Sean yang menyaksikan kisah cinta dua remaja itu turun dari mobilnya.
Menyilangkan kedua tangan nya di depan dada dan menyandarkan bahunya di depan pintu mobil.
Ia juga menyilangkan salah satu kakinya dan menghela nafas nya. Seperti melihat drama series.
Di keluarkan sebatang rokok dan menghisapnya, menambah suasana seru menonton drama.
Megi yang membuang pandangan matanya ke jendela menangkap sosok Sean yang berada tepat lurus di hadapannya.
"Meg, kok melamun sih? Kamu gak suka sama mas ya?"
"Ehm, Hem." Megi mencoba untuk kembali memperhatikan lawan bicara di hadapannya.
Megi menggaruk sudut dahinya yang tak gatal. Ia pernah suka sama mas Pandu, tapi saat ini hatinya sudah terpaut oleh kak Sean.
"Mas, Megi minta maaf ya, mas. Megi gak bisa terima perasaan mas Pandu."
Terdengar helaan nafas panjang di depan Megi. Raut wajah Pandu berubah menampilkan wajah kecewa.
"Mas, mas Pandu kecewa ya sama Megi. Megi bukan mau nyakiti perasaan mas Pandu. Tapi Megi sekarang gak bisa terima perasaan mas Pandu." terang Megi panjang.
"Kenapa Meg? Mas gak cukup baik ya buat kamu?"
"Bukan gitu mas. Tapi saat ini kakak Megi sedang berlayar di luar sana. Kak Mika akan membawa Megi kembali ke Beijing saat ia pulang nanti. Megi gak mungkin ninggalin mas Pandu kan, dengan hubungan yang terputus di tengah jalan."
"Kamu gak perlu kembali ke Beijing, Meg. Mas bersedia kok kalau harus melamar kamu."
Sean menaikan sebelah alisnya saat mendengar ucapan lelaki dengan suara lembut itu. Ia menangkupkan telapak tangannya dan menutupi mulutnya dengan tangan itu.
"Menarik." ucap Sean lirih.
"Duh, gimana ya mas. Kak Mika sedang memperjuangkan masa depan Megi saat ini. Kak Mika ingin melihat Megi kembali melanjutkan pendidikan Megi, dan meraih mimpi Megi, Mas. Megi cuma gak tega aja kalau matahin semangat kak Mika. Kak Mika udah banyak berjuang buat hidup Megi, Mas."
Perkataan Megi cukup membuat Pandu berpikir keras. Selama ini ia telah salah mengartikan senyum Megi.
"Megi juga masih ingin mengejar impian Megi, Mas. Megi ingin bukti in ke Papa, Mama, Tante dan juga kakak-kakak Megi bahwa Megi bisa membanggakan mereka."
"Iya, Mas paham Megi." jawab Pandu dengan nada lemas.
"Megi harap mas Pandu gak akan jauhi Megi setelah ini ya. Mas Pandu udah Megi anggap seperti kakak Megi sendiri."
"Gak akan kok, Mas masih bisa lihat senyum kamu aja udah cukup kok." jawab Pandu sambil mengambil tangan Megi yang sedari tadi diam di atas meja.
Sean yang melihat itu tersenyum geli, lelaki itu sungguh munafik. Mana mungkin luka hatinya bisa sembuh dengan melihat senyum gadis kecil itu.
Ternyata Megi cukup tegas dengan perasaan nya sendiri. Ia tidak menerima seseorang hanya karena iba ataupun alasan lainnya.
"Mas, maaf sekali lagi ya. Megi pulang ya. ini udah larut malam." ucap Megi tak enak hati.
"Iya, kamu hati-hati ya."
Megi mengangguk dan mulai membereskan barang-barangnya. Ia berjalan miring untuk bisa keluar dari tempat duduk nya.
Saat ia ingin berjalan ke pintu, Barista itu kembali memanggil Megi.
"Megi."
"Iya, mas."
"Bolehkah Mas cium dahi kamu sebagai seorang kakak?"
Megi hanya tersenyum sendu dan mengangguk lembut. Pandu berjalan mendekat dan meraih pucuk kepala Megi.
Mendarat sebuah kecupan di dahi Megi.
"Makasih ya Megi."
"Untuk?"
