"Meg." ucap Mika lembut sambil mengelus pucuk kepalanya.
"Kak... Aku gak bisa tinggalin Papa kak."
"Papa udah gak disini, dek. Tapi sekarang Papa disini." Mika menunjukan tangannya ke dada.
Megi memeluk badan Mika, ia meletakan telinganya di dada Mika.
"Pa... Papa denger Megi? Megi rindu Pa. Megi rindu sekali Pa."
Mika yang mendengar itu tak kuat menahan air matanya. Ia pun sama sakitnya seperti Megi. Ia pun rindu sekali dengan lelaki hebat yang membesarkan tiga anaknya sendiri. Selama bertahun-tahun ia menghabiskan hidupnya hanya untuk anak-anaknya.
Ia tak pernah memikirkan wanita lain semenjak kekasih hatinya meninggalkan ia sendiri. Kini sekarang ia sudah hadir di sisi wanita pujaan hatinya itu.
Haruskah kami anak-anak nya ini terus menangisi kepergiannya?
"Meg, jangan sedih. Sekarang papa pasti lebih bahagia, dek. Papa udah ketemu Mama disana."
Megi mendongakkan kepalanya, di lihatnya wajah sang kakak yang sama kacaunya dengan ia.
"Megi jahat ya kak. Megi udah merebut Mama dari kakak dan Papa. Sekarang Papa juga tinggalin kita kak."
Semakin pilu perasaan Mika saat ini, kenapa di saat-saat seperti ini pendirian ia untuk pergi harus kembali bimbang.
Sungguh teriris hatinya mendengar ucapan adik perempuan semata wayang itu.
"Jangan ngomong seperti itu, Sayang. Kamu adalah anugerah terindah buat Papa dan kakak."
Sepasang bola mata yang dari tadi memperhatikan mereka berdua, saat ini mulai berhias bulir bening di sudut matanya. Ada rasa sesak yang bersarang di dadanya.
Berulang kali ia melihat pemandangan yang membuat ia tertampar. Apa bedanya ia dan Mika, tapi kenapa ia tak pernah seperti itu dengan Rena.
Sean membasuh sudut matanya sebelum bulir itu jatuh. Ia kembali duduk di sebalik setirnya sembari menunggu.
Setelah beberapa menit adik kakak itu keluar.
Bersamaan mereka memasuki mobil besar Sean, kali ini Megi yang duduk di sebelah Sean.
Di pandangnya wajah manis si gadis kecil itu.
Matanya masih memerah, sesekali ia menarik ingusnya agar tidak jatuh.
Sean memutar arah mobilnya dan melaju dengan sedang, menuju ke pesisiran. Setelah mengendarai satu jam mereka sampai di tempat yang mereka tuju.
Asrama yang akan di tempati Mika selama tiga minggu, Mika harus menjalani pelatihan sebelum ia benar-benar berangkat ke laut.
Mereka turun dan mengantar Mika ke gerbang asrama taruna itu. Mika memeluk Megi erat beberapa kali sebelum ia benar-benar pergi.
"Jangan repotkan Sean ya Megi. Kamu harus nurut kata dia."
Megi hanya mengancungkan jempolnya ke depan wajah Mika. Kini wajahnya telah kembali merona.
Mika memeluk badan Sean yang sedikit lebih besar darinya itu.
"Gue titip adik gue ya, sob. Jangan banyak lu buat nangis." ucap Mika dengan di selangi candaan.
Sean tersenyum simpul dan menumbuk lembut dada Mika.
Mika berjalan memasuki gerbang. Sebelum hilang dari pandangan, mereka berdua masih berdiri mengiringi kepergian Mika.
Pandangan Megi teralih ke lelaki setinggi 185 centimeter di sampingnya itu. Rambut lurus Sean terurai, angin dari pesisir pantai itu membuat rambut gondrong Sean terbang terbawa angin. Beberapa helai terbang menutupi sebagian pipi mulus Sean.
Dengan kaca mata hitam yang ia gunakan, membuat penegasan hidung mancungnya itu terlihat lebih menonjol. Di tambah dengan bibir tipis nya, pesona Sean benar-benar mematikan ketenangan degup jantung Megi.
Deg... Hantaman jantung Megi yang sudah tak beraturan. Rona wajah Megi mulai terhiasi oleh warna merah muda. Ia si gadis kecil akan sangat mudah terpesona oleh ciptaan indah sang maha kuasa seperti Sean.
