Dua bulan sudah pernikahan aku dengan Mas Elang, duda beranak satu yang usianya lumayan terpaut jauh denganku, 12 tahun. Diusia yang terbilang muda yaitu 23 tahun, aku dipersunting olehnya. Mas Elang tidak sendiri, dia menikahiku dengan membawa anak hasil dari pernikahan yang terdahulu. Awal yang sangat indah Aku lalui.
Pagi itu Aku bersiap mengantar anak sambungku, Sya Perkasa ke sekolah Taman Kanak-kanak. Bocah kecil berusia 5 tahun yang tampan dan imut itu begitu menggemaskan setelah memakai seragam TKnya. Ketampanannya mewarisi Ayahnya. Bulu matanya lentik, kulitnya kuning langsat bersih, tutur katanya lembut dan baik. Cerdas dan nampak lebih dewasa dibanding anak seusianya.
"Bundaaa..., Sya sudah siap, let's go!" ajaknya dengan gaya cool super menggemaskan penuh semangat.
"Come on, baby...!" balasku menuntun jemarinya.
"Jangan lupa pamit Papa, Sya!" ujarku mengingatkan.
"Ok, Bunda...!" balasnya patuh.
"Papa...Sya pamit dulu. Assalamualaikum!" ujar Sya, seraya mencium punggung tangan Papanya.
"Mas, aku pergi ya....!" ucapku sambil meraih tangannya lalu menciumnya mirip yang dilakukan Sya.
"Kamu, tidak perlu lagi antar Sya sekolah menyetir sendiri. Sekarang ada supir yang akan antar jemput Sya!" tegas Mas Elang datar padaku. Aku melongo heran, menatap Mas Elang meminta penjelasan. "Mulai besok, biar supir yang antar jemput Sya sekolah!" tegasnya lagi.
Belum hilang rasa heranku karena keputusannya yang mendadak, yang tiba-tiba mengultimatum bahwa besok hanya supir yang akan antar jemput Sya, bocah menggemaskan itu.
"Tapi kenapa Mas?" tanyaku heran.
"Tidak apa-apa, Aku hanya ingin Sya tidak terlalu tergantung padamu!" jawabnya datar. Aku semakin heran dengan perubahan Mas Elang yang tiba-tiba, walau sikap dingin dan datarnya sudah menjadi biasa bagiku, namun kali ini berbeda. Ada apa dengan Mas Elang, apakah aku melakukan kesalahan? Hatiku bertanya-tanya tanpa menemukan jawaban.
"Tugasmu kali ini hanya membujuk Sya supaya dia terbiasa tanpamu, tanpa harus diantar-antar Ibu tirinya lagi!" tekannya lagi. Aku terhenyak seketika mendengar kata Ibu tiri yang ditekankan Mas Elang barusan. Walau pada kenyataannya aku memang seorang Ibu tiri, tapi kalau boleh jujur aku sudah menganggap Sya sebagai anak kandungku sendiri. Rasaku pada Sya tulus dan begitu menyayanginya. Kenapa sekarang Mas Elang mempermasalahkannya, padahal dua bulan yang lalu sejak kami menikah dia memberikan tugas mengantar jemput padaku, dengan dalih supaya aku dan Sya bisa lebih dekat dan tidak kaku.
Dan rupanya benar, saking seringnya kami bersama, hubungan interaksiku dengan Sya, berjalan lancar bak Ibu dan anak kandung. Aku bersyukur banget, Sya anaknya begitu mudah menerima kehadiranku. Tapi kini dengan tiba-tiba aku dipaksa seakan-akan menjaga jarak dari Sya.
Mas Elang bahkan menatapku dengan tatapan yang sangat dingin, tidak seperti biasanya.
Aku segera menuju mobil mengikuti Sya yang sudah berlari kecil menuju mobil. Di sana sudah ada sopir menyambut. Sopir itu membungkuk hormat padaku.
"Sikahkan Bu...!" supir mempersilahkanku masuk, sementara Sya sudah duduk di depan dekat supir.
"Sya sayang, mulai besok Sya diantar jemput oleh Pak Supir ya!" ucapku. Sya menoleh ke arahku dengan tatapan heran.
"Kenapa Bun, kok cuma dengan Pak supir? Memangnya Bunda mau kemana tidak antar jemput Sya lagi?" tanyanya dengan celotehan yang lucu.
