Decitan suara ban mobil hitam itu berbunyi saat ia menginjak pedal rem secara kasar. Menghentikan paksa mobil yang dilajunya dengan sangat kencang.
"Sorry, lu turun di sini. Gue gak bisa anter lu pulang," ucap Sean tanpa melihat sedikitpun ke arah Megi.
Gadis kecil itu langsung turun dari mobil, membanting pintunya dengan kasar. Bukan ia yang meminta Sean mengantarnya pulang, namun, kenapa ia memperlakukan Megi begitu sampah.
Sean kembali melajukan mobilnya dengan cepat meninggalkan Megi di depan gedung Radio.
Gadis itu menggerutu dalam hati. Tidak paham dengan maksud lelaki kasar itu. Amarahnya gampang sekali tersulut, emosinya tidak mampu ia kendalikan sama sekali.
Megi memasuki gedung putih itu dengan sedikit cemberut, melirik jam di tangan, ini belum waktunya siaran. Ia menghela napas, keluar dan duduk di cafe dekat gedung itu.
Seorang barista datang dengan segelas kopi, menaruhnya pelan di depan Megi.
"Kopi?" tanyanya lembut.
Megi mengembangkan senyumnya, mengangguk pelan. Perlahan, rona merah menghiasi wajahnya saat melihat lambang hati tergambar di permukaan kopi tersebut.
***
Sean menyeret tubuh gadis berambut pirang itu memasuki rumah besar bak istana. Mencengkeram kuat lengan tangan gadis itu menyusuri lantai marmer rumah mewah tersebut.
Tidak menghiraukan tangisan dan perkataan gadis itu yang meronta kesakitan. Ia melemparkan badan gadis itu sampai terhuyung, jatuh di atas kasur.
"Sekali lagi, gue lihat lu begini. Gue buat arwah lu pisah dari raga!" ancamnya dengan gejolak amarah yang tak sanggup lagi ditahan.
"Gak usah sok peduli lu sama gue." Jawaban yang dilempar gadis itu, kembali menyulut amarah lelaki berambut gondrong di hadapannya.
Seperti menyiram bensin dalam kobaran api. Jawaban itu semakin membuat amarah Sean meledak keluar, menampakan sisi lain dari lelaki bengis tersebut.
Sebuah tamparan melayang keras di pipi mulus wanita cantik itu. Sehingga menimbulkan tetesan darah di sudut bibirnya.
"Rena," panggil seorang wanita tua dari balik pintu.
Ia langsung memeluk putri kecilnya itu. Tangan keriputnya menyapu aliran darah yang mengalir dari sudut bibir gadis bungsunya.
"Jangan seperti ini, Sean. Jangan sakiti adikmu," ucap wanita tua, memelas.
"Jaga diri, jika memang tak ingin kupatahkan tulang di setiap sendinya," ucap Sean dengan wajah yang memerah padam.
Ia membanting pintu kamar itu keras. Keluar dari rumah itu dengan sedikit tergesa. Melihat Sean yang masih mengobarkan amarahnya, wanita paruh baya itu mengikuti langkah besar putra semata wayangnya tersebut. Meraih bahu putranya itu sebelum sempat keluar dari pintu.
"Jangan pergi, Nak. Mama, kangen," ucap wanita berumur lima puluh tahunan itu. Namun, wajahnya masih terlihat sangat muda.
Lelaki berambut panjang itu, menolehkan pandangan, melihat sekilas wajah wanita yang sudah melahirkannya itu. Wajahnya yang cantik, sudah mulai banyak keriput, dan kini, malah dibanjiri oleh air mata.
Seperti enggan untuk tinggal, lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya, wanita itu menarik pergelangan tangan Sean, menahan langkah yang ingin pergi.
"Jangan pergi, Nak. Tinggallah dirumah sama Mama, ya," bujuk wanita paruh baya itu lembut.
"Ini bukan rumah, ini neraka," ucapnya tanpa menoleh dan langsung pergi. Menembus malamnya keramaian kota dan kembali menghentikan mobilnya di sebuah kelab malam.
Ia menjatuhkan bokongnya di sofa berwarna dongker di dalam bar. Memesan sebotol sampanye dan kembali membakar sebatang rokok.
Tanpa harus ada aba-aba, gadis-gadis bar akan selalu datang menawarkan dirinya untuk dinikmati lelaki manapun.