"Untuk rasa yang sudah kamu tumbuhkan di dalam hati Mas."
Megi hanya tersenyum dan meraih wajah lembut barista muda itu. Tidak terlalu tampan memang, tapi ia memiliki kharisma tersendiri. Di tambah ada tahi lalat di bawah sudut mata kanannya. Membuat barista ini mempunyai kharisma kuat yang menarik Megi sementara.
Sebelum akhirnya kehadiran Sean mampu menggantikan Pandu di hatinya.
Ada rasa bersalah di dalam hati Megi, andai mas Pandu lebih cepat mengatakannya, mungkin saat ini kak Sean tidak akan memenuhi hati dan pikiran Megi.
Tapi siapa yang tahu kapan datangnya cinta, ia dulu tak suka dengan lelaki kasar itu. Entah sejak kapan lelaki kasar itu mampu bertahta di hatinya.
"Yaudah, mas. Megi balik dulu ya."
"Iya hati-hati."
Pandu mengusap kembali pucuk kepala Megi sebelum ia keluar dari pintu.
Sean yang menunggu Megi sedari tadi mematikan rokok yang sempat beberapa kali ia ganti, karena durasi Megi dan barista itu cukup memakan waktu lama.
"Udah?" tanya Sean saat Megi membuka pintu mobilnya.
"Emm." jawab Megi cuek.
Tanpa banyak berpikir Sean masuk kedalam mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan parkiran cafe.
Memecah jalanan malam yang mulai sepi karena keadaan malam yang sudah menunjukan pukul dini hari.
"Kenapa di tolak? Gue lihat dia lelaki yang baik."
Ucap Sean yang membuat dahi Megi mengernyit heran.
Berarti Sean mampu mendengar seluruh percakapan mereka.
"Kakak tau dari mana dia baik? Kenal?"
"Enggak."
"Jadi?"
"Gue lihat dari gaya bicaranya, dan tampilan luarnya. Dia cukup menarik dan juga hangat, sepertinya."
"Kakak gak bisa nilai orang cuma dari luarnya aja, belum tentu yang baik di luar juga baik di dalam kan, kak."
"Lu pikir gue bocah, yang gak bisa gunain mata gue buat nilai cowok lain?"
"Kan aku gak ada bilang gitu, kakak sendiri yang merasa kok."
"Terserah." ucap Sean mengalah, tak ada gunanya ia berdebat dengan anak kecil.
"Kak." panggil Megi lembut.
"Emm."
"Kakak gak pingin tau kenapa aku nolak dia?"
"Kenapa?" ucapnya cuek.
"Karena aku sukanya sama cowok lain."
"Oh..." jawab Sean cuek.
"Kok cuma 'oh' sih kak?" ucap Megi kesal.
Sean hanya menghela nafas panjang, Susah kalau berurusan sama bocah.
"Kak." ucap Megi sedikit berteriak.
"Hmm."
"Kakak gak pingin tahu aku sukanya sama siapa?"
"Ngapain gue pingin tahu isi hati anak kecil. Paling juga perasaan lu besok udah berubah, kalok jumpa cowok yang lebih, menurut lu."
"Ih, kakak sepelein aku. Walaupun umur aku kecil, tapi aku jamin cinta aku tulus tau kak." ucap Megi antusias.
Sean hanya menatap gadis kecil itu dengan sudut matanya. Gadis itu tertunduk malu dan rona wajahnya terlihat memerah.
"Anak kecil gak usah sok ngomongin cinta. Tidur aja masih ngences."
"Ih kakak apaan sih. Orang gede juga ngences kali."
"Udah... sssstttt. Diem." ucap Sean yang mulai gerah dengan ocehan gadis belia di sampingnya.
Ia gak habis pikir kenapa lelaki tadi bisa suka dengan gadis kecil yang cerewet seperti Megi. Dan Mika, sanggup dia, tiap malam mendengar ocehan gadis kecil ini.
Sean menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya. Pusing kalau harus setahun menghadapi si kecil ini.
Megi mengerucutkan bibirnya, kesal dengan sikap Sean yang dingin dan cuek itu.
"Kak."
"Apa lagi?" jawab Sean ketus.
"Aku mau bilang sesuatu."
"Hem, apa?"
"Sebenarnya yang aku suka itu... emmm."