Walaupun kadang sikap nya kasar, perkataannya makian. Namun saat ia seperti ini, Sean sangat menggoda iman.
Seperti sadar ada yang memperhatikan wajahnya dari tadi, Sean menyingkap kacamata hitamnya dan menaruhnya di atas kepalanya.
"Kenapa? Lu gak suka tinggal sama gue?" Suara beratnya memecah keheningan, dan merusak pandangan Megi.
"Aku akan tinggal dimana kak?"
"Di bawah kolong!" ucap Sean ketus sambil berlalu mendekati mobil.
"Lu mau tinggal di situ?" teriak Sean dari sebalik pintu mobilnya, melihat Megi masih terpaku sepuluh meter di depannya.
Megi menghela nafas dan menghentakan kakinya, bibirnya mengerucut kesal.
"Kapan lelaki itu berbicara dengan nada yang baik." ucapnya sambil berjalan menuju mobil Sean.
Hatinya menggerutu kesal, Sean benar-benar menghancurkan mimpi indahnya tadi
***
"Sementara lu tinggal disini." Sean membuka pintu kamar apartemen yang selama ini ia tinggali.
Megi masuk dengan mata yang membelalak lebar, di lihatnya sekililing ruangan apartemen itu.
Mewah, tak kalah dari apartemen Tantenya di Beijing dulu.
Sean beranjak pergi setelah menghantar Megi masuk kedalam kamar. Langkah nya cepat menuju pintu apartemen.
"Kak." panggil Megi menghentikan langkah Sean.
Sean hanya menolehkan ujung matanya ke arah Megi.
"Kakak, kalau aku tinggal disini, kakak tinggal dimana?"
"Lu tanya gue?" ucap Sean sambil membalikan badannya.
Ia berjalan mendekat ke arah Megi lalu duduk di sofa panjang di ruang tengah, yang khusus ia gunakan untuk bekerja.
Menaiki kedua kakinya di atas meja kaca, dan menggoyangkan kakinya.
Bukannya menjawab ia malah mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya.
Megi yang melihat tingkah aneh Sean itu hanya acuh dan berlalu masuk ke dalam kamar.
Memindahkan bajunya kedalam lemari besar yang saat ini isinya hanya beberapa rak saja.
"Kalau gue tinggal disini, emang lu mau ngapain?" bisik Sean di telinga kanan Megi.
Sontak gadis imut itu melompat dan memegang dadanya.
"Kakak ih... Buat aku kaget aja."
Sean menjatuhkan badannya di kasur berukuran 6 kaki itu. Ia merenganggkan badannya dan mengelus sisi kasur di sebelah nya itu.
"Gue gak keberatan kalok lu mau tidur disini." Sean menepuk kasur di sampingnya.
Bukannya kesal, Megi malah merona melihat tingkah Sean yang sedang menggodanya itu. Ia seperti tersipu malu mendengar ucapan Sean.
Sean menyadari ekspresi yang di tunjukannya Megi. Dahinya berkerut seketika, lalu tak lama melepaskan kerutan dahinya.
'Mampus gue, kayaknya, Megi naksir sama gue.'
Gerutu Sean dalam hati.
***
"Sore, Tuan." ucap lembut gadis cantik di sebalik counter Resepsionis itu.
"Dimana, Sean?" ucap Rayen tegas.
"Tuan Muda belum ada kesini dari pagi, Tuan." ucap wanita itu lemas sambil menundukkan kepalanya.
Tertancap amarah di balik wajah tampan yang sudah mulai keriput itu. Kedua tangannya di masukan kedalam kantong celana nya, sembari berjalan mondar mandir di lobi hotel.
Setelah tiga puluh menit seperti itu, lelaki muda yang ia tunggu menampakan batang hidung mancungnya.
Dengan santai dan bersiul, jarinya memainkan kunci mobil, Sean berjalan melewati Papanya.
Melihat tingkah putranya yang seperti itu, membuat Rayen tak mampu lagi memendam amarah di dadanya lagi.
"Sean Rayen Putra!" bentak nya saat Sean berjalan melewatinya.
Sean berjalan mundur, ia menyingkap kacamata hitamnya keatas. Mulutnya masih bersiul-siul tak jelas.
Di pandangnya wajah lelaki paruh baya itu.