Kali ini dua gadis bertubuh langsing dengan pakaian minim duduk di kedua sisinya. Menempel mesra pada dua sisi dada bidang lelaki berbadan kekar itu.
Menuangkan sampanye dan menyuapinya.
Cepat tangan Sean menampik gelas yang disodorkan wanita itu, sampai gelas itu terjatuh, menunpahkan isi di dalamnya.
"Ih ... Mas kenapa, sih? Kalau gak mau jangan dibuang. Itu kan mahal, Mas," ucap gadis bertantop hitam itu.
Jemarinya lembut menari, menyentuh setiap inci keindahan wajah tampan Sean.
"Jangan sentuh gue," ucap Sean ketus.
"Kalau gak mau disentuh jangan ke sini Mas, ke masjid aja." Kali ini gadis yang berbaju biru itu menimpalinya.
Tangan lentiknya menjalar meraba dada bidangnya si mantan atlet Systema itu--bela diri asal Rusia--. Seakan ingin membangunkan gelora di dalam diri Sean.
"Berapa banyak gadis seperti kalian di dalam bar ini. Kumpulkan kemari!" perintah Sean sambil menginjak api rokoknya.
"Ngapain banyak-banyak, Mas? Kita berdua aja bisa kok, buat Mas puas malam ini." Kini jemarinya semakin berani bermain ke **** *****.
Sean memghentikan gerakan itu sebelum benar-benar menyentuh rana terlarangnya.
"Yakin?" tanya Sean seakan ingin menikmati gadis manis di sisinya itu.
"Yakin dong, kita bakalan buat Mas nagih," bisiknya di telinga kanan Sean.
Seperti memiliki hati yang dingin, bukannya membangkitkan gelora di dalam jiwa, malah membuat Sean semakin jijik saja.
Walaupun jijik, ia membawa kedua wanita itu ke penginapan di dekat bar. Seperti sudah ada tempat yang memang dipersiapkan untuk melakukan perzinahan itu.
Sean memasuki salah satu kamar yang tidak terlalu bagus itu, bersama dua gadis yang dibawanya tadi. Tanpa banyak perintah, gadis itu langsung mendekat dan menjamah tubuh atletis Sean.
Siapa yang tak tergoda, pria tampan dengan tubuh six pack, kulitnya yang bersih dan badan yang harum parfumenya sampai menyengat ke hidung. Setiap sudut wajahnya menampilkan karakter macho, gayanya yang maskulin, bahkan wanita malam pun rela menyerahkan tubuhnya tanpa dibayar.
Ditambah lagi, selalu saja ia memesan minuman berharga tinggi di dalam bar. Sean menjadi lahan empuk, incaran setiap gadis di bar yang di datangi.
Tajir, royal dan tampan. Itu sudah cukup membuat Sean di kenal sebagai pria dingin dalam bar. Ucapannya yang selalu kasar, tak pernah memikirkan perasaan orang.
Ia sering duduk berjam-jam di dalam bar, membuang uangnya dengan memesan sampanye yang terkadang hanya ia minum seteguk lalu membuangnya.
Membayar wanita yang menemani ia duduk tanpa pernah menyentuhnya, bukan hanya itu. Bahkan kadang rokok yang diisapnya hanya beberapa kali sudah dibuang dan mengganti dengan batang yang baru.
Apa namanya, jika bukan mubazir uang, sikap anehnya itu, hanya dialah yang paham.
Gadis itu langsung menanggalkan seluruh pakaiannya di depan mata Sean. Dengan kasar lelaki itu menyuruhnya untuk memakai lagi.
Ia melemparkan sebuah amplop dengan isi yang lumayan tebal dan mengusir dua wanita itu keluar dari kamar.
Terus, Sean selalu melakukan hal itu. Ia enggan untuk menyentuh. Namun, selalu memakai alasan untuk mengajaknya ke kamar, tanpa disentuh mereka akan diusir keluar.
Perasaan ingin menyentuh itu hanya ia dapatkan saat melihat Megi di atas ranjang malam itu. Seperti ada magnet yang membuat Sean tertarik untuk menikmati tubuh mungil wanita itu.
Untunglah, ia tidak melakukan hal menjijikan itu. Jika itu sampai terjadi, maka ia akan menyesal lebih dalam lagi. Terlebih, gadis itu adalah adik sahabatnya sendiri.
