Sean bergegas keluar dari kamar penginapannya semalam. Ia melajukan mobilnya kembali ke apartemen miliknya. Walaupun kehidupan Sean berantakan di malam hari, ia akan kembali waras saat siang hari.
Kemampuannya untuk mengelola bisnis perhotelan keluarganya, bisa dibilang sangat mumpuni. Hotel bintang lima yang ia pegang selama beberapa tahun belakangan ini semakin terlihat kemajuannya.
Banyak keluar ide-ide baru yang menarik para pelanggan saat hotel berada di tangan Sean. Sebenarnya, Sean adalah lelaki yang bertanggung jawab. Ia akan mengerjakan segala sesuatunya secara detil. Cara berpikir yang matang, ia selalu berpikir jauh ke depan sebelum mengambil keputusan.
Sebagai anak lelaki pertama dari keluarga Rayen, Sean mampu mengelola bisnis kelurganya menjadi lebih maju. Banyak yang menginginkan kerja sama dengannya. Namun, gaya hidup Sean yang masih berantakan, sifat kerasnya yang sangat brutal. Tidak dapat diatur oleh siapapun, termasuk papanya sendiri.
Beberapa kali Sean diminta untuk segera menikah, karena umurnya yang terbilang sudah cukup matang. Tetapi, siapa yang bisa memaksa lelaki berhati dingin itu. Di usianya yang baru 26 tahun, Sean sudah mampu menjadi Owner hotel termewah di kota ini.
Bisa dibilang semenjak Hotel Pesisir Putih di kelola oleh Sean, hotel itu terus masuk ke jajaran Hotel mewah dan menjadi hotel nomor satu di kota ini.
Tidak puas hanya memegang satu hotel saja, kini Sean masuk lagi dalam bisnis pengelolahan apartemen.
Bagaikan menginjak dua sisi, Sean terus melangkah menaiki anak tangga kesuksesannya semakin tinggi. Tapi ia menginjak kehidupan moralnya semakin rendah.
Prestasi yang diraih Sean berbanding terbalik dengan sifatnya di luar pekerjaan. Sean bak dua orang dengan kepribadian berbeda. Sesekali, ia menjadi seorang yang sangat bermatabat, tapi lain waktu ia menjadi seseorang yang lemah moralnya.
Ada alasan di balik segala sikapnya itu, tapi yang pasti, sikapnya itu menunjukan bahwa ia yang masih labil dalam menentukan sikap.
Ia yang masih terlalu rapuh dalam menjalani hidup.
Ia menjatuhkan badan di atas kasur, menatap langit-langit kamar apartemen mewahnya itu. Jauh sekali, berbeda dari tempat ia menginap semalam, tapi kenapa?
Di tempat yang sederhana itu ia mampu melelapkan matanya dengan pulas.
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, ia raih ponselnya yang berada di dalam saku jaket.
[Bos, rapat pemegang saham, siang ini pukul 11.00 WIB].
Pesan dari Farrel, asisten pribadinya.
Dilemparkan ponsel itu keras di atas kasur, seperti tak mengindahkan pesan itu, Sean malah kembali memejamkan matanya.
***
Sedari pagi, gadis belia itu sibuk membersihkan rumah sederhananya, di sela-sela kesibukan, ia masih harus mengurusi rumah.
Inilah sebabnya, kenapa ia memilih pekerjaan malam. Ia tidak akan sanggup meninggalkan papanya yang sedang terbaring, sendirian di rumah.
Jika ia bekerja di siang hari, maka papanya akan sendiri di rumah. Namun, jika ia bekerja pada malam hari, maka siang dan malam papanya akan ada yang menemani.
Akan ada Megi saat siang, dan akan ada Mika saat malam.
Dua kakak beradik itu saling membahu menjalankan tugas mereka.
Hanya Mirza sajalah yang tidak tahu diri, di tengah sulitnya kehidupan mereka, ia bukannya menjadi pelipur segala gundah, malah menjadi biang masalah.
Tak masalah jika ia hanya menutup mata dengan kesulitan mereka, yang penting ia jangan menjadi duri lagi dalam keluarga.
"Meg," panggilan lembut, dari seorang pria di dalam kamar itu.
"Iya, Pa."
"Sini, Nak." Ia melambaikan tangannya, menyuruh anak gadisnya itu masuk ke dalam kamar.
"Apa Mirza masih sering menganggu kamu?" tanya pria itu, sedih.
"Kak Mirza? Enggak kok, Pa," jawab Megi berkelit.
"Jangan bohong, anak gadis Papa bukan seorang pembohong."
