NovelToon NovelToon

Kembalinya Pendekar Pedang Naga Api

Prahara Jurang Menjing

Blllaaammmmmmmm!!!!

Ledakan dahsyat terdengar saat sebuah cahaya merah membara menghantam kereta kuda dengan bendera Kerajaan Panjalu. Kereta kencana dari kayu berukir indah dengan lambang kepala garuda itu hancur berkeping-keping dan jatuh ke dalam Jurang Menjing yang ada di kiri jalan yang mereka lewati.

Seorang kusir dan empat ekor kuda yang menarik kereta kuda ikut tewas dalam ledakan dahsyat di siang hari itu.

Namun seorang lelaki muda berusia kurang lebih 2 dasawarsa berpakaian mewah layaknya seorang bangsawan berhasil menyelamatkan diri dengan melompat keluar dari kereta kuda sesaat sebelum sinar merah membara menghantam. Meski beberapa luka menghiasi tubuhnya, namun dia masih selamat.

Sayangnya keberuntungan sang lelaki muda tak begitu baik. Meski dia berhasil melompat ke jalan, tapi seorang lelaki paruh baya dengan jenggot lebat yang mulai memutih kembali melontarkan cahaya merah membara kearah si lelaki muda.

Whuuutthhhh!!

Si lelaki muda bertubuh tegap dengan wajah tampan itu langsung salto ke belakang beberapa kali menghindari sinar merah membara yang di lepaskan lelaki paruh baya itu.

Dhuuaaaaaaarrrrrr!!!

Ledakan dahsyat kembali terdengar. Si lelaki muda itu menyadari bahwa kemampuan nya jauh di bawah si lelaki paruh baya yang memburu nya, bermaksud untuk melarikan diri. Namun dari sisi yang lain juga muncul seorang lelaki paruh baya lain dengan satu mata tertutup kulit lembu berwarna hitam.

Sadar tak mungkin bisa meloloskan diri, si pemuda mundur setapak demi setapak.

"Kalian berani sekali mencelakai kerabat dekat istana Kadiri? Apa kalian sudah bosan hidup?", ujar si pemuda tampan mencoba untuk menakut-nakuti dua orang yang mendekati sang pemuda.

Hahahahahahaha...

"Menggunakan nama Istana Kadiri untuk menakut-nakuti kami? Kau pikir kami takut?

Phuihhhh..

Kami bertindak juga dengan perintah orang istana Kadiri. Kau pikir kami bodoh berani macam-macam dengan kerabat istana tanpa bantuan orang dalam ha? Kau sungguh naif sekali anak muda", jawab si mata satu sambil tersenyum sinis.

"Mak-maksud mu, kalian di suruh orang dalam istana Kadiri? I-itu tidak mungkin itu tidak mungkin...

Kalian pasti bohong, kalian berdusta", teriak si pemuda tampan sambil terus mundur. Dia benar-benar sulit mempercayai apa yang baru saja dia dengar.

Sambil tersenyum lebar, si lelaki paruh baya berjenggot lebat yang mulai memutih itu mengeluarkan sebuah lencana perak bergambar Candrakapala yang di angkat ke depan wajah sang pemuda.

"Ini adalah bukti perintah nya. Apa kau masih meragukan omongan ku, Gusti Pangeran? Hahahaha...

Bersiaplah untuk menemui leluhur mu di neraka. Salahkan nasib sial mu yang menjadi anak pertama Jayengrana", ucap si lelaki berjenggot lebat sambil mengumpulkan tenaga dalam nya di tangan kanannya.

"Mampus kau, Pangeran Tejo Laksono!"

Sinar merah membara melesat cepat kearah si pemuda tampan yang tak lain adalah Panji Tejo Laksono, putra tertua dari Prabu Jitendrakara atau juga dikenal sebagai Prabu Jayengrana.

Whhuuuuuuuggggh!!

Tak ingin terbunuh tanpa perlawanan, Panji Tejo Laksono langsung mengeluarkan Ajian Tapak Dewa Api yang dia pelajari dari Padepokan Padas Putih.

Sinar merah menyala seperti api tercipta di kedua tangan Panji Tejo Laksono. Dengan cepat ia menghantamkan kedua tangan nya ke arah sinar merah membara yang menuju ke arah nya.

Blllaaammmmmmmm!!

Ledakan dahsyat terdengar. Panji Tejo Laksono muntah darah segar sambil terpental ke arah Jurang Menjing. Tubuhnya melayang turun dan dia pingsan saat masih di udara.

Si lelaki berjenggot lebat itu juga muntah darah segar dan terdorong sejauh 2 tombak ke belakang. Si mata satu dengan cepat mendekati nya.

"Kakang Reksowiryo kau tidak apa-apa?", tanya si mata satu itu dengan cepat.

"Uhuukkkk...

Bocah tengik itu lumayan juga. Saat mau mampus masih sempat melukai ku. Kita harus cepat pergi dari sini, Kencaka.. Aku yakin orang orang kita tidak mampu menahan dua perwira tinggi Kerajaan Panjalu itu lebih lama lagi", ajak lelaki berjenggot lebat yang di panggil dengan nama Mpu Reksa sambil melesat ke arah rimbun pepohonan di sisi lain jalan. Temannya yang bermata satu yang di sebut dengan nama Mpu Kencaka itu langsung mengikuti langkah Mpu Reksowiryo.

Mpu Reksowiryo dan Mpu Kencaka adalah sepasang pendekar sepuh yang memiliki nama besar di wilayah Tanah Perdikan Lodaya. Mereka bekerja pada kelompok pembunuh bayaran yang paling di takuti di wilayah timur Kerajaan Panjalu, Bulan Sabit Darah.

Kelompok Bulan Sabit Darah beberapa kali terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap beberapa pejabat rendah hingga menengah. Yang paling berani mereka menyerbu ke dalam Istana Kadipaten Matahun untuk membunuh Adipati Maitreya. Meski gagal dan kehilangan beberapa pilar utama kelompok, tapi kelompok itu tetap menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar pejabat di timur Kerajaan Panjalu.

Tubuh Panji Tejo Laksono yang pingsan meluncur turun ke dasar jurang. Sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuh Panji Tejo Laksono sebelum menyentuh dasar jurang yang berbatu.

"Hemmmmmmm tulang yang bagus", gumam si bayangan putih itu sambil melayang seperti terbang menuju ke arah timur.

Di sebuah pondok kayu dekat air terjun kecil di lereng Gunung Kelud, si bayangan putih yang ternyata adalah seorang kakek tua bertubuh sedikit kurus dengan pakaian seperti pertapa itu berhenti. Jenggotnya telah memutih, rambutnya penuh dengan uban dan kulit nya yang keriput menandakan bahwa kakek tua itu telah berusia lanjut.

Dengan hati hati, sang kakek tua meletakkan tubuh Panji Tejo Laksono diatas dipan kayu yang di lapisi daun daun kering.

Dengan cepat, sang kakek tua itu memeriksa keadaan Panji Tejo Laksono.

"Ah untung saja cuma luka dalam sedang saja. Kau benar benar punya keberuntungan anak muda", ujar si kakek tua yang dengan cepat menotok beberapa jalan darah dan urat nadi Panji Tejo Laksono.

