NovelToon NovelToon

KIRANA (PERJALANAN SUPERNATURAL)

DESA JATIASIH

Suasana pedesaan yang sangat asri dan masih alami, udara terasa sangat segar saat dihirup karena belum begitu terkontaminasi. Lain hal dengan tempat sebelumnya, di kota yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan. Di sepanjang perjalanan Kirana sangat menikmati pemandangan lewat jendela kaca mobil yang ia tumpangi, hamparan sawah yang luas, pepohonan dan perkebunan yang hijau sangat menyegarkan mata, hal yang jarang ia nikmati selama tinggal dan dibesarkan di kota.

Kirana pindah ke sebuah desa dimana dulu Ayahnya menikmati masa kecil disana. Pak Bahari adalah ayah dari Kirana, beliau memutuskan untuk pindah ke kampung halaman setelah pengsiun dari pekerjaannya di kota besar. Beliau ingin menghabiskan masa tua nya dengan kembali ke tempat masa kecilnya dulu, beliau memboyong istri dan kedua anaknya.

Istri Pak Bahari bernama Bu Ratna, anak pertamanya bernama Bagas dan si bungsu bernama Kirana. Awalnya kedua putra dan putri mereka menolak untuk pindah dari kota ke desa, karena Bagas dan Kirana pikir sungguh sangat sudah nyaman tinggal di perkotaan apalagi Bagas yang masih kuliah tentu saja dia paling menolak keras keputusan Ayahnya. Sementara Kirana yang duduk di bangku SMA masih bisa mengalah menanggapi kemauan Ayah nya itu, karena menolakpun tidak akan bisa. Dengan sedikit keberatan Kirana mengikuti kemauan sang Ayah.

Akhirnya mau tidak mau Bagas ataupun Kirana tetap harus pindah dari kota ke desa. Bagas masih bisa kuliah walau harus pulang pergi ataupun kost di kota jika jadwal kampus tidak memungkinkan untuknya pulang pergi.

Desa Jatiasih merupakan desa berkembang, bukan desa tertinggal jadi tidak terlalu buruk jika mereka pindah ke tempat tersebut.

"Dulu Ayah sering main di kali itu, mancing ataupun berenang." Seru Pak Bahari sambil menoleh ke arah jendela dan menunjukan telunjuknya ke arah sungai sebelah kiri jalan yang mereka lewati. Sungai yang cukup besar tapi airnya tidak begitu jernih, membuat Bagas dan Kirana saling beradu pandang. Sementara Pak Bahari masih terbawa lamunannya ke masa kecilnya dulu.

"Berenang? Ish...gatel gak tuh? Airnya aja udah kaya susu coklat." Cetus Bagas sambil bergidik, sesekali pandangannya ke arah kiri melihat sungai itu, lalu kembali ke depan fokus menyetir. Kirana yang duduk di sebelah memberi kode pada Kakak laki-laki nya itu agar bisa menjaga perkataannya, karena Ayah mereka di belakang sedang sangat menikmati mengenang memori masa kecilnya.

"Ya nggak gatel lah, dulu airnya jernih. Mungkin sekarang banyak penduduk yang buang sampah atau apa, jadi airnya gak sejernih dulu. Keadaanya pun sedikit berbeda, kalau dulu jalan ini cuma tanah bukan aspal, mungkin cuma bisa di lewati satu kendaraan saja," jelas Pak Bahari pada putranya.

Bu Ratna yang duduk di sampingnya hanya tersenyum melihat suaminya itu, sambil sesekali menengok ke jendela mobil dan menikmati suasana pedesaan yang jarang sekali ia temui. Bu Ratna memang bukan berasal dari desa seperti halnya Pak Bahari. Bu Ratna kecil hidup di kota besar di mana sebelumnya mereka tinggal. Beliau sangat antusias saat suaminya mengajak untuk tinggal di desa, mengingat orang tua Pak Bahari memang sudah wafat dan meninggalkan sebuah rumah yang tentu saja sudah lama kosong tak ada yang menempati. Pak Bahari anak tunggal jadi beliau lah pewaris satu-satunya dari rumah itu, tak hanya rumah bahkan beberapa sawah dan kebun milik orang tua Pak Bahari.

