Lentik jemari gadis belia itu menari indah di atas tuts piano, disertai senandung indah dari suara lembut, sedikit serak milik gadis kecil itu, membuat ia bak penyanyi papan atas.
Selalu banyak mata yang memandang Megi, tidak terkecuali mata-mata para pria hidung belang yang ingin memetik kelopak bunga gadis belia nan rupawan itu.
Memang, pekerjaan yang diambil Megi mengandung resiko yang sangat besar. Berulang kali terjebak dalam lembah hitam, tak membuat Megi keluar dari dunia malam.
Sebenarnya, ia hanya bernyanyi di cafe muda-mudi biasa, namun siapa yang bisa menjamin, tidak akan ada mata nakal yang mencoba meraihnya. Kesempatan itupula lah yang selalu diambil Mirza untuk mendapatkan uang secara mudah dan banyak.
Setiap ada mata nakal yang memandang adiknya itu, maka akan didekati dan melakukan penawaran. Alih-alih mendapatkan uang yang banyak, malah berulang kali Mirza harus terjebak. Lagi dan lagi Mirza harus mengigit jari, karena Mika yang selalu berhasil menghalangi niat busuknya.
Megi yang polos itu tidak pernah sadar, kalau sepasang bola mata selalu memperhatikan dia. Mirza akan mencoba menarik Megi setiap kali ada kesempatan, namun Megi itu, entah beruntung, apa memang ada pelindungnya. Dia terus gagal dan gagal lagi.
Tepuk tangan terdengar riuh saat gadis kecil itu menghentikan tuts terakhir permainan pianonya.
Dia melirik jam di tangan, masih pukul delapan lewat, namun pekerjaannya sudah selesai. Ia membereskan ransel mungil miliknya dan berniat segera pulang. Sekadar melihat keadaan papanya di rumah, sebelum jam siaran malam di radio, mulai.
Baru dua langkah Megi keluar dari cafe, tangannya kembali ditarik keras oleh pria tampan berhidung bangir itu.
"Ikut gue!" teriaknya keras.
"Kak Mirza ... Kakak," ucap Megi sambil melihat sisi bibir Mirza yang pecah karena bogeman tangan besar Mika.
"Kakak gak apa-apa?" tanya Megi cemas.
"Gak usah banyak tanya. Ikut gue!" Tariknya kasar pada pergelangan tangan Megi.
"Aku gak mau, Kak!" Berontak Megi melepaskan cengkeraman tangan Mirza.
Wajah yang menahan marah, Mirza mencengkeram kedua tangan Megi, kuat. Menarik paksa tubuh kecil gadis kecil yang hanya setinggi bahunya tersebut.
"Mas ... Mas Wahyu. Telepon kak Mika ... tolong, Mas!" teriak Megi kencang, berharap si kasir mendengar ucapannya.
Mirza yang sadar rencananya akan kembali gagal, membekap mulut Megi dan menarik tubuh mungil itu masuk kedalam sebuah taksi.
"Kak mau bawa aku kemana?" tanya Megi cemas.
"Diam ... gak usah ribut!" bentak Mirza pada gadis mungil itu.
"Kak ... aku ada siaran malam Kak, bawa aku ke studio Gipsi, Kak."
Mirza yang mendengar celoteh adiknya itu, mencengkeram kuat pipi putih gadis itu dengan satu tangan.
"Gue kasih elu kerjaan yang gampang dan banyak duitnya. Bukan kerjaan yang kere seperti elu jalani itu!"
Mendengar perkataan kakaknya, air mulai mengalir dari kedua mata gadis kecil itu. Bagaimana lagi dia bisa lari dari cengkeraman lelaki ini. Kenapa? Setiap hari selalu saja ia mengalami kejadian menjijikan seperti ini.
Ingin menelpon Mika, namun jika ia mengeluarkan ponselnya, pasti akan direbut paksa oleh Mirza. Itu akan lebih parah, karena Mika akan kehilangan jejaknya.
Mika sengaja mengaktifkan GPS ponsel adiknya itu. Agar sewaktu-waktu jika kejadian ini kembali terjadi, Mika akan mudah mencari di mana keberadaaan gadis kecil itu.
Mobil taksi itu berhenti di depan sebuah kelab malam ternama. Mirza menyeret Megi keluar dari dalam taksi dan mencengkeram kuat kedua tangan gadis kecil itu.
