Megi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, dia tidak mengindahkan perintah terakhir Sean. Hanya tangisan yang pecah semakin dalam di balik kedua tangannya.
Melihat tangisan si gadis kecil itu, amarah Sean yang tadi meledak kini mulai mereda. Tidak tega, melihat gadis kecil itu menangis sesegukan.
Kasar, memang sikap Sean kasar. Namun, masih ada nurani di dalam hatinya. Tidak mungkin ia tega melihat gadis kecil menangis sesegukan seperti itu. Ia juga punya adik perempuan di rumah.
"Aku mohon, Kak. Lepasi aku," pintanya, tergugu sampai membuat badan kecilnya bergetar.
"Apa lu masih perawan?" tanya Sean penasaran.
Megi menganggukkan kepala.
"Berapa umur lu?" tanya Sean kembali, penasaran.
"18 tahun, Kak," jawab Megi sembari menangis.
Perlahan tungkai kaki Sean melemas, tidak sanggup melawan perasaannya. Sungguh keji, ia menyiksa gadis kecil yang sama sekali tidak ada salah dengannya.
Dia terduduk lemas di lantai kamar hotel.
'Bodoh ... bahkan umurnya lebih muda dari Rena,' makinya dalam hati.
Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengacaknya rambut gondrong miliknya, setelah melepaskan ikatan di rambut.
Sejenak, ia terdiam, melamunkan sebagian penggalan kisah pahit hidupnya. Ia marah pada wanita lain, namun kenapa gadis kecil yang tidak berdosa ini yang jadi pelampiasan.
Setelah berdiam selama beberapa menit, ia kembali menguatkan kaki dan berdiri perlahan.
"Pergi dari sini!" perintah Sean, parau.
Megi yang mendengar ucapan lelaki itu, menghentikan tangisan, menyisakan sesegukan. Ia membuka kedua telapak tangan, terdiam mendengar ucapan lelaki berhidung mancung itu.
"Keluar dari sini sebelum gue berubah pikiran!" ucap Sean mengeras.
Cepat gadis kecil itu beranjak dari atas kasur dan menyeka kedua mata. Meraih tas ransel mungil di tengah kasur dan memakainya.
Sementara, Sean hanya berdiri terpaku di depan ranjang.
Megi membuka pintu dengan cepat, ia melompat kaget saat melihat seorang pria tegap berdiri di depan pintu.
"Kak Mika." Megi memeluk badan tegap lelaki itu. Ada perasaan tenang saat melihat Mika berada di hadapannya.
"Kamu gak apa-apa, Meg?" tanya Mika cemas.
Megi hanya menggeleng, Mika meraih wajah adik kecilnya itu, jarinya menghapus sisa air mata di ujung dagu wajah cantik gadis belia tersebut.
Perlahan rahang Mika mengatup keras saat melihat punggung seorang lelaki berbadan kekar yang berdiri terpaku di depan kasur. Wajah Mika mulai memerah, memadam karena menahan amarah. Mika mengepalkan kedua tangannya, memaksa masuk ke dalam kamar.
Mika berjalan cepat dan menarik bahu lelaki itu, melayangkan tangannya untuk menghantam wajah lelaki tinggi itu. Namun, Megi menahannya. Matanya membelalak lebar saat melihat wajah lelaki tampan tersebut.
Genggaman tangannya melemas, perlahan cengkeraman tangan Mika di bahu lelaki itu mulai merenggang.
"Sean," ucap Mika lirih.
"Mika," balas Sean kaget.
Cengkeraman kasar Mika berubah jadi pelukan antara kedua lelaki tegap itu. Megi yang masih sesegukan akibat tangisan tadi, masih menatap bingung kearah keduanya.
Mika kembali menguraikan pelukannya dan menarik kerah baju Sean.
"Elu, yang udah ngerusak adik gue?" tanyanya kasar sembari mengepalkan jemari tangan.
"Adik, lu?" tanya Sean, bingung.
"Kak, lepasin. Kakak ini gak ngapain-ngapain aku, kok," ucap Megi menenangkan Mika.
"Jadi ini adik lu?" tanya Sean, menunjuk tepat di depan wajah Megi.
"Tapi, tadi gue beli dia di kelab malam," kata Sean berusaha menjelaskan.
Mika melepaskan cengkeraman tangannya, ia kembali mengepalkan jemarinya, kali ini dia menumbukkannya ke meja di dekat pintu.
