Ting...
Megi segera berlari saat mendengar bel apartemen berbunyi. Megi membuka pintu dengan cepat, dan melihat seorang wanita paruh baya di depan pintu.
Masih terlihat sangat cantik walaupun sudah memiliki beberapa kerutan di dahinya.
Megi mengerutkan dahinya saat melihat wanita itu hadir di depan pintu.
"Maaf, siapa ya?" tanya Megi langsung.
"Bisa saya masuk? Saya ingin bertemu Sean." jawab wanita paruh baya itu.
"Tapi, kak Sean. Itu..." Megi terlihat kebingungan untuk menjelaskan keadaan Sean yang kacau saat ini.
"Kamu siapa?" tanya wanita paruh baya itu kambali.
"Aku, Megi. Tante."
"Megi, gadis kecil yang sangat cantik."
"Makasih, tante." ucap Megi sambil menundukan kepalanya.
"Bisa, saya masuk dan ketemu Sean?" tanya nya kembali.
Megi mundur dua langkah memberikan ruang untuk wanita paruh baya itu masuk.
Tanpa banyak berkata wanita itu langsung menuju ke depan pintu kamar Sean.
"Hemmm, Tante." Panggil Megi saat melihat wanita itu ingin membuka pintu kamar Sean.
"Iya, ada apa?"
"Tadi kak Sean pulang dengan wajah lebam. Megi ambilin es batu dan handuk untuk kompresnya ya. Tante tunggu dulu disini."
Wanita itu tersenyum sendu dan meraih sebelah pipi Megi.
"Gadis kecil yang manis. Baiklah tante akan tunggu kamu disini." ucapnya lembut.
Tanpa membuang waktu Megi menyiapkan es dalam wadah, handuk dan satu kotak peralatan obat. Di tatanya rapi di atas sebuah nampan dan memberikannya ke wanita paruh baya itu.
Wanita itu hanya tersenyum dan kemudian langsung membuka pintu kamar Sean.
Sean masih tertidur dengan posisi duduk dan kepalanya di letakan di atas kasur.
Wanita itu menatap wajah Sean dengan pandangan sedih.
Bagaimana bisa suaminya melakukan itu pada Putra semata wayang nya ini.
Wajah ganteng Sean di hiasi lebam di sudut bibir dan pelipisnya. Bibirnya masih memerah karena darah.
Sesaat pegangan nampan wanita itu melemas, air mata menghiasi pipi wanita paruh baya itu.
Ia bersimpuh di hadapan putra sulungnya itu.
Di sentuh sedikit pipi lebam Sean, namun belum sampai tangannya menyentuh kulit pipi Sean, tangannya seperti terhenti. Tangisnya kembali pecah.
Di masukan handuk itu kedalam air es dan membersihkan sudut bibir Sean. Sontak Sean kaget dan terbangun saat air dingin menyentuh kulitnya.
"Mama." ucap Sean lirih.
Perempuan itu hanya menangis terseduh, di peluk badan tegap Sean dan menangis kembali di dalam pelukan Sean.
Sean membalas pelukan itu dan memberikan ruang untuk wanita yang telah melahirkan nya itu membuang seluruh kesedihannya.
Lalu ia kembali meleraikan pelukannya dan menghapus buliran yang menghiasi pipi keriput wanita paruh baya itu.
"Kapan peperangan di antara kalian berakhir, Sean?" ucap Mama Sean dengan nada lirih.
Seperti tak ingin menjawabnya Sean mengambil handuk itu dan mencelupkannya ke dalam es.
Di kompresnya sudut bibir yang pecah oleh tangan Papanya sendiri.
Miranda kembali mengambil handuk itu dan mengompres pelan wajah Sean. Di basuh bibir merah Sean sampai mengembalikan warna bibirnya ke semula.
"Sudah sebelas tahun, Nak. Tidak ingin kah kamu memeluk kembali Papa kamu?" kembali Miranda membuka suara paraunya.
"Adakah keinginan ia untuk memeluk putranya, Ma? Aku menyesali kenapa Mama menikahi lelaki itu."
Miranda hanya kembali menangis mendengar perkataan anak sulungnya. Peperangan antara anak dan Ayah ini telah berjalan selama bertahun-tahun.
Tidak adakah niat di dalam hati mereka untuk saling membuka diri.
