Arini terus menatap wajah tampan Panji Tejo Laksono lekat lekat. Andai Adijaya tidak menyikut nya, pasti perempuan cantik berkulit sawo matang itu tak akan sadar tengah berada di depan guru nya.
"Maaf Guru, kami terlambat untuk membantu. Tadi kami mengawasi pergerakan para prajurit Karang Anom yang bergerak menuju puncak Gunung Budeg", ujar Adijaya sambil membungkukkan badannya pada Wicitrawirya.
"Sudahlah,
Tidak ada masalah yang terjadi. Semuanya sudah selesai", Wicitrawirya tersenyum tipis mendengar ucapan Adijaya.
"Oh iya perkenalkan, ini adalah Taji Lelono dan Gayatri. Mereka berdua adalah pendekar muda yang kami temui di puncak Gunung Budeg tadi. Taji Lelono ini yang mendapatkan pusaka di makam keramat itu", imbuh Wicitrawirya segera.
Adijaya dan Arini terkejut bukan main mendengar penuturan Wicitrawirya. Banyak pertanyaan di benak mereka karena Panji Tejo Laksono masih sangat muda, bagaimana mungkin bisa memenangkan persaingan yang melibatkan banyak pendekar ternama. Mereka berdua segera menganggukkan kepalanya ke arah Panji Tejo Laksono dan Gayatri. Mereka segera duduk bersila di lantai beranda rumah bersama kelima orang itu.
"Saudara Taji,
Darimana asal mu? Sepertinya baru kali ini aku melihat keberadaan mu di wilayah sini", tanya Adijaya sembari menatap ke arah Panji Tejo Laksono.
"Asal ku dari wilayah Kotaraja Kadiri. Aku sampai di tempat ini karena angin yang membawa ku.
Saat ini aku sedang menjalani topo ngrame sebagai tanda bakti pada guru ku sebagai syarat turun gunung", jawab Panji Tejo Laksono sambil tersenyum tipis.
"Siapa guru mu kalau aku boleh tau?", Ki Kagendra yang masih penasaran dengan asal usul Panji Tejo Laksono ikut menimpali.
"Guru ku yang pertama adalah Resi Mpu Sakri dari Padepokan Padas Putih. Sedangkan guru ku yang kedua adalah Begawan Ganapati dari Gunung Kelud", Panji Tejo Laksono jujur dengan jawabannya.
Nyi Sekar Mirah, Ki Kagendra dan Wicitrawirya terkejut mendengar nama Begawan Ganapati disebut oleh Panji Tejo Laksono. Pendekar tua misterius itu terkenal dengan sebutan Pendekar Pedang Tanpa Bayangan pada masa jayanya dan termasuk tokoh besar golongan putih yang berpengaruh dari wilayah Jenggala sebelum menghilang 5 warsa yang lalu.
"Kau benar murid Begawan Ganapati Si Pedang Tanpa Bayangan?", tanya Wicitrawirya seakan tak percaya.
"Benar Kisanak..
Begawan Ganapati adalah guru ku. Jika kisanak semua butuh bukti, aku rasa pedang ini bisa menjadi salah satu buktinya", ujar Panji Tejo Laksono yang segera mencabut pedang bilah dua warna nya yang segera dia letakkan di depan Wicitrawirya, Ki Kagendra dan Nyi Sekar Mirah.
Sebuah pedang dengan bilah yang memiliki warna hitam dan putih dengan gagang berukir kepala naga membuat mata tiga orang pendekar tersohor itu terbelalak lebar. Ki Kagendra yang pernah melihat langsung pedang itu langsung mengenali senjata itu sebagai milik Begawan Ganapati.
"Benar sekali. Ini pedang kepunyaan Si Pendekar Pedang Tanpa Bayangan.
Berarti benar kau adalah murid nya. Pantas saja kau bisa mudah menciderai Brajadenta itu dengan mudah. Kau sungguh sehebat guru mu", ucap Ki Kagendra sembari tersenyum lebar. Adijaya dan Arini yang memang melihat potongan tangan kiri di makam keramat Gunung Budeg tadi, langsung saling berpandangan mendengar ucapan Ki Kagendra. Mampu melukai Brajadenta sampai memotong lengan nya menandakan bahwa kemampuan beladiri Panji Tejo Laksono setingkat atau mungkin lebih tinggi dari guru mereka. Mereka langsung merasa kagum dengan Panji Tejo Laksono.
