Sean menjatuhkan batang rokok yang menempel pada kedua jarinya, menginjak kasar. Seperti ada api yang kembali berkobar saat mendengar nama Hana disebut.
"Ke akhirat pun dia, gue gak peduli," ucap Sean, membara.
Mika yang mendengar kata-kata kasar dari Sean enggan untuk kembali bertanya. Waktu memang mampu merubah segalanya, bahkan orang-orang yang paling dekat dengannya pun, mampu berubah jadi orang asing. Waktu juga bisa membalikkan setiap keadaan, yang awalnya semua indah, kini hanya bagaikan neraka.
Mika tidak ingin membahas apapun lagi, kalau Sean sudah berucap sekasar itu. Ia kenal, Sean bukan lelaki kasar sebelumnya, pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga lelaki berwajah ganteng itu berubah drastis. Sean menjadi seseorang yang tidak dapat ditebak apa isi kepalanya, saat ini.
Sean juga bukan seseorang yang bisa di korek informasinya, ia akan langsung mengalihkan dengan cara apa saja, jika dikorek terus, maka Sean akan berubah haluan menjadi pengorek informasi dari si penanya.
Sebenarnya Sean ini orang yang pintar membaca sesuatu, susah berkelit jika ia menanyakan sesuatu. Tapi kalau ia yang di tanya, maka sebisanya ia akan mengelitkan ucapan.
Sean melirik jam di tangan kirinya, sudah hampir lewat tengah malam. Namun, belum ada tanda-tanda gadis kecil itu akan keluar.
"Apa seperti ini setiap malam?" tanya Sean.
Mika hanya mengangguk, sesekali meneguk soft drinknya. Sean mengeluarkan sebatang rokok, lagi, ia ingin membakarnya. Namun, tangannya ditahan oleh Mika.
"Jangan merokok kalau lu cuma coba buang beban. Ceritakan saja," ucap Mika tanpa menoleh kearah Sean.
Sean tersenyum simpul, tangannya mulai menyulutkan api pada ujung gulungan tembakau itu. Mengisapnya perlahan, dan kembali mengembuskan ke atas.
"Hana, dia membatalkan pernikahan kami," ucap Sean, getir.
Mika yang mendengarnya, hanya bisa menghela napas, seperti sudah tidak kaget lagi. Hana si gadis cantik dengan badan langsing dan tinggi semampai itu. Bukanlah gadis baik-baik. Sean seharusnya sudah tahu itu, namun, entah apa yang mampu membuat mata Sean buta selama bertahun-tahun. Sean mengejarnya dari SMA, penarik yang diciptakan Hana untuk Sean, memang sangat kuat.
Hana mampu menarik Sean yang dulu, berubah menjadi Sean yang sekarang. Dari dulu pun Sean memang kasar, tetapi, sisi itu tersimpan rapi ditutupi sikap oleh ceria yang ia miliki.
Mika menatap wajah Sean yang kini mulai berubah sendu. Seperti hilang entah kemana bara api di matanya tadi.
"Kenapa? Kalian sudah pacaran delapan tahun, kan?" tanya Mika mencoba mengorek informasi.
"Lu, kenapa biarin adik lu kerja sampek semalam ini sih?" Sean kembali mengelitkan pertanyaan Mika.
Mika menggelengkan kepala, dan mengendikan bahu. Selalu, Sean selalu berkelit seperti ini kalau ditanya tentang masalah pribadinya. Apalagi jika hal itu menyakitkan untuk diingat.
Bahkan Mika yang sudah mengenal Sean sangat lama pun, tidak mampu meraih sedikit kepercayaannya. Sean hanya akan bercerita saat keadaan sudah membaik, menurutnya. Akan tetapi, jika keadaannya masih begitu sakit untuknya, maka tingkah Sean lah yang akan menceritakan semuanya.
Sifatnya selalu spontan, namun kalau ditanya tentang pribadinya, dengan spontan juga ia berkelit. Mika cukup paham dengan sifat Sean yang seperti ini.
"Sorry ini, gue bukan mau ngerendahin posisi lu. Tapi lu bisa kerja di hotel yang lagi gue kelola. Adik lu bisa kerja di sana dengan aman juga."
"Gak usah, Sean. Gue bisa berdiri di atas kaki gue sendiri." Tolak Mika, lembut.