"Papa yang suruh Sya. Sya nurut ya sama Bunda, terutama sama Papa!" bujukku lembut.
"Ihhhh... Papa kok gitu. Kenapa Papa tidak boleh Bunda yang antar jemput Sya?" rajuknya dengan mimik muka yang menggemaskan.
"Nanti kita tanya Papa ya, setelah Sya pulang sekolah!" ucapku lagi lembut.
Mobil berjalan sedang menuju sekolah TK Bahagia, 10 menit kemudian mobil sampai di depan sekolah TK. Aku segera turun, lalu menuntun lengan Sya dan mengantarkannya sampai pintu kelas. Aku berpesan dulu sejenak dengan Guru kelas Sya.
"Assalamualaikum Bu Guru...!" sapaku ramah. Bu Nadia membalas sahutanku dengan senyuman ramah juga.
"Waalaikumsalam Bunda Sya!" sambutnya diiringi senyuman manis.
"Begini Bu, saya ingin memberitahukan bahwa untuk besok dan seterusnya yang akan mengantar jemput anak saya adalah Pak Supir," beritaku seraya menoleh ke arah Pak Supir dan melambai memanggilnya.
"Ohh... begitu!" seru Bu Nadia.
"Ini, Pak Supir yang akan selalu menjemput anak saya. Mulai besok beliau yang bertugas antar jemput. Jika Bu Nadia belum mendapati Pak Supir menjemput, maka Bu Nadia harus tahan anak saya dulu di dalam lingkungan sekolah." peringatku mewanti-wanti. Bu Nadia manggut-manggut paham.
"Siapa nama Pak Supirnya, maaf?"
"Nama saya Pak Udin, Bu Guru!" jawab lelaki paruh baya bernama Pak Udin itu ramah. Bu Nadia manggut-manggut.
"Mungkin itu yang bisa saya informasikan Bu, untuk informasi lain jika diperlukan Bu Nadia bisa menghubungi kami, saya dan Papanya Sya sebagai wali murid," terangku.
"Saya permisi dulu!" ucapku mengakhiri perbincangan kami. Bu Nadia tersenyum ramah dan menatap kepergianku yang mulai melangkah menjauh.
"Pak Udin, kembali ke rumah!" perintahku. Pak Udin patuh dan segera menyalakan mesin mobil. Mobil yang kami tumpangi berjalan sedang dengan lalu lalang yang lancar.
Tiba di rumah, aku masih mendapati mobil Mas Elang di depan garasi rumah. Tidak heran, sebab Mas Elang pergi ke restoran tidak tentu waktu, kadang pagi jam 8, kadang jam 10 siang.
Mas Elang merupakan pengusaha restoran dan Cafe di kota ini, usahanya di kota ini tersisa dua restoran dan satu Cafe, ada juga di luar kota sebuah restoran kenamaan yang masih berdiri tegar atas perjuangannya yang hampir diujung kebangkrutan.
Tiga tahun yang lalu saat usia Sya 2 tahun, Mas Elang mengalami tragedi terpahit dalam hidupnya. Istri yang pergi dengan lelaki lain, sebagian harta dan aset yang digondol, beberapa restoran yang bangkrut sehingga menyisakan dua restoran saja di kota ini, dan satu diluar kota yang masih bertahan. Semua keadaan ini berawal dari perbuatan mantan istrinya yang tega mengkhianatinya.
Bersyukur masih ada restoran yang tersisa atas nama dirinya yang tidak berhasil digondol mantan istrinya. Semua aset yang digondol itu semua atas nama mantan istrinya, sehingga dengan mudah bisa dibawa kabur.
Betapa besar rasa cinta Mas Elang kepada mantan istrinya saat itu, sehingga dia tidak segan-segan semua aset hampir atas nama mantan istrinya.
Begitu cerita Mas Elang tempo hari saat dia sedikit menceritakan penyebab perceraiannya dengan mantan istrinya padaku.
Aku turun dari mobil yang ditumpangi Pak Udin, segera aku bergegas masuk tidak lupa mengucap salam. Karena tidak ada jawaban, aku langsung menuju lantai atas kamar kami.
Samar-samar aku mendengar suara orang yang sepertinya sedang berbicara dari arah kamar kami, kamar Mas Elang dan aku. Semakin dekat suara itu mirip suara Ibu mertuaku dan Mas Elang. Kapan Ibu datang kemari? Heranku.
