"Kak ... kak Sean, Tolong aku." Suara parau gadis belia itu mengalihkan perhatiannya.
Tanpa menjawab apapun, Sean pergi meninggalkan rapat. Cepat ia membuka pintu ruangan meeting dan berlalu begitu saja.
"Sean, mau ke mana kamu?" tanya Rayen ketus, sembari melihat anaknya meninggalkan presentase di tengah jalan.
"Gue, sibuk! Farrel yang akan gantikan." Tannpa menoleh ia langsung keluar, menjejaki koridor kamar hotel.
"Sean! Ini bukan rumah yang bisa kamu tinggalkan begitu saja!" teriak Rayen di depan pintu, berusaha menghentikan langkah besar Sean yang pergi meninggalkan ruang meeting.
Tanpa menoleh sedikitpun, Sean hanya melambaikan tangan kanannya. Menuruni lantai tujuh belas hotel itu dan segera ke parkiran bawah tanah. Menstarter Mobil hitam legamnya dengan kecepatan tinggi, melewati kepadatan kota tengah hari siang.
Mobil Sean terparkir di depan rumah Megi. Ia memasuki rumah kecil itu dengan sedikit segan.
"Assalamualaikum." Ia mengetuk pintu kayu usang dan sebagian sudah termakan rayap itu, lembut.
Bukan jawaban atas salamnya, malah tangisan gadis belia itu terdengar keras. Tanpa banyak, bicara ia langsung membuka pintu tua itu dan masuk.
Matanya menemukan Affandy yang sudah tergolek tak berdaya, dengan bercak darah yang menghiasi dadanya.
Tanpa perintah Sean langsung masuk ke dalam kamar.
"Apa yang terjadi, Megi?" tanyanya, sembari menggendong badan Affandy yang sudah tidak gempal lagi.
Ia memasukannya ke kursi belakang mobil berbodi besar itu, membawa Affandy ke Rumah sakit terbesar di kota.
Sedangkan, si kecil Megi hanya bisa mengikuti tanpa banyak bertanya.
Affandy dibawa ke ruangan UGD untuk mendapatkan perawatan pertama. Gadis kecil itu hanya terduduk lemas di kursi penunggu, menyandarkan kepala ke dinding yang sedang ia sandari. Air mata, tak berhenti menyapa wajah cantik gadis belia itu.
Sean, melihat gadis yang begitu lemas dan tak bersemangat itu, membuat hatinya menggelitik. Ingin melihat ekspresi di wajah manis itu lagi. Setidaknya, gadis itu jangan menangis lagi.
Bagi Sean air mata wanita hanyalah sandiwara, entah kenapa? Melihat air mata gadis mungil ini seperti ada kesedihan yang benar-benar sedang menusuk hatinya.
"Cengeng banget, gak ada yang bisa lu lakuin selain nangis?" tanya Sean, duduk mendekati Megi.
Megi hanya terdiam, menoleh sedikitpun tidak. Dilihatnya kedua tangan Megi yang sedang memegang dua ponsel itu bergetar. Ada rasa kasihan, namun, ia bukan orang yang pandai menghibur wanita.
"Lu, gak capek apa nangis aja? Geram gue lihat lu begitu," ucapnya kembali.
Kali ini ucapannya bisa menyulut sedikit respon gadis belia itu. Ia menolehkan wajahnya, menatap lekat pria tampan berambut panjang tersebut.
"Kak, makasih. Tapi kakak udah bisa pulang sekarang," balasnya seraya menghapus air mata dengan punggung tangan.
"Hey ... gak ada yang bisa ngusir gue!" ucap Sean ketus, ia menyunggingkan sebelah bibir tipisnya, emosinya kembali tersulut.
Tanpa jawaban, Megi hanya menganggap Sean bak nyamuk penganggu. Membiarkan lelaki dingin itu berbicara sendiri.
Melihat tingkah Megi, Sean hanya bisa menggerutu kesal. Ia seperti kehabisan gaya menghadapi gadis kecil itu.
"Sial! Gue dikacangin sama bocah," makinya sambil membuang wajah kesisi kosong.
"Heh ... lu gak laper, ke cafetaria dulu, yuk!"
Gadis kecil itu mengalihkan pandangan, melirik sinis ke arah Sean
"Papaku lagi sekarat, Kak, mana ada nafsu buat makan," ujarnya ketus.
"Ya ... biarkan cacing dalam perut lu, menggerogoti tubuh kecil lu itu."
Lagi, Megi sama sekali tidak mendengarkan apa yang diucapkan Sean. Kembali lelaki itu menggerutu kesal, ia meninggalkan gadis berambut panjang itu sendiri di sana.
Melangkah cepat keluar dan memasuki cafetaria. Menjatuhkan bokongnya di atas bangku cafe.
