KIRANA (PERJALANAN SUPERNATURAL)
Suasana pedesaan yang sangat asri dan masih alami, udara terasa sangat segar saat dihirup karena belum begitu terkontaminasi. Lain hal dengan tempat sebelumnya, di kota yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan. Di sepanjang perjalanan Kirana sangat menikmati pemandangan lewat jendela kaca mobil yang ia tumpangi, hamparan sawah yang luas, pepohonan dan perkebunan yang hijau sangat menyegarkan mata, hal yang jarang ia nikmati selama tinggal dan dibesarkan di kota.
Kirana pindah ke sebuah desa dimana dulu Ayahnya menikmati masa kecil disana. Pak Bahari adalah ayah dari Kirana, beliau memutuskan untuk pindah ke kampung halaman setelah pengsiun dari pekerjaannya di kota besar. Beliau ingin menghabiskan masa tua nya dengan kembali ke tempat masa kecilnya dulu, beliau memboyong istri dan kedua anaknya.
Istri Pak Bahari bernama Bu Ratna, anak pertamanya bernama Bagas dan si bungsu bernama Kirana. Awalnya kedua putra dan putri mereka menolak untuk pindah dari kota ke desa, karena Bagas dan Kirana pikir sungguh sangat sudah nyaman tinggal di perkotaan apalagi Bagas yang masih kuliah tentu saja dia paling menolak keras keputusan Ayahnya. Sementara Kirana yang duduk di bangku SMA masih bisa mengalah menanggapi kemauan Ayah nya itu, karena menolakpun tidak akan bisa. Dengan sedikit keberatan Kirana mengikuti kemauan sang Ayah.
Akhirnya mau tidak mau Bagas ataupun Kirana tetap harus pindah dari kota ke desa. Bagas masih bisa kuliah walau harus pulang pergi ataupun kost di kota jika jadwal kampus tidak memungkinkan untuknya pulang pergi.
Desa Jatiasih merupakan desa berkembang, bukan desa tertinggal jadi tidak terlalu buruk jika mereka pindah ke tempat tersebut.
"Dulu Ayah sering main di kali itu, mancing ataupun berenang." Seru Pak Bahari sambil menoleh ke arah jendela dan menunjukan telunjuknya ke arah sungai sebelah kiri jalan yang mereka lewati. Sungai yang cukup besar tapi airnya tidak begitu jernih, membuat Bagas dan Kirana saling beradu pandang. Sementara Pak Bahari masih terbawa lamunannya ke masa kecilnya dulu.
"Berenang? Ish...gatel gak tuh? Airnya aja udah kaya susu coklat." Cetus Bagas sambil bergidik, sesekali pandangannya ke arah kiri melihat sungai itu, lalu kembali ke depan fokus menyetir. Kirana yang duduk di sebelah memberi kode pada Kakak laki-laki nya itu agar bisa menjaga perkataannya, karena Ayah mereka di belakang sedang sangat menikmati mengenang memori masa kecilnya.
"Ya nggak gatel lah, dulu airnya jernih. Mungkin sekarang banyak penduduk yang buang sampah atau apa, jadi airnya gak sejernih dulu. Keadaanya pun sedikit berbeda, kalau dulu jalan ini cuma tanah bukan aspal, mungkin cuma bisa di lewati satu kendaraan saja," jelas Pak Bahari pada putranya.
Bu Ratna yang duduk di sampingnya hanya tersenyum melihat suaminya itu, sambil sesekali menengok ke jendela mobil dan menikmati suasana pedesaan yang jarang sekali ia temui. Bu Ratna memang bukan berasal dari desa seperti halnya Pak Bahari. Bu Ratna kecil hidup di kota besar di mana sebelumnya mereka tinggal. Beliau sangat antusias saat suaminya mengajak untuk tinggal di desa, mengingat orang tua Pak Bahari memang sudah wafat dan meninggalkan sebuah rumah yang tentu saja sudah lama kosong tak ada yang menempati. Pak Bahari anak tunggal jadi beliau lah pewaris satu-satunya dari rumah itu, tak hanya rumah bahkan beberapa sawah dan kebun milik orang tua Pak Bahari.
Selama tinggal di kota, rumah di desa itu di titipkan pada Mang Nur seorang tukang kebun yang dulu di percaya oleh orang tua Pak Bahari. Meskipun usianya sudah senja tapi beliau masih sangat kuat untuk mengurus rumah, kebun dan sawah Pak Bahari. Dengan di bantu istrinya Bi Sari, beliau merawat sebuah rumah kuno itu. Sementara di sawah dan perkebunan mereka di bantu beberapa penduduk dengan di beri upah dari hasil pertanian ataupun perkebunan tersebut. Pak Bahari mempercayakan semua urusan itu pada Mang Nur.
