Panji Tejo Laksono tersenyum tipis sembari berlari cepat mengelilingi Paluombo sembari terus berusaha membongkar pertahanan lawan yang berlindung di balik Ajian Benteng Angin nya.
Di sisi lain pertarungan, Nyi Sekar Mirah melecut ujung selendang merah nya kearah seorang anggota perampok yang berusaha mendekatinya.
Whuuutt...
Blllaaaaaarrr!!!
Si anggota perampok pimpinan Paluombo itu langsung terjungkal dan muntah darah segar usai ujung selendang merah menghantam dada nya.
Nyi Sekar Mirah menarik selendang nya dan segera merubah gerakan tubuhnya lalu kembali melemparkan ujung selendang merah nya ke arah seorang lelaki bertubuh kekar.
Whhhuuuggghhhh...
Si perampok bertubuh kekar itu segera melenting tinggi ke udara dan mendarat di atas selendang Nyi Sekar Mirah. Pria ini segera berlari cepat kearah Nyi Sekar Mirah di atas selendang sembari bersiap untuk menebaskan senjatanya.
Nyi Sekar Mirah langsung menyentak ujung selendang merah nya dan selendang yang semula kaku berubah lemas seperti biasa yang menyebabkan si perampok bertubuh kekar langsung limbung hendak jatuh.
Dengan gerakan cepat, Nyi Sekar Mirah berputar dan segera menghantam dada si perampok bertubuh kekar itu dengan telapak tangan kiri nya.
Blllaaammmmmmmm!!
Aaauuuuggggghhhhh!!!
Si perampok bertubuh kekar langsung terpelanting ke belakang usai hantaman tangan kiri Nyi Sekar Mirah telak menghajar dada nya. Dia mengejang sesaat sebelum tewas dengan dada hangus.
Sementara itu, dua murid Perguruan Bambu Kuning Adijaya dan Arini bahu membahu melawan para perampok dengan tongkat bambu kuning yang merupakan senjata khas perguruan silat itu.
Adijaya menyabetkan tongkat bambu kuning nya kearah kaki lawan hingga memaksa lawan untuk melompat tinggi.
Arini dengan keras memapak gerakan lawan dengan sambaran tongkat bambu kuning nya yang mengincar kepala si perampok.
Prrraaaakkkkkkk...
Kepala si perampok lawan mereka langsung pecah terkena hantaman tongkat bambu kuning milik Arini. Dia tersungkur ke tanah dengan kepala berlumuran darah segar. Mereka berdua terus bahu membahu menjatuhkan para perampok pimpinan Paluombo satu persatu.
Gayatri terus menggerakkan jari telunjuknya yang membuat sebuah sinar biru keperakan melesat cepat kearah lawan.
Jllleeeeeppppphhh!!
Satu lawannya langsung roboh setelah sinar biru keperakan menembus jantung salah satu anggota perampok. Gayatri terus menggerakkan dua sinar biru keperakan yang mengitari tubuh nya seakan melindungi tubuh Gayatri dari setiap anggota perampok yang mencoba untuk mendekati nya.
Ki Kagendra menyeringai lebar usai menatap lawan nya yang roboh usai kuku nya merobek perut seorang anggota perampok. Tak ayal lagi lawannya tewas dengan usus terburai keluar.
Lelaki sepuh itu segera menghirup udara sebanyak mungkin sebelum menyalurkan tenaga dalam pada ke sepuluh jari tangan nya. Sinar kuning kehitaman tercipta di jari tangan nya yang membentuk cakar di depan mata nya. Perlahan Ki Kagendra meluruskan kedua tangan di samping tubuhnya kemudian kakek tua itu mengayunkan jemari tangannya kearah para anggota perampok.
Whhuuuuuuuggggh whuuthhh!!
Sepuluh larik sinar kuning kehitaman menerabas cepat kearah para perampok yang tengah mengepungnya.
Chhrrrraaaaaassss crasshhh!
Aaaarrrgggggghhhhh!!!!
Dua orang anggota perampok yang naas langsung jatuh usai sinar kuning kehitaman yang tipis seperti bilah pedang memotong anggota tubuh mereka. Dua orang lagi ikut terkena sinar kuning kehitaman yang melukai punggung dan lengan mereka.
"Hari ini, jangan harap kalian bisa lolos dari Ajian Cakar Rajawali ku!"
Usai berkata demikian, Ki Kagendra melesat cepat kearah para perampok yang mulai ciut nyalinya apalagi melihat pimpinan mereka Paluombo masih juga belum bisa lepas dari kepungan Panji Tejo Laksono.