Miranda meneteskan obat merah di kapas, dan mengobati sudut bibir Sean yang pecah.
Sean seperti tak merasakan apapun, wajahnya hanya datar saat wanita itu mencoba mengobati seluruh lukanya.
"Apa ini sakit, Nak?" tanya Miranda saat melihat wajah Sean yang tanpa ekspresi.
"Ini tidak lebih sakit dari luka yang ia goreskan disini, Ma." Sean menunjukan dada bidangnya.
Itu membuat Miranda kembali menangis terseduh. Sungguh pilu sekali hatinya, dua lelaki yang sangat ia sayangi tak pernah berada dalam atap yang sama. Bertahun-tahun Sean terpisah dari ia, tinggal menyendiri, menjauh dari keluarganya.
"Nak, pulanglah kerumah sayang. Mama rindu kamu, Mama rindu putra Mama di rumah itu."
"Rumah Sean disini, Ma. Sejak delapan tahun yang lalu, disini lah rumah, Sean."
"Tak bisakah kamu maafkan Papa kamu Nak? Bagaimana pun juga, kamu adalah darah dagingnya, Sean. Mama yakin kalian masih menyayangi satu sama lain kan."
"Cukup, Ma. Cukup Mama. Jangan ingatkan aku lagi tentang darah yang mengalir." ucap Sean yang mulai keras.
Miranda hanya terdiam, ia tak ingin membuat putranya kembali memanas.
"Siapa gadis kecil di depan itu? Apa dia kekasihmu, Nak?" tanya Miranda penasaran.
Sean menghela napas, ia melupakan kehadiran Megi disini.
"Itu, dia adiknya Mika, Ma. Mika menitipkan ia padaku karena tak ada yang menjaganya."
"Mika?" Miranda memutar bola matanya, mencoba mengingat nama itu.
Itu bukan nama yang asing di telinganya, ia sering mendengar nama itu di sebut sebelum hari ini.
"Mika, sahabat SMA, Sean Ma."
"Mama ingat, sayang. Kemana dia? kenapa gadis kecil itu tinggal sama kamu?"
"Dia sedang berlayar, Ma. Keluarga Mika bangkrut setahun lalu. Papa Mika meninggal sekitar dua bulan yang lalu. Jadi Megi tinggal disini sebelum Mika kembali." jelas Sean panjang.
"Innalillahi wa innaillahi rojiun. Tapi Megi gak bisa seatap sama kamu, Nak. Megi Mama bawa pulang aja ya, biar tinggal di rumah sama Mama dan Rena."
"Tidak perlu, Ma. Sean bisa tidur di hotel kalau malam. Lagian ada hal lain yang harus Sean bereskan."
"Terserah kamu saja." Miranda mengalah. Tak mungkin anak laki-laki semata wayangnya ini di lawan.
Miranda mengobati kembali luka lebam Sean. Ia beranjak dari kamar Sean saat langit sudah mulai berganti warna. Sementara Sean masih tertidur di sampingnya. Sambil membelai rambut Sean, Miranda tetus mentapi wajah Sean.
Seperti bayi, wajahnya kembali terlihat polos saat tertidur. Betapa ia sangat merindukan putra nya ini. Sudah lama sekali ia tak mampu meraih dahi putranya.
Miranda mencium dahi Sean, lalu kembali mengelus rambutnya. Tak lama ia beranjak dari kasur dan keluar dari kamar Sean.
Seperti biasa, ia akan memasak makanan sebelum ia pulang dari apartemen anaknya. Tapi kali ini berbeda, meja makan sudah tersedia bermacam makanan namun tidak ada seorangpun disana.
Miranda menelusuri seisi apartemen namun tak menemukan Megi di setiap sudut rumah.
"Kemana gadis kecil itu?"
Ia kembali memasuki kamar tidur Sean dan melihat putranya masih tertidur dengan pulas. Tanpa ingin membangunkan anaknya ia berjalan perlahan keluar dari apartemen Sean.
***
"Selamat malam. Kembali lagi di siaran 90.6 Fm Gipsi radio. Seperti biasa Megs akan menemani malam kamu untuk dua jam kedepan."
"Seperti biasa, Megs akan membuka acara malam kita. Buat teman-teman yang ingin berbagi kisah malam kalian bisa langsung hubungi Megs disini."