Aku berjalan mengendap-endap perlahan dan semakin dekat ke bibir pintu. Pembicaraan itu nampak serius. Tanpa niat menguping aku berdiam diri di balik tembok luar kamarku. Aku berpikir kalau langsung masuk takutnya Ibu tidak enak melihatku. Pikirku.
"Sekarang mantan istrimu yang jahat itu keluar dari persembunyiannya, bahkan dia berani menampakkan batang hidungnya di hadapanmu dan Mama, dengan dalih ingin menemui Sya." jedanya.
"Mama tidak akan biarkan Sya bertemu dengan wanita begundal itu, Mama kecewa dan sakit hati, coba bayangkan saat Sya dua tahun yang masih memerlukan kasih sayang Ibunya, dia pergi dengan lelaki lain dengan membawa kabur semua asetmu. Dasar ******." umpat Ibu mertua menggebu-gebu.
"Makanya El, kamu harus hati-hati juga dengan istri barumu itu. Jangan beri kesempatan untuk dia menguasaimu. Jangan pernah memanjakannya. Kamu harus waspada. Dia begitu dekat dengan Sya, jangan-jangan cuma kedok belaka. Kamu harus hati-hati El!" peringat Ibu mertuaku pada Mas El.
"Kamu sih, mau Mama jodohkan dengan anak teman Mama, kamu malah menolak. Padahal dia cantik dan wanita sosialita. Tidak seperti istri barumu yang biasa dan miskin itu!" jlebbbb... makian yang diucapkan Ibu mertuaku yang baru saja ku dengar sontak membuatku tiba-tiba lemas. Dadaku seakan sesak dan berat.
Perlahan aku menjauh dari balik tembok kamarku, dan berjalan perlahan menuju tangga, kembali ke bawah menuju dapur untuk berpura-pura tidak tahu dan tidak mendengar semua perkataan Ibu mertuaku. Aku berjalan pelan sebab tubuhku merasa lemas setelah mendengar ucapan Ibu mertuaku.
Di dapur, aku segera masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu kamar mandi. Takut kalau kamar mandi tiba-tiba dibuka Bi Narti ART rumahku. Aku menangis menumpahkan segala kesedihanku atas apa yang tadi ku dengar, makian Ibu mertuaku.
"Non Nada, sudah kembali rupanya," tegur Bi Narti dari dapur saat melihatku keluar dari kamar mandi.
"Iya Bi...," sahutku pendek.
"Non Nada mau dibikinkan minuman?" tawar Bi Narti saat melihatku terduduk di meja makan.
"Tidak, terima kasih Bi. Saya mau bikin teh jahe sendiri saja," sahutku sambil beranjak menuju Pantry lalu menyeduh teh jahe saset yang sudah siap seduh, lumayan bisa buat menghilangkan sakit kepala yang tiba-tiba datang.
Aku kembali ke meja makan untuk menikmati teh jahe buatanku. Tiba-tiba Mas Elang dan Ibu mertuaku datang beriringan. Aku berdiri dan segera menyalami tangan Ibu mertua.
"Ibu... kapan datang?" tanyaku sekedar basa-basi, pura-pura belum tahu bahwa Ibu mertuaku sudah ada sejak tadi di rumah ini.
"Sejak kamu pergi antar Sya...!" jawab Ibu tidak ramah.
"Ibu sudah sarapan?" tanyaku kikuk. Ibu tidak menjawab. Sikap seperti ini sudah sering Ibu perlihatkan padaku sejak aku menikah dan menginjakkan kaki di rumah Mas Elang ini. Walau sudah biasa, tapi rasa sakit itu selalu ada. Dan aku harus berusaha menyiapkan mental seperti baja, terlebih Ibu mertuaku memang terang-terangan tidak menyukaiku. Yang lebih menyakitkan, Ibu pernah bawa seorang perempuan dewasa yang usianya 5 tahun diatasku. Cantik, modis dan dari kalangan sosialita. Ibu bermaksud menjodohkan Mas Elang dengan perempuan itu, padahal Ibu tahu Mas Elang sudah menikahiku, saat itu usia pernikahan kami baru sebulan.
"El, Mama pergi dulu. Tadi Mama sudah ada janji dengan Sonia. Sopir Mama sudah tiba di depan gerbang!" ucap Ibu mertua buru-buru. Ibu berpamitan pada Mas Elang tanpa menoleh ke arahku yang hendak menyalami Ibu. Aku cuma bisa menghela nafas panjang menahan sesaknya dada.