"Enggak, Pa, kak Mika dan kak Mirza itu menjaga Megi dengan baik, kok, Pa. Megi bangga sama mereka, Pa."
Gadis itu memeluk badan rapuh si pemberi kehidupan tersebut. Tidak sanggup jika harus memandang wajah keriputnya itu, mata Megi yang sedari tadi sudah berembun tak sanggup menyimpan rahasia pahit ini lagi.
"Megi, masih harus mencuci, Pa." Gadis itu beranjak dari kasur lusuh milik papanya, keluar dengan cepat. Membasuh kedua matanya, agar lelaki itu tidak menyadari.
Ayah mana yang tidak mengetahui jika anaknya sedang menyimpan masalah? Setiap orang tua pasti akan tahu kejanggalan yang disimpan anak-anaknya.
Di balik ketidak berdayaannya pun, seorang ayah masih mampu mengetahui apa yang disimpan rapat oleh sang buah hati.
Sama halnya dengan Affandy, ia tahu, bahwa selama ini senyum gadis belia itu adalah kepalsuan. Ia tahu bahwa gadis kecilnya itu menjalani hidup yang berat.
Ia sering mendengar dari para tetangga kalau Megi sering berada di tempat perjudian.
Megi sering diantar oleh Mirza sebagai pemuas nafsu bejat para lelaki yang mungkin seumuran dengannya. Ada rasa kecewa yang mendera dalam benaknya, Megi adalah satu-satunya perempuan di keluarga mereka, tapi kenapa? Tiga bahu kekar pria tidak sanggup melindunginya.
Mika, adalah satu-satunya bahu yang berusaha melindunginya. Tapi Mirza, adalah bahu yang menjerumuskannya.
Tak sanggup melihat tingkah anak-anaknya itu, setiap malam Affandy selalu menyalahkan dirinya sendiri atas ketidak berdayaannya sebagai seorang ayah.
Affandy meraih sebuah bingkai poto di nakas samping kasur. Melihat wajah yang selama ini selalu menghiasi hari-harinya dan melahirkan ketiga buah hatinya.
Wanita yang jika sekilas orang asing lihat itu adalah Megi, namun, jika lebih di perhatikan lagi itu adalah ibunya.
Megi adalah perubahan bentuk baru dari almarhumah ibunya, wajahnya yang imut dan manis sangat mirip dengan wajah ibunya.
Itulah sebabnya, Mirza sangat membenci gadis mungil itu. Wajah Megi yang setiap sudutnya diukir persis ibunya itu, membuat Mirza semakin kalut jika melihatnya.
Mirza yang sedari kecil dekat dengan ibunya, harus bisa terima kehilangan sosok itu saat umurnya masih lima tahun.
Perasaan benci Mirza yang awalnya hanya berlandaskan karena Megi mengambil ibunya, semakin hari berubah menjadi semakin besar, melihat Megi dewasa semakin terlihat seperti ibunya.
Wajah Megi selalu mengingatkan ia akan luka itu, baginya Megi adalah sang perebutan kehidupan. Ia bukan hanya merenggut hidup ibunya, tapi ia juga merebut seluruh fisik milik ibunya.
Karena hal itu, Affandy menitipkan Megi pada adiknya yang bekerja sebagai fashion desaigner di Beijing. Berjauhan dengan putri semata wayang, hanya mampu melihat putrinya sesekali di tengah kesibukannya sebagai pengusha.
Saat ini, Megi mewarisi bakat dari sang adiknya itu. Megi mampu mengukir lukisan indah dari jemari lentiknya. Tetapi sayang, saat ini Megi hanya bisa bekerja kasar. Ia tak mampu lagi membiayai pendidikan anaknya.
Di segala impitan masalah hidup pribadinya, perlahan tapi pasti, Affandy mulai kehilangan keseimbangan dan harus berakhir seperti ini.
Seperti tidak ada ujungnya, kini ia harus diuji melalui anak keduanya itu. Mirza yang sedari kecil selalu ceria dan punya sikap lembut, perlahan tumbuh menjadi lelaki dewasa dengan setumpuk amarah yang tak pernah bertepi.
Paras tampannya itu selalu dihiasai dengan pandangan mata yang menusuk hati. Hampir setiap kali Mirza pulang kerumah ini, wajahnya selalu lebam, kulit putih bersih yang ia miliki selalu terlihat kusam dan bau.
Jauh sekali, Mirza berubah, ia adalah anak yang paling diandalkan dulu, kepintaran Mirza yang melebihi Mika, Affandy selalu mendidik ia sebagai ahli waris. Namun, takdir berkata lain, belum sempat ia benar-benar mendidik Mirza, keadaan mereka malah berubah.