"Mirza ... mati kau!" Wajah Mika memerah padam. Bak api yang sedang berkorbar lalu disiramkan bensin lagi.
Dia berjalan keluar pintu dengan menggeretakan rahang. Amarahnya sudah tidak terbendung lagi. Manusia berhati iblis itu harus mati di tangannya.
"Kak Mika." Megi berlari mengejar Mika yang kembali tersulut amarah.
Sean yang merasa keadaan ini kacau karena dia, ikut mengejar Mika yang tengah berkobar karena amarah.
Megi memeluk badan tegap Mika dari belakang, menghentikan langkah Mika yang mungkin akan membawa kehancuran buat keluarga kecil mereka.
"Mika, tenangkan dirimu," ucap Sean berusaha menenangkan amarah sahabatnya itu.
"Kak Mika ... Kak Mika ... lihat aku!" Megi berusaha membuat Mika tenang dengan menatap mata beningnya.
"Kak, jangan kuasai dirimu dengan amarah, kalau kak Mirza mati, papa bagaimana?" tanya Megi lembut, perlahan amarah lelaki dewasa itu mereda.
"Apalagi kalau papa tahu, kak Mirza mati di tangan kakaknya sendiri," sambung Megi, mencoba membuat Mika kembali ke akal sehatnya.
Perlahan katupan rahangnya mengendur, kepalan tangannya terlepas. Ia meraih kedua pipi adik kecilnya itu. Mencium lembut dahi gadis belia itu dan memeluk erat badan mungilnya.
"Kakak gak sanggup, Megi. Kakak gak sanggup melihat kamu yang terus-terusan seperti ini." Mika mengeratkan pelukannya, terasa embusan napasnya yang mulai berat.
"Kakak gak bisa menjagamu terus, Mirza akan terus mengganggu hidup kamu. Dia akan selalu mengancam kehidupan kamu."
Ada rasa yang menggelitik hati Sean saat melihat pemandangan itu. Sean juga punya adik perempuan di rumahnya. Namun, dia sadar, dia tidak pernah menjadi Mika untuk adiknya. Ia tidak pernah berusaha untuk melindungi Rena. Rena selalu ia biarkan berkeliaran, entah kemana.
Tidak tahu Rena itu bagaimana pergaulannya? Bagaimana kehormatannya? Akankah ia berusaha menjaganya, seperti Megi yang merelakan harga dirinya untuk memohon agar kehormatannya tetap terjaga.
Atau Rena telah memberikan kehormatannya dengan suka rela ke sembarang pria.
"Mika, kita minum di cafe bawah ya, sekalian tenangkan dirimu." Ajak Sean, melembut.
Mika menganggukkan kepala, mengikuti langkah pria berbadan tegap itu menuruni lift. Sesekali, sesegukan bekas tangisan gadis kecil itu terdengar.
Ada rasa bersalah di dalam hati Sean.
Bagaimana jika sampai ia merusak kehormatan Megi tadi?
Bagaimana jika ia tidak mengikuti hati nuraninya?
Mungkin gadis kecil itu sudah menjadi orang yang kacau sekarang dan ialah orang yang menghancurkan hidup gadis belia itu.
Sean memesankan beberapa minuman begitu mereka sampai di cafe tersebut. Lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok dan meletakan di atas meja bundar di depan mereka.
Mika mengerutkan dahinya, seperti tak percaya. Sejak kapan sahabatnya itu menjadi perokok aktif. Namun, ia enggan untuk bertanya, toh setiap orang punya perubahannya sendiri.
Sean membakar sebatang rokok, mengisapnya, lalu mengembuskan asapnya ke atas. Seperti ada beban berat yang sedang mendera sahabat lamanya itu. Tetapi, melihat ekspresi Sean yang datar, Mika kembali enggan membuka suaranya.
"Hey ... gadis kecil. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sean, sesaat setelah mengisap beberapa kali rokok di tangannya.
"Aku ... aku ... kak Mika." Megi melemparkan pandangannya pada lelaki yang sedang duduk di sampingnya.
Mika mengusap wajahnya kasar, menghela napas panjang.
"Mirza ... dia berungkali berusaha menjual Megi," jelas Mika.
"Apa? Mirza? Adik elu kan?" tanya Sean terkejut.
Terkejut karena di tempat itu bukan hanya berdiri gadis-gadis pekerja s*ks. Namun, juga gadis yang terjerumus karena dorongan lelaki tak bermoral seperti Mirza.