"Siapa ya?" Sean memutar bola matanya berusaha untuk memgingat-ingat.
"Oh... Tuan Dirut Rayen Chandra kan?" ucap Sean sambil menyeringai.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Sean. Seperti tak peduli dengan tamparan itu, Sean hanya menghela nafas dan kemudian memakai kacamatanya lagi.
Kembali bersiul dan berjalan sedikit menggoyangkan badannya.
Rayen menarik lengan tangan Sean,
dan kembali menampar keras pipi Sean. Kali ini lebih kuat, karena tamparan itu membuat sudut bibir Sean mengeluarkan darah.
Sean membuka kacamatanya dan menatap wajah lelaki itu lekat.
"Apa kamu lupa siapa nama kamu?" ucap Lelaki paruh baya itu sambil menahan amarah.
Seperti tak suka, Sean hanya memalingkan pandangannya dan mengorek telinganya dengan jari kelingking.
"Sean..." kali ini suara itu menggelegar, membuat seluruh isi hotel menunjukan pandangan kearah dua lelaki sedarah itu.
"Ada apa Tuan Rayen Chandra? Gak perlu nge gas, gue gak budek." Sean berbicara dengan mendekatkan wajahnya ke Papanya. Seperti ingin menantang Rayen untuk memulai peperangan lagi.
"Apa kamu lupa, siapa aku?" tanya Rayen dengan nada yang menahan amarah.
Benar-benar putranya yang satu ini. Sifatnya sungguh keras dan membangkang. Rayen sudah cukup bersabar menghadapi tingkah putranya selama ini. Kali ini, ia sudah benar-benar kehabisan kesabarannya.
"Coba gue ingat dulu, apakah lu ada dalam daftar memori gue?" ucap Sean. sambil melipat satu tangannya di dada, dan satu tangannya lagi mengelus dagu. Seakan-akan dia benar-benar tak ingat lelaki di depannya.
"Kamu." ucap Rayen dengan bibir yang bergetar karena menahan amarah yang semakin berkobar karena tingkah anaknya itu.
"Kayak nya, lu gak ada dalam daftar memori gue deh. Biasa kalok gak penting akan terbuang sendiri dalam ingatan sih." Sean mengucapnya datar.
Sean mengucapkannya tanpa dosa, namun itu membuat Rayen tak mampu lagi menahan amarah yang sudah hampir melahap habis akal sehatnya itu.
Bugh
Sebuah pukulan mendarat di perut six pack Sean. Kembali tinjuan menghantam wajah ganteng Sean. Namun seperti tak ingin membalas Sean hanya menahan semua pukulan Rayen. Sesekali ia terbatuk dan memuntahkan darah dari mulutnya.
Petugas meleraikan perkelahian kedua manusia itu. Hubungan darah itu, sepertinya terlupakan oleh Rayen, tanpa ampun ia masih memukul tubuh Sean yang sudah jatuh ke lantai.
Sean memegang dadanya yang beberapa kali kena pukul tanpa ampun itu. Sekali lagi ia batuk dan mengeluarkan darah.
Rayen yang di pegangi oleh dua orang satpam mulai kembali ke akal sehatnya, saat melihat putra sulungnya memuntahkan darah di lantai kilat lobi hotel.
Seperti ada rasa penyesalan yang bersarang di dadanya.
Ia berlutut bersimpuh di hadapan Sean yang berusaha untuk duduk dan mengatur nafasnya.
"Maafkan Papa, nak. Papa khilaf putraku."
"Cuih..." Sean meludahi kembali darah yang berada di dalam mulutnya.
"Jangan panggil gue seperti itu." ucap Sean yang mulai beranjak berdiri di atas kakinya yang melemas.
"Sean, putra ku. Kamu selamanya akan tetap menjadi putraku, nak." nada Rayen terdengar parau. Kini matanya mulai berhiaskan air mata penyesalan.
Ia memandang tangan yang ia gunakan untuk memukuli darah dagingnya itu. Sean tak melawan, namun amarahnya membuat ia kalap.
Masih ada rasa sayang yang tertinggal di hati Sean. Ia hanya menerima pukulan itu tanpa melawan.
Padahal jika ia mau, tak perlu waktu lama, ia mampu melumpuhkan lelaki paruh baya itu.
"Gue menyesali, seandainya nama gue hanya Sean Putra saja." ucap Sean sambil berjalan sempoyongan keluar lobi.