"Saudara Taji ini benar benar luar biasa. Masih muda tapi memiliki kemampuan beladiri yang hebat. Aku sungguh mengagumi mu", ujar Adijaya sambil membungkukkan badannya pada Panji Tejo Laksono segera.
"Aku hanya sedang beruntung saja, Kisanak.
Mungkin jika pertarungan terjadi pada siang hari, belum tentu aku bisa mengalahkan orang itu", Panji Tejo Laksono merendahkan diri.
"Hahahaha...
Masih muda tapi punya hati seluas samudera. Kau sungguh rendah hat, Taji Lelono. Malam ini sebaiknya kalian tidak usah pulang dulu ke tempat kalian menginap. Menginap saja disini", ujar Wicitrawirya segera. Karena tidak enak menolak permintaan Wicitrawirya, malam itu Panji Tejo Laksono dan Gayatri menginap di kediaman Wicitrawirya.
Pagi menjelang tiba di wilayah Wanua Sumping. Cahaya matahari pagi perlahan mulai menghangatkan bumi dengan segala keindahan nya. Dari sela sela awan kelabu yang menggantung di langit timur, sang surya terus bergerak naik di langit.
Setelah sarapan pagi, Panji Tejo Laksono dan Gayatri berpamitan kepada Wicitrawirya untuk kembali ke kediaman Ki Renggos dimana barang bawaan mereka masih tertinggal di sana.
"Selepas dari rumah itu, kalian mau kemana?", tanya Nyi Sekar Mirah sambil menatap ke arah Panji Tejo Laksono.
"Kami belum tahu Nyi Dewi..
Terserah angin akan membawa langkah kaki kami kemana tapi yang jelas kami akan berkeliling melanjutkan topo ngrame ku", jawab Panji Tejo Laksono dengan penuh hormat.
"Kalau begitu, ikutlah aku dan burung tua ini ke perbatasan wilayah Kadipaten Karang Anom dan Kadipaten Tanggulangin. Ada sebuah kelompok pengacau keamanan yang tengah merajalela di sana.
Para prajurit Kadipaten Karang Anom sudah berupaya untuk membasmi mereka namun kelompok ini selalu berpindah tempat hingga menyulitkan para prajurit. Kalau tidak keberatan, kalian bisa membantu kami untuk menumpas mereka", ujar Ki Kagendra segera.
"Aku tidak bisa ikut, Pendekar Rajawali Selatan. Masih ada beberapa urusan yang akan aku selesaikan.
Namun kedua murid ku ini akan bergabung bersama kalian. Ini sekaligus menambah pengalaman mereka di dunia persilatan", sahut Wicitrawirya yang di sambut dengan senyum manis oleh Arini. Gadis cantik berkulit sawo matang itu benar-benar senang dengan keputusan gurunya.
Setelah di sepakati bersama, Panji Tejo Laksono dan Gayatri bersama Adijaya dan Arini juga Ki Kagendra dan Nyi Sekar Mirah menuju ke arah kediaman Ki Renggos. Sesampainya di rumah Ki Renggos, kedatangan Panji Tejo Laksono dan Gayatri di sambut lelaki sepuh itu dengan antusias.
Setelah mendengar penuturan Panji Tejo Laksono tentang semalam dia dan Gayatri menginap di kediaman kawan baru nya, Ki Renggos manggut-manggut mengerti. Setelah itu Panji Tejo Laksono dan Gayatri bergegas mengambil barang-barang mereka kemudian berpamitan kepada Ki Renggos.
"Kami mohon undur diri dulu Ki..
Kelak jika kita masih berjodoh, pasti akan bertemu kembali", ujar Panji Tejo Laksono sembari menghormat pada Ki Renggos.
"Semoga kemanapun tujuan kalian, Hyang Widhi Wasa selalu melindungi kalian berdua", ucap Ki Renggos sambil tersenyum tipis.
Usai berpamitan kepada Ki Renggos, Panji Tejo Laksono dan kawan-kawan nya melanjutkan perjalanan ke arah barat. Melewati jalan yang memutari beberapa rawa besar di wilayah Kadipaten Karang Anom, mereka terus bergerak menuju ke arah barat.
Melewati beberapa persawahan yang terpisah oleh rawa rawa dan perkampungan penduduk, rombongan itu terus menggebrak kuda mereka.
Begitu memasuki wilayah Pakuwon Gondang di barat daya kota Kadipaten Karang Anom, mereka memasuki hutan jati di perbatasan wilayah Kadipaten Karang Anom dan Kadipaten Tanggulangin.