"Langsung saja kita terima penelpon pertama kita. Hallo siapa disana?"
"Hallo Megs. Aku Hana..."
Megi memutar bola matanya, seperti mengingat sesuatu. Ia seperti pernah mendengar nama itu, tapi lupa dimana.
"Baiklah Hana, ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?"
"Megs, aku bersalah dengan seseorang. Aku membuat kesalahan, dan aku kehilangan dia. Apa yang harus aku lakukan Megs?"
"Huft, ini sesuatu yang sulit ya. Sudahkah kamu mencoba untuk menjelaskan permasalahan nya, Hana?"
"Tidak pernah, Megs. Dia bukan orang yang bisa di ajak berbicara Megs. Dia orang yang lebih percaya dengan apa yang ia lihat dari pada yang ia dengar. Aku sampai sekarang tidak pernah bisa menemui dia, Megs."
"Cobalah untuk mengajaknya berbicara, Hana. Ajak ia untuk membicarakan masalah kalian. Jika kalian tidak pernah bisa berbicara, maka masalahnya tidak akan pernah selesai, Hana."
"Iya aku tahu, Megs. Tapi ia orang yang sangat keras Megs. Sulit sekali menjelaskan masalah padanya, ia menghilang dari pandanganku. Aku tak bisa menemuinya, sudah setahun aku memcoba mencarinya Megs, Tapi dia pergi, hilang di telan bumi."
Megi terdiam sesaat, suara wanita ini sangat lembut. Pasti ia wanita yang sangat cantik dan juga penyayang. Siapa pria bodoh yang di maksudkan oleh Hana ini?
"Megs, bisakah aku menyampaikan sesuatu?"
"Baiklah, Hana. Apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Aku tau kamu marah, tapi dimana pun kamu saat ini. Jika kamu mendengarkan aku, aku mohon. Mohon kamu memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan permasalahan ini, aku mohon."
"Baiklah Tuan, disini ada Hana yang mencarimu. Jika malam ini kamu mendengarkan kami, jumpai ia dan jangan lari dari masalah kamu."
"Terima kasih Megs."
"Terima kasih kembali, Hana. Dan satu buah lagu khusus buat Hana. Ini dia, Republik Tiada guna lagi."
Megi melepaskan earphone nya dan menghela nafas panjang. Saat begini biasanya Mika sudah menunggunya di depan gedung.
"Kak, kakak sedang apa ya? Megi rindu." Megi meletakan kepalanya di atas meja. Saat ini dia hanya berada di kesendirian yang panjang.
Hanya ada Mirza, satu-satunya lelaki yang sedarah dengan ia. Namun demi menjauhkan Megi dari Mirza, Mika rela menitipkan ia dengan lelaki lain.
***
Sean terbangun dari lelapnya karena gemuruh yang hadir dari dalam perutnya. Cacing perutnya sudah beriuh kesal karena belum mendapat asupan gizi yang baik seharian ini.
Sean mengacak-acak rambutnya, melihat sekeliling dan ternyata hari sudah jauh malam.
Ia berjalan menuju dapur dan dilihatnya makanan yang sudah dingin tertata rapi di atas meja makan.
Tanpa banyak berpikir Sean menyendok makanan itu satu persatu dan mulai melahapnya. Namun Sean terhenti saat memakan suapan pertama.
"Kok, masakan Mama beda ya?" ucapnya dengan mulut yang masih terisi penuh.
Kembali di suapnya makanan itu, matanya kembali memutar, merasakan dengan nikmat rasa masakan itu.
"Masakan nya enak, tapi beda banget sama masakan Mama. Apa Mama go-food ya?"
Sean mengerdikan bahunya dan kembali memakan masakan itu. Setelah berulang kali memikirkan ia baru tersadar bahwa sekarang ada wanita lain di apartemen nya.
Ia mengernyitkan dahinya dan menggaruk tengkuknya, di lirik jam di dinding apartemen nya sudah hampir tengah malam. Dimana gadis kecil itu?
Sean mempercepat makannya dan kembali ke kamar, ia mengambil ponselnya untuk menghubungi Megi.
Sebelum menekan nomor Megi, ia melihat ada sebuah pesan yang dikirim Megi sore tadi.
('Kak, aku pergi kerja ya. Aku akan pulang setelah siaran selesai.)
