Tidak ada jawaban dari dalam bilik kamar Gayatri maupun pergerakan yang terdengar di telinga Ronggo Pekik.
Setelah cukup lama menunggu Ronggo Pekik segera merapal ilmu kanuragan andalannya, Ajian Tapak Besi Dewa Langit yang membuatnya tersohor dengan sebutan Pendekar Tapak Besi.
Selarik sinar biru kehitaman dengan angin dingin berdesir kencang tercipta di telapak tangan Ronggo Pekik. Lelaki paruh baya bertubuh gempal itu menyeringai lebar sebelum melepaskan Ajian Tapak Besi Dewa Langit ke arah dinding penginapan.
"Mampus kalian!"
Whhuuuuuuuggggh....
Blllaaammmmmmmm!!!
Ledakan dahsyat terdengar saat sinar biru kehitaman Ajian Tapak Besi Dewa Langit menghantam dinding kayu Penginapan Kembang Jambu. Dinding kayu itu langsung hancur berkeping keping. Saat yang bersamaan, dua bayangan hitam melesat cepat meninggalkan dalam kamar ke arah selatan.
"Itu mereka!
Cepat kejar!!", teriak Ronggo Pekik yang membuat para pengikutnya melesat cepat mengejar ke arah dua bayangan hitam yang tak lain adalah Panji Tejo Laksono dan Gayatri. Ronggo Pekik menyusul mereka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh nya.
Kejar-kejaran antara mereka berlangsung di tengah kegelapan malam. Meski hanya dengan sinar bulan separuh menerangi, mereka masih mampu melihat pergerakan dari buruan mereka dengan baik.
"Taji,
Kenapa kau kabur dari mereka?", tanya Gayatri yang masih dalam rengkuhan Panji Tejo Laksono.
"Aku tidak ingin keributan yang terjadi memancing perhatian para prajurit Istana Lodaya.
Lebih baik mencari tempat yang jauh dari pemukiman penduduk untuk menghadapi mereka", alasan Panji Tejo Laksono sambil terus bergerak ke selatan.
Di tengah persawahan luas yang baru di panen di selatan Penginapan Kembang Jambu, Panji Tejo Laksono menghentikan langkah. Dengan cepat, anak buah Ronggo Pekik mengepung mereka.
"Sudah menyerah kau rupanya, tikus kecil?
Baguslah kalau begitu..
Joyo..
Penggal kepala nya agar mudah di tukar dengan kepingan kepeng emas. Cepat!", teriak Ronggo Pekik dengan senyum liciknya.
Mendengar perintah Pendekar Tapak Besi, Joyo langsung melesat cepat kearah Panji Tejo Laksono dengan mengayunkan pedangnya.
Shreeeeettttthhh!!
Panji Tejo Laksono langsung mendorong tubuh Gayatri untuk menjauh, lalu pemuda tampan itu segera merunduk sedikit menghindari sabetan pedang Joyo yang mengincar lehernya.
Secepat kilat dia menghantam dada Joyo dengan keras.
Bhuuukkkhhh! Krreeeeekkkkkk!!
Aaaarrrgggggghhhhh!!!!
Terdengar bunyi tulang patah saat pukulan keras Panji Tejo Laksono menghantam dada Joyo. Orang kepercayaan Ronggo Pekik itu terhuyung huyung mundur sambil memegang dadanya yang terasa dihantam balok kayu besar. Dia langsung roboh dengan mulut mengeluarkan darah segar.
Melihat Joyo di jatuhkan dengan cepat, dua kawan Joyo langsung melesat ke arah Panji Tejo Laksono dari dua arah yang berbeda. Secepat mungkin, Panji Tejo Laksono menghunuskan pedangnya untuk menghadapi mereka.
Panji Tejo Laksono langsung berkelit menghindari tebasan pedang yang mengincar kaki sembari menangkis sabetan pedang yang mengincar lehernya.
Tangan kiri nya yang berwarna merah menyala seperti api langsung menghantam kearah lawan yang menebas kaki.