Mas Elangpun beranjak cepat menuju kamarnya tanpa menoleh ke arahku. Heran, kenapa Mas Elang bersikap lebih dingin dari biasanya. Akupun menyusulnya dan bermaksud menanyakan perubahan sikapnya.
"Mas...!" sapaku saat melihat Mas Elang bersandar di ranjang.
Aku menghampirinya dan duduk di tepian ranjang di sebelah Mas Elang.
"Mas, kenapa Nada tidak boleh antar jemput lagi Sya ke sekolah? Sya tadi merajuk dan sedikit marah saat aku bilang bahwa mulai besok Sya tidak akan aku antar jemput sekolah!" ucapku meminta penjelasan dari Mas Elang.
"Aku hanya pengen Sya mandiri, tidak harus bergantung lagi sama siapa-siapa," jawab Mas Elang datar.
"Bukankah dulu sebelum nikah kamu minta aku berhenti kerja, supaya aku fokus dengan Sya? Tapi sekarang kamu tidak membolehkan aku untuk antar jemput dia sekolah, emangnya kenapa Mas?" tanyaku lagi makin penasaran.
Sebelum menikah dengan Mas Elang, aku memang bekerja di sebuah Supermarket besar di kota ini, sebagai pengawas gudang. Namun sejak menikah, aku diminta resign. Alasannya biar fokus sama keluarga.
"Sudah Mas bilang, supaya Sya mandiri dan tidak manja dan tidak bergantung lagi sama orang lain!"
"Tapi aku bukan orang lain Mas, aku Bundanya," selaku seraya menatap Mas Elang heran.
" Kenapa kamu berubah Gini sih Mas, sejak hari ini?" tanyaku.
"Sudahlah tidak perlu banyak tanya. Sya akan ngerti sendiri. Dia anak cerdas dan penurut," jawab Mas Elang bangkit dari ranjang dan keluar kamar.
"Mas..., apa karena kehadiran Ibunya Sya, Mas berubah?" tanyaku yang sukses menghentikan langkah Mas Elang dan berbalik ke arahku. Mas Elang berjalan ke arahku, wajahnya berubah diliputi amarah.
"Apa maksudmu? Ibunya Sya? Kamu tahu dari mana tentang keberadaan Ibu Sya?" Mas Elang mencengkram tanganku kuat, bicaranya kuat dan keras.
"Aku mendengar pembicaraan Ibu dan kamu tadi di kamar," jawabku meringis. Cengkraman Mas Elang menyakitiku, sehingga meninggalkan bekas merah.
"Aku ingatkan, jangan sebut-sebut Ibunya Sya di hadapanku, apalagi di depan Sya," tegasnya penuh ancaman. Tanganku ditepisnya dengan kasar, lalu Mas Elang berlalu dengan langkah yang panjang.
Aku terpekur untuk beberapa saat dan bingung memikirkan semua perubahan Mas Elang.
...----------------...
Jam setengah dua siang, Sya pulang dari sekolah. Tapi ternyata yang jemput adalah Mas Elang.
"Bunda..., Bunda dimana?" suara Sya berteriak sampai ke atas kamar kami. Aku keluar dari kamar dan menyambut Sya yang tergopoh naik tangga.
"Sya..., sudah pulang sayang?" kupeluk tubuh mungil bocah tampan itu penuh rasa kangen.
"Bunda, kenapa tidak jemput Sya di sekolah bareng Papa? Bunda tidak sayang lagi sama Sya, ya?" rajuknya seraya merangkul leherku kuat.
Aku bingung mau menjawab apa pada bocah 5 tahun itu, apalagi di depan kami ada Mas Elang. Biar saja Mas Elang yang berusaha menjelaskannya, toh dia yang tahu alasannya.
"Ayo... ganti baju dulu. Setelah itu, Sya makan siang ya, terus Bobo siang!" ajakku menuntun lengan Sya, menuju ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar kami.
"Bunda belum jawab lho pertanyaan Sya, kenapa Bunda tidak jemput Sya tadi?" tanyanya menghentikan langkah kami.
"Bunda tadi sibuk sayang....!" sahutku bohong.
"Sudahlah Sya, kamu sekarang ganti baju dan makan siang ya. Bi Narti nanti yang menyiapkan makan siangnya," timpal Mas Elang. Sya diam merengut, wajahnya seketika ditekuk.
