Plaaak... sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Mirza.
Kini tangan halus Megi yang menampar nya.
Tak sanggup lagi, jika harus mendengar kakaknya menghina orang lain yang bermaksud baik melindungi ia.
"Cukup kak... Mau sampai kapan kakak terus menyalahkan aku atas meninggalnya Mama?" ucap Megi datar.
"Bukan aku yang meminta Mama melahirkan aku, bukan aku yang meminta harta Papa bangkrut, bukan aku yang membawa Papa pergi. Kakak menyalahkan aku atas kesedihan yang kakak alami, kakak terlalu egois, bahkan untuk meyakinkan diri kakak sendiri pun kakak gak mampu."
Sebuah tamparan melayang dari tangan putih Mirza, belum sempat mendarat di pipi Megi, tangan Sean lebih dulu menangkapnya. Membalikan tamparan itu yang membuat sudut bibir Mirza kembali berdarah.
"Jangan pernah sentuh apa yang menjadi tanggung jawab gue, sekarang." ucap Sean dengan mata sinisnya.
Megi yang mendengar perkataan Sean langsung melihat ekspresi wajah Sean. Kini lelaki itu membara bak api yang menyala, wajahnya merah padam tersulut api amarah.
Menyadari keadaan akan terus memburuk, Megi memutuskan untuk mengajak mereka kembali kerumah.
Mencoba untuk mendinginkan dua orang yang saat ini sedang berada di depannya, melindungi ia sepenuh jiwa.
Tapi baru berjalan tiga langkah, baku hantam terjadi kembali antara Mika dan Mirza. Kini Mika pun juga ikut terluka. Melihat kejadian itu warga membawa Mirza menjauh dari pemakaman.
Mereka sudah tak lagi heran melihat dua orang kakak beradik itu saling pukul. Semenjak mereka pindah ke rumah kecil itu, Mika dan Mirza sudah beberapa kali melakukan adu jotos.
Mirza memang lebih sering di kenal sebagai biang onar di kampung. Sebab itu Mirza jarang lagi kelihatan di rumahnya.
Sementara warga yang lain kembali kerumah kecil Mika dan Megi, untuk membereskan sisa-sisa pemakaman dan mengadakan acara tahlilan.
Megi duduk termenung di bibir ranjang tidur Papanya. Sementara tamu yang lain sudah pulang, menyisakan beberapa orang ibu-ibu kampung yang membereskan sisa acara tahlilan tadi.
Mika mendekat dan meraih ujung kepala adiknya. Sementara sepasang mata hanya memperhatikan dari luar kamar.
"Kemarin aku masih menyuapi papa makan siang kak. Papa masih bercanda denganku kak." Megi kembali meneteskan bulir beningnya.
"Ikhlas Megi. Biar papa tenang disana." bujuk Mika lembut.
"Aku masih mencium aroma Papa kak. Papa masih disini bareng kita kak."
"Megi."
"Kak... Aku masih tidur sambil peluk papa kemarin kak. Malam ini kenapa Papa biarin aku tidur sendiri kak. Kak bilang sama Papa pulang kak, Megi disini sendiri kak." Megi memeluk badan tegap milik Mika.
Mika hanya bungkam, tak tau harus menyuarakan apa. Ia pun sama hancurnya, namum apa yang bisa ia lakukan. Ini kehendak Tuhan bukan kehendak manusia.
Sepasang bola mata yang dari tadi memperhatikan kini mulai mengembun. Sean keluar dari rumah itu dan duduk di bangku depan rumah Mika.
Di keluarkannya sebatang rokok dan menyalakan apinya. Menghisap dengan santai lalu menghembuskannya perlahan. Tetapi sesak yang ia rasakan di dalam dada tidak mau ikut terhempas bersama asap rokok itu.
"Nak ganteng, kami pulang dulu ya." ucap salah satu Ibu-ibu yang sedari tadi membereskan rumah ini.
"Iya... Terima kasih Bu." ucap Sean sembari menyalami Ibu itu sebelum keluar dari teras rumah Mika.
"Dijaga itu adik perempuannya, pasti berat saat ini menjadi dia." ucap salah seorang Ibu berbadan bulat.
"Sabar ya kalian." sambung seorang lagi
Sean hanya tersenyum dan mengangguk, membiarkan para Ibu-ibu itu pergi meninggalkan rumah Mika.
Melihat keadaan yang sepi, Sean berniat untuk kembali pulang juga.
Ia mencari Mika kedalam, namun Mika tidak muncul di sudut manapun.
Ia hanya melihat Megi yang sedang tengkurap mencium bantal bekas Papanya, memeluk erat seakan ia sedang memeluk Papanya.
'Andai Rena juga begitu, pasti keluarga itu akan lebih baik' ucapnya dalam hati.
Lalu Sean tersenyum sendiri, Apa bedanya ia dengan Mirza yang selalu menyalahkan Adiknya atas apa yang menimpah keluarganya. Ia marah setengah mati mendengar Mirza berbicara seperti itu, tapi ia juga sama saja.
Sean berjalan memasuki kamar itu, dimana kemarin siang ia melihat Affandy dengan bercak darah di dadanya. Membayangkan kejadian itu langkah Sean terhenti, ia pun tidak sanggup jika mengingat hal itu.
Lalu bagaimana Megi mampu menahan itu?
Sean menghentikan langkahnya yang ingin masuk kedalam kamar. Ia mengurungkan niatnya dan kembali ke ruang depan.
Menghempaskan bokongnya ke lantai ruangan itu, tak lama Mika masuk ke dalam.
"Sean, Lu nginep malam ini kan?"