Whhhuuuuuttttthhhh..
Selarik sinar merah menyala berhawa panas melesat cepat kearah kepala kawan Joyo yang mengincar kaki Panji Tejo Laksono. Pria naas itu tak sempat menghindar saat sinar merah menyala berhawa panas itu menghajar wajah nya.
Dhhhaaaaarrrrrrrrrrr!!!!
Kepala kawan Joyo itu meledak dan hancur berantakan setelah Ajian Tapak Dewa Api yang dilepaskan Panji Tejo Laksono telak menghantam kepala nya. Tubuhnya langsung roboh dengan bersimbah darah.
Satu kawan yang berhasil di tangkis oleh Panji Tejo Laksono kembali membabatkan pedang nya ke arah pangeran muda dari Kadiri itu.
Menggunakan Ilmu Pedang Tanpa Bayangan, Panji Tejo Laksono menghadapi lawan nya.
Seorang anak buah Ronggo Pekik diam diam bergerak menuju ke arah Gayatri yang menatap pertarungan Panji Tejo Laksono. Dia berniat untuk menghabisi nyawa Gayatri tanpa banyak bicara. Namun dia salah perhitungan.
Gayatri tahu bahwa dia tengah diincar oleh salah seorang anak buah Ronggo Pekik. Gadis cantik yang menyamar sebagai laki laki itu perlahan mulutnya berkomat kamit membaca mantra. Saat anak buah Ronggo Pekik melesat ke arah nya, tangan Gayatri menyentilkan sesuatu yang berwarna putih kebiruan kearah leher si anak buah Ronggo Pekik. Kegelapan malam yang membuat penglihatan tidak jelas, jelas membantu pergerakan benda yang di lepaskan oleh Gayatri.
Crreepppphhh!
Aaauuuuggggghhhhh!!!
Anak buah Ronggo Pekik itu langsung meraung keras saat benda putih kebiruan yang di lepaskan oleh Gayatri memotong batang tenggorokannya. Dia limbung dan jatuh tengkurap di hadapan Gayatri. Dari bawah tubuhnya darah perlahan menggenang.
Bersamaan dengan tewasnya orang yang mengincar nyawa Gayatri, Panji Tejo Laksono menghantamkan tapak tangan kiri nya kearah salah satu kawan Joyo.
Blllaaammmmmmmm!!!
Aaaarrrgggggghhhhh!!!
Kawan Joyo yang terbuka sedikit pertahanan nya, benar benar tidak menyangka bahwa itu akan menjadi penyebab kematiannya. Dada kanan nya gosong akibat hantaman Ajian Tapak Dewa Api yang di lepaskan oleh Panji Tejo Laksono. Dia tewas di hadapan Ronggo Pekik.
"Rupanya kau orang Padepokan Padas Putih, tikus kecil..
Baguslah, sekalian aku balas dendam atas kekalahan ku dulu. Bersiaplah untuk mati", teriak Ronggo Pekik yang segera menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Sinar biru kehitaman bergulung gulung di kedua tangan Ronggo Pekik bersama dengan angin dingin berdesir kencang.
Melihat itu, Panji Tejo Laksono segera menyarungkan kembali pedang nya. Lalu dengan cepat ia merapal mantra Ajian Tapak Dewa Api dengan menggunakan dua pertiga bagian dari tenaga dalam nya untuk menghadapi Ronggo Pekik.
Tangan Panji Tejo Laksono langsung berubah warna menjadi merah menyala seperti api setelah sinar merah bergulung di kedua tangan sang pangeran muda dari Kadiri ini dengan hawa panas yang menyertai.
"Tapak Besi Dewa Langit...
Chhiyyyyyyyyyyyyyaaaaaaaatt!!!!!!"
Ronggo Pekik langsung menghantamkan tapak tangan kanan nya kearah Panji Tejo Laksono.
Whhhuuuggghhhh...
