"Aku, semua bisa kak. Termasuk... buat kakak jatuh cinta sama aku." Megi menggigit bibirnya dan mengedipkan sebelah matanya.
Sean hanya tertawa geli, di pegang pucuk kepala Megi.
"Genit." Sean berlalu kesisi mobil satu lagi.
Mengambil posisi nyaman dan kembali menutup matanya. Megi memandang wajah Sean yang sedang tertidur, senyumnya merekah lebar.
Di lajunya mobil perlahan, menembus gelapnya malam. Ia bukan berasal dari keluarga sederhana. Tantenya di Beijing juga seseorang dengan kehidupan yang cukup baik. Ia pernah belajar mengemudi, walaupun disana tranportasi umum lebih sering di gunakan.
Megi menghentikan mobil Sean di depan teras apartemen. Di lihat Sean yang masih tertidur pulas, wajahnya begitu tampan saat matanya terpejam.
Megi menatapnya dengan senyum terbaiknya, tak puas rasanya ia memandang wajah Sean selama beberapa menit.
Di raih wajah Sean menggunakan jemarinya, mengambil beberapa helai rambut yang menutupi wajah tampan Sean.
"Kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu, kak? Padahal pertemuan pertama kita adalah luka."
Megi menghela nafas dan memeluk setir. Matanya menatap kosong ke depan.
"Kenapa?" Suara Sean mengangetkan lamunan Megi.
"Kakak gak tidur?"
"Tidur." Sean merentangkan badannya, melipat kedua tangannya dan di letakan di belakang kepalanya.
"Jadi, ini apa?"
"Gue itu sensitif, gue akan terbangun, walau hanya dengan satu sentuhan." ucapnya santai.
Megi hanya terlihat cuek, sebenarnya ia juga malu. Kelakuan ia tertangkap basah oleh Sean.
"Kenapa?" tanya Sean kembali.
"Tanpa alasan, Kak."
"Kok tanpa alasan?"
"Cinta datang tanpa alasan kak. Cinta hadir tak butuh sebuah alasan."
Sean memanyunkan bibirnya dan memutar bola matanya, seakan sedang mencerna ucapan Megi. Padahal ia hanya acuh, toh kalau perasaan Megi tidak terbalas, ia juga akan capek sendiri. Pikirnya begitu.
"Yaudah, turun. Gue mau balik!" perintahnya kasar.
"Kakak gak tidur di atas?"
"Lu gila apa? Gue ini laki-laki, mana mungkin kita tidur seatap."
Megi hanya mengangguk-angguk tanpa bergeming dari tempat duduknya.
Sean ini memang susah sekali di tebak, ia kasar, ia juga dingin. Kadang mulutnya terlatih untuk memaki, tapi ia masih memiliki adab dan juga etika.
"Tunggu apa lagi?" tanya Sean ketus.
"Kak, bisa gak sih, kalok ngomong itu santai?"
"Emang udah gini."
"Kakak itu jangan terlalu kaku kayak kanebo kering, muka itu jangan teralalu serius. Muka ganteng gitu di sia-sia in?"
"Apa?" tanya Sean sambil mengerutkan dahinya.
"Lu bilang gue apa tadi?" Sean menunjuk mukanya sendiri.
"Kanebo Kering?"
Megi hanya memganggukan kepalanya cuek.
"Kenapa lu bisa suka, kalok gue kayak kanebo kering?"
"Kenapa juga? kenapa, kakak gak bisa suka sama aku yang manis, imut, dan pintar begini?"
"Apa?" Sean tercekat mendengar ucapan narsis Megi.
Ia memutar bola mata malas. Ternyata gadis kecil ini terlalu pede.
"Lu itu cuma bocah di mata gue, Meg. Lu itu bahkan gak lebih tua dari adik gue. Udah gak usah mikir yang aneh-aneh Meg. Lu itu adik sahabat gue, gak mungkin gue ama lu." Jelas Sean panjang dan ketus.
"Tuh kan, kak Sean gak santai ngomongnya."
Sean hanya memainkan bola matanya malas, ia menyisir rambut gondrongnya kebelakang.
Megi memarik kerah baju Sean. Menarik agar wajah Sean mendekat ke wajahnya, matanya menatap Sean lekat. Bibirnya tersenyum manis, bahkan nafas hangat Megi mampu menembus kulit wajah Sean.
Megi mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Sean. Ia berucap lirih namun pasti.
"Belum, kak. Tunggu saja, akan ada saatnya kakak jatuh hati padaku."
Megi melepaskan cengkraman tangannya dan menolak tubuh Sean keras. Ia kembali tersenyum menggoda, mengedipkan satu matanya, sebelum ia turun dari mobil Sean.
Sean hanya terdiam terpaku, seperti tak percaya, Megi adalah gadis kecil yang sering menangis terseduh di hadapannya.
Sean menepuk jidatnya sendiri dan tertawa geli.
*******
Sean menumpuhkan dagu diatas gepalan jemarinya. Matanya menatap lekat kearah Megi.