"Ayo, sayang...!" bujukku. Sya, akhirnya mau mengikutiku dan berjalan menuju kamarnya dengan wajah yang masih ditekuk.
Saat makan siang, Sya nampak tidak bersemangat. Mas Elang yang paham kenapa Sya seperti itu berusaha membujuknya. Akhirnya Sya mau makan, setelah Mas Elang membujuknya dengan mengiming-imingi makan malam bersama di luar, nanti malam. Akhirnya Sya makan dengan lahapnya diselingi celotehannya yang menggemaskan. Aku melihat dua jagoan kesayanganku dengan haru, sungguh keakraban antara ayah dan anak yang harmonis.
Setelah makan siang, Sya langsung ku ajak ke kamarnya untuk bobo siang. Tidak lama dari itu, Syapun terlelap. Saat aku mau membaringkan tubuhku di samping Sya, Mas Elang menyelinap masuk dan menarikku keluar. Mas Elang membawaku ke kamar kami. Aku tahu apa yang Mas Elang inginkan.
Saat berada di kamar, Mas Elang langsung mengunci pintu. Padahal aku lagi tidak ingin melayaninya karena masalah tadi pagi saat dia mencengkram kuat tanganku. Saat ada maunya, sudah dipastikan Mas Elang baik-baik padaku dan memperlakukanku dengan manis tanpa pernah meminta maaf atas kesalahan yang pernah dia buat.
"Mas, gak ke restoran lagi?" tanyaku mengalihkan perhatian Mas Elang.
"Gak usah mengalihkan perhatian Mas deh sayang, Mas kangen," ujarnya serak seraya membaringkan tubuhku di ranjang.
"Udah di minum belum?" tanya Mas Elang. Aku paham apa maksudnya, setiap kami mau melakukan hubungan, Mas Elang selalu lebih dulu mengingatkan akan hal itu. Padahal aku paling malas meminumnya, sebab efek mual selalu aku rasakan setelah meminumnya. Demi berbakti pada Mas Elang, mau tidak mau aku menurutinya.
"Sudah Mas tadi malam, diminumnya kan cukup sekali. Nanti malam, baru diminum lagi," jawabku. Mas Elang puas dengan jawabanku, sehingga tanpa menunggu lama dia melancarkan aksinya. Akhirnya kami siang itu, melakukan pergumulan hebat yang sama-sama menyenangkan.
Sya nampak semangat malam ini, dia berceloteh riang sambil sesekali melihat gaya coolnya di cermin. Wah... tampan mirip Papanya. Aku tidak habis pikir dengan bocah menggemaskan satu ini, ketampanan jelas menurun dari Papanya, namun sifat dan perwatakan beda banget.
Sya itu pribadi yang ceria, ramah dan baik, lemah lembut dalam bertutur kata, serta cerdas. Siapapun akan gemas apabila berdekatan dengannya. Hanya tampan dan cerdaslah mungkin benar menurun dari Mas Elang, namun ceria, ramah dan baik, lembut dalam bertutur kata, aku rasa bukan dari Mas Elang. Sebab Mas Elang yang aku kenal dari awal, adalah pribadi yang dingin dan kaku.
Tapi ada kalanya romantis. Romantis kala itu sedang melamar dan menyatakan cintanya padaku, atau romantis ketika ada maunya. Selain itu dia selalu nampak dingin dan wataknya keras tidak bisa dibantah. Kadang sikap posesif lebih dominan. Aku selalu punya aturan tidak boleh begini tidak boleh begitu tanpa alasan yang jelas. Posesif, tapi aku rasa bukan cemburu. Kalau bisa disimpulkan lebih kepada rasa takut.
Tentang Sya, yang punya sifat mengagumkan dan menggemaskan itu, aku pernah mengorek informasi dari Bi Narti. Siapa Baby sitternya? siapa yang ngurus mandi dan menyiapkan peralatan sekolahnya, dan siapa yang berperan besar membentuk karakter Sya selama ini, sehingga tumbuh menjadi Sya yang sangat menggemaskan?
Sya tidak mempunyai baby sitter sejak ditinggal Ibunya. Bi Narti bilang, Sya sudah terbentuk dengan sifat dan watak seperti itu. Tapi itu tidak mungkin, watak seseorang ataupun karakteristik seseorang bisa dipengaruhi oleh orang lain, bisa pengasuhnya, orang tuanya atau malah Gurunya.
