"Tuntun Papa menuju jalan terakhir, Nak." Kalimat itu mampu membuat napas Sean tersengal.
Memang dirinya yang saat ini berada di samping Affandy. Namun, Mikalah yang lebih berhak atas itu. Lelaki garang itu ingin beranjak pergi, memanggil Mika yang sedang membawa Megi menenangkan diri. Kembali, tangan Sean diraih oleh Affandy.
"Papa minta kamu, Nak. Kamu mau kan menghantarkan Papa pulang?"
Kalimat sederhana itu mampu menyumbat pernapasan Sean, menghantam dan merajam jiwanya yang telah lama berkelana. Bara api yang selalu ia kobarkan di dalam hati perlahan meredup.
Diseka kedua matanya sebelum air itu melintasi pipi.
Bibirnya kelu mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang sudah lama sekali jauh dari pengucapannya. Setelah beberapa lama ia mengucapkan kalimat kasar, ini pertama kali ia kembali menyebut kalimah Allah.
Lelaki berhati dingin itu mulai membungkuk, menyamakan bibir dengan telinga Affandy.
"Ikuti Sean, Pa. La ... illaha ... Ilallah," bisiknya di telinga kanan Affandy,.bibirnya bergetar menahan tangis yang seharusnya ia tumpahkan, tapi karena ego, ia memilih untuk menahannya.
"La ... il ... lah ... ha ... ila ... Allah," ucapnya terbata, namun, Sean masih sanggup mendengarnya karena telinga yang ia tempelkan dekat dengan bibir Affandy.
Tit ... Tit ...
Monitor detak jantung Affandy berhenti.
Teriakan suara Megi menggelegar dari luar pintu kaca. Ia membuka pintu dengan kasar dan langsung memeluk tubuh kaku Affandy.
"Papa ... Bangun!" Ia menggoyang-goyangkan jasad Affandy. Berharap detak jantungnya hidup kembali.
Mika terduduk lemas di lantai koridor Rumah sakit. Tak sanggup menghadapi segala kenyataan yang semakin pahit ini.
Sama halnya dengan Sean yang terduduk lemas di lantai ruangan, di bawah kasur tempat Affandy terbujur kaku.
Memang Affandy bukan lelaki yang menetesi darah di tubuhnya. Akan tetapi, Affandy-lah yang meneteskan cinta di hatinya. Yang tak pernah ia dapatkan dari orang-orang di rumahnya.
Ada ketegangan di setiap wajah mereka, luka yang tak bisa dikatakan, yang pasti mereka berharap ini hanyalah mimpi buruk saja.
"Papa ... Megi mohon bangun, Papa!" teriak Megi sembari memukul-mukul dada lelaki tercintanya itu.
"Jangan pergi, Pa. Megi belum sempat buat hidup Papa bahagia. Megi masih ingin merawat Papa!" teriak gadis itu di depan jasad Papanya.
Sementara Sean hanya mampu menatapnya tanpa berani mendekati. Ia tahu luka yang sedang dialami gadis kecil itu masih terlalu berat untuk dipikul oleh tubuh mungilnya.
Oh Tuhan, seandainya papanya yang pergi, apakah Rena akan seperti itu?
Sean selalu membandingkan hidupnya dengan sahabatnya itu. Apa yang dimiliki Mika selalu yang terbaik, walaupun hidupnya tak lengkap karena tanpa Ibu, tapi Mika selalu di kelilingi orang-orang yang tulus menyanyanginya.
"Megi ... Udah, Dek." Peluk Mika dari belakang.
"Ikhlaskan Papa, Sayang." Mika meraih wajah Megi seraya menghapus bulir beningnya.
Dipeluk erat badan mungil adiknya. Mereka masih harus saling menguatkan di saat yang paling sulit dalam hidup mereka.
Mika menarik tangan Sean yang sedang terduduk di lantai.
Ia memeluk badan kekar lelaki itu. Lalu menguraikannya.
"Ini memang sulit buat kita, Sean. Kuatkan dirimu," ucap Mika dengan wajah yang tak kalah kacau dengannya.