Ia mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya. Kesal, ia selalu dibuat kesal oleh gadis kecil itu. Biasa, setiap gadis akan melihat ia dengan tatapan terpesona karena paras tampan yang ia miliki, ditambah lagi dompetnya yang selalu tebal.
Akan tetali, kenapa Megi selalu menganggapnya seekor nyamuk penganggu.
"Dasar ... bocah gak tau diri," umpatnya sembari tersenyum getir.
Mungkin, jika dia bukan anak Affandy Sean tidak akan mau peduli lagi. Mungkin, jika dia bukan adik dari sahabat dekatnya, ia tidak akan mau menolongnya.
Mungkin ....
Setelah mengisap beberapa kali rokok di tangannya, ia kembali membuang batang itu. Khas dari seorang Sean yang tak pernah mengisap habis rokoknya.
Ia memesan dua buah kopi dan kembali ke samping Megi.
Gadis kecil itu masih tak bergeming, ia menghela napas, menyodorkan gelas kopi itu kehadapan Megi.
Gadis berbibir mungil itu mengalihkan pandangannya, menatap dengan embun yang melapisi netra mata, lalu mengambil gelas itu tanpa meminumnya.
"Gue gak bisa berucap manis. Gue gak suka lihat air mata, bisa gak lu itu berhenti nangis?" tanyanya sembari duduk di sebelah gadis mungil itu.
"Apa kakak gak punya hati? Yang di dalam itu papa aku, dia lagi sekarat, Kak," balas Megi, kesal.
"Kalok gue gak punya hati, lu gak disini sekarang!" jawab Sean kasar, ia menatap lekat ke wajah gadis itu.
Mendapat tatapan tajam, gadis belia itu menundukkan kepala. Apa yang diucapkan Sean memang benar.
"Om Fandy itu udah gue anggap kayak Papa gue sendiri, gue juga khawatir sama dia." Kini lelaki itu ikut melunak, terdengar suaranya yang mulai parau.
"Permisi, keluarga Affandy." Seorang suster keluar dari UGD.
"Iya. Aku anaknya suster." Megi beranjak dari kursinya, berjalan mendekati suster itu.
"Bapak Affandy butuh penanganan segera, kami harus menyiapkan operasi untuk mengangkat cairan yang menutupi paru-parunya. Mbak bisa tanda tangani surat ini dan lunaskan biaya administrasinya," jelas suster itu.
Perkataan suster itu membuat tubuh mungil gadis tersebut gamblang. Ia seperti kehilangan kekuatan dari tubuhnya. Cepat, lelaki berambut panjang di sebelahnya menangkap tubuh mungil gadis belia itu.
"Siapkan segalanya, gue mau yang terbaik. Jika ada kesalahan sedikit saja, bersiap untuk menutup rumah sakit ini besok." ancam Sean pada suster itu.
"Baik, Mas. Tolong tanda tangani ini."
Suster memberikan dokumen yang harus di tanda tangani pihak keluarga. Megi menyambar dokumen itu dengan cepat, ia seperti enggan untuk menerima bantuan dari si pria bengis itu.
Ia menatap lekat wajah pria itu, hanya ada ekspresi dingin yang terpancar dari raut wajahnya. Bahkan tatapan matanya masih sangat menusuk di hati.
"Aku gak mau berhutang budi sama, Kakak."
"Gue juga gak butuh pendapat lu." Sean menarik dokumen itu, tangannya menandatangi dokumen persetujuan itu.
Megi yang tidak mampu berbuat apa-apa, melayangkan tamparan keras di pipi mulus tuan muda tampan itu. Kesal setengah mati atas tindakan lelaki dingin tersebut.
Namun, di luar dugaan, Sean malah duduk dan seperti tidak terjadi apa-apa.
Baginya saat ini, gadis kecil itu sudah bisa mengeluarkan ekspresinya saja, cukup.
Megi seperti tak percaya, lelaki dengan segudang amarah itu bisa bersikap tenang dan dingin saat ini.
Ruang operasi segera disiapkan, lampu merah menyala di atas pintu, menandakan operasi sedang berjalan saat ini. Kembali Megi menjatuhkan bening bulir ke pipinya.
Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Perlahan, sesegukan mulai terdengar. Menangis pilu dengan suara yang tertahan.
Sean terdiam, melihat gadis mungil itu menangis. Ingin meraih pucuk kepala gadis itu, namun tangannya berhenti sebelum menyentuh kepala gadis mungil tersebut. Ia merentangkan tangan kirinya, menumpuhkan di atas senderan bangku.
Tak disentuhnya sedikitpun kulit gadis itu, ia bukan orang yang pintar menenangkan suasana. Ia hanyalah pria yang mampu mengacaukan suasana. Perlahan gadis belia itu menyenderkan kepalanya di bahu Sean, membenamkan wajahnya di dada kekar milik lelaki berbadan tegap itu.