"Den Sya lebih banyak menghabiskan waktu sama Pak Elang. Pagi-pagi sebelum ke kantor, Pak El yang mengantar sekolah maupun menjemput," jedanya. "Setelah Den Sya pulang sekolah, Pak El tidak pernah kembali ke kantornya lagi," jelas Bi Narti.
"Lantas, siapa Bi yang mengurus keperluan sehari-hari Sya?" tanyaku lagi penasaran.
"Dulu sebelum Pak El menikahi Non Nada, ada seorang lagi ART namanya Bi Ijah. Bi Ijah masih saudara jauhnya Bibi. Namun berhubung Bi Ijah punya anak yang mau melahirkan, dan tidak tega dengan anaknya apabila harus ngurus bayi merah sendiri, akhirnya Bi Ijah mengundurkan diri."
"Tugas Bi Ijah di rumah ini hanya beres-beres rumah, memandikan Den Sya, dan menyiapkan makannya. Selain itu, Pak Elang yang bertanggungjawab. Kalau sifat dan watak, Bibi yakin itu menurun dari Pak Elang. Semua mewarisi Pak Elang," pungkas Bi Narti membuatku tak percaya.
"Benarkah pria kaku dan dingin itu punya sifat yang hampir persis dengan Sya si bocah menggemaskan itu?" tanyaku dalam hati, ahh... rasanya tak percaya.
"Pak Elang sebenarnya sangat baik. Persis seperti Den Sya, ibaratnya Den Sya itu fotocofyannya Pak Elang," lanjut Bi Narti seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.
"Hanya saja sejak Pak Elang ditinggalkan mantan istrinya, Pak Elang sedikit berubah," timpal Bi Narti lagi.
"Sayang... kok bengong? Sya sudah siap lho," sentaknya mengagetkan lamunanku.
"Oh..., Iya Mas. Aku masih berdandan sedikit lagi," jawabku kikuk.
"Pantaskan dirimu untuk mendampingi Mas dan Sya makan malam hari ini, supaya kamu atau Mas bahkan Sya tidak dipermalukan oleh orang lain," tegas Mas Elang sambil memberikan gaun lengan panjang di bawah lutut pilihannya padaku.
"Berdandanlah yang cantik untukku, hanya untukku!" tegasnya lagi. Pernyataan seperti itu sering Mas Elang lontarkan apabila kami akan pergi keluar. Bukan sering tapi selalu. Kadang aku heran, kenapa selalu saja mewanti-wanti akan hal itu "pantaskan", padahal aku sendiri tidak mau seumpama pergi keluar dengan Mas Elang dalam acara apapun terlihat biasa. Minimal berdandan sedikit untuk menghargai kehormatan suami. Itu pikirku.
Polesan tipis telah menghiasi wajahku yang menurutku tidak jelek, bahkan kalau dipoles begini aku merasa lebih cantik dari biasanya. Mas Elang menatapku tajam saat aku menyelesaikan riasanku, tak sengaja aku berlenggok di depan cermin mematut diri. Ya ampun rasanya beda, pangling.
Mungkin ada yang bertanya dari mana aku bisa berias? Sebelum aku menikah dengan Mas Elang, aku bekerja di sebuah Supermarket besar di kota ini di bagian pangawasan gudang. Aku tidak terlalu dituntut dandan menor, hanya riasan biasa. Cukup alas bedak, bedak padat, dan lipstik.
Namun, sejak menikah dengan Mas Elang, justru Mas Elang menuntutku untuk resign dari kerja dan menuntutku agar selalu tampil cantik meskipun saat berada di dalam rumah.
Meskipun Mas Elang melimpahkan urusan rumah padaku setelah Bi Ijah keluar, namun dia menekankan bahwa, "kamu harus tetap menjaga penampilanmu meskipun di dalam rumah," tegasnya tempo hari.
Dari sana aku mulai belajar tutorial Make up dari berbagai Youtuber terkenal maupun yang biasa, sebab Mas Elang tidak mengijinkan aku untuk mengikuti kelas kursus kecantikan. Meskipun demikian, hasil belajarku di YouTube tidak buruk. Selain gratis, belajarnya semau kita, tinggal download saja dari YT, asal kuota data cukup.
Mas Elang masih menatapku tajam, entah kagum atau bagaimana. Aku kurang PD lalu tersipu malu kedapatan tengah mematut diri berlenggok sedikit di depan cermin.