Setelah itu, si kakek tua segera mendudukkan tubuh Panji Tejo Laksono. Sambil duduk bersila di belakang nya, si kakek tua bertubuh kurus itu segera menyalurkan tenaga dalam nya. Hawa panas menyebar ke seluruh tubuh Panji Tejo Laksono hingga sang pemuda tampan tersadar dari pingsannya.

Thapp thapp..

Dengan cepat kakek tua menotok dua titik nadi di punggung Panji Tejo Laksono.

Huuuuooogggghhh!!!

Panji Tejo Laksono langsung muntah darah kehitaman. Melihat Panji Tejo Laksono memuntahkan darah kehitaman, kakek tua itu tersenyum senang. Perlahan dia beringsut dan merebahkan tubuh Panji Tejo Laksono keatas dipan kayu. Bibir Panji Tejo Laksono yang nampak pucat itu bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tubuhnya sangat lemah hingga tak punya tenaga untuk bicara.

"Istirahat lah anak muda. Kita bicara lagi setelah pulih tenaga mu", ujar kakek tua sembari tersenyum tipis.

Dengan menyentuh dahi diantara dua mata, si kakek tua itu langsung membuat Panji Tejo Laksono tertidur pulas. Si kakek tua tersenyum simpul lalu berjalan keluar dari dalam pondok kayu beratap daun kelapa yang dianyam. Satu gerakan cepat, tubuh tua kakek itu melayang meninggalkan pondok kayu.

Sementara serombongan pasukan berkuda berhenti di bekas arena pertarungan antara Panji Tejo Laksono dan dua pembunuh bayaran.

Seorang lelaki bertubuh tegap langsung melompat turun dari kudanya dan bergegas memeriksa keadaan sekitar tempat itu. Mata lelaki berusia empat setengah dasawarsa itu nampak menyapu ke sekeliling tempat itu. Matanya terpaku pada genangan darah, beberapa potongan kayu kereta dan sebuah potongan kain yang menyangkut di sebuah pohon johar yang tumbuh di tepi tebing Jurang Menjing.

Tak berapa lama kemudian rombongan berkuda lain menyusul berhenti di tempat itu. Seorang lelaki bertubuh tambun dengan rambut mulai memutih nampak melompat turun dari kudanya mendekati sang perwira tinggi prajurit Panjalu.

"Apa yang kau lihat Lu? Apa kau menemukan sesuatu?", tanya perwira tinggi bertubuh tambun itu segera.

"Kau diam dulu Mbreg...

Aku sedang mencoba menggambarkan keadaan pertarungan disini tadi", bentak si lelaki bertubuh tegap itu dengan keras.

"Ah kau itu tetap saja begitu Lu, suka main rahasia rahasiaan sama aku", perwira bertubuh tambun itu mendengus kesal.

"Dasar cerewet!

Coba kau lihat potongan kayu jati itu, juga bekas tapak roda yang menghilang disini. Terus darah yang belum mengering di sana. Lobang itu juga merupakan dari hantaman ajian kanuragan tingkat tinggi.

Dari itu semua, aku perkirakan bahwa kereta kuda yang membawa Gusti Pangeran Panji Tejo Laksono telah jatuh ke Jurang Menjing ini, Mbreg", jawab sang perwira tinggi berkumis tipis itu segera. Mendengar jawaban itu, si perwira prajurit bertubuh tambun itu terkejut bukan main begitu juga para prajurit yang mengiringi mereka.

Ya, mereka berdua adalah Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg, dua perwira tinggi Kerajaan Panjalu. Mereka adalah abdi setia Prabu Jitendrakara alias Jayengrana sejak masih muda.

Kali ini mereka berdua di tugaskan untuk menjemput Pangeran Panji Tejo Laksono yang telah selesai menempuh pendidikan di Padepokan Padas Putih.

Namun rupanya ada sebuah persekongkolan besar di dalam istana Kadiri hingga iring-iringan rombongan Panji Tejo Laksono di sergap para pembunuh bayaran Bulan Sabit Darah.

Para pembunuh bayaran dari Kelompok Bulan Sabit Darah dengan cerdik memisahkan kereta kuda Pangeran Panji Tejo Laksono dengan Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg hingga menyebabkan peristiwa ini terjadi.

Seluruh prajurit Panjalu yang dipimpin oleh Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg langsung memikirkan nasib yang akan di terima oleh mereka jika kabar jatuhnya Pangeran Panji Tejo Laksono ke Jurang Menjing terdengar oleh telinga Maharaja Panjalu Prabu Jitendrakara Parakrama Bhakta. Hukuman penggal sudah pasti mereka terima karena gagal melindungi putra tertua Panji Watugunung itu.

Saat mereka tengah memikirkan nasib mereka ke depannya, seorang prajurit melihat suatu sinar berkilau di dasar Jurang Menjing.

"Gusti Tumenggung,

Ada cahaya berkilauan di dasar jurang ini. Itu ada disana", sang prajurit menunjuk ke cahaya berkilauan seperti batu mulia.

Mendengar ucapan itu, Tumenggung Ludaka segera bangkit dan memicingkan matanya ke arah cahaya yang di tunjukkan oleh sang prajurit.

"Itu itu lencana perak. Itu pantulan sinar matahari dari perak. Itu pasti lencana perak Gusti Pangeran.

Mbreg, aku akan turun ke bawah untuk memastikan bahwa ada kemungkinan Gusti Pangeran di temukan di bawah sana. Aku akan turun ke bawah ", ujar Senopati Ludaka pada Demung Gumbreg dengan girang.

"Tapi Lu,

Jurang Menjing ini sangat dalam. Menuruninya sangat berbahaya. Iya kalau itu benar lencana perak Gusti Pangeran, kalau bukan kan sia sia kau kesana", Demung Gumbreg mencoba untuk menghentikan niat Tumenggung Ludaka.

"Mbreg,

Kita itu prajurit Panjalu. Sekalipun kita mati dalam tugas yang diberikan oleh Gusti Prabu Jayengrana, bagiku itu lebih baik daripada harus kembali ke istana dengan kegagalan menjalankan tugas. Aku akan membawa 6 prajurit ku.

Kau kembalilah ke istana. Kabarkan berita ini pada Gusti Prabu seorang. Tapi ingat, selain kita yang ada disini, berita ini tidak boleh bocor.

Apa kau mengerti?", Tumenggung Ludaka menatap ke arah Demung Gumbreg.

"Aku mengerti Lu..

Sebaiknya kau kembali dengan selamat dan membawa berita baik ", jawab Demung Gumbreg sambil menatap wajah sahabat karibnya itu. Mereka telah berkawan karib puluhan tahun, mengabdikan diri pada Panji Watugunung melewati suka duka bersama di puluhan perang dan pertempuran.

Usai berkata demikian, Demung Gumbreg segera melompat ke atas kuda nya dan bersama para prajurit Panjalu dia menggebrak kudanya menuju ke arah Kotaraja Kadiri.

Sedangkan Tumenggung Ludaka dan keenam prajurit pilihan nya segera bergegas mencari jalan memutar untuk menuruni lereng terjal Jurang Menjing. Begitu menemukan yang dicari, mereka bertujuh segera turun ke bawah.

