Suasana pagi begitu cerah di Kotaraja Kadiri. Mentari pagi bersinar terang di langit timur, perlahan mulai menghilangkan rasa dingin malam yang sempat menguasai seisi jagad raya. Burung burung berkicau riang di ranting pepohonan yang tumbuh diantara bangunan bangunan megah yang menghiasai pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu.
Tumenggung Ludaka turun dari kudanya di depan rumah kediaman Demung Gumbreg diikuti oleh 10 prajurit. Sepuluh prajurit pilihan nya yang dipimpin oleh Bekel Wairocana nampak gagah dalam busana keprajuritan Panjalu yang di dominasi warna ungu gelap. Salah seorang diantara mereka membawa bendera segitiga berwarna merah dengan sulaman gambar seekor burung garuda yang berwarna kuning keemasan.
Dengan langkah kaki tegak, Tumenggung Ludaka berjalan masuk ke dalam rumah Demung Gumbreg. Dua prajurit penjaga gerbang rumah langsung menghormat pada Tumenggung Ludaka yang sangat mereka hapal karena Tumenggung Ludaka merupakan kawan baik majikan mereka.
Begitu Tumenggung Ludaka masuk ke dalam rumah, Demung Gumbreg sudah bersiap dengan busana keprajuritan nya.
"Wah tumben kau bangun pagi Mbreg..
Hebat juga kau hehehe", ujar Tumenggung Ludaka sambil tersenyum simpul.
"Sialan kau Lu..
Kalau kau tidak mengancam ku, mana mungkin aku terpaksa membohongi Dhek Jum untuk membangunkan aku sepagi mungkin?", gerutu Gumbreg sambil mendengus dingin.
"Lha memang kau bicara apa sama Juminten? Kog bisa dia percaya?", Tumenggung Ludaka penasaran.
"Hehehe..
Aku bilang sama Dhek Jum kalau Gusti Prabu Jayengrana mengutus ku ke Lodaya sebagai persiapan untuk aku naik pangkat", Gumbreg tersenyum licik.
"Dan Juminten percaya?", Tumenggung Ludaka masih tak percaya.
"Tentu saja dia percaya dengan omongan ku Lu..
Sekalian dia memberikan uang saku yang lumayan banyak agar aku bisa menyejajarkan diri sebagai pejabat yang terhormat", ujar Demung Gumbreg sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Ckckckckckck...
Andai saja dia tahu kau mengibuli nya, pasti kau akan di hajar habis-habisan oleh Juminten Mbreg", Tumenggung Ludaka mengelus kumis nya.
"Jangan banyak bicara Lu, kau itu selalu punya mulut beracun..
Ayo berangkat, asal kau tutup mulut, nanti untuk biaya makan mu aku yang tanggung", ujar Gumbreg sambil mendengus dingin dan melangkah keluar dari kediaman nya. Tumenggung Ludaka tersenyum simpul sembari mengikuti langkah sang kawan karib.
Rombongan kehormatan Istana Kotaraja Kadiri itu langsung bergerak cepat menuju ke arah selatan.
Melewati jalan raya yang menghubungkan wilayah Kabupaten Gelang-gelang dan Kadipaten Seloageng, pasukan Panjalu ini benar-benar mampu bergerak cepat sebagaimana para prajurit yang mahir berkuda.
Belum sampai setengah hari, mereka telah menyeberangi Sungai Brantas lewat dermaga penyeberangan Wanua Padlegan. Dari sana mereka bergerak cepat ke arah timur melintasi beberapa pemukiman penduduk menuju ke arah timur dimana Kota Lodaya berada.
Rombongan Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg sampai di kota Tanah Perdikan Lodaya tepat saat upacara adat jamasan pusaka saat hendak di mulai. Kedatangan mereka langsung di sambut oleh Pangeran Arya Tanggung, sang penguasa Tanah Perdikan Lodaya yang juga merupakan adik ipar Panji Watugunung alias Prabu Jayengrana di Istana Lodaya yang tampak meriah dengan hiasan penjor dan janur kuning yang di bentuk aneka ragam hias.
"Selamat datang di Istana Lodaya, Tumenggung Ludaka, Demung Gumbreg...
Terimakasih atas kehadiran kalian dalam pesta hiburan rakyat kami", ujar Pangeran Arya Tanggung sambil tersenyum.
