Tentang Kita 1 & 2
Suara riuh tepuk tangan terdengar saat not terakhir permainan piano Megi selesai. Gadis kecil dengan balutan gaun berwarna putih itu bangun dari kursinya dan mengembangkan senyuman dari bibir mungilnya kepada pelanggan cafe.
Detik kemudian ia berlari kebelakang dan melihat jam yang melingkari salah satu pergelangan tangan.
"Sudah hampir jam sepuluh malam, aku harus cepat," ucapnya, ketika jarum arloji itu menunjukan waktu yang semakin larut.
Ia bergegas merapikan tas dan meminta izin untuk pulang. Pekerjaannya sebagai salah satu penyanyi di cafe, membuat nama Megi menjadi jelek. Gadis berusia 18 tahun ini harus rela setiap malam pulang larut, karena tuntutan pekerjaannya.
"Mas aku pulang ya, sudah mau jam sepuluh." Izinnya saat melewati kasir cafe.
"Udah dijemput, Meg?" tanya pria itu pada gadis belia di depannya.
Megi menggelengkan kepala, menghela napas sedikit berat.
"Yasudah tunggu di dalam saja, nanti gue panggil kalau jemputan lu nongol."
"Gak usah deh, Mas. Aku tunggu di depan saja."
"Nanti lu diculik om-om baru tahu," ucap Wahyu, si pria penjaga kasir itu.
"Ha ... ha. Ada-ada saja kamu Mas, aku balik dulu ya."
Megi melambaikan tangannya dan berlalu pergi meninggalkan cafe. Hanya berjarak lima meter dari teras cafe, Megi menunggu jemputannya datang.
"Ikut aku!" Seorang pria ganteng menyeret pergelangan tangan Megi kuat.
"Kemana, Kak?" tanya Megi bingung.
"Sudah ikut saja!" Pria itu semakin menguatkan cengkeraman dan memaksa Megi mengikuti langkahnya.
"Kak ... sakit," rintih Megi, saat merasakan cengkeraman pria itu semakin menguat.
"Diam ... bawel banget!" bentak lelaki berkulit putih itu, kasar.
"Kak ... Kakak mau jual aku lagi di tempat domino?"
"Diem ... ssttt ... ssstt!" Perintah pria tinggi itu ketika Megi melakukan perlawanan.
Sebuah pukulan menghantam wajah ganteng pria putih itu, membuat genggaman eratnya di pergelangan tangan Megi terlepas. Dengan cepat gadis kecil itu sudah berpindah tangan.
Segala makian meluncur dari mulut pria yang kini menggandeng pergelangan tangan gadis imut itu.
"Lu ngapain sih?" Dorong pria yang saat ini sedang memegang rahangnya, sakit.
Kembali pria tinggi berbadan kekar itu mengatupkan rahangnya, tangannya kembali mengepal kuat. Saat ingin melemparkan tumbukkan di wajah pria putih itu, tangannya ditarik dan dihadang oleh tubuh kecil Megi.
"Cukup kak Mika ... kak Mirza. Cukup!" teriak Megi, menghentikan perang di antara dua pria itu.
"Ayo ... ikut!" Mirza menarik kembali pergelangan tangan Megi.
Kembali pukulan keras menghantam pipi putih Mirza, kali ini lebih keras sampai membuat tubuh jangkung Mirza jatuh tergelempang di tanah.
"Cukup ... cukup Mirza, jangan pernah sentuh Megi lagi, atau lu gak akan gue biarkan hidup!" ancam Mika keras di depan wajahnya.
Mika menarik tangan Megi, menjauh dari pria berhati iblis itu. Tidak sanggup lagi ia pikir, Mirza, tega berulang kali menjual adik yang berdarah sama, dengan darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
Mika mengambil sepedanya dan membonceng tubuh gadis itu di depan. Bisa saja Mirza menarik Megi, jika ia duduk di boncengan belakang. Bagaimana pun sepeda ini dikayuh, lajunya tidak akan bisa lebih cepat melawan motor.
"Megi, Kakak mohon larilah sekencang mungkin saat kamu melihat Mirza ada di sekitar kamu, Dek," ucap Mika yang masih mengatupkan rahangnya karena geram.
Sudah kesekian kalinya Mirza membawa Megi ke tempat judinya itu. Alih-alih untuk menjual Megi kepada si penagih hutangnya.