Sesaat, pikirannya melayang ke kejadian beberapa jam silang. Andai ia tidak membeli gadis belia ini, maka apa yang akan terjadi pada si gadis kecil itu?
Membayangkan seorang tua bangka yang akan mengecap manisnya kelopak bunga gadis kecil ini. Hanya menghargai lima juta saja.
"Shittt." Sean menggebrak meja yang ada di hadapannya.
Sontak dua orang di depannya terkaget. Apalagi Megi, yang sampai saat ini masih ada rasa takut terhadap lelaki tampan berambut panjang itu.
"Mirza itu gak waras ... gila aja dia mau jual adik lu ke lelaki tua bangka itu," ucap Sean dipenuhi amarah.
Mika yang mendengar perkataan Sean, langsung melemparkan pandangan ke Megi. Sementara, Megi hanya menundukkan kepala, malu. Orang lain aja bisa semarah itu pada kakaknya, kenapa ia masih dengan mudah memafkan segala tingkah bejat kakaknya itu.
"Kak aku ada siaran, kita pulang yuk!" Ajak Megi. Mengalihkan pembicaraan, agar kakaknya tidak mendengar ucapan Sean lagi.
"Pulang aja ya, Meg. Keadaanmu kacau begini," bujuk Mika yang kembali mengkobarkan amarahnya.
"Jangan kak. Nanti aku dipecat kalau libur terus," pinta Megi manja.
Pasti, Mika akan luluh saat adiknya itu memasang wajah melas seperti ini. Dengan helaaan nalas panjang Mika mengiyakan permintaan adiknya.
Sean yang melihat kejadian itu berniat untuk mengantarkan. Namun, Mika menolak. Dengan sedikit paksaan, akhirnya mereka mau menerima tawaran Sean.
Sesekali Sean melirik wajah manis gadis belia itu dari kaca spion. Ada rasa yang tidak dapat dijelaskan saat ia menatap wajah Megi.
Sesaat, wajah itu membuat amarah Sean meledak keluar, lalu dengan cepat dia menukarnya dengan rasa iba.
Sean menghentikan laju mobilnya di depan gedung radio Gipsi. Cepat langkah gadis belia itu memasuki gedung putih tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih, lelaki berambut panjang itu masih enggan untuk pergi.
Dia keluar dari mobilnya dengan membawa dua botol soft drink dan sebungkus rokok.
Mencari tampat untuk sekadar bisa mengobrol dengan sahabat lamanya itu.
"Apa yang terjadi, Mik? Kenapa setelah bertahun-tahun kita gak bertemu, keadaan lu udah kacau begini?" tanya Sean santai sembari membakar sebatang rokok.
"Harus bagaimana gue mengatakannya? Seperti yang lu lihat. Kacau." Mika menarik napas panjang, membuka kaleng soft drink miliknya.
"Itu, gue gak pernah tau lu ada adik perempuan," ucap Sean sambil menunjuk ke arah gedung putih.
"Dia sekolah di Beijing dulu, sebelum keluarga kami bangkrut."
Sean melepaskan kerutan dahinya. Pantas saja ia tidak tahu, jadi dulu gadis kecil itu sekolah di luar.
"Dia saudara kandung lu?"
Mika tersenyum dan menggelengkan kepala, mendengar ucapan Sean. Rampung sekali pertanyaannya.
"Maksud gue, kalok dia adik kandung lu, kenapa Mirza tega ngejual dia di kelab malam?" tanya Sean sambil mengeluarkan asap dari mulutnya.
Perlahan rona wajah Mika berubah, kembali terlihat ada kemarahan yang mulai berkobar di dalam matanya.
"Gue gak tau, Mirza berubah semenjak kehidupan kami mulai susah. Mirza memang benci sama Megi dari kecil. Tapi, gue gak tau kalau ternyata kebencian dia semakin bertambah, seiring berjalannya waktu."
Sean teringat akan adik perempuannya di rumah. Ia memang tidak seburuk Mirza yang tega menjual darahnya sendiri. Tapi ia juga tidak lebih baik dari Mirza yang membenci adiknya sendiri.
"Megi itu perempuan pertama setelah mama, yang gue cintai. Dia malaikat kecil buat gue dan papa. Namun, Mirza menganggap Megi adalah pembawa sial. Yang membuat Mama kami pergi setelah melahirkan dia."