"Salam hormat kami, Gusti Pangeran Arya Tanggung..
Mewakili Gusti Prabu Jayengrana, kami meminta maaf kepada Gusti Pangeran karena tidak bisa menghadiri undangan yang Gusti Pangeran berikan. Sebagai ucapan permintaan maaf, Gusti Prabu memberikan hadiah kecil kepada Gusti Pangeran. Mohon diterima", ucap Tumenggung Ludaka yang duduk bersila di depan Pangeran Arya Tanggung.
Seorang prajurit langsung menghaturkan sebuah kotak kayu hitam berukir indah. Patih Tanah Perdikan Lodaya, Sumantri langsung berjalan menuju ke arah sang prajurit dan mengambil kotak kayu hitam itu kemudian menghaturkan nya pada sang penguasa Tanah Perdikan Lodaya.
Pangeran Arya Tanggung langsung membuka kotak kayu itu. Raut wajahnya langsung sumringah melihat sebuah kalung emas berhias permata merah yang indah. Penguasa Lodaya itu langsung menutup tutup kotak kayu hitam itu segera kemudian tersenyum tipis ke arah Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg.
"Aku sangat menyukai hadiah yang Kanda Prabu Jayengrana berikan untuk ku.
Nah karena kalian sudah jauh jauh datang kemari, malam ini ada pertunjukan yang menarik. Kalian berdua harus hadir dan aku tidak mau mendengar penolakan", ujar Pangeran Arya Tanggung segera.
"Terimakasih atas kebaikan hati Gusti Pangeran", Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg menghormat bersamaan.
"Patih Sumantri,
Antar dua tamu agung ini ke balai tamu kehormatan Istana Lodaya", perintah Pangeran Arya Tanggung sambil tersenyum simpul.
"Sendiko dawuh Gusti Pangeran", Patih Sumantri segera menghormat pada Penguasa Tanah Perdikan Lodaya dan mundur dari hadapan nya diikuti oleh Tumenggung Ludaka, Demung Gumbreg dan 10 orang pengawal mereka.
Sementara itu, seorang gadis cantik dengan senyum menawan terlihat berjalan di seputar pasar besar Kota Lodaya. Dua dayang di belakangnya juga 4 prajurit berbadan gempal yang mengikuti langkah nya menandakan bahwa si gadis cantik ini bukan orang biasa. Para pengunjung pasar yang lain langsung memberikan jalan kepada sang gadis cantik yang berusia sekitar 2 windu ini karena mereka begitu mengenal siapa gadis itu.
Dia adalah Rara Kinanti, putri sulung Pangeran Arya Tanggung dan Dewi Anggraeni dari Kabupaten Gelang-gelang. Dia adalah sepupu Panji Tejo Laksono yang pernah di ajak ke istana Katang-katang saat Panji Tejo Laksono hendak mulai berguru di Padepokan Padas Putih dulu.
Tingkah gadis remaja cantik ini benar benar membuat para dayang yang mengawalnya begitu kerepotan. Mereka harus ngos-ngosan mengatur nafasnya karena Rara Kinanti terus berlari kecil mengelilingi pasar besar. Sebenarnya ini di lakukan oleh Rara Kinanti agar para dayang istana yang mengekorinya berhenti karena lelah karena dia tidak suka di ikuti.
Hanya karena meleng saat berlari, Rara Kinanti menabrak tubuh seorang pemuda yang mengenakan caping bambu.
Brrukk..
Rara Kinanti nyaris saja jatuh andai saja si pemuda bercaping bambu ini tidak cepat menyambar pinggang nya. Namun tangan kiri Rara Kinanti menepuk ujung caping bambu hingga caping terlepas dari kepala sang pemuda yang ternyata memiliki paras yang rupawan.
Hati Rara Kinanti langsung berdetak kencang tak karuan melihat ketampanan sang pemuda hingga dia terpana beberapa saat lamanya. Bahkan sampai para dayang istana dan prajurit pengawal pribadi nya sampai, Rara Kinanti masih terpesona dengan ketampanan pemuda itu.
"Ndoro Putri, huh huh huhh...
Hamba mohon jangan lari lagi", ucap sang dayang yang ngos-ngosan mengatur nafasnya. Teriakan sang dayang istana langsung membuat Rara Larasati tersadar dari pesona sang pemuda.