Mika memang kakak dan anak yang terbaik, ia mampu menyimpan lukanya sendiri. Kakinya berdiri sangat kuat.
"Mika, gue ... Gue minta maaf," ucap Sean yang tak enak hati karena Affandy lebih memilih ia yang menuntun langkah Papanya di saat terakhir kali.
"Sean, Papa menyanyangi lu, dia pasti rindu sekali sama lu. Dia sering menanyakan lu dulu. Karena itu, mungkin ia ingin lu yang mendampinginya untuk terakhir kali."
Kembali hati Sean terpenuhi rasa bersalah. Kemana saja ia selama ini, ia selalu melupakan lelaki itu. Ia bahkan hanya mengingatnya tanpa mencari tau keberadaannya.
Andai ia tahu keadaan mereka dari dulu. Mungkin Affandy tak akan berakhir begini.
"Maafin gue, Mik. Gue gak mencoba mencari kalian dari dulu." Perlahan ketahanannya gamblang, ia menarik bahu besar sahabatnya itu untuk menopang.
"Bukan kesalahan lu, Sean. Jangan salahkan dirimu," ucap Mika seraya meleraikan pelukannya.
Mika memguatkan kakinya pergi untuk mengurus jenazah Affandy.
Di mana Mirza saat ini, lelaki itu tak peduli dengan apa yang terjadi pada keluarganya.
***
Pemakan hari ini dihiasi gerimis rintik yang mewakili air mata Megi.
Matanya terlihat begitu sembab, dari semalam tangisannya tak pernah berhenti.
Megi begitu terpukul akan kepergian Papanya. Baru sekitar setahun ia kembali berkumpul dengan Papanya, kini lelaki sudah kembali pergi menghadap Sang Ilahi.
Megi menyiramkan air di atas kuburan Papanya. Air matanya yang selalu basah mengiringi setiap proses kepergian sang penopang hidup itu.
Belum lagi selesai menyiramkan air, tangan Megi kembali ditarik paksa oleh Mirza. Menjauh dari tempat pemakaman sang Ayah.
Seluruh masyarakat yang hadir terkejut dengan kehadiran Mirza.
"Lu ... dasar pembawa sial!" umpat Mirza lantang, membuat semua mata yang hadir menatap kearah mereka.
Megi yang masih terpukul berat, hanya bisa menangis tanpa henti. Tak didengarnya ucapan menyakitkan dari bibir kakaknya.
"Ngapain lu disini, lu itu seharusnya jauh-jauh dari keluarga kami. Lu gak puas ya udah buat Mama gue pergi, sekarang lu nguburin Papa gue!" Suara Mirza yang menggelegar membuat Mika dan Sean datang mendekat.
"Pergi lu jauh-jauh sana!" Mirza mendorong kuat badan mungil Megi. Seketika gadis itu terhuyung, Mika dengan sigap menangkap badan mungil adiknya sebelum ia tersungkur ke tanah.
Satu tinjuan mendarat di pipi Mirza. Seluruh mata yang menyaksikan berbondong-bondong mendekat, mencoba meleraikan perkelahian sedarah itu.
Sementara, gadis mungil itu telah berada di dalam pelukan Sean. Lelaki berambut panjang itu membenamkan wajah Megi di dalam dadanya, menahan pandangan gadis itu agar tak melihat tingkah kedua kakaknya.
"Lu yang seharusnya pergi. Bukan Megi, lu yang gak seharusnya ada di sini!" teriak Mika dengan suara yang tak kalah lantang.
"Lu sadar gak, Kak? Gadis itu udah ngerusak hidup kita, hidup Papa!" balas Mirza yang lebih berapi-api.
Satu pukulan kembali menghantam pipi Mirza, seperti terbiasa oleh pukulan. Mirza tak pernah merasa kesakitan. Sekeras apapun Mika menghantam wajahnya, Mirza tidak akan pernah berhenti untuk mencela.
Ustaz yang membawa acara pemakaman melerai kembali perkelahian itu. Kali ini tubuh Mika dipegang oleh beberapa orang. Agar tidak kembali terjadi baku hantam antara dua saudara tersebut.