"Gue, gak bisa. Ada adik perempuan lu disini." tolak Sean langsung.
Mika hanya menghela nafas panjang, ia mendekat ke tubuh kekar Sean.
"Mau temeni gue begadang?" tanya Mika sambil menepuk bahu Sean.
Tanpa banyak berkata, Sean dan Mika keluar dari rumah yang pengap itu. Mereka memilih duduk di kursi kayu bawah pohon mangga di depan rumah Mika.
Sean kembali membakar sebatang rokok, kali ini Mika juga mengikuti kelakuan Sean. Mereka menghembuskan asap itu berbarengan.
Sean menatap Mika dengan ujung matanya, di lihatnya wajah Mika yang saat ini sedang kacau. Sesekali ia menyisir rambut gondrongnya kebelakang menggunakan tangannya. Sengaja ia melepaskan ikatan rambutnya selesai tahlilan tadi.
Rambut lurus nya yang saat ini masih berada di atas bahu, di biarkan tertiup angin malam yang membawa kenangan pahit yang hinggap di benaknya.
Mika menjatuhkan puntungan rokok yang baru dua kali di hisapnya itu.
"Gue rasa, rokok gak bisa menghibur hati gue."
Sean hanya memandang Mika dengan sudut matanya, ia masih menghisap batang rokok yang saat ini menempel di dua jarinya.
"Beberapa kali Papa nanyakin elu, ke gue."
Seperti terlepas sendiri, rokok di jarinya terjatuh ke tanah saat mendengar perkataan Mika.
"Saat Papa datang menjenguk gue di asrama Taruna, Papa selalu nanya in elu. Dia bilang dia rindu sama lu."
"Sorry, Mik. Gue..." Sean menggantung kalimatnya, tak tahu harus berkata apa.
Perasaan bersalah kini menjalar ke hati Sean. Ia selama ini tidak pernah berusaha untuk menghubungi sahabatnya ini. Padahal ia tahu, mudah sekali baginya untuk mencari jejak mereka. Tapi kemana dia saat itu, entahlah.
"Gue tau, Papa udah nganggep lu putra keduanya. Sebagian ilmu Papa di berikan untuk lu dan Mirza. Bagi Papa lu sama seperti Mirza." ucap Mika kembali, matanya menerawang jauh ke masa lalu.
Sean bukan hanya sahabatnya, tapi ia lebih dari itu. Hampir setiap waktu ia habiskan bersama. Walaupun mereka sering bertengkar, tak lama mereka pasti akan kembali membaik.
Rumah Mika selalu terbuka untuk Sean, terkadang Sean juga menginap dirumah Mika selama berhari-hari. Dari dulu hidup Sean memang tidak baik, ia sering lari dari rumahnya dan menumpang di rumah Mika.
Papa, memang seorang pengusaha terkenal di bidang properti, usahanya terus melambung tinggi. Tapi Papa lelaki yang hebat, ia masih sering mengurus anak-anaknya dirumah. Di tengah kesibukannya, Papa masih sempat mengunjungi Megi di Beijing.
Bukan hanya Mika dan Mirza, Papa juga ikut berperan dalam pembentukan karakter Sean. Hampir setiap sabtu dan minggu, Sean dan Mirza di gembleng dengan dunia bisnis.
Mika yang melihat mereka hanya tertawa, bukan Papanya tidak sayang padanya, tapi Papanya lebih paham. Mika tidak suka bermain di dunia bisnis, Mika lebih suka berpetualang bebas mengikuti arah angin.
Disana Sean mengambil separuh ilmu dari dunia bisnis. Kesuksesan yang ia raih hari ini sedikit banyak adalah campur tangan dari om Fandy. Rayen ia bukan seorang pengusaha sukses dulunya, tapi walaupun Rayen tidak sibuk, Sean merasa hubungannya sangat jauh dengan lelaki yang berdarah sama dengannya.
"Gue gak tau keadaan kalian seburuk ini Mik. Gue salah sama kalian, gue bener-bener bodoh..." ucapnya dengan mengacak-acak rambut gondrongnya.
Saat bersama Mika ia mampu menunjukan sisi lain di dirinya itu. Mika bukan cuma sahabat, tapi sifat Mika yang dari dulu dewasa juga bagaikan kakak untuknya.
"Hana, perempuan itu membuat gue melupakan semua yang penting dari masa lalu gue. Hana, dia yang menyeret gue jauh dari segalanya." ucap Sean sambil memukul-mukul dahinya dengan tumbukannya sendiri. Ada rasa geram yang membuat Sean marah saat menyebut nama itu.
Mika menarik gepalan tangan Sean yang sedari tadi ia pukulkan di dahinya.
"Hana, yang membuat elu jadi begini, kan?" ucap Mika sambil menatap wajah Sean.
Sean hanya bisa tertunduk, rahangnya mengatup dengan keras sampai menimbulkan gretakan pada gesekan kedua giginya.
"Hana, gue udah sering bilang sama lu kan. Dia gak pantes buat lu." sambung Mika dengan nada sedikit keras.
"Gue gak bisa Mika, gue gak bisa narik diri gue dari pesona Hana. Dia..." sean menggantungkankan kalimatnya.
"Hana, pernah nembak gue saat dia masih pacaran sama elu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Erni Fitriana
sedih banget aku waktu megi nhobrol sama mika😭😭😭😭
2023-08-05
0
🏕️𝕽ᵗᵐLing𝕽𝖍'𝖘😎 𝕽z
Jan sampe tar Hana balik lagi y klo
Sean dah sama mego
2020-07-04
0
ratmie lutfy
nex
2020-07-04
0