"Gusti Putri sebaiknya berhati-hati dalam berjalan agar tidak jatuh", ujar sang pemuda tampan yang tidak lain adalah Panji Tejo Laksono.
"Eh itu aku minta maaf, ti-tidak sengaja menabrak mu", Rara Kinanti gugup bukan main mendengar penuturan Panji Tejo Laksono. Dia merasa tidak asing dengan wajah tampan pemuda ini, tapi dia masih belum ingat kapan dan dimana mereka bertemu.
Ehemmm ehemmm!!
Deheman keras dari Gayatri langsung membuat suasana indah itu buyar seketika.
"Taji, ayo kita pulang...
Kalau terlalu lama di tempat seperti ini terlalu berbahaya", ujar Gayatri sambil melangkah. Mendengar ucapan itu, Panji Tejo Laksono langsung mengerti. Dia menghormat pada Rara Kinanti dan bergegas mengikuti langkah Gayatri meninggalkan pasar besar Lodaya.
Rara Kinanti melongo melihat kepergian sang pemuda tampan yang baru saja bersama nya. Rasanya ada yang hilang dari dalam hatinya.
"Namaku Taji ya? Ah nama yang indah", gumam Rara Kinanti.
"Gusti Putri, kau tidak apa-apa?", tanya sang dayang istana yang langsung membuyarkan lamunan indah Rara Kinanti yang kini jatuh hati pada pemuda tampan yang di sebut Taji oleh kawan nya tadi.
"Hah....??!!!
Kalian benar-benar bikin aku kesal. Kalian sudah merusak hal baik ku. Sekarang jangan dekati aku", Rara Kinanti geram dengan kedatangan para abdi setia Istana Lodaya yang mengikuti nya.
"Tapi Gusti Putri...", belum selesai sang dayang bicara, Rara Kinanti sudah mendengus keras sembari menatap tajam ke arah mereka.
"Sekali lagi aku lihat kalian merusak hari ku, aku tidak akan segan segan untuk memberi kalian pelajaran", hardik Rara Kinanti yang benar kesal karena kehadiran mereka mengganggu pertemuan nya dengan lelaki tampan bercaping bambu. Gadis cantik itu segera melangkahkan kakinya menuju ke arah istana Lodaya.
"Ada apa dengan Gusti Putri ya? Kenapa bisa marah besar seperti itu?", tanya si dayang istana yang bertubuh kurus.
"Aku juga tidak tahu. Kesambet setan pasar ini mungkin", sahut si dayang istana lainnya yang bertubuh sedikit gemuk.
"Husstt..
Jaga mulutmu kalau bicara. Di dengar oleh Gusti Putri, tamat riwayat mu nanti. Sudah ayo ikuti Gusti Putri sebelum amarah nya semakin menjadi-jadi", ujar si dayang bertubuh kurus itu yang segera melangkah menyusul Rara Kinanti menuju istana Lodaya bersama dengan kawan nya itu.
Sepasang mata terus menatap ke arah kepergian Panji Tejo Laksono sambil menyeringai lebar.
"Hadiah besar ternyata ada di depan mata", gumam pemilik sepasang mata itu yang segera menuju ke arah selatan, ke arah hutan jati di selatan kota Lodaya.
Sepanjang siang itu Rara Kinanti jadi uring-uringan sendiri. Di matanya, wajah pemuda tampan bercaping bambu itu terus terbayang di pelupuk matanya.
Dia bahkan menolak ajakan Dewi Anggraeni sang ibu untuk ikut menyaksikan upacara jamasan pusaka di alun alun Kota Lodaya padahal dari hari pertama pesta hiburan rakyat, dia yang paling semangat untuk melihat-lihat keramaian setahun sekali itu. Meski sedikit heran dengan tingkah laku putri sulungnya, Dewi Anggraeni memilih untuk berangkat mendampingi Pangeran Arya Tanggung dan putri nya yang bungsu di acara jamasan pusaka yang juga di hadiri oleh Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg.
Sementara itu, Panji Tejo Laksono dan Gayatri yang mengenakan caping bambu nampak menikmati keramaian kota Lodaya dengan berjalan kaki di sekitar Alun-alun kota, bahkan mereka juga menyaksikan acara jamasan pusaka yang berlangsung sakral.