Melepaskan tangisan yang kian mendalam, cemas, khawatir, dan takut. Menjadi satu bersarang dalam benaknya.
Sean membiarkan begitu saja, membiarkan bajunya basah karena peluh air mata. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam, membiarkan gadis itu menangis, menumpahkan seluruh beban hatinya.
Ia juga tak bisa memeluk gadis kecil itu, tangannya seperti kaku, tak bergerak. Sean memang bukan orang yang hangat, hatinya beku bagaikan es yang menebal.
Yang bisa ia lakukan hanyalah, membiarkan Megi menangisi segala keadaannya itu, bibirnya bungkam begitupun dengan tubuhnya, terdiam.
Sampai Mika datang dengan napas yang memburu kencang. Gadis itu langsung bangkit, memeluk tubuh besar kakaknya itu, sesaat setelah Mika sampai.
"Apa yang terjadi, Meg?" tanyanya cemas.
"Papa kak, Papa muntah darah."
"Astagfirullah." Mika mengelus wajahnya.
Ia memeluk tubuh kecil adiknya itu erat. Mendekapnya, sesekali ciuman mendarat di ujung kepala gadis belia itu. Seakan ingin saling memberikan kekuatan satu sama lain.
Menunggu selama dua jam, lampu merah itu mati. Disusul dengan Affandy yang keluar dalam keadaan tidak sadarkan diri dan dipindahkan ke ruangan ICU.
Tangisan Megi kembali tumpah, tak sanggup membendungnya lagi ketika melihat sang ayah yang tergolek di balik pintu kaca. Terbaring lemas menggunakan banyak selang di badannya dan juga alat bantu pernapasan.
Napas berat lelaki itu, kadang tersengal dan ingin berhenti.
Sementara, Sean hanya bisa diam, tak banyak membuka suara. Terlebih, saat melihat kedua saudara itu saling peluk, saling menguatkan satu sama lain.
Ada rasa cemburu yang menyelimuti hatinya. Bagaimana mungkin? Mika selalu lebih beruntung darinya. Bahkan, Mika masih mendapatkan pelukan terhangat dari orang-orang yang menyanyanginya.
Mika memang kehilangan segalanya, tetapi yang ada di pandangan Sean adalah, Mika tidak pernah kehilangan apapun. Mika masih memiliki segalanya, segalanya yang tak pernah ia miliki.
Pikirannya kembali ke masa belasan tahun silam, di mana saat ia sering main di rumah Mika. Ia melihat seorang lelaki yang ia kagumi masa itu. Affandy, seorang ayah tunggal, menghidupi dua orang anaknya sendiri tanpa istri.
Akan tetapi, Affandy masih bisa merawat dan mendidik anak dengan tangannya sendiri. Affandy masih menyempatkan waktu bagi kedua putranya di tengah kesibukan sebagai pengusaha sukses.
Ia selalu dianggap seperti anaknya sendiri, rumah yang diciptakan Affandy selalu terasa hangat di dalam hatinya. Ia lebih nyaman berada di rumah Mika dibandingkan rumahnya sendiri.
Ada canda, tawa, yang tersemat di meja makan setiap kali mereka menyantap makanan. Ada suara riuh, jerit, candaan yang selalu menghiasi rumah mereka. Affandy ayah yang sangat hangat. Sosok Affandy adalah sosok yang ia kagumi selama ini.
Mika selalu lebih beruntung darinya, ia memiliki segalanya yang tak bisa didapatkan Sean. Bahkan, dititik terendah hidupnya, Mika masih memiliki pundak yang bisa ia peluk.
"Permisi, Bapak Affandy ingin bertemu ketiga anaknya," ucap suster itu.
Tanpa banyak berbicara Mika dan Megi langsung masuk kedalam ruangan. Sementara, Sean masih terduduk di kursi penunggu.
"Mas, gak mau masuk?" tanya suster itu.
Sean hanya menggelengkan kepala, ia bukan bagian keluarga itu, kenapa ia harus masuk?
"Mas, masuk aja. Lihat Bapaknya, mungkin ada pesan terakhir yang ingin disampaikan beliau," ucap suster itu sebelum berlalu pergi meninggalkannya sendiri.
Sean tertegun mendengar ucapan suster itu, Affandy memang bukan papanya. Namun, selama ini ia sudah menganggap seperti papanya sendiri. Mungkinkah, ini saat terakhirnya?
Perasaan cemas itu mendorong Sean untuk masuk kedalam, langkah kakinya berjalan dengan pasti.
Matanya langsung melihat gadis kecil yang sedang memeluk erat badan tua Fandy sembari tersenyum manis, memalsukan senyumnya. Sedang, Mika duduk di bibir ranjang sambil menggenggam tangan keriput Affandy.