'Dimana kak Mika, apa mas Wahyu gak dengar ucapanku?' benak Megi terus memanggil nama malaikat penolongnya itu.
Megi menendang kuat bagian terlarang Mirza dan mencoba untuk kabur. Dikeluarkan ponsel dengan cepat dan mencari nama Mika. Mirza yang mengejar dengan menahan sakit sempat kehilangan jejak adiknya itu.
"Ah ... sial! Kemana larinya dia?" Dia mengumpat kesal.
***
Di dalam kelab malam itu, duduk seorang pria tampan berambut panjang, dengan mengikat sebagian rambutnya, ia mengeluarkan pesona miliknya.
Ia memesan sebotol sampanye dan duduk di sofa merah kelab malam itu. Mengeluarkan sebungkus rokok dan menghisapnya perlahan.
Tanpa menunggu lama, datang dua orang gadis berpakaian minim dengan bibir merah merona, berjalan melenggang ke hadapannya. Duduk di sebelah pria muda itu tanpa diminta.
"Mas ganteng, kok sendirian saja sih?" tanya seorang gadis tinggi di samping kanannya.
"Kita temenin ya." Kali ini gadis berbadan sintal di samping kirinya.
"Mau temenin?" Dia meraih dagu gadis di sebelah kirinya, dengan satu jarinya.
"Boleh saja," jawabnya sambil merenggangkan kedua tangan dan menaikan sebelah kakinya ke atas pangkuan.
Menggoyang-goyangkan kakinya seolah menikmati keadaan. Kedua gadis itu langsung menjatuhkan kepala ke atas dada bidang milik lelaki kekar tersebut. Jari lentik wanita itu mengelus lembut dada bidang milik lelaki berambut panjang di dalam dekapan.
'Shittt !' umpatnya dalam hati. 'Jadi begini cara mereka menggoda. Dasar murahan'. Ia memaki dua gadis itu dalam hatinya.
Bagaimana bisa mereka menggoda tanpa memikirkan seseorang yang mungkin mencintai mereka dengan sangat tulus.
Dia mengisap rokok di tangan, menjatuhkan putungnya, lalu menginjak dengan sedikit geram. Ia mengeluarkan satu batang lagi, dan membakarnya kembali.
Entah apa yang dia lakukan, dia pun bingung. Yang pasti dia jijik melihat tingkah dua gadis di sampingnya ini.
Pandangan mata lelaki itu beralih ke sofa yang berada di depannya. Beberapa orang lelaki berumuran sekitar empat puluh tahun, tanpa beban menggoda gadis-gadis murahan itu.
"Jijik sekali melihat tingkah mereka, apa dia tidak ingat istrinya di rumah?" teriak pria ganteng itu kesal.
"Mas ... kalau semua laki-laki ingat istrinya di rumah, maka bar ini akan sepi pelanggan, dong, Mas," jawab simpel seorang gadis di sisi kanannya.
"Kalian berdua gak malu kerja begini?" tanyanya kesal.
"Mas sendiri, gak malu datang ke sini?" timpal gadis di sisi kirinya.
Plak ... seperti tertampar oleh pertanyaan sendiri. Setiap orang yang berada di tempat hina ini, jelas statusnya sama saja. Murahan!
Wanita ataupun laki-laki yang berada di tempat ini semua sama hinanya. Sedangkan dia? Apa tujuannya datang kemari, jika bukan untuk menghibur diri.
Entah apa yang mendorong lelaki tampan itu kedaerah hina ini. Ia mencari sebuah jawaban atas pertanyaan hatinya selama ini, namun selama berbulan-bulan jawaban yang ia cari tidak kunjung datang.
Hanya sebuah kecanduan yang membuatnya ingin kembali ke tempat kotor ini. Suasana ramai yang ia kira mampu menghibur luka hati, namun hanya malah menambah beban luka saja.
Ia menatap tajam, saat datang seorang lelaki yang mungkin lebih muda darinya, dengan menyeret gadis muda. Dia memaksa gadis belia itu duduk dan menawarkannya pada lelaki tua yang ada di hadapannya.
Lelaki muda itu menolak badan gadis kecil itu, mendekat pada bibir lelaki tua yang sudah banyak mencium gadis-gadis bar di sini.
Sedang, pria tua itu mencoba mencium aroma tubuh si gadis kecil. Dengan wajah takut, si kecil menghindar dari penciuman lelaki tersebut.