Dari kejauhan, Panji Tejo Laksono juga melihat kehadiran Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg di panggung kehormatan bersama dengan Penguasa Tanah Perdikan Lodaya, Pangeran Arya Tanggung dan bibi nya Dewi Anggraeni.
Tumenggung Ludaka yang sekilas melihat Panji Tejo Laksono, menajamkan penglihatan nya kearah kerumunan penonton yang memadati alun-alun kota.
'Apa Gusti Pangeran Panji Tejo Laksono ya itu tadi? Apakah dia sudah sampai disini?', batin Tumenggung Ludaka.
"Kau lihat apa Lu?
Kog celingukan mencari sesuatu seperti maling mengincar ayam tetangga", ujar Demung Gumbreg yang keheranan dengan sikap sahabat karibnya itu.
"Sssssttttttttt, pelankan suara mu Mbreg..
Sepertinya tadi aku melihat Gusti Pangeran Tejo Laksono diantara kerumunan penonton itu", bisik Tumenggung Ludaka sambil terus menatap ke arah penonton, berharap agar bisa menemukan sosok yang dicari nya.
Mendengar itu, Demung Gumbreg langsung ikut tolah toleh seperti enthung ( larva) jati. Tidak menemukan yang dicari, Demung Gumbreg segera menoleh kearah Tumenggung Ludaka.
"Mana Lu? Aku kog tidak melihatnya", ujar Gumbreg segera.
"Pandangan ku tak salah Mbreg... Tadi pasti Gusti Pangeran Panji Tejo Laksono.
Dia mengenakan caping bambu", jawab Tumenggung Ludaka dengan cepat.
"Eh kampret semprul,
Semua orang yang kemari rata rata memakai caping bambu untuk melindungi kepala nya dari sinar matahari", Demung Gumbreg menatap tajam ke arah Tumenggung Ludaka.
Mendengar sergahan Demung Gumbreg, Tumenggung Ludaka hanya mendengus dingin karena tak ingin berdebat dengan kawan karibnya itu di panggung kehormatan. Tapi dia yakin bahwa dia melihat Panji Tejo Laksono diantara orang orang yang datang siang hari itu.
Panji Tejo Laksono sendiri langsung menunduk saat tatapan Tumenggung Ludaka mengarah pada nya. Segera dia mundur dari tempat itu sembari menggelandang tangan Gayatri.
"Taji, acara jamasan pusaka nya belum sampai puncak. Kau mau kemana?", tanya Gayatri setengah keheranan dengan sikap Panji Tejo Laksono.
"Aku sudah bosan melihat nya. Ayo kembali ke penginapan", ajak Panji Tejo Laksono tanpa menghiraukan protes dari Gayatri.
Siang dengan cepat berganti malam. Acara jamasan pusaka telah selesai, namun suasana di dalam Alun alun Kota Lodaya tidak semakin sepi tapi malah semakin ramai dengan pengunjung yang ingin menyaksikan acara kesenian tayub dari Pakuwon Ngrowo, Kadipaten Karang Anom dengan penari tersohornya Rara Pujiwati.
Suara tabuhan gamelan yang di padu dengan suara sinden mengalun merdu di atas panggung kehormatan. Ribuan penonton yang memadati tempat itu langsung bertepuk tangan dengan suitan keras yang riuh rendah saat rombongan penari cantik mulai memasuki panggung kesenian.
Apalagi saat sang primadona kesenian tayub, Rara Pujiwati memasuki arena panggung kesenian yang berhias aneka janur.
Suara indah alunan gamelan itu benar benar membius mata dan telinga para penonton juga orang orang di panggung kehormatan seperti Demung Gumbreg, Tumenggung Ludaka bahkan Pangeran Arya Tanggung juga.
Gayatri yang menonton pertunjukan itu bersama Panji Tejo Laksono mendengus dingin sembari berkata perlahan.
"Gending Pemikat Sukma"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pasukan begadang mana suaranya?? 😁😁😁
Selamat malam semuanya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 354 Episodes
Comments
Mahayabank
Yaudah lanjuuuut lagiiieee 👌👌👌
2024-03-29
2
Mahayabank
/Good//Good//Good//Ok//Ok/
2024-03-29
1
Ipul Anam
sekarang lagi tengah hari ki demung
2023-10-15
1