Sinar merah menyala seperti api kembali menerabas cepat kearah Paluombo yang terus menerus memutar-mutar palu besar nya ke sekeliling tubuhnya. Angin dingin berseliweran membungkus tubuh pria bertubuh gempal itu dengan rapat.
Blllaaammmmmmmm!!!!
Usai melepaskan Ajian Tapak Dewa Api, Panji Tejo Laksono melompat mundur dengan bersalto beberapa kali ke belakang. Segera Panji Tejo Laksono menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Mata sang pangeran muda ini terpejam sesaat sembari mulutnya komat kamit merapal mantra Ajian Dewa Naga Langit. Kali ini dia hendak mengeluarkan ilmu kedigdayaan ajaran Begawan Ganapati yang baru kali ini hendak dia pergunakan.
Angin hawa panas berhembus kencang berseliweran di sekeliling tubuh putra Raja Panjalu itu. Cahaya biru kemerahan menyelimuti seluruh tubuh sang pangeran muda. Saat mata Panji Tejo Laksono terbuka, bola mata Panji Tejo Laksono berubah menjadi merah menyala seperti mata seekor naga yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
Kedua tangan Panji Tejo Laksono berputar dengan kedua tapak tangan membuka lalu mengumpul di depan dada.
Paluombo yang melihat perubahan Panji Tejo Laksono terperangah juga. Dia memutar senjata palu besar nya semakin cepat dan menambahkan seluruh tenaga dalam nya untuk membentengi dirinya.
"Ajian Dewa Naga Langit..
Hiyyyyaaaaaaaatttttt.....!!!!!"
Selarik sinar biru kemerahan menerabas cepat kearah Paluombo dari tangan kanan Panji Tejo Laksono. Angin hawa panas berseliweran mengikuti sinar biru kemerahan yang di lepaskan oleh sang pangeran muda ini.
Whhhuuuggghhhh....
Dhuuaaaaaaarrrrrr!!!!!
Ledakan dahsyat terdengar saat sinar biru kemerahan menghantam tubuh Paluombo yang di lindungi oleh Ajian Benteng Angin. Pria bertubuh gempal itu terpelanting jauh ke belakang dan menghantam tanah dengan keras. Palu besi nya terlepas dari genggaman tangannya dan Paluombo muntah darah segar. Paluombo mencoba untuk bangkit namun tubuhnya limbung dan kembali jatuh terduduk. Luka dalam yang parah benar benar melukai organ dalam tubuh nya.
Melihat sang pimpinan jatuh, seorang anak buah Paluombo melesat cepat kearah Panji Tejo Laksono. Namun belum sempat dia mendekat, satu sinar biru kemerahan menghantam tubuh nya.
Blllaaammmmmmmm!!
Si anak buah Paluombo langsung terpental jauh ke belakang dan menyusruk tanah dengan keras. Dia langsung tewas dengan tubuh hangus seperti terbakar api.
Panji Tejo Laksono terus melangkah mendekati Paluombo. Pria bertubuh gempal itu ketakutan melihat bola mata merah menyala Panji Tejo Laksono dan mencoba untuk menjauh dari sang pangeran Panjalu.
Tak sengaja kaki Panji Tejo Laksono menyentuh gagang kayu palu besar milik Paluombo. Panji Tejo Laksono mendengus keras lalu menginjak gagang palu besar itu dengan sekali hentak.
Kreeekkk... Brraaakkkk!!!
Gagang palu besar itu patah menjadi dua bagian. Paluombo semakin ketakutan melihat itu semua.
"Am.. Ampuni aku pendekar!
Aku mengaku kalah, aku bersalah! Aku mohon ampuni nyawa ku!", ujar Paluombo dengan penuh ketakutan. Dia melihat anak buah nya yang tinggal beberapa orang karena yang lain sudah habis di bantai oleh kawan kawan Panji Tejo Laksono. Paluombo berlutut dihadapan sang pangeran muda.
"Jangan percaya ucapan bajingan itu, Taji..
Dia anggota Kelompok Bulan Sabit Darah ", teriak Ki Kagendra sembari melesat ke arah Paluombo setelah membantai seorang anggota perampok.
Paluombo yang membungkuk diam diam mencabut sebilah belati yang tersimpan di pinggangnya. Mata nya melirik kearah Ki Kagendra yang bergerak ke arah nya. Dia sadar bahwa ia tidak mungkin hidup lagi begitu Ki Kagendra membongkar rahasia nya. Dia bertekad untuk membawa Panji Tejo Laksono mati bersama nya.