Sean, kehidupannya jauh lebih baik dari yang dulu. Ia dulu hanya seorang anak pengusaha, yang bisa dikatakan berada di kelas menengah. Jauh, Mika jauh lebih berada di atas Sean kelas kastanya.
Itulah yang membuat Mika jauh lebih bersinar dibandingkan Sean. Walaupun sebenarnya, fisik Sean lebih menggoda dibandingkan Mika.
"Tapi adik lu akan lebih terjamin keselamatannya kalau kerja di sana."
Mendengar ucapan Sean, Megi yang baru keluar dari gedung putih itu, membantah.
"Aku gak mau, Kak!"
Dua orang yang tidak menyadari kehadiran gadis belia itu, terkejut dan langsung melihat ke arah gadis berambut hitam tersebut.
"Santai, Gadis Kecil. Gue gak maksa, cuma nawarin aja," ucap Sean tenang. Sesekali ia menyisir rambut kebelakang menggunakan jari tangan.
"Kenapa, Meg? Sean itu bukan lelaki jahat," ucap Mika lembut.
Megi melihat ke arah Sean dengan tajam menggunakan sudut mata, Sean yang menyadari itu, merasa tidak nyaman. Dipandangan sinis oleh gadis belia.
Bagi Megi, Sean masih lelaki yang sama seperti Sean yang membelinya tadi. Tidak ada bedanya ia dengan lelaki tua itu.
"Kak, pulang yuk!" Ajak Megi pada Mika.
Mika yang dari tadi hanya melihat adanya perang mata antara Megi dan Sean beranjak dari duduknya, pamit untuk kembali.
Sean menahan, menawarkan untuk mengantarkan mereka kembali. Mika tidak bisa menolak, mengingat sepedanya berada di cafe tempat Megi biasa bernyanyi.
Berat, langkah Megi memasuki mobil berwarna hitam legam itu. Kesan pertama yang diberikan mobil itu adalah kenangan pahit.
Sesekali Sean mencuri pandangannya ke belakang melalui kaca spion. Melihat mata gadis mungil itu membalas tatapannya dengan tajam.
Serasa mendapatkan lawan yang seimbang, Sean malah menatapnya dengan sangat sinis. Cepat, Megi membuang pandangan keluar. Seperti tahu akan ada perang dingin di antara dua orang itu, Mika membuka suara.
"Kapan? Nikah lu diadakan?" tanya Mika langsung tanpa berbelit.
"Sebelum kiamat, rencana. Tapi, udah kiamat duluan ternyata," jawabnya sembari tertawa getir.
"Hubungan lu, kiamat?" tanya Mika asal.
"Hidup gue yang kiamat," balas Sean.
Megi yang tidak paham apa yang dikatakan dua orang itu, hanya membuang pandangannya ke luar jendela.
"Kak, sepeda kakak di mana?" tanya Megi mencoba menghentikan pembicaraan kakaknya dengan lelaki kasar itu.
"Lu naik sepeda, Mik?" tanya Sean, terkejut.
"Iya, kenapa?"
Sean menggelengkan kepala, sesekali mulutnya memaki. Entah memaki siapa? Dirinya atau keadaan runyam yang dialami sahabatnya itu.
Sean menghentikan mobilnya di depan rumah gubuk sederhana. Yang dianggap Sean lebih mirip kandang dibandingkan rumah.
"Gak salah, Mik?" tanya Sean dengan mata yang membelalak lebar.
"Gak. Udah bener. Ini istana gue sekarang," jawab Mika sambil membuka pintu mobil Sean.
Sementara Megi langsung turun dan memasuki rumah dengan mengucapkan salam seperti biasanya.
"Anj*r ... lu kenapa gak ngomong sama gue sih, Mik. Masih anggap gue temen gak, sih, lu?"
"Santai, Bro. Ini gak seburuk yang lu pikirin,kok," jawab Mika sembari menepuk bahu Sean.
Sementara, Sean hanya bisa melihat rumah itu dengan tatapan sinis.
Megi, si gadis kecil itu bahkan bisa masuk ke dalam rumah itu dengan senyum yang merekah.
"Gak waras lu, Mik," ucap Sean yang masih terkejut dengan dunia sahabatnya, kini berubah 180 derajat.
"Mau, masuk?"
"Gue bukan gak mau, tapi ini udah jam berapa? Ada adik perempuan di rumah lu."