Selama tinggal di kota, rumah di desa itu di titipkan pada Mang Nur seorang tukang kebun yang dulu di percaya oleh orang tua Pak Bahari. Meskipun usianya sudah senja tapi beliau masih sangat kuat untuk mengurus rumah, kebun dan sawah Pak Bahari. Dengan di bantu istrinya Bi Sari, beliau merawat sebuah rumah kuno itu. Sementara di sawah dan perkebunan mereka di bantu beberapa penduduk dengan di beri upah dari hasil pertanian ataupun perkebunan tersebut. Pak Bahari mempercayakan semua urusan itu pada Mang Nur.

***

Setelah menempuh perjalanan panjang akhirnya mereka pun sampai di depan sebuah bangunan kuno. Rumah orang tua Pak Bahari yang masih terlihat kokoh walaupun desainnya sangat aneh, seperti model-model rumah jaman penjajahan, atau sedikit mirip desain rumah Eropa jaman dulu. Seperti rumah peninggalan Belanda, dengan dua pintu kaca nampak depan, dan jendela kaca hampir full di sebelahnya. Gerbang luar rumah pun sangat tua sekali, model teralis besi yang kuno sedikit membuat Bagas dan Kirana terkejut.

Mereka memang sama sekali tidak pernah datang kesana, bahkan mereka sendiri tak pernah tau nenek ataupun kakek mereka. Orang tua Pak Bahari meninggal sebelum Pak Bahari berkeluarga. Semenjak orang tuanya meninggal,Pak Bahari jarang sekali pulang ke desa karena sibuk dengan pekerjaannya di Kota, ia pun enggan pulang karena sangat sedih jika datang ke rumah tempat dia di lahirkan. Ditambah lagi tak ada sanak ataupun saudara di desa itu. Beberapa keluarga dari orang tuanya sudah pindah di kota lain bahkan ada yang tinggal di luar pulau.

Karena itu Pak Bahari memberi kepercayaan penuh pada Mang Nur yang sudah sejak jaman Ki Demang (Ayah Pak Bahari) bekerja disana dan mengurus semuanya.

Pak Bahari turun dari mobil setelah Bagas memarkirkan kendaraan itu di sebuah halaman yang cukup luas tepat di depan rumah antik itu. Pandangan matanya menyusuri sekeliling pekarangan rumah, penuh kerinduan terpancar bahkan sedikit berkaca-kaca. Bu Ratna yang memperhatikan suaminya itu segera mengelus lengan suaminya sambil tersenyum.

"Jangan terlalu larut, Mas! Sedih boleh, tapi jangan sampai berlarut-larut. Bukannya kamu ingin pulang kesini untuk menikmati masa tua kita? Bukan malah sedihkan, Mas," kata Bu Ratna membuyarkan lamunan Pak Bahari.

Pak Bahari melihat wajah istrinya dan tersenyum, lalu menoleh ke putra nya yang sibuk mengeluarkan koper di bagasi mobil dengan di bantu adiknya Kirana.

"Sampurasun, Den!!" Suara lirih nan lembut datang dari arah lain, rupanya Mang Nur baru muncul dari kebun belakang menyadari majikannya sudah tiba.

"Rampes Mang Nur, apa kabarnya Mang?"

" Alhamdulillah baik, pangestu, '' ujar Mang Nur sopan.

"Alhamdulillah saya dan keluarga juga sehat walafiat, Mang."

"Alhamdulillah."

"Makasih ya mang udah bantu saya selama ini, buat jagain rumah ini. Sama sekali tak ada yang berubah dan tetap bersih seperti bukan rumah kosong."

"Seperti permintaan Aden untuk tidak merubah apapun di rumah ini, sesekali saya mengecat saja jika sudah sedikit kusam cat dindingnya, ataupun memperbaiki jika ada kerusakan genting, kayu yang lapuk, ataupun air di rumah ini. Saya juga suka tidur disini agar rumah ini terjamah sama manusia, Den."

"Kenapa Mang Nur sama Istri gak tinggal disini aja selama saya di kota, daripada di kosongkan Mang."

"Makasih Den, saya hanya sesekali saja menginap kalau saya kebetulan bersih-bersih disini terus kemalaman untuk pulang. Selebihnya saya cuma bolak- balik nyalain atau matiin lampu aja."

"Ini siapa yang ngangkut? Berat dong kalau cuma aku sendirian?" teriak Bagas mengalihkan pembicaraan antara Pak Bahari dan Mang Nur.

"Oh ini Den Bagas ya. Biar nanti mamang yang angkat barangnya, mending aden istirahat di dalam." Mang Nur segera menghampiri Bagas dan koper-koper bawaan mereka.

