"Lu mau ikut gue pulang? Atau seluruh bar ini menjadi kuburan?"
Sean berbicara sambil menggretekan tulang jemarinya.
Tanpa banyak berfikir lagi, Rena mengikuti langkah kaki Sean keluar dari dalam club malam.
Tak mungkin ia menjatuhkan korban lagi hanya demi menuruti egonya.
Sean bukan orang yang bisa di tentang.
Rena memasuki mobil Sean, tanpa banyak bicara Sean melajukan mobilnya dengan kencang. Menembus sepinya malam yang hampir menyongsong fajar.
Saat ini hampir seluruh penghuni kota sedang terlelap dalam rehatnya, namun kakak beradik ini malah dalam keadan yang tak mampu di jelaskan.
Rena memandang wajah kakaknya yang saat ini sedang memerah padam. Entah apa yang akan di lakukan Sean kali ini. Kejadian kemarin masih menyisakan bekas luka di hati Rena.
Sean terlalu kasar, sifatnya terlalu keras.
Sean menarik pergelangan tangan Rena kuat, memasuki rumah mewah dan menyeretnya menaiki anak tangga.
Di lemparnya kuat Rena di atas kasur. Sean membongkar isi lemari pakaian Rena.
"Apa yang lu lakuin, Sean?" Rena bangkit dari kasurnya dan mencoba menghentikan pergerakan Sean.
"Begini yang lu pakai, Rena?" Sean membanting baju-baju minim milik Rena.
"Apa urusan lu?"
"Gue kakak lu, jelas gue harus ngurusin elu."
"Sejak kapan lu sok peduli sama hidup gue, Sean."
"Rena!" ucap Sean keras.
Sontak tubuh gadis itu melompat karena terkejut.
"Gue tau, gue bukan kakak yang baik selama ini. Tapi gue gak mau lihat hidup adik gue hancur, Rena." ucap Sean melembut.
"Lu aja hidupnya gak lebih baik dari gue."
"Rena...!" Suara Sean kembali menggelegar.
Membangunkan seisi rumah.
"Kenapa? Lu aja sama ancurnya kayak gue, gak usah sok-sok an mau ngatur gue deh." ucap Rena ngeyel.
Sean yang mulai kehabisan kesabaran mencengkram pipi Rena dengan satu tangannya.
"Karena gue ancur, makanya gue gak mau lihat lu lebih ancur dari gue, Rena. Gue laki-laki, gue ancur tapi gak ninggalin bekas, kayak elu!" Sean menghempas pipi Rena yang ia cengkram.
"Sejak kapan lu berusaha jadi kakak yang baik buat gue, Sean? Kemana aja lu selama ini?"
"Gue tau gue salah, gak bisa kalau sekarang gue berubah. Iya?"
Sean mengambil sebuah koper dari atas lemari Rena.
"Ngapain elu?" tanya Rena saat melihat Sean mulai memasuki satu persatu bajunya ke dalam koper.
"Gue bakalan anterin lu ke pesantren. Biar elu belajar!"
"Apa? Gue gak mau Sean." Rena mencoba untuk menghentikan tangan Sean. Namun Sean dengan cepat mendorong Rena kembali terjatuh di atas kasur.
"Diem lu disitu, lu harus belajar menjaga diri, Rena. Jangan jadi wanita murahan!"
"Lu apa apa an sih, Sean. Gak usah urusin hidup gue, gue gak mau masuk pesantren!"
"Gue bilang lu mondok, ya lu harus mondok!"
Rena mulai menjatuhkan buliran bening air matanya. Tak bisa di bayangkan hidupnya jika harus pergi ke pondok pesantren.
Ia yang sudah hidup bebas selama bertahun-tahun, harus hidup terkekang.
"Enggak Sean. Gue gak mau."
"Gue gak butuh persetujuan lu." tanpa peduli ucapan Rena, Sean sibuk memilah baju dan memasukannya ke dalam koper secara berantakan.
"Apa hak lu, Sean! ini hidup gue, lu gak berhak nentuin kemana gue harus pergi!"
"Lu bilang gue gak berhak kan? Makanya lu gue bawa ke pondok pesantren, biar lu tau agama. Biar lu paham apa hak gue ngatur hidup lu."
"Sean, gue gak mau!" Rena kembali mengacak-acak isi kopernya.
"Rena...!" Suara Sean kembali menggelegar.
