawah menuju dapur untuk berpura-pura tidak tahu dan tidak mendengar semua perkataan Ibu mertuaku. Aku berjalan pelan sebab tubuhku merasa lemas setelah mendengar ucapan Ibu mertuaku.
Di dapur, aku segera masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu kamar mandi. Takut kalau kamar mandi tiba-tiba dibuka Bi Narti ART rumahku. Aku menangis menumpahkan segala kesedihanku atas apa yang tadi ku dengar, makian Ibu mertuaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Citra Merdeka
mulai baca
2024-02-07
2
Amelia Harianja
kayaknya alur ceritanha bagus
semangat thord
2023-05-10
1
Naomi Boru Angin
ikut mamfir kk
2023-04-11
1