Sean tercekat mendengar ucapan Megi. Anak kecil ini, berani sekali membicarakan lamaran. Seperti paham saja makna menikah.
"Menikah itu bukan perkara mudah, Meg. Bukan soal cinta aja, tapi soal menyatukan dua sifat. Lu sama gue, beda jauh, Meg."
"Aku akan berusaha mengimbangi kakak. Aku bisa kok kak."
Sean tersenyum getir dan mematikan api rokoknya.
"Umur lu sama gue beda jauh. Oke, kalau lu sekarang bilang cinta ama gue, pingin nikahi gue. Terus lima tahun kedepan. Saat umur gue udah kepala tiga, dan elu masih baru masuk ke fase dewasa. Terus elu jatuh cinta sama lelaki yang lebih fresh dari gue, terus apa arti pernikahan buat lu? Lu minta cerai gitu?"
"Kak, aku memang masih kecil saat ini. Tapi aku bisa pastiin kalok perasaan aku ke kakak itu kuat. Bukan karena aku jumpa yang lebih dari kakak, perasaan aku bisa berubah. Gak semudah itu jatuh cinta buat aku kak."
Sean tak menanggapi serius ucapan Megi. Ia malah membuang pandangannya ke luar jendela.
"Kak." Megi menarik baju Sean.
"Kak ... Lihat aku!" Megi menarik pipi Sean agar mata mereka saling bertautan.
'Sial, gadis ini berani sekali menyentuh gue.' gerutu Sean dalam hati.
"Apa aku kelihatan bercanda kak? Aku serius kak, perasaan aku sama kakak itu bukan mainan. Kalok kakak gak percaya gimana kalok kita buktiin, dulu."
Sean menaiki sebelah alisnya, melepaskan penganggan Megi pada pipinya. Dan kembali membakar sebatang rokok.
"Kak." Panggil Megi, saat melihat tingkah Sean yang cuek.
"Kak... ih..." Megi menghentakan kakinya kelantai.
Bibirnya mengerucut, dia menyilangkan kedua tangannya di dada. Sean melihat Megi menggunakan sudut matanya.
"Mau ngambek?" Sean mendekatkan bibirnya ke telinga Megi.
"Gak ngaruh!" Ucapnya ketus di telinga kiri Megi.
"Makanya kak, coba dulu pacaran sama aku. Kakak akan lihat ketulusan aku."
"Lu kira, baju di coba dulu? Udah gak usah yang aneh-aneh." Sean kembali mengeluarkan kepulan asap dari bibirnya.
Megi menggerutu pelan, menirukan ucapan Sean. Sambil menyendok makanan nya, bibirnya masih menggerutu sendiri. Sean melihat Megi hanya bisa tersenyum dan menggeleng.
Kenapa di depan perempuan ini ia seperti kehabisan gaya, tingkahnya selalu membuat Sean takjub.
'Ajaib, gadis kecil ini benar-benar unik.' ucapnya dalam hati.
Mulut Megi menggerutu kesal, tapi giginya tak berhenti mengunyah. Sean kembali tersenyum getir dan menggeleng.
"Jangan ngoceh kalok lagi makan. Nanti keselek sama omelan lu sendiri." Ucap Sean sambil mematikan api rokoknya kembali.
Ponsel Sean berdering keras, di lirik nama yang tertera di ponsel. 'Farrel' dengan cepat ia menekan tombol hijau.
"Bos, Tuan Rayen nyarik in, Bos." ucap Farrel, langsung saat Sean mengangkat.
"Biarin aja, gue gak peduli." Sean melirik Megi yang sedang menikmati hidangan, Seperti tak peduli pada percakapan ia.
"Tuan Rayen minta, Bos datang sekarang juga. Kalau gak, dia bakalan batalin proyek apartemen di ujung barat kota, Bos."
"Ck..." Sean mendecap kesal.
"Nanti kalok gue sempat." Sambungnya.
Sean langsung memutuskan menutup teleponnya sebelum Farrel menjawab. Kembali ia memandang Megi yang sedang makan di sebelahnya.