Sean berbaring dengan meletakan pergelangan tangannya di atas dahi, matanya menerawang ke langit-langit bobrok penginapan itu.
Teringat akan gadis mungil itu, bagaimana dia saat ini?
Diliriknya jam di tangan kiri, sudah jauh lewat tengah malam. Mungkin gadis kecil itu sudah tertidur pulas saat ini. Sulit ia melupakan ekspresi wajah Megi yang menangis dan memohon di kakinya malam itu.
Ada rasa bersalah yang kembali menyulut amarahnya jika mengingat kejadian itu. Uh ... Megi, gadis kecil yang sok bijak itu, tengah mengganggu pikirannya.
***
Megi keluar dari gedung siaran, melihat Mika yang sudah berdiri dengan sepeda, menunggu kepulangannya.
Mika menyodorkan jaketnya saat Megi datang mendekat kearahnya.
"Katanya Sean tadi menghantarkan kamu? Mana dia?"
"Gak tau tuh," jawab Megi sambil memakai jaket yang diberikan Mika.
Badan mungil itu terduduk di atas boncengan sepeda, pelan, Mika mulai mengkayuh sepedanya menembus dinginnya malam. Mendayung perlahan, memecah gelap dan merasakan sapaan angin malam yang menyelimuti badan mereka.
Sederhana memang, namun, itu semua mampu membuat Megi kembali bahagia. Saat-saat seperti ini dia akan merasakan kebahagiaan yang menghangatkan hatinya, di terpaan dinginnya angin, bukan hanya masalah harta. Namun, mendapatkan kakak seperti Mika adalah kebahagiaan dan anugerah yang berharga melebihi harta.
Dua lelaki terbaik yang ia miliki kini, sudah cukup membuatnya bahagia. Tak peduli harus kerja di tengah dinginnya cuaca malam, kalau bisa seperti ini, maka ia tak perlu yang lain.
"Kakak kenal lelaki bengis itu dari mana sih?"
"Siapa?" tanya Mika, menggoda.
"Kak Sean itulah," jawab Megi. Bibirnya memanyun jika mengingat Sean.
"Oh ... dia itu sahabat Kakak waktu sekolah."
"Gak salah, Kak? Kakak berteman dengan si Macan Asia itu?"
Mike terkekeh, Sean punya julukan baru saat ini.
"Sean itu lelaki yang baik, Dek. Kamu akan mengerti, jika kamu mengenalnya lebih dekat."
"Dia kasar sekali Kak, dia menyeret seorang perempuan dari cafe, sampai perempuan itu menangis terseduh."
"Benarkah?" tanya Mika tak percaya.
"Iya, Kak. Bukannya membujuk wanita itu sampai diam, dia malah mengancam dengan suara, ya ... ampun macem petir, Kak."
Mendengar cerita Megi, Mika berpikir keras. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah perempuan itu Hana?
Jika memang itu Hana, kesalahan apa yang dibuatnya?
"Kak, Kakak kenal gak siapa perempuan itu?"
"Mana Kakak tau, Kakak kan gak lihat."
"Dia cantik, tinggi dan berambut pirang Kak. Kasihan sekali dia, Kak."
"Ada alasan di balik sikapnya, Megi. Mereka punya privasinya sendiri, jangan menilai seseorang dari satu sisi saja."
"Seperti kak Mirza? Kakak gak bisa melihat kak Mirza dari satu sisi juga kan, Kak," ucap Megi, kembali menghidupkan bara kebencian di dalam hati Mika.
"Mirza dan Sean itu berbeda, Megi. Mirza terlalu buruk jika ingin kamu jajarkan bersama Sean."
Kali ini, Megi tidak paham dengan ucapan kakaknya itu. Benarkah Sean adalah lelaki baik hati yang seperti dikatakan oleh kakaknya itu?
"Megi, kita pindah yuk!"
"Pindah? Mau kemana, Kak?"
"Ke mana saja, tinggalkan kota ini dan segala kenangan buruknya."
"Tapi papa bagaimana, Kak?"
"Kita bujuk lagi."
"Sudahlah kak, percuma. Papa gak akan mau, di sini, tempat ia ingin menghabiskan masa tuanya, Kak."