Kali ini di susul oleh Miranda yang masih memakai mukenah dan matanya masih di hiasi buliran bening.
"Ada apa ini, Nak?" tanya Miranda lembut sambil memasuki kamar Rena.
"Ma, Sean mau ngirim aku ke pesantren Ma. Bilang sama dia aku gak mau Ma." Bujuk Rena saat melihat Mama nya datang mendekat.
Sementara Sean seperti tak peduli, ia kembali membereskan baju-baju Rena dan mengancing koper Rena.
"Mama kalau mau ikut siap-siap. Kita anter Rena ke pondok pesantren."
Mendengar ucapan Sean, Rena merengek kepada Mamanya. Tapi dia adalah Sean, bahkan Rayen saja tak sanggup melawan ia.
"Nak, kenapa ini? Coba jelaskan dulu sama Mama." Bujuk Miranda ke anak lajangnya.
"Tanya sama dia Ma, apa yang udah dia lakuin di club malam."
Mendengar pernyataan Sean, Miranda tertegun, kemana saja ia selama ini, ia terlalu sibuk menangisi takdirnya sampai ia lupa untuk memperhatikan anak gadis semata wayangnya itu.
"Rena, kenapa kamu bergaul di club malam lagi, Nak."
"Aku cuma duduk sama temen, Ma." ucap Rena sambil memanyunkan bibirnya.
"Oh, jadi menari ria di atas panggung, dan membiarkan setiap tangan lelaki menjamah badan lu, itu yang di bilang cuma duduk sama temen?"
Mata Rena membelalak lebar, ia jelas sekali tak setuju dengan argumen yang di sampaikan Sean. Walaupun pada kenyataannya memang itu yang terjadi.
"Benar kamu melakukan itu, Nak?" tanya Miranda yang seakan tak percaya putrinya mampu begitu.
Pantas saja terakhir Sean pulang dengan amarah yang sangat meledak. Ia melihat adiknya seperti itu, bagaimana mungkin tidak murka.
"Udah Ma, gak usah di tanya lagi. Mama siap-siap kita akan berangkat."
"Bentar ya, Sayang." ucap Miranda sambil berlalu keluar dari kamar Rena.
Kali ini dia setuju dengan sikap Sean. Lagian Sean bukan ingin menjerumuskan Rena, ia ingin melindungi Rena.
Rena yang melihat sikap Mama nya lebih setuju ke Sean dari pada ia, langsung melompat memohon di kaki Sean.
"Kak, aku mohon jangan kirim aku ke pesantren, Kak." ucap Rena dengan air mata yang membanjiri pipinya.
Sean menghela nafas panjang, ia berjongkok dan meraih pucuk kepala Rena.
"Dek, gue sayang sama lu. Gue gak pingin lihat lu begini. Gue sadar gue juga buruk, tapi gue gak pernah nyentuh gadis di luaran sana."
"Kak, gue mohon jangan lakuin ini, kak. Hidup gue bakalan kayak neraka di pesantren."
"Biarin aja hidup lu tersiksa di dunia, Dek. Yang penting hidup lu tenang di akhirat. Gue ini kakak laki-laki lu, gue punya tanggung jawab atas hidup lu." nada Sean semakin melembut.
"Ayo Nak, Mama siap."
"Kakak, aku mohon jangan Kak." tangisan Rena semakin menguat.
"Gue janji bakalan berubah, Kak. Tapi gue mohon jangan masukin gue kesana." Rena memeluk kuat betis Sean.
"Lu harus di cekoki agama, biar paham lu harus hidup bagaimana."
Sean menyeret Rena yang sedang memeluk betisnya. Rena yang kekeh dengan keinginannya enggan untuk berdiri. Walaupun peganggan tangan Sean saat ini sangat sakit ia rasakan.
Bukan Sean namamya jika ia tidak mampu membuat keinginannya terpenuhi. Dengan cepat ia mengangkat tubuh Rena dan menggendongnya, dengan sedikit berlari ia menuruni anak tangga di ikuti oleh Miranda.
Rena yang berontak keras dalam gendongan Sean tak mampu menghentikan langkah besar Sean.
Apapun yang Sean katakan pasti akan ia lakukan. Tak di hiraukannya jeritan dan pukulan Rena.
"Gue gak mau, Sean. Gue mohon jangan lakuin ini!" teriakan keras Rena tak membuat Sean menghentikan langkahnya.