Rimbun pohon belukar dan akar akar pohon menjalar menjadi alat bantu mereka untuk menuruni lereng terjal itu. Menggunakan parang dan golok, mereka membuat jalan menuju dasar jurang. Sesampainya di dasar jurang, Tumenggung Ludaka dan keenam prajurit Panjalu menyusuri sungai kecil berair jernih menuju ke arah tempat dimana kilauan perak tadi terlihat.

Setelah sampai, mereka segera berpencar ke sekeliling tempat terlihatnya perak tadi. Di tempat itu mereka menemukan bangkai kuda dan mayat kusir kereta tapi tidak menemukan jasad Pangeran Panji Tejo Laksono.

Seorang prajurit akhirnya menemukan lencana perak bergambar Candrakapala di dekat batu besar yang ada di samping sungai kecil. Dengan cepat ia menyerahkan lencana perak itu pada Tumenggung Ludaka.

Hemmmmmmm..

'Jasad Gusti Pangeran Panji Tejo Laksono tidak ada. Tidak ada tanda tanda binatang buas maupun darah berceceran. Ada kemungkinan besar Gusti Pangeran masih hidup, tapi dimana beliau sekarang?', batin Tumenggung Ludaka sambil mengernyitkan keningnya.

Setelah menguburkan mayat kusir kereta kuda, mereka segera bergegas meninggalkan tempat itu karena hari telah menjelang sore. Mereka memilih untuk menyusuri sungai kecil itu dengan harapan untuk dapat menemukan keberadaan Panji Tejo Laksono.

Sementara itu di ruang pribadi Raja di istana Katang-katang, seorang lelaki bertubuh tegap dengan kumis tipis nampak berdiri sambil mengepalkan tangannya di belakang pinggang. Sebagian rambutnya telah memiliki uban namun tidak mengurangi wibawa dan gurat ketampanan masa muda nya sebagai seorang Raja. Meski sedang tidak mengenakan mahkota raja, lelaki itu terlihat agung dengan tatapan mata tajamnya. Dia sedang gusar mendengar laporan Demung Gumbreg yang baru saja kembali dari Padepokan Padas Putih tempat putra sulungnya menempuh pendidikan dari para resi sebagai bekal nya menjadi pemimpin masa depan Kerajaan Panjalu.

"Jadi Tumenggung Ludaka masih mencari keberadaan putra ku di Jurang Menjing?", ujar lelaki bertubuh tegap itu tanpa menatap ke arah Demung Gumbreg.

Perwira tinggi prajurit Panjalu bertubuh tambun itu segera menghormat pada lelaki di hadapannya.

"Benar begitu adanya Gusti Prabu..

Kami berbagi tugas untuk menyampaikan berita ini langsung pada Gusti Prabu. Sedangkan Tumenggung Ludaka juga berpesan agar berita ini tidak boleh menyebar kepada siapa pun meski pada kerabat istana", Demung Gumbreg segera menundukkan kepalanya.

Hemmmmmmm...

'Musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang bersembunyi di dalam rumah kita sendiri. Tapi harus menemukan bukti kuat untuk mencari dalang dari semua ini', batin si lelaki bertubuh tegap yang tak lain adalah Panji Watugunung alias Pangeran Jayengrana yang terkenal dengan abhiseka nya Prabu Jitendrakara Parakrama Bhakta.

"Kau yakin mereka adalah orang-orang Kelompok Bulan Sabit Darah?", Panji Watugunung sedikit menoleh ke arah Demung Gumbreg yang masih duduk bersila di lantai ruang pribadi raja.

"Hamba yakin Gusti Prabu..

Para pengeroyok kami mengenakan kalung berliontin kayu berukir bulan sabit terbalik dengan warna merah. Itu adalah bukti tentang keterlibatan mereka", ujar Demung Gumbreg sambil merogoh sebuah liontin kalung dari kayu jati kecil dan mengangkat kedua tangan nya untuk menghaturkan benda itu pada Panji Watugunung.

Maharaja Panjalu itu langsung meraih liontin kalung dari tangan Demung Gumbreg. Lalu memperhatikan ukiran yang tergambar di sana.

"Tidak salah lagi. Mereka berani menantang ku. Akan ku tumpas mereka sampai ke akar-akarnya", Panji Watugunung segera meremas liontin kalung dari kayu jati itu. Tak berapa lama kemudian liontin kalung itu berubah menjadi abu. Panji Watugunung segera menoleh ke arah dua prajurit penjaga.

"Prajurit!

Panggil Senopati Warigalit kemari!".

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hai para penggemar kisah BNL..

Kali ini seri ketiga dari BNL hadir ya setelah seri kedua dengan judul PPP menemani dunia baca kalian semua di noveltoon...

Selamat membaca, jangan lupa untuk memberi dukungan kepada cerita ini dengan like, vote, komentar dan hadiahnya 😁😁✌️✌️✌️

Begawan Ganapati

Dua prajurit penjaga ruang pribadi raja langsung menyembah pada Panji Watugunung sebelum pergi. Setelah itu Demung Gumbreg pun undur diri setelah di wanti wanti oleh Prabu Jayengrana untuk tidak buka mulut soal peristiwa yang menimpa Pangeran Panji Tejo Laksono.

Senopati Warigalit masuk ke dalam ruang pribadi raja saat Panji Watugunung tengah termenung di atas kursi kayu jati nya.

"Sembah bakti saya, Dhimas Prabu", ujar Senopati Warigalit sembari menghormat pada Panji Watugunung.

"Aku terima Kakang..

Silahkan duduk", jawab Panji Watugunung segera.

"Daulat Gusti Prabu Jitendrakara", ujar Senopati Warigalit yang kemudian duduk bersila di lantai ruang pribadi raja Panjalu. Suara jangkrik dan belalang bersahutan menandakan musim penghujan akan segera tiba. Sesekali suara burung malam terdengar dari ranting pohon cemara.

"Kakang Senopati Warigalit,

Apa Kakang pernah mendengar tentang Kelompok pembunuh bayaran Bulan Sabit Darah?", tanya Panji Watugunung sambil menatap ke arah kakak seperguruan nya itu.

"Mohon ampun Dhimas Prabu,

Kelompok Bulan Sabit Darah adalah kelompok pembunuh bayaran yang terkenal. Mereka menjadi momok bagi para pejabat di wilayah timur Negeri Panjalu ini. Setahu ku, kelompok ini memiliki markas di beberapa tempat tapi yang terbesar ada wilayah Tanah Perdikan Lodaya.

Kelompok ini cukup licik karena sering berpindah tempat secara berkala untuk menghindari upaya pembasmian oleh pejabat di wilayah mereka.

Apa Dhimas Prabu ada sesuatu yang harus aku kerjakan dengan kelompok pembunuh bayaran ini?", Senopati Warigalit menghormat pada Panji Watugunung usai menjawab pertanyaan sang raja.

Hemmmmmmm...

Terdengar suara dengusan nafas dingin dari Panji Watugunung. Ada sesuatu yang sedang mengganjal pikiran nya.

"Aku harap kakang bisa menumpas para pembunuh bayaran ini. Keberadaan mereka ibarat duri dalam daging bagi keamanan di wilayah Kerajaan Panjalu.