Ya, setiap orang mempunyai alasannya sendiri untuk membenci seseorang. Tetapi tidak ada alasan mengapa seorang kakak membenci darah dagingnya sendiri. Yang ada hanyalah pembenaran atas kesalahan sikapnya.
"Lu sendiri, sejak kapan jadi perokok aktif?" tanya Mika mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Baru. Baru satu tahun," jawabnya santai.
Sean menghidupkan radio mobilnya, mencoba membuat pembahasan lain, selain tentang hidupnya. Mencari siaran yang sedang aktif dan ia mulai mendengar suara yang familier di telinganya.
"Ya ... ketemu lagi dengan Megs di sini. Kita kembali lagi setelah jeda, langsung saja kita tunggu penelpon selanjutnya untuk menceritakan kisah malam mereka."
Sean tersenyum getir, ia memandang Mika yang sedang duduk di belakangnya.
"Ini, suara adik lu?" tanya Sean dengan wajah getir.
Mika hanya mengangguk, sementara Sean kembali mematikan radionya dan menepuk dahi. Tersenyum geli dan menggelengkan kepala.
Jadi yang selama ini selalu didengarkan perkataannya adalah gadis belia yang polos itu. Sean tertawa geli mengingat ia yang selalu berusaha meluangkan waktu untuk mendengar perkataan bijak si artis radio, Megs.
"Aku pikir Megs itu gadis dewasa dengan sejuta wawasannya. Ternyata dia masih gadis belia." Sean terkekeh, geli.
"Megi itu memang pintar. Dia mampu menyelesaikan high schoolnya saat berumur enam belas tahun dan masuk ke universitas Tsing Hua di Beijing. Tapi, karena kebangkrutan papa, Megi harus pulang ke sini dan bekerja seperti ini."
Sesaat, tawa geli Sean menghilang begitu saja. Ia dan Mika yang sudah kenal sejak SMP dan berlanjut ke SMA, namun, harus berpisah saat masuk Universitas. Membuat mereka berdua saling memahami karakter satu sama lain.
"Jadi kenapa Megi bisa sekolah di sana?" tanya Sean bingung, dia tahu sekali Mika, tetapi, kenapa dia bisa tidak tahu kalau Mika punya adik perempuan.
"Dari kecil Megi di bawa tante gue pindah ke sana. Megi tumbuh besar di sana, saat Megi berumur lima belas tahun tante gue meninggal karena penyakit cancer," ucap Mika sembari menatap kosong ke depan.
Terkadang, saat kita merasa benar-benar sudah memahami hidup orang lain, sebenarnya kita belum memahami apapun dari mereka.
Sean merasa begitu sangat dekat dengan Mika, namun ada saja rahasia Mika yang tidak pernah dia ketahui.
Sean menatap wajah Mika lekat. Tidak banyak yang berubah dari wajah sahabatnya itu, hanya ada beberapa kerutan di dahinya dan raut wajah yang tampak begitu lelah.
"Lu kerja di mana, Mika?"
"Toko material bagunan," jawabnya tanpa beban.
Sean hanya tersenyum kecut dan menggelengkan kepalanya. Tidak masuk dalam akal pikirannya. Bagaimana mungkin, Mika bisa bekerja hanya sebagai kuli di toko bangunan.
"Konyol, gak mungkin itu."
"Inilah hidup, Sean. Kadang hal konyol yang lu anggap gak mungkin, malah menjadi sesuatu yang paling berat untuk lu jalani dalam hidup."
Sean hanya tertegun melihat sikap dewasa sahabatnya itu. Mereka adalah dua lelaki yang berasal dari keluarga kaya, dulu. Mika bahkan bersinar lebih terang dari dirinya, dulu. Bagaimana mungkin dengan sekejap mata Mika kehilangan segalanya? Dia, bahkan masih mampu tegar menghadapi segalanya dengan kuat.
"Lu apa kabar? Kok, udah gondrong aja sekarang?" tanya Mika sembari menjambak rambut lurus Sean.
"Coba gaya baru," jawab Sean, memainkan kedua alis matanya.
"Bagaimana kabar Hana?"
Sesaat rona wajah Sean yang tersenyum, langsung memudar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Erni Fitriana
hana sang mantan tohhh???
2023-08-04
0
ratmie lutfy
penggemar rahasiah.
2020-07-04
0
Rani
Hana....
Oh
Hana....
2020-06-30
0