Sebagai anak pertama, Mika mengambil semua tanggung jawab yang ia tinggalkan. Anak lelaki yang selalu ia rawat dan didik sepenuh hati, malah membuat keadaan ia semakin buruk saja.
Andaikan sang istri masih di sini, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini. Mungkin di tengah kesulitan kehidupan mereka, masih ada canda dan tawa yang terselip.
Masih akan ada keluarga yang saling menguatkan, bukan saling menyakiti seperti sekarang.
Sudut mata keriput itu mulai berhiaskan embun air. Perih, seharusnya anak gadisnya masih bisa hidup nyaman saat ini. Bukan malah bekerja pontang-panting ke sana-sini. Membuat badan mungilnya itu semakin terlihat ramping.
***
"Apa Sean sudah datang?"
"Belum, Tuan Rayen."
"Ck ... di mana anak itu?" Pria berwibawa itu mengeluarkan ponsel dari saku jas hitamnya.
Menghubungi anak lelaki semata wayangnya, tersambung, namun, sama sekali tidak diangkat. Setelah beberapa kali mencoba menghubungi, akhirnya yang ditunggu hadir menampakan batang hidung mancungnya.
Memakai baju kemeja tanpa dikancing, memakai kaus dalam berwarna hitam dengan gambar panthom. Jeans berwarna denim dan ada beberapa sobekan di lutut dan bagian pahanya. Rambut panjangnya diikat simpul. Cukup membuat Rayen menggeleng melihat tingkah anaknya itu.
"Ayo! Pak Rayen." Ajaknya, melengos ke dalam lift.
Rayen hanya bisa menggelengkan kepala, tak tahu harus berbuat apa. Putranya itu sudah dewasa, tapi tingkahnya masih seperti anak remaja yang sedang merajuk.
Ia mengikuti langkah putranya itu memasuki lift.
"Jangan memakai baju seperti itu saat rapat, Sean," ucap Rayen lembut.
"Memang kenapa? Yang penting gue nyaman," balas Sean cuek.
"Tapi ini rapat pemegang saham. Sesuaikan penampilanmu!" Rayen, menekan.
"Yang bekerja otak gue, bukan penampilan gue," jawab Sean, bahkan ia tidak menoleh sedikit pun.
"Sean Rayen Putra. Jangan lupa aku Ayahmu!" Suara berat itu meninggi, memenuhi ruangan kecil di dalam lift.
"Apa penampilan gue menganggu kepintaran gue, Pak Dirut Rayen?" tanya Sean, menatap sinis lelaki tinggi di sebelahnya.
Pertentangan ini tak akan ada habisnya, Rayen memilih diam dibandingkan harus bertengkar dengan darah dagingnya sendiri.
Sean memang sudah tidak seperti anaknya lagi, ia terlihat bagaikan seorang yang sangat asing.
Ada jarak yang memisahkan antara anak dan ayah itu. Saat ini mereka memang berdiri berdampingan, namun tembok yang didirikan Sean terlalu kokoh untuk bisa dihancurkan.
Tidak bisa dipungkiri, kepintaran Sean memang patut diacungkan dua jempol. Itu yang buat Rayen tidak bisa berkutik melawan kerasnya sikap Sean. Jika Sean sudah tidak mau membantu mengurus bisnisnya, maka semuanya akan tidak terkendali.
Ia hanya punya dua anak, tetapi kedua anaknya itu tidak sanggup mendidiknya. Ia memang pebisnis sukses, tapi saat di rumah, Rayen hanyalah seorang ayah yang gagal.
Sean tumbuh menjadi lelaki yang tidak karuan hidupnya, itu salah ia. Rena yang terjebak pergaulan bebas juga karena ia. Rumah mewah bak istana yang ia bangun hanyalah sebuah penjara, saksi bahwa ia adalah pemimpin yang gagal.
Gagal mempertahankan ke utuhan keluarganya. Sean sudah pergi meninggalkan rumah semenjak delapan tahun lalu. Ia memilih tinggal di apartemennya sendiri. Jangan tanya bagaimana hidupnya setelah itu, yang pasti hidupnya berantakan tak tentu arah.
Sean berjalan meninggalkan Rayen di belakang. Ia masuk kedalam ruang rapat, sudah tidak heran lagi melihat penampilan lelaki berwajah tampan itu.
Bagi peserta rapat yang lain, mereka terbiasa melihat Sean berdandan seperti itu.
Sebagian dari mereka juga sudah tahu adanya perang dingin antara anak dan ayah tersebut.