Mendengar tawaran itu, Bagas segera menuju teras rumah dan duduk di kursi rotan yang berada di teras tersebut. Kirana mengikuti kakaknya sambil menjinjing tas kecil miliknya.

"Iya itu Bagas anak pertama saya Mang, maaf dia emang kayak gitu anaknya."

"Nggak apa-apa, namanya juga anak muda, Den." Lalu Mang Nur mengangkut beberapa koper ke dalam dengan di ikuti Pak Bahari beserta istrinya.

RUMAH ANTIK

Pak Bahari dan keluarganya masuk ke dalam rumah tua itu. Saat pintu di buka seketika aura nya sangat berbeda dan hal tersebut sangat di rasakan oleh Bagas dan Kirana.

Apalagi melihat interior ruang tamu dan perabotan yang sangat antik sekali, di sana terdapat kursi ukiran dengan meja kayu yang sepertinya berusia puluhan tahun, modelnya sudah sangat langka di temui, beberapa lukisan abstrak di atasnya dan lukisan tokoh pewayangan di dinding lainnya menambah aura magis di ruangan tersebut.

Dari ruang tamu mereka menuju ke ruang tengah dengan melewati pintu yang menghubungkan kedua ruangan tersebut.

Ruang keluarga ini tak kalah luas dari yang tadi bahkan lebih luas. Namun pencahayaan disana sangat kurang tidak seperti di ruang tamu yang terdapat banyak jendela kaca.

Di ruang keluarga ada satu sofa panjang yang juga sangat tua namun terawat, disitupun ada sebuah televisi hitam putih jaman dulu yang entah masih berfungsi ataupun tidak. Televisi tersebut di simpan di lemari ukiran, tepat di tengahnya dengan pintu lemari slide yang terbuka saat itu dan menampilkan televisi tersebut.

Dipojokan ruangan ada kursi goyang kayu, dan di sebelah kursi itu ada pintu menuju kamar. Sedang pintu kamar yang lainnya berada di sisi yang lain, sedikit bersebrangan dengan pintu kamar tadi.

"Kamar kita dan anak-anak yang mana,Mas?" tanya Bu Ratna.

"Kita kamar yang ini saja,dulu bekas kamar orang tua saya," jawab Pak Bahari.

"Kirana kamu kamar yang itu." Lanjut Pak Bahari sambil menunjuk ke arah pintu dekat kursi goyang tua berada.

Kirana dan Bagas saling menatap satu sama lain, mereka merasakan ada hal yang aneh tapi sama sekali sulit untuk di jelaskan, hal yang sangat asing yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Namun mereka berdua tidak bisa berkata apa-apa pada orang tuanya ,dan mencoba menepis perasaan itu, mereka mengira mungkin karena ini kali pertama bagi mereka tinggal di tempat sekuno ini.

"Bagas nanti kamu tidur di kamar dekat paviliun saja. Disana ada dua kamar untuk kamu satu dan satunya untuk kamar tamu kalau ada tamu berkunjung ataupun teman kalian nanti kalau datang kemari, '' jelas Pak Bahari.

"Biar saya antar Den Bagas dulu ke kamarnya, '' kata Mang Nur.

"Baiklah..saya mau duduk dulu disini, maklum sudah tua dibawa perjalanan sedikit cepat lelahnya, Mang." ucap Pak Bahari sembari duduk dan bersandar di sofa, sementara istrinya segera masuk ke kamar untuk membereskan pakaian di kopernya.

"Aku mau ikut Kak Bagas." Seru Kirana sembari mengikuti langkah Mang Nur dan Kakaknya itu.

Dari ruang tengah ke arah paviliun melewati sedikit lorong lalu berbelok ke kanan, kata Mang Nur kalau lurus itu ke arah dapur, gudang dan kamar Mang Nur jika menginap di rumah itu.

Saat melewati lorong hawa dingin menyapa tubuh kedua adik kakak itu, lagi-lagi mereka terpaksa menepis perasaan itu, apalagi melihat Mang Nur yang terlihat biasa saja seperti tidak merasakan hal yang mereka rasakan.

Tiba di sebuah paviliun yang cukup luas, disana terdapat pintu menuju taman belakang, di ruangan itu terdapat banyak foto-foto yang empunya rumah. Foto Ki Demang dan Istrinya Dewi Larasati.

Bagas dan Kirana terus memandangi foto tersebut, ukurannya besar dan berwarna hitam putih. Disebelahnya pun terdapat foto yang ukurannya agak kecil, namun di foto itu ada tiga orang. Suami istri yang tadi dan seorang anak laki-laki sekitar usia sembilan tahunan.