"Rena, gak papa Nak. Kamu pasti betah disana." ucap Miranda berusaha menangkan Rena.
Sean langsung memasukan Rena di jok belakang, menyusul Miranda yang ikut masuk. Tak di hiraukannya suara Rena yang menangis sekuat mungkin mencari perlindungan.
Sean melajukan mobilnya dengan kencang, keluar dari area perkotaan dan memasukan mobilnya ke area pedesaan yang masih terjaga ke asriannya.
Ia mengemudikan mobilnya pelan saat memasuki jalanan tanah dan bebatuan di desa itu. Setelah berjam-jam akhirnya mereka sampai di area pesantren yang tak terlalu luas.
Rena yang sedari tadi masih menangis saat ini hanya meninggalkan sesegukan. Di bantu Miranda, Rena mengganti bajunya dengan yang lebih tertutup. Sementara Sean sudah lebih dahulu masuk ke dalam pondok.
"Assalamualaikum." Ucap Sean saat mengetuk salah satu daun pintu kayu di pesantren itu.
"Waalaikum salam. Masuk, Nak." jawab pria berjenggot itu ramah.
Sambil menunggu Rena datang, Sean mengungkapkan niat hatinya untuk menitipkan Rena sementara di tempat itu.
Setelah berbincang hampir dua jam, Sean dan Miranda pamit untuk pulang. Sementara Rena masih sesegukan akibat tangisan tadi.
Rena yang tak ingin tinggal di tempat itu terus memeluk Miranda. Tega, dalam hati ia memaki niat baik kakaknya.
Kembali Rena merengek saat Miranda akan jalan keluar pagar pondok pesantren itu. Pelukannya sangat erat, enggan melepaskan tubuh wanita tua itu.
"Rena, gak papa, Nak. Kamu akan banyak belajar disini." Miranda melerai pelukan erat Rena.
"Ma, aku gak mau, Ma. Tolong aku."
Sean yang melihat Rena melekat erat di badan Miranda, menarik tubuh Rena dan menjatuhkannya di dada bidang miliknya.
Di cium dahi Rena dan menghapus buliran bening yang sudah menghiasi dari semalam.
"Gue bukan tega, Ren. Gue sayang sama lu. Lu adik gue satu-satunya." ucap Sean lembut.
"Tapi lu gak berhak berbuat ini, Sean. Ini hidup gue." ucapnya ketus.
"Gue ada hak. Selain Rayen, gue adalah wali elu. Belajar menghargai diri elu sendiri, Ren." ucap Sean lembut tapi menekan.
"Gue benci sama lu, Sean. Gue Benci. Lu gak pernah jadi Kakak yang baik buat gue!" ucap Rena ketus.
Ia membalikan badannya dan mengikuti salah satu santriwati untuk masuk kedalam pondok
Sejenak Sean hanya berdiri terpaku, hatinya begitu sakit mendengar ucapan Rena. Apa salah jika ia ingin mendapat kasih sayang seperti Mika?
Ia hanya ingin berubah, ia hanya ingin adiknya menyayangi ia seperti Megi yang menyayangi Mika. Bahkan Megi masih sangat menyayangi Mirza, padahal Mirza bukan kakak yang baik.
"Nak, kita pulang." Miranda meraih tangan Sean.
Membuat Sean tersadar atas lamunannya.
Di sebalik setir mobilnya, Sean masih terdiam terpaku, menatap kosong pondok pesantren itu.
Pikirannya terus berperang, apa ia salah memasukan Rena kesini?
Apa tempat ini terlalu buruk untuk Rena belajar?
Apa ia yang terlalu buruk menjadi seorang kakak?
"Sean." panggil Miranda lembut, mengembalikan kesadaran Sean.
"Ma, apa Sean salah memasukan Rena kesini?" ucapnya parau.
"Apa Sean tidak boleh berubah jadi kakak yang baik buat Rena, Ma?"
"Sean cuma mau Rena berubah jadi wanita yang lebih baik, Ma. Tapi mama denger apa yang dia ucapkan terakhir tadi? Ia benci Sean, Ma. Ia sangat Benci."
Sean memeluk setir mobilnya dan membenamkan wajahnya. Sesekali ia memaki diri nya sendiri.
Terdengar helaan nafas berat dari Miranda. Di raihnya kepala Sean dan mencoba menenangkan putra nya itu.
"Bukan salah kamu, Nak. Mama dan Papa yang salah. Kami tidak mendidik kalian dengan benar."