"Belum puas lu udah ngambil mama, lu buat papa bangkrut dan sekarang lu buat papa pergi lagi. Dasar perempuan sial!" Kembali Mirza mengumpat kesal.
Sean menghalangi wajah Megi yang ingin menoleh, ia semakin membenamkan wajah gadis itu di dalam dadanya, kini telinganya juga ditutup oleh kedua telapak tangan besar milik Sean.
Berharap agar Megi tidak mendengar apa pun yang diucapkan Mirza. Namun, Megi bukan lagi gadis kecil, seberapa kuat Sean menekan tangannya untuk menutupi telinga, ia masih bisa mendengarnya.
"Udah bagus lu gue kasih kesempatan untuk nebus kesalahan lu, tapi apa? Berulang kali lu buat gue terjebak masalah. Kenapa bukan lu aja sih yang dikubur?"
"Mirza!" teriakan Mika membuat semua orang terdiam.
Wajahnya memerah padam, rintik-rintik gerimis tak mampu lagi meredam amarahnya. Bara api di dalam dirinya telah marak bekobar. Beberapa orang yang sempat menahan tubuh Mika mulai kewalahan menahan gejolak amarah pria tersebut.
Sedang, gadis itu hanya terus menangis, tak cukup selama ini pahit yang diberikan oleh kakaknya itu. Bahkan saat pemakaman terakhir papanya pun ia masih terus menyakiti hati Megi.
Seperti menabur cuka di atas luka, hati Megi sudah hancur tak beraturan. Kemeja putih polos yang Sean kenakan, menjadi saksi air matanya yang tak pernah mengering.
Masih memeluk Megi, Sean berjalan mendekati Mirza. Meraih wajah Mirza hanya menggunakan satu tangannya, sedangkan satu tangan yang lain, masih memeluk erat tubuh mungil gadis malang tersebut.
Sean menekan pipi Mirza sampai bibir itu mengerucut kedepan. Mencengkeram sangat kuat sampai lelaki itu tak kuasa melepaskannya.
"Tutup mulut sampah lu itu, atau gak ... gue buat mulut lu gak bisa bicara lagi!"
"Siapa elu? Gak usah ikut campur!" ucap Mirza, tak terima dengan kehadiran lelaki pengacau tersebut.
"Siapa gue itu gak penting, yang lu harus tau, gue gak bakalan segan-segan hancurin mulut sampah lu itu."
Satu tangan Sean saja mampu membuat Mirza merasakan sakit di pipinya. Ditambah lagi pipinya sudah lebam akibat pukulan keras dari kakaknya.
Sean sebenarnya tertantang untuk menghabisi si mulut sampah di hadapannya itu. Sebagai mantan atlet bela diri Systema, ia sadar bahwa saat ini, satu pukulannya mampu membawa Mirza menyusul papanya.
Tidak ingin menambah luka, Sean hanya berusaha untuk tetap melindungi tanpa harus menyakiti. Apalagi ia sudah berucap janji pada Affandy, tidak ingin membuat keadaan ini lebih kacau lagi.
Mirza juga salah satu adiknya, ia dan Mirza cukup akrab dulu. Affandy sering mengajari ilmu bisnis kepada ia dan Mirza. Sean sadar dari dulu Affandy telah menyiapkan Mirza untuk menjadi ahli warisnya. Tapi sikap Mirza yang sekarang membuat Sean lupa akan kenangan indah itu.
"Lu mau pergi, atau gue yang buat lu pergi?" ancam Sean kembali, ketika melihat Mirza masih berdiri menatap lekat ke arah Megi yang masih berada didalam pelukan Sean.
"Dasar gadis Jal*ng ... sudah punya piaraan baru ya?"
Plaaak ... sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Mirza.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Erni Fitriana
akhlak mirzaaaa...akhlak...dipemakaman itu...kesambet mak kunkun mau lu????
2023-08-05
0
Ana
Thor.. km mengingatkan q pd alm ibu jg bpk q thor 😭 dda q sakit nyesek sedih gado2 pokoke lh
2020-07-10
0
🏕️𝕽ᵗᵐLing𝕽𝖍'𝖘😎 𝕽z
heeehh
gedek dech SMA mirza
2020-07-04
0