Dua lelaki sepuh berjenggot panjang dengan 10 pengiringnya tengah di kepung puluhan orang berperawakan kekar dengan tampang menyeramkan.
Mereka adalah rombongan pandita yang baru saja di undang oleh Akuwu Kamulan di wilayah Kadipaten Tanggulangin untuk memimpin upacara penyucian jiwa atas meninggalnya ibu Sang Akuwu Kamulan. Namun saat memasuki hutan jati di perbatasan wilayah, mereka di hadang para pengacau keamanan yang dipimpin oleh seorang bandit terkenal yang bernama Paluombo. Lelaki bertubuh gempal dengan membawa palu besar itu merupakan buronan prajurit Kadipaten Karang Anom dan Kadipaten Tanggulangin. Berulang kali di sergap tapi nyatanya selalu berhasil kabur dan kembali membuat kekacauan di perbatasan dua wilayah di selatan Kerajaan Panjalu.
"Serahkan saja harta yang kalian dapatkan dari Akuwu Kamulan itu, pandita tua..
Maka akan ku biarkan kalian tetap hidup untuk melihat matahari terbit esok pagi", ancam Paluombo sambil menyeringai lebar. Jambang lebat nya semakin membuat lelaki bertubuh gempal itu terlihat sangar apalagi kulit macan yang dia selempangkan di bahu hingga perutnya yang buncit.
"Dasar perampok keji!
Semua nya mau hidup enak dengan merampas harta orang lain. Kau pikir kami akan semudah itu menuruti kemauan mu ha?", ujar seorang lelaki sepuh berjenggot putih panjang itu dengan keras.
"Tua bangka tak tahu diri!
Sudah mau mampus masih saja keras kepala. Kalian semua, bunuh semua orang itu cepat. Jangan biarkan satupun yang lolos!", teriak Paluombo dengan lantang. Puluhan orang berperawakan besar dengan wajah menyeramkan itu langsung menerjang maju ke arah rombongan para pandita.
Pertarungan antara mereka segera terjadi dengan sengit. Meski pun kalah jumlah, namun rombongan para pandita tua itu rupanya memiliki kemampuan beladiri yang cukup tinggi hingga dalam beberapa jurus sudah bisa menumbangkan para perampok.
Whuuutt..
Dhiiieeeessshh!!
Dua orang perampok langsung tersungkur dengan hantaman tongkat kayu yang merupakan pegangan tangan salah seorang pandita tua berjenggot panjang yang bernama Mpu Kerta.
Melihat dua orang anak buah nya di jatuhkan oleh Mpu Kerta, Paluombo menggeram keras kemudian menerjang maju ke arah kakek tua itu. Palu besar yang menjadi senjata andalan nya, di ayunkan ke arah kepala Mpu Kerta.
"Modar kowe, tua bangka!"
Whhhuuuggghhhh!!
Mpu Kerta yang merasakan hawa dingin mengancam kepala langsung berbalik arah. Dengan cepat ia menyilangkan tongkat kayu nya untuk menahan hantaman palu besar dari lawan.
Dhhhaaasss!!
Kuatnya hantaman palu besar yang di hantamkan Paluombo, membuat Mpu Kerta sampai berlutut. Paluombo menyeringai lebar lalu dengan cepat menjejak dada Mpu Kerta dengan keras.
Bhhhuuuuuuggggh!!
Aaauuuuggggghhhhh!!!
Tubuh tua Mpu Kerta terpelanting ke belakang dan jatuh terduduk. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Dada nya terasa sakit dan sulit untuk bernafas.
Paluombo menyeringai lebar menatap Mpu Kerta sembari memutar-mutar palu besar di tangan kanannya.
"Sekarang bersiaplah untuk mati!"
Usai berkata demikian, Paluombo langsung melompat tinggi ke udara dan mengayunkan palu besar nya ke arah Mpu Kerta.
Lelaki sepuh berjenggot panjang itu benar benar tidak berdaya. Untuk bergerak saja dia benar-benar kesulitan. Akhirnya dia hanya pasrah saja sembari memejamkan mata untuk menjemput ajal.
'Jagat Dewa Batara, andai aku mati hari ini aku sudah siap dengan ketetapan mu', batin Mpu Kerta sembari tersenyum tipis.
Dhuuaaaaaaarrrrrr!!!
Ledakan dahsyat terdengar memekakkan gendang telinga. Mpu Kerta membuka mata nya untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mata Mpu Kerta terbelalak melihat sesosok lelaki bertubuh tegap berdiri membelakanginya.