Setan apa yang sedang merasuki adik kandungnya itu, sampai dia sangat tega menjual adik bungsunya sendiri untuk kepuasan dirinya.
"Kak, Kak Mirza tadi bibirnya berdarah, dia baik-baik saja, kan?" tanya Megi, cemas.
"Cukup, Megi! Cukup ... jangan sebut dia Kakak kamu lagi. Kakak kamu hanya aku, hanya Mika saja. Anggap Mirza sudah meninggal, Megi."
"Kak, tapi kak Mirza kan--"
"Cukup ... jangan sebut nama Iblis itu di hadapanku!"
Megi menutup mulutnya sebelum laki-laki di belakangnya itu semakin marah. Ada cemas yang menyelimuti hati gadis kecil itu, saat ia melihat salah satu kakaknya terluka, bagaimana dia bisa melupakan hubungan itu? Darah jelas lebih kental dari pada air. Bagaimana juga, Mirza tetaplah kakaknya.
Mika menghentikan sepedanya di depan gedung Gipsi radio fm. Megi selalu siaran malam di sini, bekerja di dua tempat dalam satu malam. Kuat, gadis kecil itu begitu tegar menahan segala beban di pundaknya.
Tanpa perintah Megi langsung masuk ke dalam gedung tersebut. Menyapa beberapa orang penyiar yang baru saja selesai. Dengan cepat dia memasuki ruangan auditorium.
Megi langsung duduk dan menghentikan iklan yang dari tadi menggantikannya siaran di radio.
"Selamat malam. Bertemu lagi dengan Megs di sini."
"Megs akan menenami malam kalian selama dua jam kedepan di siaran 90.6 FM Gipsi radio. Dalam acara berbagi kisah malam kita."
"Baiklah, langsung saja hubungi nomor 0821********, kita akan berbagi kisah kamu dengan Megs, dan para pendengar setia, tentunya."
"Langsung saja kita terima penelpon pertama. Halo, dengan siapa Megs bicara?"
"Halo, panggil saja saya Penggemar Rahasia kamu, Megs," jawab seseorang di ujung telepon.
"Hehe. Sudah ada Penggemar Rahasia, Megs di sana. Mungkin kisah ini berat untuk kamu ceritakan, sampai merahasiakan identitasnya. Tapi gak masalah, setiap orang punya ranah pribadinya sendiri."
"Baiklah, tanpa membuang banyak waktu lagi. Penggemar Rahasia Megs, silahkan berbagi kisah malam kamu dengan Megs, dan pendengar setia kita."
Terdengar helaan napas panjang di ujung sana, sulit memang berbagi kisah kelam ini, bagi lelaki bersuara berat itu.
"Megs, apa yang akan kamu lakukan?
Saat menemui wanita yang akan kamu nikahi, berada satu ranjang dengan pria paruh baya di dalam kamar hotel."
Megi terdiam sejenak, dia seperti tertampar oleh pertanyaan itu. Ia ingat beberapa kali pernah berada dalam satu kamar hotel dengan lelaki paruh baya. Jijik, Megi sendiri jijik saat mengingat kejadian itu.
Syukurlah Mika selalu menyelamatkan ia dari situasi mengerikan itu. Megi selalu menangis dan mengulur waktu, meminta iba dan membuang harga dirinya demi menyelamatkan kehormatannya. Untung setiap kali Megi mengulur waktu, Mika akan datang dan membawa Megi pergi menjauh dari tempat terkutuk itu.
"Megs, apa kamu masih disana?" Suara berat lelaki itu menyadarkan lamunan Megi. Dia menghapus buliran air yang sempat jatuh dari matanya.
"Ya Megs masih di sini, maaf aku terdiam menunggu kelanjutan kisah Penggemar Rahasia. Berat pasti yang dirasakan Tuan Penggemar Rahasia saat itu. Tapi pasti ada alasan di balik perbuatan calon istri Tuan Penggemar Rahasia."
"Alasan apapun tidak bisa menjelaskan perbuatannya yang salah, Megs. Jika kamu berada di posisiku apa yang akan kamu lakukan, Megs? Apakah kamu akan menerimanya atau melupakannya?"