Jujur saja, Paman Mapatih Jayakerti sudah menyampaikan keinginannya untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai warangka praja Panjalu karena merasa sudah terlalu sepuh. Aku ingin Kakang Warigalit yang menduduki posisi Paman Jayakerti itu, tapi sebagai tanda jasa nya kakang harus cepat menumpas Kelompok Bulan Sabit Darah agar aku tidak kesulitan menjawab pertanyaan Dewan Sapta Prabu mengenai alasan ku mengangkat mu menjadi Mapatih.

Apakah kakang bersedia melakukan nya?", Panji Watugunung menatap ke arah Senopati Warigalit.

"Ini adalah berkah tersendiri bagi saya Dhimas Prabu.. Saya selalu bersedia untuk melakukan tugas apapun yang Dhimas Prabu berikan, entah itu ada atau tidaknya penghargaan dari pihak istana Katang-katang.

Semua hidup ku adalah untuk mengikuti mu, Dhimas Prabu", Warigalit menghormat pada Panji Watugunung.

"Kakang benar benar membuat ku bangga sebagai saudara seperguruan mu..

Oh iya, bagaimana kabar Kangmbok Ratri dan Rara Wilis Kakang? Aku sudah lama tidak main ke rumah mu hehehehe", Panji Watugunung terkekeh kecil saat berbicara.

"Ratri baik baik saja, Dhimas Prabu.. Kalau Rara Wilis ya kau tahu sendiri lah, gadis kecil itu benar benar keras kepala seperti ibunya waktu gadis dulu...

Terimakasih sudah menanyakan perihal keluarga ku Dhimas", ujar Warigalit sambil tersenyum simpul.

"Hahhh dunia ini cepat sekali berputar ya Kakang..

Padahal baru kemarin rasanya kita bertualang hingga ke Galuh Pakuan, tapi ternyata sudah sekitar 2 dasawarsa berlalu. Kita semakin tua Kakang", Prabu Jitendrakara alias Panji Watugunung menatap langit malam yang gelap.

"Benar Dhimas Prabu..

Sesuatu yang lama akan di ganti dengan yang baru. Begitulah hukum kehidupan yang terjadi pada diri kita", ujar Senopati Warigalit sambil tersenyum tipis.

Mereka berdua bercengkrama dengan nostalgia masa lalu saat muda dengan penuh keakraban.

Malam semakin larut. Desir angin dari selatan berhembus sepoi-sepoi seakan membuai seisi bumi Panjalu dalam buaian mimpi indah untuk hari esok.

Keesokan paginya, Senopati Warigalit dibantu oleh Tumenggung Landung dan Demung Rajegwesi, mulai menata prajurit pilihan yang akan di persiapkan untuk melakukan penumpasan kelompok pembunuh bayaran Bulan Sabit Darah.

Dari para telik sandi maupun Pasukan Lowo Bengi, mereka mengumpulkan berita keberadaan markas kelompok itu yang kini bermukim di sekitar Alas Jati di perbatasan antara Kadipaten Karang Anom dan Tanah Perdikan Lodaya.

Maka hari itu juga di kirim lah dua berita ke Tanah Perdikan Lodaya dan Kadipaten Karang Anom lewat merpati surat.

Di bantu Tumenggung Landung, Senopati Warigalit menyusun rencana penyerbuan itu dengan membagi pasukannya menjadi dua.

Satu bagian bergerak dari timur, lainnya menggempur dari barat. Setelah semua persiapan beres, sekitar 1500 orang prajurit pilihan bergerak cepat menuju ke arah selatan Panjalu di bawah pimpinan Senopati Warigalit, Tumenggung Landung dan Demung Rajegwesi.

Nun jauh di timur, di pondok kayu beratap daun kelapa yang dianyam..

Panji Tejo Laksono membuka mata nya setelah hampir sehari semalam tertidur oleh bantuan si kakek tua yang menyelamatkan nyawa nya. Rasa lapar yang menyerangnya membuat sang pangeran ini bangun dari tempat tidur nya. Anehnya seluruh tubuh nya terasa lebih bugar di banding dengan kemarin.

Pemuda tampan itu segera bergegas keluar dari kamar tidur. Saat membuka pintu pondok kayu, si kakek tua bertubuh sedikit kurus itu sudah berdiri dengan bantuan tongkat nya di halaman pondok. Kakek tua itu menatap ke arah langit selatan yang dihiasi oleh mendung tebal berwarna abu-abu.

"Kau sudah bangun anak muda?", si kakek tua itu bertanya tanpa menoleh ke arah Panji Tejo Laksono.

"Sudah Kisanak, terimakasih atas pertolongan mu kemarin. Aku benar benar berhutang nyawa pada mu", Panji Tejo Laksono membungkukkan badannya pada kakek tua itu.

"Lantas apa rencana mu selanjutnya?", kini kakek tua itu menoleh ke arah Panji Tejo Laksono yang nampak tenang di belakang nya.

"Tentu saja pulang ke istana Kadiri, Kisanak. Aku tidak mau Kanjeng Ibu Anggarawati khawatir dengan keadaan ku", Panji Tejo Laksono langsung menjawab pertanyaan tanpa ragu-ragu.

"Dengan ilmu kanuragan segitu, kau kembali ke istana Kadiri, bukankah kau sama saja dengan mencari mati? Apa kau sudah tak ingin hidup lagi?", tanya si kakek tua itu yang kini telah membalik badannya.

"Apa maksud mu Kisanak? Aku tidak mengerti", jawab Panji Tejo Laksono dengan cepat.

"Dunia ini kejam, anak muda. Yang kuat akan menindas yang lemah, yang menang akan menundukkan yang kalah. Tak semua yang kelihatan baik akan selalu baik, mereka yang di dekat mu pun belum tentu suka dengan mu. Bisa jadi sekarang mereka menghormati mu karena posisi mu, tapi jika ada kesempatan kau pasti akan di hancurkan", ujar kakek tua sambil menghela nafas panjang.

Mendengar penuturan itu, Panji Tejo Laksono langsung teringat pada dua orang pembunuh bayaran yang nyaris merenggut nyawanya kemarin. Dalam hati dia membenarkan ucapan kakek tua itu.

"Tapi aku tidak mau ibu ku khawatir dengan keselamatan ku, kakek tua.

Ijinkan aku untuk pulang ke Kadiri", Panji Tejo Laksono menghormat pada kakek tua itu segera.

"Huhhh.. Dasar bodoh..

Baiklah kalau kau memaksa, tapi kau boleh meninggalkan tempat ini jika kau bisa menjatuhkan ku dalam 10 jurus", kini kakek tua itu menatap tajam ke arah Panji Tejo Laksono sambil melakukan kuda-kuda ilmu silatnya.

"Kau jangan memaksa ku, kakek tua..

Aku tidak ingin menyakiti mu", ujar Panji Tejo Laksono dengan cepat.

"Perkara siapa yang disakiti, kita masih belum tahu. Majulah bila memang kau bisa diandalkan", kakek tua itu mulai membuka tangan nya.

Melihat itu, Panji Tejo Laksono langsung menggebrak maju dengan cepat. Satu ayunan tangan kanannya menyerang ke arah kepala si kakek tua.

Whhhuuuggghhhh!!

Kakek tua renta itu bergerak lincah menghindari hantaman tangan Panji Tejo Laksono.

"1 jurus anak muda", ujar si kakek tua sambil tersenyum tipis.

Mendengar itu, Panji Tejo Laksono semakin mempercepat gerakannya dan menyerang si kakek tua dengan pukulan beruntun.