"Itu foto kakek,nenek juga bapak nya Aden, '' kata Mang Nur.

Bagas dan Kirana hanya mengangguk sambil mendengarkan cerita Mang Nur menjelaskan satu persatu foto di ruangan tersebut.

"Ini kamar Den Bagas, silahkan kalau mau beristirahat, '' ucap Mang Nur sambil memasukan koper milik Bagas ke salah satu kamar di paviliun itu. Sementara di sebelah kamar Bagas ada satu kamar lagi yang katanya untuk kamar tamu.

"Makasih Mang, '' ucap Bagas.

"Sama-sama, nanti kalau ada perlu apa-apa tinggal panggil mamang saja di belakang. Mamang tinggal dulu ya, mau beres-beres dulu di belakang sambil mau panggil bibi kamu dulu biar kesini bantuin masak." Lalu Mang Nur berjalan ke arah lorong tadi.

Kirana dan Bagas hanya terdiam menatapi punggung Kakek tua itu sampai akhirnya menghilang di antara gelapnya ruangan ke arah lorong.

Mereka melihat sekeliling kamar yang akan di tempati Bagas. Kamar yang sangat minim pentilasi,hanya ada satu jendela namun tidak cukup memberi cahaya keruangan tersebut karena diluar terdapat sebuah pohon besar yang menutupi sinar matahari untuk masuk ke ruangan itu.

Disitupun terdapat ranjang besi tua yang di kelilingi kelambu putih,sangat jauh sekali dari kata modern.

"Waw,,kayak di film-film horor, '' cetus Kirana.

"Ah lu tuh kebanyakan nonton film horor jadi gitu, " kata Bagas sambil menyembunyikan perasaannya, sebenarnya dia pun merasakan hal itu, tapi mencoba untuk tetap tenang dan terbiasa dengan suasana baru nya yang asing.

"Ish..kenapa kita pindah ke tempat kayak gini sih, harusnya sebelum pindah Ayah tuh ganti perabotan sama yang baru, terus ni rumah juga harusnya d renovasi dulu, biar gak antik kayak ginikan..serem liatnya." gerutu Kirana meluapkan kekesalannya yang dari tadi dia tahan demi menjaga perasaan Ayahnya.

"Apa gak denger dari tadi Mang Nur bilang kalau Ayah gak mau merubah apapun yang ada di rumah ini." Kata Bagas sambil duduk di ranjang besi tersebut, lalu dia kembali berdiri karena mendengar suara besi yang reyot di ranjang tersebut.

"Tuh kan...ntar jatoh juga lu kak karena udah gak layak pakai tuh kasur, '' kata Kirana.

"Kasurnya juga keras banget nih gak empuk." Lama-lama Bagas pun setuju dengan ucapan Kirana.

"Udah ntar Kakak bilangin sama Ayah dan Ibu biar beli perabotan baru, '' lanjut Bagas.

"Iya bener tuh, ini lagi lemari tua banget coba, nambah ngeri liat kamar kakak, gimana kamarku yah ? Aku malah belum tau, jangan-jangan sama kayak gini, '' rengek Kirana.

"Udah sana ke kamarmu, kakak mau beresin barang-barang dulu, apa mau bantuin juga hah?"

"Iiih..ogah.." Kirana segera keluar kamar, namun langkahnya terhenti saat akan mulai berjalan ke arah lorong, ia segera memutar balik badannya dan kembali ke kamar Bagas.

"Kak.."

"Ya ampun apalagi, mau bantuin beresin ini?"

"Bukan..aku gak berani lewat kesitu..anterin aku yuk, please!! '' Pinta Kirana sembari menyatukan kedua telapak tangannya dan memelas.

"Apaan sih, ntar juga lu terbiasa kali, kita tuh disini bukan untuk sehari dua hari tapi bakal menetap disini. Masa nanti lu mau di anter-anter terus..sana..sana.."

"Kak, please..sekali ini aja!! Aku kan belum terbiasa disini. Takut nyasar." Kirana sedikit bercanda agar kakaknya itu luluh dan mau mengantarnya ke ruang keluarga.

"Dasar!! Buruan jalan." Akhirnya Bagas pun mengantar Kirana ke ruang keluarga sekalian ada beberapa tas buku kampus yang tertinggal dan belum terbawa sama Mang Nur tadi.

Kirana tersenyum lebar saat Kakaknya mulai beranjak untuk mengantarnya. Namun tetap saja si bulu kuduk terus merinding melewati lorong tersebut, apalagi jika harus berjalan sendirian.