"Baiklah ... menurut saya jika Tuan tidak bisa melupakannya, maka Tuan harus bisa terima dia. Terima segala kesalahannya dan menutup mata atas kisah masa lalunya. Tapi melupakan kesalahannya juga tidak semudah menutup mata, pastinya."
"Tapi, jika Tuan ingin melupakannya dan tidak ingin meneruskan hubungan yang sudah ternoda itu. Kuncinya hanya satu Tuan, kamu harus bisa memaafkannya. Bukan untuk menerima kesalahannya, tapi untuk hati Tuan. Hati Tuan perlu obat untuk menyembuhkan luka, dan obatnya hanya bisa Tuan dapatkan dari mulai membuka maaf untuknya."
"Satu point lagi buat Tuan Penggemar Rahasia aku. Anda harus bisa memafkan diri anda sendiri, anda harus memaafkan diri anda, yang menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang dibuat oleh pasangan anda. Jangan salahkan diri anda atas kesalahan yang dibuat pasangan anda di belakang, Tuan."
"Inilah cara Tuhan menyadarkan anda, sakit memang. Tapi itulah yang terbaik untuk Tuan, anda melihat sisi buruk pasangan anda lebih dulu sebelum semuanya terlambat. Dan satu yang harus Tuan yakini, Tuhan sudah menyiapkan hati yang lebih baik, menggantikan hati yang hilang dari dalam hatimu, Tuan Penggemar Rahasia."
"Terima kasih, Megs. Terima kasih, untuk segalanya."
"Terima kasih kembali Tuan Penggemar Rahasia. Terima kasih untuk partisipasi anda. Dan ... sebuah lagu untuk menyemangati hati Tuan Penggemar Rahasia. Ini dia ... Tentang Rindu dari Virzha."
Megi membuka earphone-nya dan meletakan begitu saja. Teringat tentang perkataan penggemar rahasianya itu, ia ingat bagaimana Mirza, kakak yang seharusnya melindunginya namun malah berulang kali mencoba menjerumuskan dia.
Ada sakit hati yang tidak bisa di lupakan, tapi ikatan antara dia dan Mirza juga bukan sesuatu yang bisa dilepaskan begitu saja. Walaupun Mirza selalu menyakitinya, ia selalu berusaha untuk memafkan. Memaafkan segala tindakan Mirza yang menyerupai iblis tersebut.
Megi melihat jarum jam di tangannya saat keluar dari ruang auditorium, sudah lewat tengah malam. Ia melangkah dengan cepat dan melihat Mika yang masih sabar menunggu di depan gedung.
Mika memberikan jaket yang ia gunakan saat melihat Megi berjalan mendekat ke arahnya. Menutupi tubuh mungil gadis belia itu.
Santai, Mika mengayuh pedal sepedanya, sesekali bersiul dan bernyanyi, melupakan waktu yang saat ini sudah jauh lewat dari tengah malam. Ada candaan setiap kali Megi pulang bekerja bersama Mika, buat Megi, tiga laki-laki yang dikirim Tuhan dalam hidupnya itu adalah anugerah yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Walaupun satu dari anugerah itu masih tersesat.
Setelah mengayuh sepedanya melewati dinginnya suasana malam yang semakin mencekam, mereka tiba didepan rumah sederhana yang masih berdindingkan kayu.
"Assalamualaikum, Papa." Suara semangat Megi, memecah keheningan malam dini hari.
Mika yang mengikuti langkahnya itu hanya bisa tersenyum dan menggeleng. Masih ada semangat yang tersisa setelah lelah berbicara di radio dan bernyannyi di cafe. Suaranya itu tidak ada habisnya, Megi selalu tampak ceria saat dirumah.
Untuk menghilangkan rasa cemas papanya yang saat ini terbaring lemas karena penyakit radang paru-paru yang diderita lelaki tua tersebut.
Megi seakan melupakan segala kejadian buruk yang dia alami, berusaha untuk melupakan setiap goresan kenangan pahit yang ditorehkan si Hati Iblis, Mirza.
"Gadis Kecil Papa baru pulang?"
"Ehemm." Megi mengangguk, sembari membuka jaketnya.
Dia berlari memeluk badan gempal laki-laki paruh baya itu yang kini mulai mengurus karena penyakit. Seperti anak kecil yang memeluk Papanya karena rindu. Ia bersikap seakan ia hanyalah bocah kecil tanpa beban.