Whuuutt whuuthhh!

"2 jurus...

3 jurus anak muda, ayolah yang serius ", si kakek tua bertubuh kurus itu masih bergerak lincah menghindari hantaman dan tendangan Panji Tejo Laksono dengan Ilmu Silat Padas Putih nya.

" 4 jurus...

5 jurus..

6 jurus...

Ah kau payah sekali ternyata", oceh si kakek tua dengan cepat.

Geram Panji Tejo Laksono mendengar omongan si kakek tua yang terkesan menghinanya. Mula nya dia setengah hati bertarung melawan kakek tua itu, namun kini dia mengerahkan seluruh kemampuan beladiri nya.

Kedua tangan Panji Tejo Laksono langsung bersedekap di depan dada, mulut pemuda tampan itu komat kamit membaca mantra Ajian Tapak Dewa Api yang sudah di pelajari dari Resi Mpu Sakri yang juga guru ayahnya. Kakek tua itu menurunkan ilmu itu, setahun yang lalu sebelum dia meninggal.

Kedua tangan Panji Tejo Laksono diliputi oleh sinar merah menyala seperti api yang kemudian berkumpul di telapak tangan nya.

"Tapak Dewa Api..

Chiiiiaaaaaaaaaatttttttt!!"

Selarik sinar merah menyala menerabas cepat kearah kakek tua itu.

Whhhuuuggghhhh!!!

Blllaaammmmmmmm!!!

Kakek tua renta itu dengan tenang nya bersalto mundur menghindari Ajian Tapak Dewa Api yang di lepaskan oleh Panji Tejo Laksono.

"Jurus ke tujuh, anak muda..

Kau terlalu payah!!", ujar si kakek tua bertubuh kurus itu yang segera membuat Panji Tejo Laksono marah. Dengan cepat ia menghantamkan kedua telapak tangan nya bertubi-tubi kearah si kakek tua itu segera.

Whuuutt whuuthhh whuuussshh!!

Tiga sinar merah menyala menerabas cepat kearah kakek tua.

"Ini adalah jurus mu yang ke delapan, sembilan dan sepuluh anak muda. Sekarang giliran ku untuk menyerang", ucap kakek tua yang mendadak lenyap saat tiga sinar merah menyala hampir mengenainya.

Blllaaammmmmmmm blammmmm blammmmm!!!!

Tiga ledakan dahsyat terdengar hingga ke tengah hutan. Burung burung beterbangan ketakutan mendengar bunyi nyaring itu.

Panji Tejo Laksono yang baru melepaskan tiga hantaman beruntun, terkejut setengah mati saat melihat tiba-tiba si kakek muncul di hadapan nya dan menghantam perutnya dengan cepat.

Bhhhuuuuuuggggh..

Oooouuuugggghhhhhh!!!

Putra Raja Panjalu itu langsung meringkuk menahan rasa sakit di perut nya. Seluruh organ dalam nya terasa bergeser dari tempatnya.

"Kau lemah anak muda..

Kemampuan beladiri mu hanya seujung kuku hitam ku. Di dunia ini ada banyak pendekar yang jauh lebih hebat daripada aku..

Salah satu nya adalah ayahmu, Raja Panjalu itu. Kau tahu kenapa Panjalu sangat tenang dan damai 1 dasawarsa terakhir ini? Karena mereka memiliki raja yang adil bijaksana juga sakti mandraguna.

Kalau kau pulang ke Kadiri dengan keadaan seperti ini, kau hanya menambah beban Prabu Jayengrana semakin besar. Sebagai putra sulung nya, seharusnya kau mampu menjadi pengayom seterusnya bagi Kerajaan Panjalu ini", ujar si kakek tua itu sambil berjongkok di depan Panji Tejo Laksono.

Mendengar ucapan itu, Panji Tejo Laksono langsung termenung. Dia tidak ingin menjadi beban bagi ayah ibunya, juga merasa tanggung jawab kerajaan Panjalu ini ada di pundaknya. Perlahan Panji Tejo Laksono berlutut di hadapan kakek tua itu. Kemudian bersujud padanya.

"Ajari aku kakek tua..

Ajari aku menjadi lebih kuat untuk menjadi seorang yang mampu menjaga bumi Panjalu ini", ujar Panji Tejo Laksono dengan cepat.

"Hehehehe...

Akhirnya kau mengerti juga. Baiklah aku Begawan Ganapati bukan orang yang suka ingin di hormati. Mulai hari ini kau adalah murid ku.

Sekarang bangunlah, pangeran.. Di tempat ini aku akan menempa mu menjadi jagoan pilih tanding di masa depan", ujar kakek tua yang mengaku bernama Begawan Ganapati itu sambil mengangkat bahu Panji Tejo Laksono.

Selanjutnya mereka berdua makan pagi dengan makanan sederhana yang ada di sekitar tempat itu. Meskipun Panji Tejo Laksono adalah pangeran di istana Kadiri, dia sudah terbiasa dengan menu makan sederhana karena hampir 5 warsa dia tinggal di Padepokan Padas Putih yang tidak membedakan murid berdasarkan kasta mereka.

Saat matahari sepenggal naik ke langit, 7 orang berpakaian layaknya prajurit mendekati tempat itu.

Mereka adalah Tumenggung Ludaka dan keenam prajurit nya.

Rupanya mereka bermalam di hutan dalam upaya pencarian hilang nya Panji Tejo Laksono. Pagi tadi saat baru saja hendak meneruskan pencarian, mereka mendengar suara pertempuran yang menggunakan ilmu ajian kanuragan tingkat tinggi. Merasa penasaran mereka mencari ke arah sumber suara dan menemukan tempat itu.

Begitu melihat Panji Tejo Laksono masih hidup, Tumenggung Ludaka dan keenam prajurit nya langsung mendekati Panji Tejo Laksono dan Begawan Ganapati.

"Gusti Pangeran Tejo Laksono...

Puja Sang Hyang Akarya Jagat, terimakasih banyak atas karunia mu. Hamba sangat gembira Gusti Pangeran masih hidup.

Maafkan ketidakmampuan hamba menjaga Gusti Pangeran dari Kelompok Bulan Sabit Darah", Tumenggung Ludaka langsung menyembah pada Panji Tejo Laksono yang juga kaget melihat kedatangan perwira tinggi prajurit Panjalu itu.

"Darimana Paman Ludaka tahu kalau aku ada disini?", Panji Tejo Laksono menatap ke arah Tumenggung Ludaka yang kini duduk bersila di hadapan nya.

Tumenggung Ludaka segera menceritakan tentang pencarian mereka hingga ke dasar Jurang Menjing dan akhirnya menemukan Panji Tejo Laksono di tempat itu.

"Mari Gusti Pangeran, hamba antar pulang ke istana Katang-katang.

Gusti Ratu Anggarawati dan Gusti Prabu Jayengrana pasti sangat merindukan kehadiran mu", ujar Tumenggung Ludaka mengakhiri ceritanya.

"Aku tidak bisa pulang sekarang, Paman..

Kalau aku pulang sekarang hanya akan menjadi tambahan beban Kanjeng Romo Prabu Jayengrana. Aku akan berlatih meningkatkan kemampuan beladiri ku di tempat ini bersama guru ku, Begawan Ganapati.