Megi memandang wajah Sean yang sedang fokus menyetir, menjalankan laju mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Aku jatuh cinta sama, kakak." ucap Megi cepat, lalu membuang pandangan keluar jendela.
Hatinya bertabuh tak beraturan saat mengatakan kalimat itu. Nafasnya seperti tersengal, kini debaran jantung itu semakin membuat wajahnya merona.
Seperti tak mendengar apapun wajah Sean hanya menunjukan ekspresi datar. Ia sedikitpun tak terkejut dengan pernyataan Megi.
Sean masih dengan santai melaju mobilnya. Seperti tak ada apapun yang terjadi, sementara gadis di sebelahnya sudah salah tingkah tak karuan.
Karena tidak ada respon dari Sean, Megi mencoba memalingkan wajahnya dan menatap kearah Sean.
Di luar dugaan nya, Sean sama sekali tak terkejut, wajahnya terlihat sangat datar.
"Kak." panggilnya lirih.
Namun Sean masih fokus menatap jalan.
"Kak." panggilnya lagi dengan suara meninggi.
"Hemm." balas Sean cuek.
"Kakak dengerin aku gak sih?"
"Denger." ucap Sean males.
"Jadi kakak kok diem aja sih?" tanya Megi kesal.
"Terus?" tanya Sean yang masih fokus melihat arah depan.
"Ih..." Megi mengerucutkan bibirnya dan menyilangkan kedua tangannya di dada.
Sean hanya melihatnya dengan sudut matanya. Ia sudah menangkap sinyal itu dari pertama Megi memandangnya. Ia sudah tak kaget lagi, baginya Megi gak lebih dari seorang bocah kecil. Perasaan Megi akan berubah seiring berjalannya waktu.
Perasaan gadis kecil, hanya akan bertahan beberapa waktu saja. Saat ia sudah dewasa ia akan lupa akan perasaan itu. Apalagi Megi, si gadis kecil dengan senyum yang bertebaran kesana sini. Masa depan nya masih jauh sekali, mana mungkin perasaan nya akan bertahan lama.
Apalagi ia bukan lelaki hangat seperti kakaknya, ia hanya lelaki berhati dingin dan kasar. Pasti cepat atau lambat ia akan berubah rasa mengahadapi kerasnya sikap Sean.
Sean menghentikan laju mobilnya di teras apartemen dia. Tapi mereka masih sama-sama terduduk diam di dalam mobil.
"Turun!" ucap Sean menekan.
"Kakak mau kemana?"
"Apa sekarang gue butuh izin lu untuk keluar?" ucap Sean ketus.
"Bukan gitu kak, nanti kakak pulang jam berapa kan bisa aku bukain pintu."
"Gak perlu, gue tinggal di hotel selama lu pake apartemen gue."
"Kenapa?"
"Lu tanya kenapa?" Sean menaikan alisnya. Megi ini polos atau memang sengaja menggoda sih?
"Pikir aja sendiri." sambungnya.
Seketika bibir Megi manyun mendengar ucapan Sean. Tidak ada kata-kata yang bagus keluar dari bibirnya, tapi kenapa ia masih bisa jatuh cinta pada lelaki ini.
"Turun!" Kembali Sean mengucapkan kalimat perintah.
"Kakak mau ke club malam ya?" Tanya Megi.
Sean hanya memutar bola matanya malas.
"Kalau kakak sedih jangan ke club kak, tapi kesana aja." Megi menunjukan kubah masjid di area apartemen mereka.
"Kak Mika juga sering kesana kalau lagi sedih, Aku gak pernah melihat kak Mika nangis, selain saat berada di sana." ucap Megi tanpa jeda.
Sesaat Sean terdiam sejenak, memang tempat itu mampu membuat perasaan ia tenang. Tapi ia malu kembali kesana sendiri, terlalu banyak kesalahan yang melekat pada tubuhnya.
Ia hanya seorang yang berhati hitam saat ini, terlalu malu untuk ia melangkahkan kaki nya disana.
Sean mendekatkan wajahnya ke Megi.
"Gue mau kemana, bukan urusan lu."
Megi memutar bola matanya malas, memang kak Sean ini tak bisa sedikitpun berbicara lembut.
"Cuma tanya aja, kak. Gak perlu ketus juga kan."