"Bodoh... Bodoh..." ucap Sean lirih, ia menghantukan kepalanya ke setir mobil.
"Sean, jangan salahkan diri kamu sendiri, Nak." Miranda mengambil kepala Sean dan memeluknya erat. Di benamkan wajah Sean di bahu lemahnya itu.
"Sean hanya ingin membuat ia lebih baik, Ma. Sean tau, Sean memang bukan lelaki baik. Tapi apa Sean salah, jika Sean menginginkan adik wanita Sean enggak di lihat murahan, Ma?"
"Kamu gak salah, Nak. Jangan salahkan dirimu lagi. Tenanglah, Sean. Tenang putraku."
Untuk pertama kali Sean merasakan ada pundak yang merangkul ia di saat terendah hidupnya. Ia tak peduli, jika saat ini dia terlihat cengeng di depan wanita yang melahirkannya itu.
Tangisannya kian dalam saat ia merasakan tangan Miranda mengelus lembut pundaknya. Sesekali Miranda merapikan rambut gondrongnya yang helai nya berjatuhan menghalangi wajah tampan putranya itu.
Di biarkan Sean menumpahkan segala beban Hati yang menderanya selama ini. Putranya sudah sebesar ini, tapi kenapa ia tidak pernah memperhatikan pertumbuhan Sean selama ini.
Ia terlalu sibuk menangisi hidupnya, sampai ia biarkan anak-anaknya mencari perhatian di luaran sana. Anak-anak nya tumbuh dewasa sendirinya, ia lalai memperhatikan dan memberi dukungan untuk anak-anaknya.
Ada rasa bersalah menyelimuti hati Miranda. Andai ia bisa memutar waktu, ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk menangisi kisah hidupnya itu.
Banyak hal yang bisa di ubah dalam hidup. Banyak kegagalan yang bisa di rubah menjadi sebuah kesuksesan. Setiap orang mempunyai kesempatan untuk merubah kegagalan mereka. Tapi hanya satu yang tak akan bisa dirubah, walaupin sesukses apapun kita.
Kesempatan untuk mendidik anak hanya ada sekali seumur hidup. Saat kita gagal mendidik anak, maka gagal lah seluruh hidup kita. Ini yang sedang di alami oleh Miranda dan Rayen.
Gagal dalam mendidik dua anaknya.
Miranda melerai pelukan Sean dan menghapus buliran bening yang membanjiri pipi mulus Sean.
"Sudah, Nak. Kita pulang yuk." ucapnya lirih.
Sean kembali duduk tegap, di sisirnya rambut lurusnya ke belakang menggunakan tangannya. Ia mengambil kacamata hitamnya dan menggunakannya. Sekedar untuk menutupi mata sembabnya.
Kembali ia melajukan mobilnya menuju ibu kota. Menembus jalan sore hari dan sampai dirumah milik Rayen saat malam sudah menyapa.
Ia mencium tangan Miranda sebelum kembali melajukan mobilnya menuju hotel.
Tetapi Miranda menahannya, sudah tidak ada Rena di rumah istana itu. Haruskah ia tinggal sendirian di rumah yang begitu mewah namun bagaikan penjara.
Melihat Miranda yang seperti itu, Sean tak kuasa untuk menolaknya, padahal ia sangat muak jika harus berpas pasan dengan si pemilik rumah. Rayen Chandra.
Sean menghela nafas dan membuka pintu mobilnya. Namun belum sempat kakinya menginjak tanah, nada dering ponsel Sean menjerit keras.
Di tatapnya layar ponselnya itu, 'Farrel' nama yang tertera. Sean menghela nafas panjang dan menyisir rambutnya kebelakang. Di tekannya tombol hijau pada layar dan menempelkannya di telinga kiri.
"Bos, Nona Kecil hilang." Suara panik dari seberang sana.
Cukup satu kalimat untuk membuat Sean menghela nafas dan menepuk jidatnya.
Huft... Lelah. lirihnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Erni Fitriana
sukaaaaaa......ada sisi rohani nya juga....👍🏾👍🏾👍🏾👍🏾
2023-08-07
0
LilyPutih
ceritanya bagus kak
aku tigal like
mampir di karya ku kak
*aku mencintai adik iparku
trima kasih
2020-05-03
0
TtehYuyun RarSka
jangan2 hana itu lgi ngamar ama bokapnya sean lagi
2020-02-27
1