Asal paman tahu, ada orang dalam istana Kadiri yang tidak ingin aku pulang ke Kadiri. Kelompok Bulan Sabit Darah yang berusaha membunuh ku adalah utusan mereka", Panji Tejo Laksono menatap ke arah langit biru di barat.

APPAAAAA??!!!

Terkejut Tumenggung Ludaka dan keenam prajurit Panjalu yang mengikuti nya mendengar penuturan Panji Tejo Laksono.

"Da-darimana Gusti Pangeran tahu semua itu?", Tumenggung Ludaka benar benar tidak menyangka bahwa perkiraan nya menjadi kenyataan.

Panji Tejo Laksono kemudian menceritakan tentang percakapan nya dengan dua pembunuh yang berhadapan dengan nya sesaat sebelum dia jatuh ke dalam Jurang Menjing.

Hemmmmmmm...

"Ini sesuai dengan dugaan hamba, Gusti Pangeran.

Kalau begitu saya harus melaporkan ini pada Gusti Prabu Jayengrana", ujar Tumenggung Ludaka segera.

"Jangan gegabah dalam bertindak Paman..

Gerakan mereka sangat-sangat rapi hingga sulit di pastikan siapa saja yang terlibat dalam masalah ini.

Aku minta paman Ludaka pulang ke Kadiri, sampaikan kepada Kanjeng Romo Prabu bahwa aku baik baik saja. Paman Gumbreg pasti sudah menceritakan semua nya.

Dan minta ayah ku untuk berhati-hati dalam bertindak agar tidak membuat para pelaku kejahatan ini membekukan diri.

Bila saatnya tiba, aku akan kembali ke istana Kadiri", ucap Panji Tejo Laksono dengan penuh keyakinan.

Mendengar tekad Panji Tejo Laksono, Tumenggung Ludaka memilih untuk mengalah. Namun dia menugaskan kepada dua prajurit nya yang bernama Siwikarna dan Jaluwesi untuk membantu semua kebutuhan Panji Tejo Laksono selama di tempat itu. Awal mulanya Panji Tejo Laksono menolak, tapi dia kalah berdebat dengan Tumenggung Ludaka dan akhirnya menerima pengaturan yang dilakukan oleh Tumenggung Ludaka.

Siang itu juga, Tumenggung Ludaka dan keempat pengikut nya meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Kadiri.

Begawan Ganapati menatap wajah tampan Panji Tejo Laksono yang masih memandang ke arah perginya Tumenggung Ludaka.

"Pangeran Tejo Laksono,

Pelatihan mu dimulai dari sekarang"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan 🙏🙏🙏

Samaran

****

Tiga purnama kemudian..

....

Whuunggg whuungg...

Blllaaammmmmmmm!!!

Sebuah lobang sebesar kerbau tercipta di tanah saat ledakan keras itu terdengar.

"Bagus sekali Pangeran...

Sekarang serang aku dengan seluruh tenaga dalam mu", ucap Begawan Ganapati sambil mengusap peluh yang membasahi pipinya yang keriput.

'Baru tiga purnama berlatih, tapi kecepatan pemahaman nya begitu tinggi. Pangeran muda ini pasti sehebat ayahnya di masa depan ', batin Begawan Ganapati.

Panji Tejo Laksono langsung menyilangkan kedua tangan di depan dada. Merentangkan nya dengan cepat lalu kedua telapak tangan menangkup di dada. Kedua matanya menutup rapat.

Sinar merah kebiruan langsung menyelimuti seluruh tubuh Panji Tejo Laksono. Menciptakan udara panas yang menakutkan dan angin menderu berseliweran layak nya badai dengan Panji Tejo Laksono sebagai pusat pusaran. Kedua tangan nya dilingkupi sinar merah kebiruan yang membentuk lingkaran bergulung gulung.

Saat mata Panji Tejo Laksono terbuka, kilatan mata berubah menjadi merah seperti mata naga yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

Ini adalah Ajian Dewa Naga Langit, ilmu kanuragan tingkat tinggi yang dipelajari oleh Panji Tejo Laksono selama hampir tiga purnama terakhir. Bersamaan dengan itu, Begawan Ganapati juga mengajari Ilmu Pedang Tanpa Bayangan. Ilmu permainan pedang yang sangat serasi bila di gabungkan dengan Ajian Sepi Angin, yang di dapatkan Panji Watugunung dari Padepokan Padas Putih.

Tiga purnama ini, Begawan Ganapati benar benar menempa tubuh Panji Tejo Laksono dengan keras. Malam hari dia harus bersemedi tanpa boleh ketiduran, pagi berlatih jurus, siang hari berbagai latihan tubuh seperti memanggul batu dalam keranjang naik turun bukit hingga sore, setelah itu berlatih jurus lagi hingga senja.

Jika di Padepokan Padas Putih masih ada toleransi dari para guru karena posisi nya sebagai putra sulung Prabu Jayengrana, maka itu tidak ada di masa pelatihan Begawan Ganapati. Dia benar-benar di tempa tanpa pandang bulu.

Kedua pengawalnya Siwikarna dan Jaluwesi sampai tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh Panji Tejo Laksono hingga memohon kepada Begawan Ganapati untuk sedikit memberi kelonggaran pada anak raja Panjalu itu namun kakek tua renta itu tak bergeming sedikitpun. Pelatihan nya justru lebih keras lagi hingga memaksa Siwikarna dan Jaluwesi terpaksa menutup mulut mereka rapat-rapat agar Begawan Ganapati tidak menambah pelatihan Panji Tejo Laksono.

Tumenggung Ludaka 2 pekan sekali berkunjung ke tempat itu sambil membawa berita mengenai kondisi terakhir di seputar istana Kotaraja Kadiri.

Dari berita yang disampaikan oleh Tumenggung Ludaka, Panji Tejo Laksono tahu perkembangan terbaru juga desas desus yang beredar luas di kalangan masyarakat. Dari Tumenggung Ludaka pula Panji Tejo Laksono tahu bahwa Prabu Jitendrakara alias Panji Watugunung mengerahkan senopati andalan Kerajaan Panjalu, Warigalit untuk menumpas kelompok pembunuh Bulan Sabit Darah.

Meski berita tentang Panji Tejo Laksono masih hidup, tapi tidak menyurutkan langkah Maharaja Panjalu itu untuk membasmi mereka. Setelah markas besar mereka di perbatasan antara Kadipaten Karang Anom dan Tanah Perdikan Lodaya di hancurkan, Senopati Warigalit terus memburu mereka dengan bantuan pasukan Garuda Panjalu di bawah pimpinan adik iparnya, Tumenggung Jarasanda. Mereka mampu menyudutkan kelompok itu hingga satu purnama terakhir tidak berani melakukan aksi pembunuhan lagi.

Haaaaaarrrrrgggggghhhhhh!!

Teriak Panji Tejo Laksono dengan keras. Angin panas semakin membesar dua kali lipat pertanda Panji Tejo Laksono telah mencapai puncak Ajian Dewa Naga Langit.

"Pangeran, sekarang saatnya!", teriak Begawan Pasopati yang langsung membuat Panji Tejo Laksono melenting tinggi ke udara dan menghantamkan tangan kanannya ke arah batu hitam sebesar gajah yang ada di dekat air terjun kecil.

Whhhhuuuuuummmmm..