Setelah mengobrol hampir tiga jam, kini Mika melihat kembali sosok sahabatnya yang sebenarnya, sopan. Kenapa dia bisa berucap kasar dan sering memaki? Hanya Sean lah yang tahu alasannya.
"Jadi mau langsung balik?"
"Enggak, gue mau ke kelab malam lagi. Cabut ya."
Mika menghela napas panjang mendengar ucapan Sean. Ingin melarangnya, namun, kini Sean telah banyak berubah. Biarkan saja, mungkin ini adalah fase terendah di hidupnya. Bukan dari hartanya, namun, ia bangkrut di moralnya.
Mika yang mengenal dekat Sean selama hampir lima belas tahun itu, seperti tak percaya dengan Sean yang sekarang. Hana, pasti wanita itu yang merubah Sean menjadi yang sekarang.
Sean yang biasanya ceria dan banyak bergaul bukan seorang yang pemarah. Walau terkadang saat dia marah bak singa yang terbangun dari lelapnya.
Hana, mungkin ia yang membangunkan singa dalam diri Sean yang tak mampu Sean tidurkan kembali.
***
Sean melajukan mobilnya dengan cepat, ia memasuki bar malam yang berbeda dari yang ia datangi sebelumnya. Menatap satu persatu wanita yang ada di dalam kelab tersebut, akan tetapi, matanya tidak menemukan apa yang ia cari.
Kembali ia keluar dan memasuki bar malam lainnya. Namun, hasilnya juga sama, apa yang dicarinya tidak ada.
Beberapa kali ia memasuki bar, dan hasilnya semua sama.
Ia terduduk lemas di dalam mobilnya. Menghantukkan kepala ke setir mobil.
"Bodoh ... dasar gak berguna. Lelaki gak berguna," ucapnya sembari mengahntamkan kembali kepalanya ke setir mobil.
***
Megi menatap langit-langit plafon kamarnya. Saat ia memejamkan mata, kembali terbayang kejadian malam ini. Bukan hanya Sean yang memperlakukan ia dengan kasar, hampir seluruh lelaki memperlakukan ia dengan kasar, karena ia yang memohon seperti tak ada harga diri untuk melepaskan diri dari lubang gelap itu.
Namun, entah kenapa perlakuan Sean teramat membekas di hati.
Ia ingat saat Sean membeli dirinya seharga dua puluh lima juta, hanya segitukah harga kegadisannya?
Tapi jika bukan Sean yang membelinya, maka dia akan jatuh ke tangan pria tua itu.
"Perlakuan kak Mirza memang sudah tidak bisa dimaafkan lagi, kak Mirza sanggup menyakiti adiknya sampai begini. Bagaimana jika Papa tahu? Aaah ...."
Pikiran Megi melayang jauh, ingin rasanya ia memeluk lelaki berkulit putih itu, seperti ia bisa memeluk Mika. Ingin punya keluarga yang harmonis, walaupun tanpa ibu, setidaknya keluarga mereka tetap lengkap.
Akan tetapi, Mirza jarang sekali menginjakan kaki di rumah kecil ini. Ia hanya pulang sebentar lalu pergi lagi, entah di mana dia banyak menghabiskan waktu.
Mungkin ia menghabiskan waktunya di tempat perjudian ataupun kelab malam.
Setelah malam itu, Megi bisa menjalani kehidupannya dengan tenang. Sebelum uang Mirza habis terbuang, maka Megi akan hidup nyaman, sementara. Megi bisa pulang pergi kerja tanpa harus merasakan ke khawatiran lagi.
Tapi uang segitu hanya bertahan beberapa hari saja. Setelah itu, Mirza akan kembali pada kebiasaannya.
Lelaki itu memang memiliki hati seperti baja, tidak pernah menganggap hubungan darah itu lebih penting dari pada uang.
Baginya uang masih segalanya, tanpa uang maka habislah dunianya itu.
***
Riuh tepuk tangan kembali terdengar saat Megi menghentikan permainannya. Kali ini, matanya melihat sosok lain di bagian para tamu.
Sedari tadi matanya tertuju pada lelaki itu, lelaki yang duduk sendiri dengan memakai jaket dan topi.
Walaupun tertutup oleh topi, tatapan matanya itu tidak akan luput dari ingatan Megi.
Sean, sedari tadi ia membuat Megi tidak nyaman bernyanyi. Mata tajamnya itu selalu menatap dengan sinis.