Sean membuang kembali batang rokoknya, kali ini dia menginjak dengan sangat kuat.
"Jijik gue lihatnya!"
Seperti ada kemarahan yang dipendam, melihat tingkah si tua bangka itu.
"Kenapa sih, Mas? Dari tadi jijik mulu ngomongnya?" protes gadis sintal yang membelai lembut dagunya.
Seperti tidak mengindahkan perkataan si gadis sintal itu, dia masih menatap ke arah pria tua dihadapan yang sedang menggoda gadis kecil.
Dilihatnya Mirza yang sedang menghitung uang dengan mata berbinar-binar, senyum merekah lebar di bibir lelaki muda itu.
Dipaksanya si gadis kecil untuk mengikuti langkah pria tersebut. Terdengar rengekan si gadis kecil kepada si pria muda. Namun tanpa menoleh, pria itu seperti tak peduli.
"Dasar sok suci!" makinya lagi.
Kini dia bangkit dari tempat duduk dan melemparkan uang di atas meja. Menutupi kepala dengan topi jaket yang digunakan.
Cepat, tangannya menarik lengan tangan gadis itu, terlihat kekesalan tergambar di wajah pria paruh baya tersebut.
"Eh ... Bos. Dia wanitaku," kata si lelaki tua itu.
"Aku beli dia," jawab Sean angkuh.
"Mau ... tunggu giliran, dong. Aku yang bayar duluan," balas pria paruh baya itu, genit. Tangannya ingin mencolek dagu Megi, namun ditahan oleh Sean.
"Eh ... apa ini?" tanya Mirza, menengahi.
"Aku beli dia," ucapnya kembali.
"Wah ... Bang, kalau mau, tunggu antrean, ya. Bapak ini duluan. Nanti selesai sama Bapak ini, sama Abang deh," ucap Mirza enteng.
Mendengar ucapan Mirza yang bak iblis menyerupai manusia itu, mata gadis kecil tersebut mulai berhiaskan kaca. Tanganya sakit sekali, dicengkeram kiri dan kanan.
'Kak Mika, tolong aku!' Dalam hati ia terus memanggili kakaknya. Seharusnya Mirza juga memperlakukan dia sama seperti Mika. Namun, Mirza malah mencoba merusak hidupnya.
"Aku mau dia, saat ini juga!" ucap Sean, matanya terus memandang lekat gadis kecil yang mulai menangis terseduh itu.
"Gak bisa, Bang ... Bapak ini sudah bayar lima juta. Jadi Abang nunggu antre saja, ya," jawab Mirza antusias, sekalian memancing. Mana tahu paras indah Megi mampu membawa uang yang lebih banyak untuknya.
"Gue bayar dua puluh lima juta."
'Nah ... kena kan umpanku.' Dalam hati Mirza bersorak senang. Umpannya telah di makan sempurna.
Sementara Megi yang dilanda kecemasan, memandangi wajah lelaki yang menawarnya dengan harga tinggi itu. Semakin deras air mata yang melintasi pipinya. Namun, lelaki itu tidak menunjukan ekspresi sama sekali.
"Uangnya dulu Bang, baru aku kasih wanitanya," ucap Mirza tanpa ampun.
"Wah ... gak bisa gitu, dong. Saya yang duluan," protes keras si Bapak tua yang tak terima kekalahannya. Ia sudah tidak sabar bagaimana rasanya mencicipi gadis belia ini.
"Pak, siapa mahal dia dapat. Kalok Bapak mau tiga puluh juta, saya kasih dia ke Bapak." Tawar Mirza seperti berdagang sayur saja.
"Tapi--"
"Dah ... ini uang Bapak, nanti lain kali saya kasih Bapak, deh." Dengan cepat Mirza mengusir Bapak tua itu tanpa harga.
Sean menarik tangan gadis kecil itu, saat Mirza menerima bayaran di rekeningnya. Puas, sekali kerja dia mampu membawa uang dengan jumlah yang sangat banyak. Tidak dia pikirkan bagaimana nasib sang adik di tangan orang asing.
Bahkan Mirza tidak melihat bagaimana rupa sang pembeli badan adiknya itu. Wajah Sean yang tertutup topi jaket ditambah lampu remang-remang dari kelab malam, membuat Mirza tidak dapat melihat dengan jelas.