Selarik sinar biru kehitaman yang di sertai angin dingin berdesir kencang menerabas cepat kearah Panji Tejo Laksono. Pangeran muda itu menghirup udara sebelum menghantamkan tapak tangan kanan nya ke arah Ajian Tapak Besi Dewa Langit yang di lepaskan oleh Ronggo Pekik.
Blllaaammmmmmmm!!!
Ledakan dahsyat terdengar saat dua ajian andalan tingkat tinggi ini beradu. Ronggo Pekik terdorong mundur sejauh 2 tombak sedang Panji Tejo Laksono hanya 2 langkah ke belakang.
Dengan gusar, Ronggo Pekik mengusap darah segar yang keluar dari sudut bibirnya.
"Bocah tengik!
Aku masih belum kalah!!", teriak Ronggo Pekik sembari menghantamkan tapak tangan kiri kanan nya bertubi-tubi kearah Panji Tejo Laksono.
Whuuutt whuuthhh whhhuuuggghhhh!!!
Tiga sinar biru kehitaman menerabas cepat kearah Panji Tejo Laksono, namun kali ini pangeran muda ini tidak menghadapi serangan Ronggo Pekik secara langsung.
Panji Tejo Laksono berjumpalitan kesana kemari menghindari hawa dingin Ajian Tapak Besi Dewa Langit yang di lepaskan oleh Ronggo Pekik.
Blammmmm blammmmm blammmmm!!
Menggunakan Ajian Sepi Angin, gerakan Panji Tejo Laksono begitu cepat dan lincah menghindari serangan demi serangan Ronggo Pekik yang murka. Setelah hantaman ketiga, Panji Tejo Laksono membuat gerakan gigi belakang yang merupakan salah satu langkah kaki pendukung Ilmu Pedang Tanpa Bayangan.
Ronggo Pekik yang kebingungan dengan gerakan Panji Tejo Laksono membabi buta melepaskan Ajian Tapak Besi Dewa Langit ke sembarang tempat.
Whuuutt whuuthhh whhhuuuggghhhh!
Blllaaaaaarrr!!
Ledakan beruntun terdengar. Panji Tejo Laksono dengan bantuan Ajian Sepi Angin yang baru saja menghindari sinar biru kehitaman, melesat cepat kearah Ronggo Pekik dengan sekali hentak. Kali ini pedang dua bilah nya sudah terhunus dari sarungnya.
Chhrrrraaaaaassss...
AAAARRRGGGGGGHHHHH!!
Satu tebasan cepat kearah leher Ronggo Pekik mengakhiri perlawanan pendekar paruh baya itu. Darah segar muncrat keluar dari luka robek pada leher nya. Pertarungan di tengah sawah itu berakhir dengan kematian Ronggo Pekik yang tewas bersimbah darah.
Setelah itu, Panji Tejo Laksono mengoleskan sisa darah yang ada di bilah pedang nya pada baju Ronggo Pekik sebelum dia menyarungkan kembali pedang pemberian Begawan Ganapati itu.
"Gayatri, kau tidak apa-apa?", tanya Panji Tejo Laksono sambil mengalungkan kembali pedang bilah dua warna pemberian Begawan Ganapati ke punggungnya.
"Aku baik baik saja, Taji..
Sekarang kita harus bagaimana?", tanya Gayatri segera.
"Kita kembali ke Penginapan Kembang Jambu dulu, untuk mengambil barang-barang kita. Tapi kita harus cepat pergi dari sana sebelum hal ini terdengar oleh pihak istana Lodaya.
Kau mengerti?", mendengar ucapan Panji Tejo Laksono, Gayatri mengangguk mengerti. Dengan Ajian Sepi Angin, Panji Tejo Laksono melesat cepat kearah Penginapan Kembang Jambu.
Sesampainya di sana, mereka dengan cepat membereskan barang bawaan mereka lalu meninggalkan sejumlah kepeng perak diatas ranjang tidur Panji Tejo Laksono. Malam itu juga, setelah memberikan sekeping kepeng perak pada pekatik atau juru rawat kuda, Panji Tejo Laksono dan Gayatri bergegas meninggalkan Penginapan Kembang Jambu.