"Cantik..., pantas mendampingi Mas malam ini!" pujinya tapi datar.
POV Elang.
Nada tengah berlenggok di depan cermin setelah riasannya dirasa cukup. Memang cantik wanita yang ku nikahi dua bulan yang lalu itu. Selain masih muda, dia nampak fresh dan tidak membosankan jika ada yang melihat. Aku pilihkan gaun yang dulu aku belikan, gaun dibawah lutut lengan panjang merah marun senada dengan kemeja yang aku pakai.
Setelah aku bercerai dengan mantan istriku 3 tahun yang lalu, hanya perempuan di hadapanku inilah yang mampu meluluhkan hatiku yang sempat beku.
"Pantaslah untuk mendampingi aku malam ini keluar bersama Sya," gumanku dalam hati.
Nilai lebih lain yang dimiliki perempuan ini adalah, dia dekat dengan Sya dan nampak sayang banget dengan Sya, dan aku yakin kasih sayang Nada untuk anakku tulus.
PPV end
"Papa... Bunda ayokkk.... Sya sudah pegal ni! kalian, jadi tidak makan malamnya?" celoteh Sya membuyarkan lamunan kami.
"Ayokk... sayang, Papa sudah siap. Bunda juga!" jawab Mas Elang.
20.00 pm, Restoran Siap Saji Ramen
Restoran ini yang dipilih Sya, sesuai maunya dia. Sya katanya ingin makan Ramen. Walau sebetulnya restoran ini tidak saja menjual Ramen sebagai menu utamanya, ada menu ayam bakar dan lain sebagainya. Tadinya aku pikir, Mas Elang akan membawa kami ke salah satu restorannya. Berhubung Sya ingin makan Ramen, jadilah kami sekarang di sini.
Sya, nampak bahagia. Dia duduk menempati kursi yang ada. Mas Elang membantu Sya duduk yang nyaman menghadap meja.
Mas Elang segera memesan makanan pada pelayan yang menghampiri kami.
Saat Mas Elang duduk menunggu sambil memainkan HPnya, aku sekilas mencuri pandang dengan ujung mataku.
"Tampan....!" pujiku dalam hati. Makin berdesir rasanya jantung ini melihat ketampanan paripurna sang Dewa Asmara di hadapanku ini.
Pesanan telah datang, pelayan dengan ramah mempersilahkan pesanan kami untuk segera dinikmati.
"Sikahkan Pak, Bu...!" ucapnya seraya meninggalkan meja kami.
"Terimakasih...!" ucapku ramah.
Sya menyantap pesanan Ramennya dengan lahap dan suka cita. Bocah ini sudah pandai makan sendiri tanpa harus disuapi. Salut dengan kemandirian Sya. Jika benar apa yang Bi Narti katakan bahwa sifat baik itu menurun dari Mas Elang, jujur aku merasa bangga dan terharu.
Seorang lelaki yang ditinggal istrinya pergi dengan cara tak layak, tapi masih bisa merawat anaknya dengan baik dan mendidiknya dengan baik pula. Aku masih belum percaya akan hal ini sebetulnya, namun fakta yang terlihat memang seperti itu.
"Sya, jangan buru-buru dong sayang makannya!" peringatku yang melihat saos tomat belepotan di dagunya. Segera aku mengelapnya. Ahhh, muka belepotan saja Sya masih sangat imut menggemaskan. Membuat aku makin sayang sama Sya.
"Ayo minum dulu Sya jus wortelnya, ini kesukaan Sya, bukan?" kataku sambil mendekatkan gelas jus milik Sya. Entah kenapa Sya suka banget dengan jus, terutama jus non buah seperti jus wortel, jus sawi, dan timun. Agak aneh memang untuk ukuran anak seumuran Sya.
Tanpa terduga, dari arah yang tidak aku ketahui, tiba-tiba seorang wanita dewasa menyenggol kami, tepatnya menyenggolku. Entah sengaja atau tidak, sehingga membuat tubuhku oleng dan menimpa Sya yang sedang meminum jus wortelnya.
"Ya ampun....!" pekikku terkejut. Sya terbatuk-batuk, jus wortel yang tadi diminumnya kini gelasnya berubah posisi mengenai hidungnya dan oleng. Sebagian isi jus nampak mengenai hidungnya, jangan-jangan sudah masuk kedalam lubang hidung sehingga Sya terbatuk-batuk.