Satu loncatan cepat membuat Paluombo menerjang ke arah Panji Tejo Laksono sambil mengarahkan belati tajam ke arah sang pangeran Panjalu.
"Ayo mati bersama!", teriak Paluombo dengan putus asa.
Kurang dari satu depa di depan Panji Tejo Laksono, sebuah benda berwarna putih keperakan melesat cepat kearah dada kiri Paluombo. Gayatri tersenyum tipis dari balik caping bambu nya.
Jllleeeeeppppphhh..
Aaaarrrgggggghhhhh!!!
Paluombo menjerit keras merasakan dada kirinya di tembus sesuatu. Dia terbelalak melihat dada kiri nya bolong dan darah segar muncrat keluar dari lobang di sana. Pria bertubuh gempal itu langsung tersungkur ke tanah sembari membekap lukanya. Tak lama kemudian Paluombo mengejang hebat sebentar lalu diam untuk selamanya. Di bawah tubuhnya darah menggenang membasahi tanah.
Melihat Paluombo tewas, sisa anggota nya berupaya untuk meloloskan diri dengan melompat ke arah rimbunan semak belukar yang ada di sekitar tempat itu. Para anggota rombongan pandita pimpinan Mpu Kerta dan kawan kawan Panji Tejo Laksono berupaya untuk mengejar. Meskipun banyak yang terbunuh, ada beberapa orang yang berhasil kabur dari kejaran mereka.
Dari pertarungan itu, kelompok para pandita pimpinan Mpu Kerta dan Mpu Sumba kehilangan dua orang anggota mereka, 3 cidera dan yang lain selamat meski menderita sedikit luka.
"Terimakasih banyak atas bantuannya, wahai para pendekar. Kalau boleh tau, siapakah yang menjadi penolong kami disini?", tanya Mpu Sumba dengan penuh kesopanan pada Ki Kagendra yang merupakan orang paling sepuh diantara kelompok Panji Tejo Laksono.
"Kami adalah para pendekar yang di minta oleh Gusti Adipati Windupati untuk membasmi para perusuh yang sudah lama merongrong keamanan wilayah Kadipaten Karang Anom.
Namaku Kagendra, yang berbaju merah itu Nyi Sekar Mirah. Dua yang bercaping bambu itu Taji Lelono dan Gayatri. Sedangkan yang memegang tongkat bambu kuning itu adalah Adijaya dan Arini", jawab Ki Kagendra sembari tersenyum tipis.
Tentu saja nama Ki Kagendra tidak asing lagi di telinga para penduduk wilayah Kadipaten Karang Anom sisi selatan karena sepak terjangnya sebagai pendekar golongan putih yang di segani di wilayah itu. Mpu Sumba langsung membungkukkan badannya pada Ki Kagendra.
"Sungguh suatu keberuntungan bagi ku bisa berjumpa dengan seorang pendekar besar yang teguh menegakkan kebenaran.
Aku Mpu Sumba dan ini adalah adik seperguruan ku Mpu Kerta. Kami adalah orang orang Pertapaan Bukit Rance di wilayah Tawing.
Jika tidak keberatan aku minta kalian semua ikut kami ke Bukit Rance. Biarkan kami membalas budi baik kalian dengan sesuatu yang mungkin tidak berarti ", ujar Mpu Sumba dengan penuh harap.
Ki Kagendra segera menoleh ke arah Panji Tejo Laksono. Melihat anggukan kepala dari sang pangeran muda, Ki Kagendra segera mengiyakan ajakan Mpu Sumba untuk mampir ke Pertapaan Bukit Rance.
Mereka segera bergegas meninggalkan tempat itu menuju ke sebuah wanua yang yang berjarak sekitar seribu depa dari tepi hutan jati itu. Melewati luasnya hutan jati, mereka terus bergerak menuju ke arah timur.
Sementara itu, dua orang anak buah Paluombo yang berhasil meloloskan diri terus bergerak menjauh dari tempat pertarungan mereka.
"Kita harus cepat melaporkan ini pada Ki Suratimantra, Kakang..
Kematian pimpinan kita harus di balas", ujar seorang lelaki bertubuh tegap sambil terus melangkah menembus rimbun perdu semak belukar yang tumbuh di dalam hutan jati perbatasan wilayah Kadipaten Karang Anom dan Kadipaten Tanggulangin. Kaki nya yang terluka oleh duri duri tajam tidak dia rasakan meski kaki nya sudah berdarah.
"Benar adik..