Memang, tidak mungkin lelaki paruh baya itu mau meninggalkan kota ini. Di mana banyak hal yang terjadi di kota ini, dan juga semua orang yang ia sayangi terkubur di dalam kota ini. Kota yang memberikan kehidupan layak dan dalam sekejap menghilang bagaikan embusan angin.
Kota yang memperkenalkan ia dengan sang dewi hati, sampai memberikan dia tiga buah hati. Kota yang banyak menyimpan sejarah baginya itu. Tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja.
Namun, dalam pikiran Mika saat ini, bagaimana membawa pergi jauh sang adik dari predator berhati iblis itu. Jika Megi terus di sini, maka cepat atau lambat kehidupan Megi akan hancur sia-sia.
Akan tetapi, pindah juga tak semudah yang dipikirkan, butuh banyak biaya dan juga persiapan. Sementara, yang didapatkan dari bekerja di toko material tidaklah seberapa. Mau sampai kapan dia terus begini, umurnya sudah lanjut, ia juga ingin berumah tangga.
Keluarga ini lebih penting buatnya. Mika sudah memikirkan ini semenjak lama, tetapi, kali ini ia mendapatkan kesempatan untuk merubahnya. Jika Megi masih di sini, maka semua perjuangannya akan sia-sia.
Untuk apa ia sukses jika adik perempuan semata wayangnya itu hancur. Percuma ia bekerja sekuat tenaga jika adiknya tidak bisa menyambung impiannya.
"Meg, Kakak ingin kerja kapal. Untuk itu kita harus pindah," ucapnya kembali, mencoba meyakinkan adik bungsunya itu.
"Kakak, serius?" tanya Megi, kaget.
"Kita perlu hidup yang lebih baik, Dek. Kamu harus lanjutkan kuliahmu."
Mendengar ucapan Mika, ia hanya bisa terdiam. Bukan hanya papanya, tetapi ia juga berat meninggalkan kota ini.
Ada seseorang yang sedang ia tunggu di sini. Ada seseorang yang sedang ia rebut perhatiannya. Seseorang yang mengusik pikiran Megi selama satu bulan ini. Yang selalu menjadi punggung kedua tempat Megi bersandar.
Haruskah dia melepaskannya sebelum mendapatkan cintanya?
Pandu, nama itu sudah mengusik tidur malam Megi selama ini, wajahnya sering terbayang indah di pelupuk matanya.
Seseorang yang memberikan semangat baru dikala gundah hatinya. Bagaimana jika mereka harus pergi, apakah kisah mereka akan terhenti sebelum dimulai?
"Kak, kenapa harus pindah?"
"Jika kamu dan papa masih di sini, akan ada yang selalu mengancam hidup kamu, Megi."
"Kakak bisa kerja di hotel milik pria bengis itu, jika memang gaji kakak udah gak cukup, kan."
"Tapi kamu yang gak mau kerja di sana?"
"Aku gak mau, tapi kakak kan bisa kerja di sana."
"Itu hotel, Megi. Waktu kakak akan banyak habis tersita kalau bekerja di sana. Siapa yang akan menjaga kamu nanti?"
Lagi, ucapan Mika membuat jalan buntu untuk gadis belia itu. Apapun usaha yang dilakukannya untuk membujuk kakak itu, hanya akan menemukan jalan buntu.
Pandu, tidak sanggup rasanya jika harus mengakhiri kisah ini sebelum memulai. Kenapa? Seperti ini jalan yang harus ditempuh olehnya?
Tidak bisakah ia memiliki seseorang yang menemaninya? Mendengarkan kisahnya di kala senang dan juga susah.
Pandu, diharapkan untuk menjadi pelindung kedua bagi Megi. Semua usaha yang dilakukan Pandu untuk membuat Megi semangat, sudah hampir membuahkan hasil. Tapi sekarang, semuanya terancam sia-sia.
Tidak mungkin juga bila harus bertahan di sini, hanya demi seseorang yang asing. Tidak mungkin Megi meninggalkan keluarganya.
Megi menghela napas panjang, mencoba untuk tegar atas apa yang terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 291 Episodes
Comments
Erni Fitriana
kasian mika..megi...klo Mirza halal tuch thor dikasih sianida
2023-08-05
0
Ahyuni Aie
terlalu bnyk crita. tp sdikit dialog nya..
bosen.
2020-01-31
5