***
Setelah menempuh perjalanan panjang akhirnya mereka pun sampai di depan sebuah bangunan kuno. Rumah orang tua Pak Bahari yang masih terlihat kokoh walaupun desainnya sangat aneh, seperti model-model rumah jaman penjajahan, atau sedikit mirip desain rumah Eropa jaman dulu. Seperti rumah peninggalan Belanda, dengan dua pintu kaca nampak depan, dan jendela kaca hampir full di sebelahnya. Gerbang luar rumah pun sangat tua sekali, model teralis besi yang kuno sedikit membuat Bagas dan Kirana terkejut.
Mereka memang sama sekali tidak pernah datang kesana, bahkan mereka sendiri tak pernah tau nenek ataupun kakek mereka. Orang tua Pak Bahari meninggal sebelum Pak Bahari berkeluarga. Semenjak orang tuanya meninggal,Pak Bahari jarang sekali pulang ke desa karena sibuk dengan pekerjaannya di Kota, ia pun enggan pulang karena sangat sedih jika datang ke rumah tempat dia di lahirkan. Ditambah lagi tak ada sanak ataupun saudara di desa itu. Beberapa keluarga dari orang tuanya sudah pindah di kota lain bahkan ada yang tinggal di luar pulau.
Karena itu Pak Bahari memberi kepercayaan penuh pada Mang Nur yang sudah sejak jaman Ki Demang (Ayah Pak Bahari) bekerja disana dan mengurus semuanya.
Pak Bahari turun dari mobil setelah Bagas memarkirkan kendaraan itu di sebuah halaman yang cukup luas tepat di depan rumah antik itu. Pandangan matanya menyusuri sekeliling pekarangan rumah, penuh kerinduan terpancar bahkan sedikit berkaca-kaca. Bu Ratna yang memperhatikan suaminya itu segera mengelus lengan suaminya sambil tersenyum.
"Jangan terlalu larut, Mas! Sedih boleh, tapi jangan sampai berlarut-larut. Bukannya kamu ingin pulang kesini untuk menikmati masa tua kita? Bukan malah sedihkan, Mas," kata Bu Ratna membuyarkan lamunan Pak Bahari.
Pak Bahari melihat wajah istrinya dan tersenyum, lalu menoleh ke putra nya yang sibuk mengeluarkan koper di bagasi mobil dengan di bantu adiknya Kirana.
"Sampurasun, Den!!" Suara lirih nan lembut datang dari arah lain, rupanya Mang Nur baru muncul dari kebun belakang menyadari majikannya sudah tiba.
"Rampes Mang Nur, apa kabarnya Mang?"
" Alhamdulillah baik, pangestu, '' ujar Mang Nur sopan.
"Alhamdulillah saya dan keluarga juga sehat walafiat, Mang."
"Alhamdulillah."
"Makasih ya mang udah bantu saya selama ini, buat jagain rumah ini. Sama sekali tak ada yang berubah dan tetap bersih seperti bukan rumah kosong."
"Seperti permintaan Aden untuk tidak merubah apapun di rumah ini, sesekali saya mengecat saja jika sudah sedikit kusam cat dindingnya, ataupun memperbaiki jika ada kerusakan genting, kayu yang lapuk, ataupun air di rumah ini. Saya juga suka tidur disini agar rumah ini terjamah sama manusia, Den."
"Kenapa Mang Nur sama Istri gak tinggal disini aja selama saya di kota, daripada di kosongkan Mang."
"Makasih Den, saya hanya sesekali saja menginap kalau saya kebetulan bersih-bersih disini terus kemalaman untuk pulang. Selebihnya saya cuma bolak- balik nyalain atau matiin lampu aja."
"Ini siapa yang ngangkut? Berat dong kalau cuma aku sendirian?" teriak Bagas mengalihkan pembicaraan antara Pak Bahari dan Mang Nur.
"Oh ini Den Bagas ya. Biar nanti mamang yang angkat barangnya, mending aden istirahat di dalam." Mang Nur segera menghampiri Bagas dan koper-koper bawaan mereka.
Mendengar tawaran itu, Bagas segera menuju teras rumah dan duduk di kursi rotan yang berada di teras tersebut. Kirana mengikuti kakaknya sambil menjinjing tas kecil miliknya.
"Iya itu Bagas anak pertama saya Mang, maaf dia emang kayak gitu anaknya."
"Nggak apa-apa, namanya juga anak muda, Den." Lalu Mang Nur mengangkut beberapa koper ke dalam dengan di ikuti Pak Bahari beserta istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Umban Prisilla
ia
2023-06-15
0
IG: _anipri
sabar, sabar
2023-01-28
0
Dinar
halooo...aq mengikutiu smo sini lho kak,🤭🤭🤭
2022-12-01
1