Di malam buta itu, mereka berkuda cepat kearah barat. Sesampainya di tapal batas barat Kota Lodaya, mereka menghentikan langkah kaki kuda mereka.
Sebuah rumah besar yang ada di dekat tapal batas Kota Lodaya nampak masih menyala terang.
"Taji,
Sebaiknya kita berhenti disini. Aku yakin orang orang itu juga tidak menduga kalau kita ada disini. Hutan di depan kita ini berbahaya. Banyak binatang buas nya", ujar Gayatri sambil menoleh ke arah Panji Tejo Laksono.
"Hemmmmmmm kau cukup hapal daerah sini juga ternyata.
Baiklah apa saran mu selanjutnya?", Panji Tejo Laksono menatap ke arah Gayatri. Mendengar ucapan itu, Gayatri celingukan mencari sesuatu. Begitu melihat sebuah rumah masih terlihat terang benderang, dia segera menunjuk ke arah rumah itu.
"Kita bisa beristirahat sejenak di rumah itu untuk menunggu pagi.
Bilang saja kita takut masuk ke dalam hutan sebelum pagi", ujar Gayatri dengan cepat. Mendengar usulan yang masuk akal itu, Panji Tejo Laksono mengangguk.
Mereka berdua segera melompat turun dari kudanya dan menuntun hewan tunggangan mereka ke arah pintu rumah kayu yang masih menyala terang.
Seorang wanita tua dengan rambut putih dengan tusuk konde perak nampak sedang duduk di hadapan dua wanita paruh baya dan seorang wanita muda. Mereka berempat segera menoleh ke arah pintu rumah saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Dua wanita paruh baya itu langsung bergegas menuju ke arah teras rumah.
"Permisi Nisanak..
Mohon maaf jika kami mengganggu. Kami adalah pengelana dari jauh, ingin menuju ke Kadipaten Karang Anom tapi kami takut melewati hutan lebat di depan.
Bolehkah kami menumpang istirahat sejenak sebelum pagi hari datang?", ujar Panji Tejo Laksono dengan sopan.
Wajah dua orang perempuan paruh baya sedikit terkejut melihat paras Panji Tejo Laksono yang rupawan. Ketampanan pemuda itu mengingatkan mereka tentang kedatangan seorang pangeran dari Daha puluhan tahun yang lalu.
"Selasih,
Kenapa wajah pemuda ini mirip dengan pangeran dari Daha itu? Kau ingat dia kan?", bisik seorang wanita paruh baya yang bernama Nyi Wati pada seorang perempuan paruh baya lainnya yang mengenakan kemben warna hitam.
"Eh iya ya Kangmbok..
Tapi bukan dia. Sudah biarkan saja dia masuk Kangmbok Selasih. Toh hanya menumpang sebentar saja bukan?", jawab Nyi Selasih sambil tersenyum.
"Selasih, Wati..
Kenapa kalian lama sekali di luar? Suka menyiksa orang dengan membuat mereka menunggu? Suruh dua orang itu cepat masuk", terdengar suara seorang wanita tua dari dalam rumah.
"Ti-tidak Guru, kami hanya mencari angin segar..
Nah, anak muda silahkan masuk tapi sebelum nya ikat kuda kuda mu disana, awas jangan sampai terlalu dekat dengan kebun obat kami", ujar Nyi Selasih sambil menunjuk ke arah geladakan kuda yang ada di samping rumah itu.
Panji Tejo Laksono segera mengikuti saran dari Nyi Selasih, begitu pula Gayatri. Selepas mengikat tali kekang kudanya pada geladakan, mereka berdua segera masuk ke dalam rumah.