Dengan cepat ku tangkap gelas jus yang hampir saja jatuh itu, sehingga tidak jatuh dan mengenai Sya.
Mas Elang yang hampir menyudahi makannya, terlonjak dari tempat duduknya, dia nampak kaget dan geram dengan kejadian yang tidak kami duga-duga ini.
Sementara aku sibuk membersihkan mulut dan hidung Sya yang terkena tumpahan jus, spontan aku sangat geram dan berbalik ke arah wanita yang menyenggol kami tadi.
"Anda tidak melihat apa, di depan Anda ada meja yang ada penghuninya. Lihat anak saya, kesakitan karena ulah Anda!" sentakku sangat geram.
"Bunda....!" panggil Sya setengah menjerit. Aku segera fokus kembali dengan Sya, kayaknya Sya hidungnya kesakitan gara-gara jus tadi. Aku berinisiatif membawa Sya ke toilet restoran untuk menangani dan membersihkan Sya.
Nampak Mas Elang mendekat ke arah perempuan tadi, mukanya nampak diliputi marah. Aku segera membawa Sya ke toilet tanpa menunggu lama.
Di toilet, Sya menangis sambil mengeluh hidungnya sakit. Aku berusaha membersihkan jus yang mengenai hidung dan sedikit kena bajunya. Tiba-tiba hidung Sya mengeluarkan darah, Sya langsung mimisan. Aku panik, bingung dan hampir putus asa, beruntung di sana ada Ibu-ibu yang melihat dan iba melihat Sya kesakitan dan mimisan. Ibu-ibu itu membantu aku memberi banyak tisu untuk menghentikan darah di hidung Sya.
"Jangan menunduk Nak, usahakan tengadah!" ucapnya. "Mbak, ditahan kepala anaknya supaya jangan menunduk!" peringat Ibu-ibu yang umurnya sekitar setengah abad itu penuh perhatian.
Sekitar 15 menit Sya kami tangani, aku dan Ibu-ibu paruh baya itu saling bekerja sama berusaha menghentikan mimisan Sya. Aku bersyukur bertemu Ibu-ibu itu, saat panik beliau membantuku. Dari penampilannya beliau nampak seperti dari kalangan kelas menengah ke atas, seperti Ibu-ibu sosialita jaman sekarang.
"Bu, saya ucapakan terimakasih atas bantuannya!" ucapku seraya menangkup kedua tangan.
"Tidak apa-apa, itu sudah kewajiban kita membantu sesama. Oh iya, jika mimisannya masih berlanjut, coba diberi daun sirih yang dipintal lalu masukkan ke lubang hidung anaknya." balasnya sambil membungkuk meraih bahu Sya.
Rupanya resep obat tradisional yang disarankan Ibu ini, sama dengan resep yang selalu almarhumah Ibuku berikan dulu saat masih hidup.
"Anak bujangnya tampan ya, menggemaskan. Salim sama Oma!" ucap Ibu-ibu itu sambil meraih jemari Sya, lalu dengan pintarnya Sya langsung mencium punggung tangan Ibu-ibu itu yang menyebutnya "Oma" pada Sya. Aku tersenyum senang melihat adegan itu.
"Ayok... kita keluar, kebetulan saya masih ada acara, saya duluan ya Mbak!" ajaknya berpamitan seraya mengelus pundakku.
Aku tersenyum dan mengangguk lalu segera keluar dari toilet tersebut sambil menggendong Sya yang tiba-tiba manja.
Aku sampai lupa menanyakan nama Ibu tersebut, saking masih merasa panik dengan kejadian Sya tadi.
Beberapa langkah menuju meja kami, aku mendengar keributan seperti dua orang yang bertengkar.
"Kamu menyakiti anakmu sendiri, jangan harap kamu bisa menemuinya lagi. Kejadian ini cukup membuktikan bahwa kamu sama sekali tidak pantas menjadi Ibu bagi Sya!" tegas Mas Elang marah pada wanita dewasa yang tadi menyenggol aku. Aku tertegun dan berpikir, mungkinkah wanita ini Ibunya Sya.
"Aku akan merebutnya darimu Elang Perkasa!" tandasnya.
"Ayo sayang, bawa Sya ke mobil!" ujar Mas Elang kepadaku sambil berjalan menuju kami dan meraih pundakku lalu menariknya tanpa menoleh sedikitpun pada wanita itu. Mas Elang berjalan sangat cepat dengan muka yang sangat marah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!