Biar Ki Suratimantra saja yang bertindak. Para pendekar itu bukan pendekar kacangan terutama si caping bambu yang membunuh Ki Paluombo", sahut seorang lelaki bertubuh gempal pendek dengan cepat. Mereka terus menembus lebatnya belukar yang tumbuh di antara rimbun pohon jati.
Menjelang sore, dua orang itu sampai di sebuah perkampungan kecil yang di pagar dengan kayu gelondongan setinggi dua depa dengan ujung runcing di tepi hutan jati. Ada sebuah rumah besar di ujung perkampungan yang di batasi oleh bukit batu yang terjal.
Dua orang berbadan besar yang menjaga pintu gerbang perkampungan kecil itu langsung mengenali dua orang itu sebagai anak buah Paluombo.
"Hei kalian kenapa bisa sampai kemari?
Mana Ki Paluombo?", tanya salah seorang penjaga gerbang itu segera.
"Kami harus segera melapor pada Ki Suratimantra. Ada hal penting yang tidak boleh ditunda", jawab si lelaki bertubuh gempal pendek dengan cepat.
"Kalau begitu ayo aku antar kalian ke rumah pimpinan", ujar si penjaga gerbang sembari bergegas masuk ke dalam perkampungan dengan diikuti oleh dua orang anak buah Paluombo.
Seorang lelaki bertubuh gempal dengan perut buncit sedang duduk di atas kursi kayu di beranda rumah paling besar di kaki bukit batu. Wajah lelaki ini sedikit aneh dengan gigi atas ompong dan dua gigi bawah memanjang seperti taring babi hutan. Tubuh nya yang gempal dengan kepala botak dengan rambut hanya di belakang telinga semakin menambah kesan bahwa orang ini mirip dengan celeng atau babi hutan. Di belakang nya sebuah kain hitam persegi panjang dengan sulaman bulan sabit terbalik berwarna merah darah.
Lelaki berumur sekitar 4 setengah dasawarsa ini nampak mengernyitkan keningnya melihat kedatangan dua orang anak buah Paluombo yang datang bersama seorang penjaga pintu gerbang perkampungan kecil yang menjadi salah satu dari puluhan markas Kelompok Bulan Sabit Darah. Namun setelah markas besar mereka di perbatasan Tanah Perdikan Lodaya di hancurkan oleh Mapatih Warigalit saat masih menjadi Senopati, kelompok itu tercerai-berai menjadi kelompok kelompok kecil walaupun masih menggunakan nama Bulan Sabit Darah. Sisa sisa anggota Bulan Sabit Darah membentuk kelompok mereka sendiri yang tidak saling berhubungan.
"Mohon maaf Lurah e..
Saya anak buah Ki Paluombo. Melaporkan bahwa Ki Paluombo terbunuh oleh kelompok pendekar yang di pimpin Pendekar Rajawali Selatan Lurah e", ujar si anak buah Paluombo yang bertubuh gempal pendek. Semua orang terkejut mendengar berita itu.
"Kurang ajar!
Jadi mereka berani macam-macam dengan Kelompok Bulan Sabit Darah? Bangsat!", Ki Suratimantra langsung berdiri dari tempat duduknya. Amarahnya langsung menggelegak mendengar laporan dari anak buah kawannya itu. Meski tidak saling berhubungan lagi, tapi bagaimanapun Paluombo adalah kawan karibnya.
Dua orang itu lalu menceritakan tentang awal mula pertarungan antara mereka yang hendak merampas harta dari para pandita tua dari Pertapaan Bukit Rance yang baru saja pulang dari Pakuwon Kamulan hingga sampai terbunuh nya Paluombo di tangan pendekar bercaping bambu.
"Jadi mereka orang-orang Pertapaan Bukit Rance?
Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kita harus membalas dendam kematian Paluombo.
Garung,
Kumpulkan orang orang kita. Ajak Mantrayaksa dan Kaligenjong. Cepat", perintah Ki Suratimantra dengan lantang pada penjaga gerbang markas Kelompok Bulan Sabit Darah itu.
"Malam ini,
Kita ratakan Pertapaan Bukit Rance dengan tanah!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Selamat malam semuanya. Lebaran masih ramai disini. Apa ada yang serupa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 354 Episodes
Comments
Mahayabank
Yaudah lanjuuuut lagiiieee 👌👌👌
2024-04-01
0
Mahayabank
/Good//Good//Good//Ok//Ok/
2024-04-01
0
Mahayabank
Ratakan dengan tanah....
2024-04-01
0