Paluombo terengah-engah merasakan rasa sesak di dada nya. Jaraknya sekitar 2 sampai 3 tombak dari depan Mpu Kerta yang masih jatuh terduduk. Hantaman palu besar nya yang di tangkis dengan sinar merah menyala seperti api membuatnya terdorong mundur jauh. Untung saja dia masih bisa menghentikan gerakannya dengan menancapkan ujung lancip palu nya ke tanah hingga tubuhnya bisa terhenti mundur.
Seorang lelaki bertubuh tegap dengan mengenakan baju berwarna coklat kehitaman dengan sebilah pedang di punggung nya dan mengenakan caping bambu berdiri tegak di hadapannya.
Saat yang genting tadi, rombongan Panji Tejo Laksono, Gayatri, Ki Kagendra, Nyi Sekar Mirah serta dua orang murid Perguruan Bambu Kuning yaitu Adijaya dan Arini tiba di tempat itu. Melihat Paluombo hendak menghabisi nyawa Mpu Kerta, Panji Tejo Laksono langsung melesat dari atas kuda nya dan menghadang serangan Paluombo dengan Ajian Tapak Dewa Api nya.
Kawan Panji Tejo Laksono langsung melompat turun dari kudanya masing masing, lalu melesat cepat kearah pertarungan tidak seimbang itu. Kedatangan mereka langsung memberi harapan anggota rombongan pandita itu hingga mereka bersemangat untuk menghadapi para anggota perampok.
"Bangsat!
Kenapa kalian ikut campur dalam urusan ku? Apa sudah bosan hidup?", teriak Paluombo sambil berdiri tegak dan menatap tajam ke arah Panji Tejo Laksono.
"Bosan hidup sih tidak. Tapi aku juga tidak suka melihat mu menganiaya orang tua seperti ini", ujar Panji Tejo Laksono sambil tersenyum tipis di balik caping bambu nya.
"Pahlawan kesiangan!
Minggir atau aku tidak akan sungkan lagi!", hardik Paluombo keras.
"Dasar perampok!
Sudah jelas pekerjaan mu menyusahkan orang. Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kalian adalah kelompok pengacau keamanan yang menjadi buronan pemerintah Kadipaten Karang Anom dan Kadipaten Tanggulangin. Aku sudah mendengar sepak terjang mu dari kawan kawan ku tadi. Melihat ciri ciri mu, kalau tidak salah kau adalah orang yang bernama Paluombo bukan?
Kau pengganggu keamanan Kerajaan Panjalu. Hari ini aku pasti akan memusnahkan mu", Panji Tejo Laksono segera mencabut pedang di punggungnya.
"Huahahahahahaha....
Para prajurit Karang Anom dan Tanggulangin saja tidak bisa menangkap ku apalagi cuma seorang bocah tengik seperti mu. Jangankan cuma kau, Prabu Jayengrana sendiri datang kesini pun aku tidak takut", Paluombo segera memutar-mutar gagang palu besar di tangan kanannya.
"Jumawa!
Untuk menghadapi Prabu Jayengrana, kau masih belum pantas", usai berkata demikian Panji Tejo Laksono langsung melesat cepat kearah Paluombo sambil mengayunkan pedangnya. Ajian Sepi Angin membuat pergerakan murid Begawan Ganapati ini begitu cepat hingga Paluombo langsung memutar palu besar bergagang panjang nya ke seluruh tubuh untuk menciptakan perisai untuk melindungi diri.
Thhhrriinnngggggg thriiiinnngggggg!!
Dua tebasan pedang Panji Tejo Laksono berhasil di tangkis dengan putaran palu besar yang membentengi tubuh Paluombo bersama angin yang berhembus kencang.
Panji Tejo Laksono melompat mundur beberapa langkah, kemudian dengan cepat menghantamkan tangan kiri nya yang berwarna merah menyala seperti api kearah Paluombo.
Blllaaammmmmmmm!!!
Paluombo terdorong mundur beberapa langkah namun dia tidak jatuh. Sambil tersenyum lebar, Paluombo berteriak lantang.
"Kau tidak akan mampu menembus benteng angin ku!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Selamat siang semuanya..
Ada yang masih menikmati sisa kue kering lebaran seperti author? Hhhhhhh sikat bos 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 354 Episodes
Comments
Mahayabank
Mantaaap...Lanjuuuut lagiiee 👌👌👌
2024-04-01
0
Mahayabank
/Good//Good//Good//Ok//Ok/
2024-04-01
0
Mahayabank
Hajaaar...../Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2024-04-01
0