Blllaaammmmmmmm!!!!

Batu hitam sebesar gajah itu langsung hancur berkeping keping. Panji Tejo Laksono meluncur turun ke bawah sambil menata nafasnya. Begawan Ganapati tersenyum lebar sembari berjalan mendekati Panji Tejo Laksono.

"Kau benar benar berbakat untuk menjadi seorang pendekar pilih tanding di masa depan, Pangeran ..

Tidak sia sia aku mengajari mu", ujar Begawan Ganapati sambil menepuk-nepuk pundak Panji Tejo Laksono.

"Semua ini karena bimbingan guru", Panji Tejo Laksono menghormat pada Begawan Ganapati.

"Bagus, kerendahan hati seperti itu yang aku suka dari mu pangeran..

Ingat pesan ku untuk tetap rendah hati meski kau mungkin lebih unggul dibandingkan orang lain. Ingat lah, diatas langit masih ada langit", petuah Begawan Ganapati sambil tersenyum simpul.

"Murid memahami petuah dari guru", jawab Panji Tejo Laksono dengan sopan.

Mereka berdua lantas berjalan beriringan menuju ke pondok kayu beratap daun kelapa tempat tinggal mereka selama ini. Siwikarna langsung menggelar alas duduk untuk Panji Tejo Laksono dan Begawan Ganapati, sementara Jaluwesi langsung mengulurkan kendi air minum pada junjungan mereka.

"Pangeran Tejo Laksono,

Aku rasa sudah cukup aku menurunkan ilmu ku pada mu. Tiga purnama ini kau sudah berusaha keras dan hasil yang kau capai juga luar biasa. Orang biasa tak ada yang mampu menguasai Ajian Dewa Naga Langit hanya dalam waktu singkat seperti mu. Aku saja butuh waktu lebih dari 1 dasawarsa untuk mempelajari ilmu itu hingga tahap ketiga.

Kau harus turun gunung, dan sebagai guru mu aku minta tanda bakti mu sebagai murid dengan topo ngrame selama 40 hari. Kau tidak boleh menggunakan jati diri mu sebagai pangeran Kadiri, juga tidak boleh mengungkapkan nya sebelum 40 hari itu selesai.

Apa kau sanggup?", tanya Begawan Ganapati sambil menatap ke arah Panji Tejo Laksono.

"Sanggup guru..

Tapi jika aku turun gunung, guru selanjutnya akan tetap tinggal disini bukan?", Panji Tejo Laksono benar benar ingin tahu.

"Hehehehe soal itu tak perlu kau khawatir kan.. Yang penting ilmu dari guru ku sudah aku wariskan, selanjutnya aku bisa tenang bertapa untuk mencapai moksa..

Oh iya hampir lupa, ada satu benda yang akan ku berikan pada mu", usai berkata demikian Begawan Ganapati masuk ke dalam kamar peristirahatan nya dan mengambil sebuah pedang dengan gagang hitam.

"Pedang ini dulu menemani ku berkelana di dunia persilatan timur. Bawalah sampai kau menemukan senjata pusaka yang cocok dengan mu suatu saat nanti", Begawan Ganapati menyerahkan pedang itu pada Panji Tejo Laksono.

"Terimakasih banyak Guru..

Semua ajaran guru akan ku ingat selamanya", ujar Panji Tejo Laksono segera.

Setelah itu, Panji Tejo Laksono menulis sebuah surat untuk di berikan pada Prabu Jayengrana. Siwikarna dan Jaluwesi merengek ingin mengikuti Panji Tejo Laksono namun pangeran muda ini ingin menjalani topo ngrame nya seorang diri.

Siwikarna dan Jaluwesi terpaksa mengalah dan mengikuti perintah Panji Tejo Laksono untuk mengantar Nawala nya ke Kotaraja Kadiri. Siang itu juga mereka bersiap siap untuk meninggalkan pondok kayu tempat pelatihan Panji Tejo Laksono.

"Guru,

Murid mohon pamit. Aku harap Sang Hyang Akarya Jagat akan memberikan umur panjang pada guru agar suatu saat nanti kita masih bisa bertemu", Panji Tejo Laksono menyembah pada Begawan Ganapati.

"Berhati hati lah pangeran..

Jaga diri mu baik-baik", ujar Begawan Ganapati sambil tersenyum simpul.

Dengan langkah kaki mantap, Panji Tejo Laksono melangkah menuju ke arah selatan. Sedangkan Siwikarna dan Jaluwesi menuju ke arah barat. Begawan Ganapati menatap kepergian Panji Tejo Laksono dengan penuh rasa haru.

Sekejap kemudian, Begawan Ganapati melesat ke arah puncak Gunung Kelud untuk kembali melanjutkan pertapaan nya.

Panji Tejo Laksono terus melesat ke arah pucuk pucuk pohon yang tumbuh subur di lereng Gunung Kelud. Suasana hijau nan sejuk terasa sejauh mata memandang.

Tanpa disadari Panji Tejo Laksono, dia berjalan menuju Kadipaten Seloageng dimana penguasa nya adalah Adipati Tejo Sumirat, kakek nya dari pihak sang ibu Maharani Anggarawati.

Usai melewati hutan lebat yang banyak di huni oleh binatang buas, Panji Tejo Laksono sampai di sebuah perkampungan yang bernama Pacuh dengan raman (lurah) bernama Mpu Wungku.

Para peladang dan petani yang sedang menanam padi dan jagung di lahan mereka sedikit kaget melihat kedatangan Panji Tejo Laksono. Bukan karena Panji Tejo Laksono seram tapi justru karena ketampanan pemuda itu.

Karena kebingungan arah, Panji Tejo Laksono segera mendekati salah petani yang tengah menanam jagung.

"Permisi Kisanak, numpang tanya..

Daerah ini apa namanya ya? Maaf saya baru tersesat", tanya Arya Pethak dengan sopan.

Sekilas sang petani ini menatap wajah tampan Panji Tejo Laksono seakan tak percaya dengan omongan nya. Lalu dengan acuh tak acuh dia menjawab.

"Kau bukan orang sini ya?

Kalau ada apa-apa aku tidak mau disalahkan. Kau tanya saja pada Lurah kami, Mpu Wungku. Kau jalan lurus saja. Kanan jalan ada rumah besar yang ada pohon sawo nya. Kau tanya saja disana", si petani paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan membuat lobang pada bedengan jagung.

Mendengar nasehat itu, Panji Tejo Laksono menghela nafas panjang sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke arah selatan.

Sesuai petunjuk petani tadi, Panji Tejo Laksono sampai di rumah yang disebut. Seorang lelaki bertubuh pendek nampak duduk bersama dengan dua orang lelaki bertubuh tegap yang memakai ikat kepala hitam. Panji Tejo Laksono langsung bergegas masuk ke dalam halaman rumah. Kedatangan Panji Tejo Laksono langsung membuat dua lelaki bertubuh tegap di samping lelaki bertubuh pendek.

"Permisi Kisanak, saya mau tanya. Apa betul disini kediaman Lurah Mpu Wungku?", kembali Panji Tejo Laksono bertanya dengan sopan.

"Betul anak muda, ini rumah ku Lurah Wanua Pacuh..

Ada apa kau mencari ku?", sambil tersenyum tipis, lelaki bertubuh pendek yang bernama Mpu Wungku itu mengamati Panji Tejo Laksono.