'Kenapa? Kenapa gue tidak mendapatkan kesempatan untuk merasakan ini semua?' tanya Sean dalam hati.
Melihat pemandangan itu, ia enggan merusaknya, mengurungkan niat untuk bertemu lelaki yang pernah ia kagumi dulu. Langkah kaki itu terhenti, mendengar suara serak lelaki tua tersebut memanggilnya.
"Sean ... Kamu ... Sean kan, Nak?" Dengan terbata suara serak lelaki itu menghentikan langkah Sean.
Sean membalikan badannya, berjalan mendekati ranjang pria itu tergolek. Menarik sebuah kursi dan duduk di sisi ranjang.
Hatinya menggigil saat mendengar kata 'Nak' yang keluar dari bibir pucat lelaki itu.
Tangan gemetar lelaki tua itu terangkat, mencoba meraih kedua pipi mulus lelaki berhati dingin tersebut, Sean mengangkat tangan itu, menangkupkan kedua telapak tangan di pipinya, sesuai keinginan pria yang pernah ia anggap ayah itu.
"Sudah delapan tahun gak ketemu, kamu ganteng sekali, Nak," ucap lelaki itu lirih
Sean tersenyum getir mendengar perkataan itu. Setelah delapan tahun, bahkan kata pertama yang diucapkan Affandy meneduhkan hati panas miliknya.
"Om, apa kabar?" tanya Sean basa-basi.
Affandy hanya tersenyum mendengar pertanyaan yang dilayangkan Sean. Pertanyaan yang tidak perlu mendapatkan jawaban sama sekali
"Sean, anak Om. Bisa, Om minta tolong?" tanyanya lirih.
Sean terpaku mendengar perkataan Affandy, dalam hatinya bertanya, mengapa orang asing sanggup menganggapnya sebagai anak? Namun, yang memang ayahnya seperti orang asing baginya.
"Om, mau minta tolong apa?"
"Dari dulu Om tak pernah menganggap kamu itu orang lain. Om, menyanyangi kamu seperti Om menyanyangi Mika dan Mirza."
"Sean tahu, Om. Sean merasakan itu semua. Sean berterima kasih. Karena Om, Sean tahu rasanya punya Papa."
Sean pernah merasakan kehangat keluarga, itu hanya terjadi jika ia berada di rumah Mika. Mika dan keluarganya menerima ia yang asing, menyayangi seperti saudara. Tak mungkin Sean mampu melupakannya, karena hanya itulah kehangatan yang pernah ia rasakan selama hidup.
"Om minta tolong kamu bantu Mika ya, Bantu ia menjaga Megi."
"Sean gak akan sanggup, Om. Sean juga punya adik yang gak sanggup Sean jaga," tolak Sean to the point. Ia memang bukan seseorang yang pintar berbasa-basi.
"Om, percaya kamu bisa bantu Mika. Kasihan Mika menjaga Megi sendiri, pasti berat. Mirza sudah gak ada lagi di sisi Om, Sean. Mika akan kesulitan menahan beban ini sendiri, tolong kamu gantikan mata Om untuk mengawasi mereka, ya. Om rasa, Om sudah gak sanggup. Uhh." Lelaki tua itu berusaha menahan sakit.
Seketika, gadis kecil itu menjerit, panik. Mika menarik tubuh Megi menjauh, membiarkan Dokter datang dan melakukan pemeriksaan. Sean beranjak pergi, langkahnya terhenti, ketika tangannya ditarik oleh lelaki tua itu.
"Megi anak yang baik, ia tidak akan menyusahkanmu, Nak. Tolong Papa, tolong jaga dia, dia satu-satunya semangat hidup Papa, Nak."
Kini, mata lelaki angkuh itu mulai berembun, mendengar Affandy menyebut dirinya papa. Tak kuasa menolak keinginannya lagi. Papa, nama yang sudah lama sekali tidak tersebut oleh bibirnya.
"Baiklah, Pa. Aku akan menjaga dia untuk, Papa," balasnya getir.
Ada senyum menghiasi wajah pucat Affandy, Sean mencium dahi lelaki itu. Rasa sayangnya kepada Affandy melebihi rasa sayangnya kepada papanya sendiri.
Sean banyak belajar ilmu dari Affandy, begitu juga ilmu bisnis yang ia dapatkan sekarang.
"Kamu memang anak Papa dari dulu," ucapnya lirih di telinga Sean.
"Tuntun Papa menuju jalan terakhir, Nak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Mifta Siregar
isss aq jd nangis2 klo uda baca cerita kk fiza ini
2024-10-31
0
Erni Fitriana
kok jadi meloww gini yah😭😭😭😭😭😭😭😭
2023-08-05
0
siti munahwaroh
ya ampun thooo u buat sesek dada q 😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2021-04-02
1