Seorang wanita sepuh yang berusia kurang lebih 6 dasawarsa nampak duduk di atas sebuah kursi kayu di bale-bale rumah kayu itu. Sorot mata perempuan sepuh itu masih terlihat teduh, meski keriput menguasai wajah nya. Rambutnya memutih dan di gelung berhias cunduk perak. Mata perempuan sepuh itu langsung terpaku pada Panji Tejo Laksono yang baru masuk dan duduk bersama mereka.
"Hemmmmmmm..
Bocah bagus, wajah mu tidak asing bagiku. Darimana kau berasal?", tanya perempuan sepuh itu segera.
"Saya dari wilayah Utara kerajaan Panjalu Nini Dewi, jauh di Utara", jawab Panji Tejo Laksono dengan sopan.
"Panggil saja aku Nyi Kembang Jenar.
Wajah mu mengingatkan ku pada wajah Raja Panjalu saat ini. Raja gemblung itu dulu beberapa kali kemari", jawab perempuan sepuh yang ternyata adalah Nyi Kembang Jenar, sahabat Panji Watugunung sekaligus orang yang sangat di hormati nya.
Ada rasa bangga dengan apa yang diucapkan oleh Nyi Kembang Jenar pada hati Panji Tejo Laksono, namun karena dia sedang melakukan topo ngrame maka terpaksa harus berbohong pada Nyi Kembang Jenar tentang jati diri nya.
"Ah Nyi Kembang Jenar terlalu memuji. Mana mungkin wajah saya setampan Gusti Prabu Jitendrakara? Nyi Kembang Jenar terlalu mengada-ada", ujar Panji Tejo Laksono sambil tersenyum tipis.
"Ah aku memang sudah tua..
Malam sudah larut. Sebaiknya kita beristirahat. Wati, Selasih...
Tunjukkan kamar untuk mereka berdua", perintah Nyi Kembang Jenar sambil tersenyum tipis. Perempuan tua itu sangat yakin dengan penglihatannya, tapi dia juga tidak memaksa Panji Tejo Laksono mengatakannya.
Malam semakin larut. Udara dingin turun ke wilayah Kota Tanah Perdikan Lodaya hingga suasana terasa begitu sepi.
Keesokan paginya....
Di balai tamu kehormatan Tanah Perdikan Lodaya, Demung Gumbreg terus mondar-mandir di depan pintu kamar nya. Kepala perwira tinggi prajurit Panjalu itu sakit memikirkan sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanya seolah mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi semalam, tapi semakin dia berfikir, semakin tidak ketemu apa yang dia inginkan.
"Kau kenapa Mbreg? Kog mondar mandir seperti ayam betina mau bertelur?"
Suara Tumenggung Ludaka langsung membuat Demung Gumbreg menoleh. Buru buru dia mendekati kawan karibnya itu.
"Lu aku kemalingan Lu... Aku kemalingan", ujar Demung Gumbreg segera.
"Kog bisa? Bagaimana ceritanya?", Tumenggung Ludaka menatap heran kearah Gumbreg. Seingat nya sahabat karibnya itu tidak pernah melepaskan kantong kepeng dari balik bajunya barang sekejap.
"Ya duit pemberian Dhek Jum Lu, hilang bersama kantong kainnya", ujar Gumbreg dengan lemas.
"Bukankah duit mu kau pakai buat saweran tayub tadi malam Mbreg? Apa kau tidak ingat?", Tumenggung Ludaka mengingatkan Demung Gumbreg. Mendengar ucapan itu, Gumbreg langsung menepuk jidatnya sendiri.
"Mati aku!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Selamat pagi selamat beraktivitas..
Yang masih puasa tetap semangat ya..
Yang suka BNL 2, berikan dukungan dong biar author nya terus semangat hehehe 😁😁✌️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 354 Episodes
Comments
Mahayabank
Yaudah lanjuuuut lagiiieee 👌👌👌
2024-03-30
0
Mahayabank
/Good//Good//Good//Ok//Ok/
2024-03-30
0
Mahayabank
Nah kena saweran tayub /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2024-03-30
0