Mika yang menyaksikan kejadian itu hampir tiap malam, hanya cuek. Dia hanya tersenyum dan kemudian berlalu untuk tidur. Bagaimana bisa seorang gadis belia begitu kuat menahan segala beban ini. Adiknya begitu manja di hadapan Papanya, tapi berubah bagaikan baja di luar sana.
"Eh ... jangan peluk-peluk Papa. Gak mau kamu bau keringat." Respon sang ayah, saat anak gadis kecilnya itu, memeluk badannya sambil tiduran disamping.
"Megi wangi Papa, gak percaya coba Papa cium saja," jawabnya yang masih menempelkan badan ke badan Pria itu.
"Megi tidur sana di kamar, jangan ganggu Papa!" Usir pria itu, pada gadis yang setiap malam selalu menganggu tidurnya.
"Gak mau, Megi mau di sini saja tidur sama Papa," ucap Megi bandel.
"Jangan, kamu bakalan ganggu mimpi indah Papa. Sana ... sana!"
"Ih ... gak mau, Papa." Ia semakin mengeratkan pelukan.
"Nanti kalau malaikat maut datang mau cabut nyawa Papa gimana? Kamu peluk-peluk Papa begini, nanti dia gak bisa ngambil nyawa Papa."
Sontak gadis muda itu memukul lembut bibir Papanya, seperti marah akan omongan pria tersebut.
"Jangan ngomong gitu, gak ada yang bisa bawa Papa, selama Megi peluk Papa begini."
"Iya ... lagian siapa yang berani bawa Papa pergi, kalau ada bidadari cantik di sebelah Papa."
"Iya ... dong," jawab Megi dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
"Tapi, sayang, Bidadarinya masih kecil. Ha ... ha ... ha."
"Ih ... Papa. Aku sudah gede tahu," jawab Megi mengerucutkan bibirnya.
"Sudah gede kok masih nempel terus sama Papa begini. Sudah hussh ... sana! Papa mau tidur."
"Iya sudah, Megi tidur disini." Megi masih kekeh dengan pelukannya di samping pria tersebut.
Tidak ada tempat yang paling nyaman selain di dalam pelukan sang ayah.
Seperti apa, pintarnya Megi menyembunyikan lelah, sang ayah akan tetap bisa merasakana kelelahan putrinya itu.
Apalagi di umur Megi yang masih sangat muda, dia seharusnya bermain dan belajar, bukan malah bekerja sampai larut malam begini. Ada perasaan gagal di dalam hati pria itu, dia tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi kehidupan putri semata wayangnya tersebut.
Kehidupan pahit dan keras, harus menjadi jalan putri kecilnya. Sayang sekali, Megi pintar dan juga cantik, seharusnya hidupnya bisa lebih baik dari saat ini.
Akan tetapi, kegagalan itu bukan hanya sekali, ia juga gagal mendidik satu putranya.
Kakak yang seharusnya memberikan pelukan untuk adik kecilnya ini, malah memberikan ancaman bagi hidup dan masa depannya.
Nasib baik, putra pertamanya bisa menjadi seseorang yang menggantikan perannya. Peran dia yang melindungi keluarga ini, dan peran ia yang menafkahi keluarga mereka.
Ada bulir bening yang terlihat di sudut mata lelaki paruh baya itu. Ia menatap wajah polos putri kecilnya yang sedang tertidur di sebelahnya.
"Kasian kamu, Nak." Diraih ujung kepala gadis kecil yang telah masuk ke alam mimpi.
"Andai Papa tidak gagal, pasti kamu tidak mengalami ini semua. Maafkan kegagalan Papa yang membuat kamu memderita, Nak."
Di luar kamar, ada sepasang bola mata yang masih menatap kejadian itu. Mika masih terjaga karena suara gaduh yang timbul, sebelum keheningan malam membawa suara itu lenyap.
"Mika juga gagal, Pa. Gagal menjadi kakak yang baik buat Megi," ucapnya lirih, sengaja ia berbisik agar pria itu tidak mendengarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Mifta Siregar
apa2an ini kk fiza,belum apa2 aja aq uda nangis😭😭😭😭😭
2024-10-31
0
Anitataurusya
ga pernah gagal dech fiza
2023-10-21
0
Erni Fitriana
setelah leon-shena...ku disini membaca karya mu fiza
2023-08-03
0