Toh itu bukan masalah buatnya, mau lajang atau kakek tua sekalipun, yang penting uangnya banyak.
Baginya mendapatkan uang banyak dan bisa berfoya-foya adalah suatu kesenangan tersendiri. Walau dia harus mengorbankan hidup indah sang adik.
Megi dilempar keras, memasuki mobil hitam legam berbodi besar milik Sean. Ia melajukan mobilnya dengan cepat meninggalkan parkiran kelab malam itu.
Sementara Megi yang duduk di sampingnya terus menangis tanpa henti. Mencoba untuk mengirimi pesan kepada kakaknya.
Ada rasa marah yang membuncah dalam dirinya, ketika melihat wajah gadis kecil itu terus dihiasi bulir bening air. Ia menatap sinis dengan sudut mata.
"Gak usah banyak nangis, elu suka kan kerja begini. Sok drama!" ucap Sean dengan nada kejam.
Megi yang mendengar ucapan lelaki muda itu, sontak memalingkan wajah. Dilihatnya pemuda tampan dengan rambut gondrong yang diikat sebagian. Hidung yang mancung bak perosotan dan bibir tipis tetapi kejam.
Wajahnya terlihat lembut tapi kenapa ucapannya kasar sekali?
"Kenapa? Gak suka gue ngomong gitu?" sambung Sean dengan mata yang masih menatap lurus kedepan.
Dengan lihai dia membawa mobil hitam berbadan besar tersebut, melewati keramaian kota malam. Memasuki area hotel bintang lima dan memarkirkannya tepat di depan teras hotel.
"Turun!" perintahnya kasar.
Sean mengenakan kembali topi jaketnya, kali ini ditambah kacamata hitam. Cepat, kakinya menaiki lift menuju lantai delapan dan mencengkeram kuat lengan tangan Megi.
Menyeret badan mungil gadis itu melewati koridor kamar dan membuka pintu sebuah kamar di sisi paling ujung. Ia melemparkan badan Megi ke atas kasur. Menutup pintu hotel dan membuka jaket beserta kacamatanya. Hanya meninggalkan kaus ketat yang membentuk tubuh six pack miliknya.
"Tanggalkan seluruh pakaianmu!" perintahnya langsung.
Megi yang mendengarkan perintahnya langsung melompat keluar kasur dan berlutut di hadapannya.
"Aku mohon Kak, jangan lakukan itu. Aku gadis baik-baik," pinta Megi, mengemis.
"Hah ... baik-baik? Cuiih." Sean membuang saliva ke samping.
Dia mencengkeram pipi Megi dan menekannya.
"Gadis baik-baik, tidak ada di kelab malam. Jangan banyak drama, cepat lepaskan!" perintah Sean sedikit keras.
Megi memeluk betis Sean sembari memohon. Begini memang setiap kali dia ingin menyelamatkan kehormatannya, dia rela membuang harga diri.
"Kak aku mohon. Aku akan gantikan uang Kakak. Tapi aku mohon jangan lakukan ini padaku."
Mendengar kata-kata Megi malah membuat amarah Sean semakin meledak. Dia menarik lengan tangan gadis kecil tersebut. Megi memejamkan mata, menahan sakit cengkeraman tangan kekar pria itu.
"Apa elu lebih suka jika pria tua itu yang menyentuh elu? Dasar Murahan!" Sean membanting tubuh Megi ke atas kasur.
Megi yang kehilangan kekuatan hanya bisa menangis dan meutupi wajah dengan kedua tangan. Semoga kali ini pun Mika bisa menolong dirinya.
Perlahan Sean mendekati gadis kecil itu, terlihat amarah tergambar di wajah tampannya.
"Kak aku mohon ... jangan, Kak," pintanya tergugu.
Melihat air mata gadis kecil itu, perlahan amarah Sean mereda. Dia menjauhkan tangannya dan bangkit dari kasur.
"Mau tanggalkan sendiri? Atau gue yang melepaskannya?" tanya Sean kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
🏕️𝕽ᵗᵐLing𝕽𝖍'𝖘😎 𝕽z
tar bucin si sean
2020-07-04
0
ratmie lutfy
jahat bner sih mirzuki.
2020-07-04
0
nothing but regular human
Permisi. Mampir jga ke novelku: and A Long Nightmare, dan, Silence Love. Semangat berkarya😇
2020-04-26
0