Megi memasukan makanan ke bibir kecilnya, membuat kedua pipinya mengembung dan meninggalkan sisa kotoran di sudut bibirnya.
Sean mengambil tisu dan spontan mengelap ujung bibir Megi.
Megi yang mendapati kejadian itu langsung merona merah. Menggeser posisi duduknya, salah tingkah. Pipi kembungnya di paksa tersenyum.
"Makan aja gak becus, sok-sok an mau ngurus suami." ucap Sean datar. Ia mematahkan semangat Megi yang baru bertunas.
Megi langsung manyun mendengar ucapan Sean. Bibirnya tak jadi merekah. Sean hanya tersenyum melihat ekspresi wajah Megi. Ia hanya suka menggodanya, bukan untuk jatuh cinta padanya.
Bagaimana juga, Megi tetaplah gadis kecil baginya.
Sean kembali melajukan mobilnya menuju gedung siaran biasa tempat Megi bekerja.
"Lu kenapa masih kerja malam sih? Kan sekarang waktu siang lu, kosong."
"Iya, ya kak." Ucap Megi pasrah.
"Kata Mika lu pinter, buat gue kok oon banget ya?"
Megi melihat Sean dengan ujung matanya, kali ini matanya menatap Sean sinis.
"Lu, keluar aja dari kerjaan malam lu." perintah Sean.
"Terus, aku dari mana dapat uang kak, kalok gak kerja? Kecuali kalok kakak nikahi aku, aku bisa minta uang sama kakak." Megi memainkan alisnya, menggoda Sean dengan senyumnya.
"Lu kan bisa kerja di hotel gue. Jadi Resepsionis atau bisa juga nyanyi di cafe."
"Emang hotel kakak kekurangan Karyawan ya?"
"Hotel gue gak bakalan bangkrut, kalok cuma nambah satu Karyawan. Lagian betah banget kerja sambil di pandangi mata nakal." ucap Sean geram.
"Eh... Kakak cemburu ya?" Megi mencolek-colek dagu Sean menggunakan satu jari nya.
"Siapa yang cemburu? Gue cuma punya tanggung jawab buat jagain elu." jawab Sean ketus.
"Ya saallaam... kak. Kalok gak cemburu, gak usah nge gas ngomongnya, kak." Megi tertawa cekikikan. Merasa menang melawan Sean.
"Terserah!" ucapnya ketus.
Sean menatap fokus ke depan, pikirannya sedang bercabang saat ini. Bukan hanya masalah Megi yang ada di pundaknya saat ini.
"Lu hati-hati ya. Inget, besok gue gak mau tau, lu harus keluar!" Titah Sean saat menghantar Megi siaran
"Iya." Jawab Megi malas.
Ia langsung turun dan menutup keras pintu mobil Sean. Belum sempat Megi masuk, Sean sudah kembali melajukan mobilnya.
Megi hanya menggerutu kesal, Sean itu terbuat dari apa sih hatinya. Dingin banget.
Megi berjalan selangkah, namun tangannya tertarik kuat. Kembali ia merasakan cengkraman itu, setelah beberapa waktu rasa sakit ini menghilang.
"Kak Mirza." Mata Megi menatap wajah Mirza nanar.
***
"Dimana, Rayen?" Tanya Sean pada Resepsionis hotel begitu sampai di lobi hotel.
"Di lantai 18 Tuan Muda. Menunggu di ruangan Meeting."
Sean dengan cepat menaiki lift dan menjejaki lantai 18. Membuka pintu ruangan Meeting dengan sedikit keras.
"Selamat datang. Tuan Muda Sean Rayen Putra." ucap Rayen saat melihat Sean masuk.
"Gak usah banyak basa basi. Ada apa manggil gue kesini?" Sean menarik sebuah kursi dan melemparkan bokong nya kasar.
Rayen memberikan dokumen kehadapan Sean.
"Apa ini, Sean? Kenapa profit bulan ini bisa menurun?"
"Cuma 10%. Kenapa harus panik?" Jawab Sean cuek.
"10% itu bukan jumlah yang sedikit, Sean. Kamu ingin membangun gedung baru, tapi saat ini hotel Pesisir Putih lagi gamblang."