Tanpa banyak basa-basi Sean langsung memulai presentase idenya. Memang tidak bisa diubah lagi, apapun yang diutaran oleh Sean selalu menghasilkan tanggapan positif.
"Baiklah, semakin meningginya profit pendapatan Hotel pesisir putih, aku berniat untuk membangun kembali gedung apartemen di sudut barat kota. Disana ada lahan kosong yang sangat luas dan gue ... maksudnya, aku udah cek lokasi disana."
"Kenapa harus di sisi barat kota?"
"Karena letak di sana strategis Pak Dirut Rayen yang terhormat," jawab Sean dengan senyum palsu menyungging di bibir tipisnya.
Mendengar ucapan putranya itu, Rayen semakin malu. Seperti kehilangan wibawanya, Rayen berusaha untuk menghentikan tingkah putranya itu.
"Sean."
"Tolong jangan putuskan kalimat saya lagi, Pak Dirut yang terhormat. Biarkan Saya menyelesaikan ide saya dulu, oke."
Sean melanjutkan presentasenya, sama sekali tidak mempedulikan wajah ayahnya yang sedang ia lempari dengan rasa malu.
Rayen hanya menghela napas panjang, pertentangan Sean sudah tidak sanggup lagi ia hentikan. Rayen hanya bisa tertunduk malu di depan peserta rapat lainnya.
***
"Papa, ayo makan dulu," ucap Megi sambil membawa sepiring makan siang.
Ia membantu lelaki renta itu untuk duduk di atas kasurnya.
Dengan sabar ia menyuapi lelaki itu makanan yang ia masak sedari tadi.
"Meg, maafin Papa ya," Ucap pria itu sambil mengelus pucuk kepala Megi.
"Kenapa minta maaf, Pa?"
"Papa gak bisa kasih kamu kehidupan yang layak. Maaf Papa gagal jadi Papa yang baik buat kamu."
"Jangan bicara seperti itu, Pa. Papa, kak Mika dan kak Mirza adalah kebahagiaan terbesar buat Megi," jawab gadis itu sembari menyuapi lelaki yang amat dicintai itu.
"Jika Papa meninggal nanti, Megi ajak Kakak kamu pindah, ya. Tinggalkan orang yang menyakiti kamu di sini."
"Papa!" teriak Megi sedikit keras.
Ia tdak terima mendengar ucapan papanya, seperti kehilangan semangat hidup saja.
"Papa gak tahu diri ya, padahal Papa gak pernah merawat kamu dari kecil. Sekarang saat Papa sudah tua, malah minta kamu yang merawat, Papa."
"Tolong jangan katakan hal-hal seperti itu, Pa. Megi tidak ingin mendengar apapun lagi."
"Uhuuk."
Dengan cepat Megi menyodorkan segelas air untuk diberikan ke Affandy. Namun, gelas air itu bukannya terminum malah tumpah dicampur dengan darah yang keluar dari mulutnya.
"Ya Allah. Papa!" teriak Megi saat melihat keadaan lelaki itu semakin memburuk.
Dengan cepat ia mengambil tisu di tuang tengah, saat ia kembali, lelaki tua itu sudah tergolek lemas tak berdaya.
"Papa!" jerit Megi sembari menggoyangkan badan gempal pria itu.
Matanya sudah dibanjiri bulir bening. Ia meraih ponsel, menelpon Mika. Tetapi, ponsel Mika tertinggal di atas buffet.
Makin deras gadis kecil itu menangis, bingung mencari bantuan. Ia memutuskan keluar rumah, baru tiga langkah ia sudah kembali.
Terlalu panik, Megi bingung harus berbuat apa. Ia mengambil ponsel Mika dan mencoba mencari seseorang yang mungkin bisa menolongnya, di tengah kepanikan itu, entah kenapa nama Sean yang di teleponnya, berharap pintu hati lelaki bengis itu bisa terketuk untuk menolongnya.
Sedang, yang ditelepon masih menjelaskan idenya di depan peserta rapat. Nada dering ponsel itu berdering keras. Tangannya meraih dari saku celana dan melihatnya. Seketika dahinya berkerut.
"Mika? Tumben benget nelpon?" Sean kembali memasukan ponselnya ke saku, tapi belum sempat ia masukan, telepon itu malah terangkat.
"Kak ... kak Sean, Tolong aku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Erni Fitriana
ya Allah ternyata lewat pp affandi mungkin jalan komunikasi sean-megy
2023-08-05
0
ratmie lutfy
nex
2020-07-04
0
Arumi Bilqiss
semangat thor..
2020-02-21
1