Sean menggaruk kepalanya dan mengumpat kesal.
"Bodoh, kenapa bisa lupa kalok Megi sekarang tanggung jawab gue."
Sean masuk ke kamar mandi untuk membereskan wajahnya.
"Ting..." notif ponsel Megi berdenting saat ia keluar dari ruangan auditorium.
(Meg, Mas tunggu di cafe ya.) sebuah pesan dari Pandu.
Senyum Megi merekah dan dengan sedikit berlari ia menuruni anak tangga gedung putih itu.
Langkahnya pasti untuk mendatangi cafe di depan gedung putih tersebut.
Megi langsung membuka pintu kaca cafe itu dan memilih duduk di sisi dekat jendela.
Lambaian tangan dari Barista itu di sambut oleh senyuman dari Megi.
Kini senyum gadis belia itu sudah kembali seperti semula.
Waiters menyuguhkan sebuah kopi namun kali ini permukaan kopi itu berbentuk seperti sebuah cincin.
Megi menaiki sebelah alis matanya.
Waiters itu langsung pergi saat meletakan itu, sementara si Barista masih sibuk di balik bar cafe ini.
Megi menghela nafas panjang, dan menunggu Pandu untuk menyelesaikan pekerjaan nya.
Malam ini suasana cafe memang agak ramai. Padahal malam sudah menunjukan pukul lewat tengah malam. Megi melempar pandangan keluar jendela.
Biasa disana Mika berdiri menunggunya, kini semua terasa begitu hampa. Kosong sekali dunia Megi saat ini.
Orang-orang yang ia sayangi berada di kejauhan. Rindu, hanya itu yang bisa ia rasakan.
Megi kembali meletakan dagunya di atas meja, jarinya menari-nari di atas meja. Sekedar membuang suntuk, Megi kembali menghela nafas panjang. Kali ini dia mulai bosan, bosan menunggu Barista itu selesai bekerja.
"Meg, maaf ya mas lama." ucapan Pandu tak mampu membuat Megi kembali duduk tegap.
"Gak papa, mas." jawab Megi dengan dagu yang masih bertumpuh di atas meja.
"Meg, kesel ya mas lama?" kini pandu meletakan bokongnya di kursi depan tempat Megi duduk.
"Mas udah tau, tapi masih nanya." ucap Megi sambil memainkan jarinya di atas meja.
"Kopinya kenapa gak di minum, Meg?"
"Males, aku kesel sama mas Pandu."
"Iya, mas Pandu minta maaf ya. sekarang tegak dong. Mas mau bicara."
Megi membuang nafas dan dengan malas menegakkan badannya. Di lihatnya wajah Pandu yang begitu lembut dan berkharisma itu.
"Mas mau ngomong apa?"
"Nih, Buat kamu." Pandu menyodorkan sebuket bunga mawar berwarna merah muda.
Sesaat senyum Megi merekah indah, mengalahkan keindahan bunga-bunga yang ada di tangannya saat ini.
"Kok tumben banget mas kasih aku bunga?" ucap Megi sambil menyentuh kelopak bunga-bunga di genggamannya.
"Abisnya, mas udah lama gak lihat kamu ketawa."
"Mas kan tau aku lagi ada di masa-masa sulit mas."
mata Megi kembali sendu saat mengatakan hal itu, senyum kembali hilang jika mengingat hal menyedihkan yang begitu pahit untuk di ingatnya.
"Yah, kok sedih lagi sih?"
"Enggak kok mas, oh ya, mas mau ngomong apa tadi?"
Wajah Pandu mulai terlihat gugup, jemarinya mulai *** satu sama lain. Di tatapnya wajah gadis itu, tanpa berani menyentuh, Pandu hanya bisa mengatakan perlahan.
"Meg, boleh gak, kalau mas jadi pacar kamu?"
Mata megi membelalak lebar, mulutnya menganga sedikit. Kenapa baru sekarang?
Megi melempar pandangannya keluar jendela, tanpa di sadari sepasang mata sedang menyaksikan mereka berdua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Mifta Siregar
cemburu ngak yaaaa
2024-11-01
0
Erni Fitriana
sèruuuuuii....lanjoottttt
2023-08-07
0
Maysa Asmaul Husna
kaya nya hana selingkuh sama bokap nya sean dh
2020-05-06
5