Gadis kecil itu sudah bernyanyi dua lagu, suaranya sedikit serak namun terdengar sangat indah saat bersenandung.
Bibir mungilnya terus merekah lebar, jemari lentiknya lihai menari di atas tuts piano. Ia seperti menikmati setiap permainan pianonya, menyanyikan senandung ceria dengan penghayatan penuh.
Sean tersenyum simpul dan membuang pandangannya. Setelah beberapa menit ia memandang Megi kagum. Megi baginya bagaikan dua orang yang berbeda. Di umurnya yang masih belia, ia pintar sekali memalsukan ekspresinya.
Sean memandang Megi dari sudut meja terakhir, mata tajam Sean menangkap sosok yang selama ini menghilang.
Mirza, matanya masih lekat mengawasi gerak gerik Megi. Sebulan lebih, Sean membawa Megi menjauh dari Mirza. Namun malam ini kembali Mirza menemukan adiknya.
Mata Sean masih tajam memandang sekeliling. Beberapa pasang mata pria paruh baya menatap ke arah Megi, nakal.
Sean terkadang bertanya dalam hati, ia selama ini tidak pernah melihat Megi memakai pakaian sexy. Ia sering memakai dress di bawah lutut, dengan rok yang kembang. Bagian atas longgar, tak pernah pakai gaun yang press body. Tidak juga pakai baju tali satu, drees nya selalu berlengan.
Tapi kenapa Megi selalu menarik di pandang, seluruh pria tak mampu melepas pandangan jika melihat Megi tersenyum. Termasuk juga Sean.
Megi turun dari atas panggung dan menyapa seorang waiters yang mungkin seumuran dengan ia. Sean masih menatap lekat kearah Megi, mencari jawaban atas pertanyaan di pikirannya.
Bibir kecilnya terus merekah, menampilkan sederet gigi kecilnya yang tersusun rapi. Wajahnya bulat dan kecil, dagunya sedikit panjang. Seperti ada lesung di kedua sudut bibirnya saat tersenyum.
Suara kekeh Megi sesekali terdengar menyeruak keluar. Wajah Megi selalu manis dan terlihat sangat imut. Bila ia di jejerksn dengan gadis seumuran dia, maka ia memang terlihat lebih mempesona.
Sean merasa, bukan air mata Megi yang sandiwara, namun tawanya. Sean melihat Megi tertawa hampir setiap saat. Megi tak sadar, tawanya itu yang membawa ia berulang kali dalam masalah.
Megi jalan mendekat ke meja tempat Sean duduk. Senyumnya kembali merekah. Sean hanya menggelengkan kepala, gadis kecil itu terlalu pintar bersandiwara.
"Kak... tumben disini." Megi menundukan badannya untuk memandang mata Sean.
"Buang suntuk." ucap Sean ketus.
"Buang suntuk, apa... Rindu sama aku?" Megi menarik kursi dan duduk di hadapan Sean.
Sean hanya menggeleng dan mengeluarkan kepulan asap dari mulutnya.
"Udah makan?"
"Udah sih, tadi. Tapi kalau kakak mau traktir, aku makan lagi deh." jawab Megi mentel.
"Elu, badan kecil tapi makan banyak."
Sean mengangkat tangannya memanggil waiters yang berdiri di depan kasir.
Waiters itu dengan cepat datang mendekat dan mengantar menu.
"Aku butuh banyak energi kak. Untuk menakhlukan hati kakak." Megi memainkan kedua alisnya.
Sean hanya mampu menggeleng mendengar ucapan Megi.
"Ini baru satu bulan loh kak, aku masih punya waktu sebelas bulan lagi."
Kini senyum Megi kembali merekah.
Sean menatap waiters yang berdiri di antara mereka. Ada senyum simpul di wajah waiters itu. Sean mengisap kembali rokoknya dan menghembusnya perlahan. Menunggu waiters itu pergi.
"Terus kalok udah sebelas bulan, lu bakalan pergi gitu. Tinggalin gue, setelah gue takhluk? Keren..." ucap Sean datar.
"Emm... Emm..." Megi menggelengkan kepalanya.
Ia berpindah duduk ke sebelah Sean.
"Kalau nanti kakak udah jatuh cinta sama aku, aku gak akan tinggalin kakak. Aku akan minta izin sama kak Mika buat nikahi kakak. Aku akan selalu tinggal di sisi kakak. Gimana, kak?"
Sean tersenyum getir mendengar ucapan Megi. Seperti khayalan seorang remaja labil. Ia memilih diam dan tak menjawab.
"Cinta aku sama kakak itu tulus kak. Aku gak mungkin ninggalin kakak, aku akan selalu setia di sisi kakak. Nanti kalok kak Mika pulang, lamar aku ya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
ratmie lutfy
ow ow oooowww megi oh megi
2020-07-04
0
Tabina Ruby Azzahra
aduh megi😂😂😂😂😂
2020-07-04
0
rhynie
megi kekeh bgt y...
2020-06-11
0