Dengan terburu, gadis belia itu keluar dari cafe. Namun, kembali tangannya di cengkeram erat. Bukan Mirza, tetapi, Sean.
"Kenapa sih, Kak?" tanya Megi berusaha melepaskan diri.
"Ikut gue!"
Lelaki berbadan tegap itu menarik Megi kembali ke dalam, mendudukannya di kursi tamu. Ia memanggil seorang Waiters dan memesan minuman untuk gadis belia di depannya tersebut.
"Apa sih, Kak? To the point aja," ucap Megi, malas berlama-lama.
Sean terdiam, pandangannya menatap lurus kedepan. Melihat secara jeli perkumpulan lima orang gadis cantik dan tiga orang pria.
Tanpa sadar, Sean menggebrak meja di depan. Megi terkejut dan langsung melompat. Mengelus dada, pelan.
"Wanita murahan!" ucapnya lantang.
Megi yang mendengar perkataan itu keluar dari mulut Sean, menatap sinis kearahnya, ia bangkit dan langsung menampar wajah mulus lelaki bengis tersebut.
"Apa maksud, Kakak?" tanya Megi, sinis.
"Ikut gue!" Tarik Sean di lengan tangan gadis belia itu.
Megi menghempaskan tangan Sean dengan kuat, kembali menampar wajah mulus lelaki bermata elang itu.
Melihat sikap Megi yang begitu kasar, membuat lelaki itu membara. Dia menarik paksa Megi dan melemparkannya ke dalam mobil.
"Diam di situ!" Sean membanting pintu mobil dengan kasar, gadis kecil itu sedikit terlompat, terkejut setengah mati.
Sean berjalan masuk kembali ke dalam cafe, perlahan mata gadis belia itu mulai berembun. Sakit hati atas perlakuan kasar lelaki berambut panjang itu. Bahkan, Mika saja tidak pernah menyeretnya seperti ini.
Ia mengambil ponsel dari dalam tas dan mencoba menghubungi sang malaikat pelindungnya.
Belum sempat, lelaki itu sudah kembali keluar, dengan menyeret satu wanita yang lain. Wanita berparas ayu dengan rambut pirang dan pakaian minim
"Masuk!" Perintah lelaki itu, saat si gadis sudah berada di depan pintu mobil.
Gadis itu hanya berdiam, memandangi wajah bengis itu dengan netra berlapiskan kaca. Kasar, Sean melempar badan gadis itu sampai kepalanya terantuk oleh pintu.
"Kamu apaan sih, Kak? Kasar banget jadi cowok?" Megi melihat gadis itu, sesegukan, sesekali ia menghapus sudut dagu menggunakan punggung tangan.
"Ssssstt." Sean menaruh satu jarinya di depan bibir.
Megi kembali melihat ke arah perempuan itu dari kaca spion, semakin menangis sejadi-jadinya. Memperhatikan badan langsing dan wajahnya ayu gadis itu sekali lagi. Kasihan, tetapi ia tidak berani membela.
Sean menghentikan laju mobilnya tiba-tiba. Seketika tubuh mungil gadis kecil itu, terhoyong kedepan, cepat tangan Sean menahan tubuh gadis mungil itu agar tidak terantuk.
"Diam!" perintah Sean kasar kepada si gadis cantik di kursi belakang.
"Gue bilang diam!" Kembali Sean memberi perintah, namun, kali ini suaranya menggelegar.
Sampai dua gadis yang ada di mobil itu terpaku. Perlahan, rona wajah Sean memerah padam. Ada emosi yang sedang membakar habis jiwanya, ia seperti seorang yang sedang menahan bara api agar tidak keluar dari dalam tubuhnya.
Ia menatap lekat ke wajah Megi, kemudian berganti dengan wanita berparas cantik yang berada di kursi belakang.
"Nangis lagi, gue buat kalian nangis seumur hidup!" ancamnya.
Megi tertegun, terdiam tanpa suara. Pria ini bukan manusia, ia adalah seorang singa, singa yang kehilangan kuasa atas dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Syamsul Hidayat
mbak Fiza selalu bisa bikin sy ngak tidur...maraton membacanya
2024-01-28
0
Erni Fitriana
sean tereak tereak mulu yak . jasi peran tarzan apa yak?😉
2023-08-05
0
Yuna
Sean udah ngeluarin 25 juta buat nolongin Megi tp kq Megi ny g ada terima kasih ny y
2020-09-23
0