"Udah tau kan? jadi kenapa?"
"Apanya?"
"Gak perlu suka sama cowok ketus kayak gue."
"Dih... itu kan hak aku kak. Kakak gak bisa ngelarang. Lagian aku juga yakin cepat atau lambat kakak akan terima perasaan aku."
Sean meraih pipi Megi, ia menyamakan wajah Megi dan mendekat perlahan. Rona wajah Megi memerah seketika.
"Pede banget." ucap Sean tepat di depan wajah Megi.
"Buat gue, lu cuma anak kecil gak lebih. Lu udah gue anggap kayak adik gue sendiri. Gak usah buang-buang energi lu buat ngejar lelaki kasar kayak gue."
"Aku udah gede tau kak. Cinta aku ke kakak itu beneran tulus."
"Anak kecil jangan ngomongin cinta cintaan deh. Eneg gue!"
"Kakak lihat aja nanti."
"Turun, cepet turun!" Sean membuka pintu mobil Megi.
"Iya, iya. Dasar."
Megi menuruni mobil dengan cepat. Megi menutup pintu mobil dengan kasar, membuat Sean sedikit terlompat kaget.
Di lihatnya Megi yang menjulurkan lidahnya, Mengejek kearahnya.
Ia menggaruk tengkuknya dan mengacak-acak rambutnya.
Dia menghela nafas berat.
"Ribet, nih. Bakalan ribet urusan."
****
Sean memasuki club malam ternama di kota. Suara riuh sudah terdengar saat ia memasukan kakinya kedalam.
Ia melempar bokongnya kasar ke sofa kosong dekat dengan pintu.
Tangan nya melambai untuk memanggil pelayan, namun matanya membelalak lebar saat melihat salah satu penari di atas panggung club.
Dengan baju tali satu yang mempress badan, rok sepan yang hanya sejengkal tangan.
Mulutnya memaki kasar, di lewati para penonton yang sebagian besar lelaki itu.
Dengan sigap badan tegapnya menembus rerumpunan lelaki yang sedang menikmati pemandangan indah dari wanita muda yang menari-nari di atas pentas.
Menampakan setiap lekuk tubuh yang berlapiskan pakaian ketat.
Sean mencengkram kuat tangan gadis ber rok mini itu. Menarik keras badan gadis itu meninggalkan panggung tariannya.
"Sean apa-apa an sih lu?" hardik cewek itu kasar.
"Dasar murahan. Gue udah bilang kan. Akan gue patahin setiap tulang sendi elu."
"Sean!" ucap Rena keras, sampai membuat seisi club terdiam. Memandang kearah mereka.
Rena melepaskan cengkraman tangan Sean lalu dua orang pria menghadang Sean untuk melindungi Rena.
Terdengar gerutukan gigi Sean yang mengatup kuat.
"Minggir!" ucap Sean saat dua lelaki yang tak kalah besarnya menghadang ia.
Tapi seperti tak mengindahkan ucapan Sean, dua lelaki itu mendongakan dagunya seolah menantang.
"Gue bilang, Minggir!" ucap Sean menggelegar.
Tapi kedua lelaki itu tak bergeming.
"Rena, lu mau pulang baik-baik. Apa gue paksa lu pulang?" Sesaat nada Sean melemah.
"Apa urusan lu ngatur gue?" timpal Rena.
Wajah Sean mulai memerah karena menahan amarah yang di hidupkan membara oleh Rena.
Tanpa banyak kata, Sean mencengkram leher salah satu lelaki di hadapannya, menekan titik nadinya dan di putar kepala nya ke kanan.
Hitungan detik, lelaki bertubuh tegap itu jatuh pingsan. Sean hanya membuat lelaki itu pingsan. Bisa saja ia mematikannya saat ini, karena Systema yang ia pelajari memang bela diri mematikan lawan.
"Lu mau ikut gue pulang? atau seluruh bar ini menjadi kuburan?"
Sean berbicara sambil menggretekan tulang jemarinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Erni Fitriana
seeu..seeu..gregeran thor bacanyahhhhh
megiiiiii...kko bener" cinta sama sean...yg sabar yah🙏🙏🙏🙏
2023-08-07
0
ratmie lutfy
nex
2020-07-04
0
Titin Nuriah
neeeeexxxxx
2019-10-05
0