"Maaf jika aku mengganggu Ki Lurah..

Aku ingin bertanya, ini daerah mana? Maksud ku masuk wilayah Kadipaten mana?", tanya Panji Tejo Laksono segera.

"Oh seperti nya kau orang asing ya?

Ini adalah Wanua Pacuh, wilayah Pakuwon Palah yang merupakan bagian dari Kadipaten Seloageng.

Kalau boleh tau siapa namamu? Sebagai Lurah aku berhak mengetahui orang asing yang masuk ke wilayah ku", Mpu Wungku masih tersenyum tipis.

"Namaku....

Tee... eh ngomong apa aku ini. Nama ku Taji Lelono. Iya nama ku Taji Lelono Ki Lurah", jawab Panji Tejo Laksono yang nyaris keceplosan menyebutkan nama nya. Dia pun mengarang sebuah nama sebagai samarannya.

"Darimana asal mu Taji Lelono?", Mpu Wungku masih tersenyum tipis.

"Asal ku dari timur Kotaraja Kadiri. Tadi aku salah ambil tikungan jalan setelah pulang dari rumah guru ku hingga tersesat sampai kemari", Panji Tejo Laksono tersenyum simpul.

"Baiklah,

Kalau kau ingin kembali ke rumah mu, kau jalan lurus saja. Setelah masuk kota pakuwon, kau ambil kiri. Kau tinggal ikuti jalan itu nanti sampai di Kotaraja Kadiri", ujar Mpu Wungku dengan cepat.

"Terimakasih atas bantuannya Ki Lurah.. Kau begitu aku mohon pamit dulu", Panji Tejo Laksono membungkukkan badannya sembari berlalu menuju ke arah yang ditunjukkan oleh Ki Lurah Mpu Wungku.

Setelah Panji Tejo Laksono berlalu, dua orang bertubuh tegap langsung bertanya pada Mpu Wungku.

"Ki Lurah, kenapa kau memberi tahu jalan pada nya? Harus nya tadi dia kita tangkap karena aku curiga bahwa dia adalah anggota perampok yang sedang dicari oleh pemerintah Pakuwon Palah", ujar si lelaki bertubuh tegap yang merupakan jagabhaya itu.

"Kita tidak boleh asal menuduh orang, jagabhaya..

Kelihatannya dia orang baik. Juga seperti seorang pendekar yang baru turun gunung. Lebih baik tidak macam-macam dengan nya kalau tidak ingin ada masalah. Kalaupun benar dia anggota perampok yang meresahkan masyarakat itu, biar prajurit Pakuwon Palah yang mengurusi nya", sahut Mpu Wungku sambil kembali duduk bersila di tempatnya. Mendengar jawaban itu, jagabhaya itu langsung terdiam seketika.

Panji Tejo Laksono terus melangkahkan kakinya menuju ke selatan. Rasa haus dan lapar mulai menyerangnya. Tapi pemuda tampan itu terus berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh sang Lurah Desa Pacuh.

Begitu memasuki jalan raya, Panji Tejo Laksono melihat sebuah warung makan yang sedang di kunjungi beberapa orang. Meski tidak banyak, sewaktu di tempat pelatihan, Siwikarna dan Jaluwesi memberikan sejumlah kepeng perak yang lumayan banyak. Dengan langkah kaki tegak, dia melangkah masuk ke dalam warung makan.

"Ki,

Satu nasi sama lauknya ikan ya", ujar Panji Tejo Laksono sambil meletakkan bokong nya ke kursi kayu yang ada di pojokan.

"Siap Den..

Tunggu sebentar ya?", ujar si pemilik warung yang merupakan seorang lelaki paruh baya yang bekerja di bantu seorang anak gadis yang memakai dandanan rakyat jelata.

Tak lama berselang, sang gadis pelayan warung itu sudah mengantarkan pesanan Panji Tejo Laksono. Melihat paras muka Panji Tejo Laksono yang diatas rata-rata, si gadis muda itu tersenyum manis sembari meletakkan piring ke depan sang pangeran muda.

Saat Panji Tejo Laksono sedang asyik menikmati pesanan nya, seorang lelaki bertubuh gempal dengan wajah seram, kepala plontos dan jambang lebat masuk ke dalam warung makan itu bersama dua orang pengikutnya. Kumis tebal nya nampak menakutkan. Beberapa orang pengunjung langsung memilih keluar dari warung makan itu , karena takut dengan si lelaki plontos yang membawa sebuah golok besar. Hingga hanya tersisa seorang bercaping bambu di sudut ruangan warung dan Panji Tejo Laksono yang sedang asyik menikmati gurihnya ikan goreng.

"Ternyata kau sembunyi di sini, Gayatri..

Ayo sekarang ikut aku pulang ke Kota Kadipaten Seloageng. Juragan Wirakrama pasti akan senang jika kau pulang", teriak si kepala plontos sambil menyeringai lebar menatap sosok bercaping bambu yang ada di sudut ruangan warung makan.

"Aku tidak sudi pulang ke Seloageng, Gombang.

Aku tidak mau menjadi bahan permainan politik Kanjeng Romo. Pergi kau jangan pedulikan aku", sahut sosok bercaping bambu itu yang ternyata adalah seorang wanita.

"Sudi tidak sudi, aku akan tetap membawa mu pulang ke Seloageng.

Bongkeng, Rompal..

Seret perempuan itu segera. Cepat!", perintah si lelaki bertubuh plontos itu dengan keras. Dua orang pengikut si kepala plontos langsung bergerak menyergap si sosok bercaping bambu itu dengan cepat. Namun si sosok bercaping bambu yang di panggil Gayatri itu dengan cepat berontak hingga si Bongkeng terjengkang dan menabrak meja makan Panji Tejo Laksono.

Brraaakkkk!!

Meja makan itu langsung hancur tertabrak tubuh Bongkeng. Untung saja Panji Tejo Laksono langsung menyelamatkan piring nya hingga nasi nya yang tinggal separuh tidak tumpah.

Panji Tejo Laksono menoleh ke arah si plontos dengan geram karena mereka mengacaukan acara makan siang nya.

"Bisa tidak kalian baik-baik bertindak agar tidak menggangu kenyamanan orang lain?", Panji Tejo Laksono menatap tajam ke arah si kepala plontos yang bernama Gombang.

"Tutup mulut mu, pemuda tengik!

Kau tidak perlu ikut campur dengan urusan kami", hardik Si Gombang sembari melotot ke arah Panji Tejo Laksono.

"Aku tidak akan ikut campur jika kalian bertindak baik baik. Aku lihat nisanak itu juga tidak mau ikut dengan mu. Sebaiknya kalian lepaskan dia sebelum aku bertindak tegas terhadap kalian", Panji Tejo Laksono meletakkan piring nya keatas meja makan di sudut ruangan.

Phhuuuiiiiiihhhhh..

"Bocah kemarin sore mau sok pahlawan di depan ku, hahahahahahaha", tawa keras Gombang langsung berderai di sambut si Bongkeng dan Rompal. Gombang mendengus keras sebelum berkata dengan suara lantang.

"Bongkeng, Rompal..

Beri dia pelajaran!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Selamat malam semuanya, selamat beristirahat.

Jangan lupa jaga kesehatan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!