"Naik turun itu hal biasa tuan Rayen. Gue membuat hotel ini terus meningkat selama bertahun-tahun. Kenapa penurunan sepuluh persen aja membuat anda goyang, Tuan Rayen? Takut bangkrut?"
"Sean, aku tidak akan memberikan izin pembangunan gedung apartemen itu, sebelum profit kembali meningkat!" Rayen menekan.
"Dengan atau tanpa izin, apartemen itu akan tetap berdiri."
"Sean, apa kamu ingin menyaingi perusahaan Papa?"
"Gue gak berpikiran begitu sih, tapi kalau anda merasa... Berarti anda tersaingi sama gue."
"Sean!" Suara Rayen menggelegar.
Sean menatap Rayen yang saat ini berada di hadapannya dengan penuh amarah. Sama halnya dengan Rayen yang menatap Sean dengan wajah yang memerah.
"Kalau Tuan Rayen udah gak mau lagi gue kelola hotel ini, Oke. Gue gak akan berurusan lagi dengan perhotelan ini."
"Bukan itu maksud Papa, Sean. Papa mau kamu serius mengelola hotel ini. Jangan suka keluyuran, menanggungkan urusan hotel ini di pundak Farrel." ucap Rayen melemah.
"Tuan Rayen. Saya selalu serius dalam mengelola hotel ini. Semua yang Farrel kerjakan atas perintah dari saya. Kalau anda keberatan, baik. Silahkan cari orang lain untuk mengelolanya."
Di tengah perdebatan sengit ayah dan anak itu telepon Sean berdering keras. Di lihat nama di layar ponsel 'Megi'.
Sean sedikit tercekat, lalu mengangkatnya dengan wajah bingung.
"Kak, Sean ... Tolong ... ah ..." Suara Megi meronta menahan sakit di seberang sana.
"Megi ... Meg lu kenapa?" tanya Sean spontan.
Namun telepon itu sudah terlanjur terputus.
"Farrel, carik Megi sekarang juga, suruh anak buah lu pencar. Cari di setiap sudut kota, bar malam, dan tempat perjuadian. Gue mau Megi secepatnya ketemu."
"Baik, Bos." jawab Farrel mantap.
"Satu lagi, lacak ponsel Megi dan carik keberadaan Mirza dimana."
"Siap, Bos."
Farrel langsung bergegas keluar, mengerahkan seluruh anak buahnya mencari Megi di setiap sudut kota.
"Ada lagi yang ingin di bicarakan? Gue ada urusan penting."
"Siapa Megi? Apa dia pacar baru kamu?"
"Bukan urusan anda, tuan Rayen. Jangan campuri urusan pribadi gue!" ucap Sean ketus.
Sean beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan meeting dengan cepat. Rayen tak bisa menghentikan Sean saat ini, jelas sekali Megi penting buat Sean.
Raut wajahnya berubah mengerikan setelah menerima telepon gadis itu.
Sean keluar dengan cepat dari lobi hotel, membuka pintu mobilnya. Kembali ponselnya berdering.
Cepat jarinya menyapu layar ponsel.
"Assalamualaikum, ini nak Sean kan?" Suara lembut di seberang sana.
"Waalaikum salam. Iya, saya sendiri. Ini siapa?"
"Ini saya, Kiayi dari pesantren Cahaya Hikmah. Ingin memberitahukan kabar, Nak."
"Iya, ada apa ya, Pak kiayi?"
"Begini, Nak. Bisa ke pesantren secepatnya?"
"Ini udah malam, Pak. Ada apa sebenarnya, Pak? Saya sedikit sibuk, bisa kasih tau saya lewat telepon saja?"
"Saya enggak enak hati bilangnya, Nak. Tapi bagaimana ya? Maaf kan keteledoran kami, Nak. Tapi Rena ..." Kiayi itu menggantung kalimatnya.
"Rena, kenapa Pak?"
"Rena, kabur dari pesantren, Nak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Lili Famz
hmmm kak sean jagain dua adek kerenn kak😍
2020-05-01
0
love u...
semangat mas sean....semangat jg wat autor zeyeng.....
2019-10-11
4