"Sean Rayen Putra... Itu akan selalu menjadi identitas kamu. Kamu bisa mengganti nama kamu, tapi kamu tidak akan pernah bisa mengganti darah yang mengalir di tubuh kamu, nak."
Sean menghentikan langkah nya, ia menolehkan sedikit kepalanya ke belakang.
"Itu yang gue sesali, kenapa harus darah Rayen yang menetes di darah gue. Kenapa bukan darah orang lain saja."
"Apa sekarang aku benar-benar sudah kehilangan putraku, Sean?"
"Bukan hanya Putra, tapi kau juga sudah kehilangan Putri. Sadarkah dengan apa yang sudah kau lakukan?"
Sean melanjutkan langkah gontai nya, ia berjalan menuju mobilnya dengan jalan sempoyongan.
Ia melajukan mobilnya kembali ke apartemennya.
Braaakk...
Sean membuka pintu apartemennya dengan keras. Megi yang sedang berkutat di dapur melompat kaget dan langsung berlari ke depan.
Matanya membelalak lebar saat ia melihat wajah Sean yang di penuhi luka lebam, bahkan bibirnya masih berwarna merah karena darah.
"Kak." Megi berjalan mendekati Sean.
Namun Sean dengan cepat menghalang tubuh Megi yang mendekatinya. Megi terdorong mundur dua langkah kebelakang.
Sean menutup pintu kamarnya dengan keras, terdengar suara pecahan barang yang di lempar kuat, Megi beberapa kali melompat terkejut, karena suara pecahan yang terlempar kuat dari dalam kamar.
"Aaaarrrrgggghhh!" jeritan Sean menggelegar memenuhi ruang apartemen nya.
Untung apartemennya berada di tingkat paling atas, tak banyak kamar yang berpenghuni disini. Dan kamar yang Sean huni adalah kamar yang terbesar.
Jadi kemungkinan suara Sean hanya terdengar ke beberapa kamar saja.
Kembali pecahan barang membuat Megi terkejut, ia hanya menghela nafas dan kembali ke dapur.
Sean terduduk di depan kasurnya, ia mengacak-acak rambutnya.
Terasa harum masakan Megi menganggu penciuman Sean.
Seketika Sean kembali mengenang indah masa lalu nya. Dimana hari-harinya selalu di hiasi harum masakan yang di bawakan Hana saat makan siang.
Hana, lagi-lagi ia memenuhi pikiran Sean. Hana, wanita manis yang menghiasi hidup Sean selama delapan tahun terakhir.
Wanita yang selalu Sean jaga, selalu Sean buat bahagia.
Wanita yang menjadi impian Sean selama bertahun-tahun lamanya. Yang menemani siang, malam Sean.
Hati Sean selalu terpaut akan lembut sikapnya, manis tutur katanya.
Sampai Sean harus menelan pil pahit tanpa air, yang di berikan Hana. Tepat seminggu sebelum pernikahan Sean, Hana di temukan seranjang dengan lelaki paruh baya.
Bagaikan geluduk yang membakar habis, Seperti itu lah Hana membakar seluruh kenangan indah di ingatan Sean.
Hana mengubah seluruh hidup Sean menjadi mengerikan.
Berkat ia, Sean menjajahi dunia malam, hanya untuk mencari tahu alasan di balik sikap Hana.
Apa yang di cari Hana selain dia?
Sean mampu memenuhi kebutuhan materi Hana.
Seminggu lagi, Hana pun akan terpenuhi kebutuhan batinnya.
Tapi kenapa Hana tidak sanggup menunggu waktu delapan hari.
Padahal ia sudah sanggup mendampingi Sean selama delapan tahun.
Sean menjatuhkan kepalanya ke kasur yang berada di belakangnya.
Tangannya menutupi dahi nya.
"Kenapa Hana, Kenapa?" ucap Sean sambil memejamkan matanya.
"Kenapa kau hancurkan aku tak bersisa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Mifta Siregar
kyk nya hana seranjang sama bapak nta sean
2024-11-01
0
Erni Fitriana
dunia berputar sean...jngn sia" kan potensi diri...come on weak up handspme😘😘😘😘😘😘💪💪💪💪
2023-08-07
0
Ana
Move on sean hidupmu msh pnjang, mungkin hana bukn tulang rusukmu
2020-07-10
0