Tiba di ruang keluarga rupanya kedua orang tua mereka sudah masuk kamar, tak seorangpun di ruangan itu tapi kursi goyang nampak sekali bergerak seperti telah di duduki seseorang. Sontak pemandangan tersebut membuat muka keduanya tegang dan saling berpandangan.

"Anterin aku masuk kamar," bisik Kirana yang jelas semakin takut menuju pintu kamar yang berada di samping kursi goyang itu.

"Nah..nah..minta anterin teruskan? '' ujar Bagas sambil memunguti beberapa buku kampusnya yang berada di tas ransel di meja ruangan itu. Dia mencoba menyibukan diri berusaha tidak perduli dengan keanehan yang dia lihat.

"Kakak..jahat banget sih.Itu tuh kursi goyangnya ngapain juga gerak-gerak, aku jadi takut kan."

" Mungkin aja Ayah atau Ibu tadi duduk disitu sebelum masuk kamar, jadi gerak-gerak lah bekas dinaiki. Jangan mikir aneh-aneh, aku mau balik ke kamar. " Bagas segera kembali ke kamarnya tanpa memperdulikan Kirana yang mematung ketakutan di sana.

Glek!

Kirana menelan ludahnya, lalu sedikit demi sedikit menapaki ubin berwarna hitam tanpa keramik itu. Setelah agak dekat jaraknya dengan pintu dia segera berlari menyambar daun pintu dan membuka pintu kamar tersebut, tapi tunggu..sudut matanya menangkap sesuatu di sampingnya. Tepat di kursi roda itu terlihat ada seseorang tengah duduk disana, walaupun tak terlihat begitu jelas siapa dia tapi Kirana yakin dia melihatnya.

Tanpa ingin menoleh segera ia masuk ke kamar dan menutup pintu sekeras mungkin.

Dan kejutan lagi untuknya saat mendapati kamar yang akan dia tempati suasananya tak jauh beda dengan kamar Bagas tadi.

Hanya saja ranjang Kirana terbuat dari kayu ukiran dengan kelambu yang di lipat dan di ikat di setiap sisi tiang ranjang tersebut. Disebelah nya ada nakas kecil lalu di depan ranjang nya ada sebuah meja rias dengan cermin antik, di sisi lain terdapat lemari kayu yang kuno seperti di kamar Bagas tadi. Di bagian pojok ada jendela dan sisinya ada pintu menuju kamar kecil.

"Ya Tuhan...sabarkan aku, '' ucap Kirana sambil menghela nafas panjang dan menepuk jidatnya.

MENYAMBUT

Matahari mulai bersembunyi dibalik gumpalan awan, langit sudah tampak gelap tanpa bulan ataupun bintang menghiasinya.

Gerimis mulai turun di desa Jatiasih, suara gemercik membaur bersama lolongan dan sahutan binatang malam. Keadaan yang sangat tak biasa di dengar oleh Kirana.

Gadis itu baru selesai membersihkan diri selepas seharian tertidur pulas karena kelelahan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.

Tubuh mungilnya hanya di balut oleh handuk kimono, dan rambut panjangnya di gulung menggunakan handuk kecil dan di simpulkan di atas kepala.

Dia duduk di kursi rias mengamati cermin di depannya. Dia teringat kejadian tadi siang saat sudut matanya menemukan sosok seseorang yang tengah duduk di kursi goyang, sesekali ia menggelengkan kepalanya sambil mengerjapkan kedua mata seolah berharap itu hanya halusinasi saja karena terlalu letih dan suasana rumah membuatnya sugesti akan hal-hal di luar nalar.

Dia mengeluarkan alat kosmetik dari tas kecil dan meletakan di meja rias. Dia menata barang-barang itu agar terlihat rapi.

Beberapa lipgloss,toner,sunblock,bedak tabur,kapas,ikat rambut dan peralatan rias lainnya ia letakan di atas juga di laci meja itu.

Tak sengaja ia menjatuhkan satu lipgloss yang tengah ia tata. Kirana sedikit membungkuk dan mengambil benda itu, dia meraba-raba ubin mencari letak benda itu terjatuh tanpa melihat kebawah.

" Mana sih kok susah banget, apa mungkin ke kolong sana ya, udah lah nanti aja aku ambil, '' gerutunya sambil terus mencari benda itu dengan satu tangannya.

Saat dia kembali menegakan badannya di depan meja, tiba-tiba ada sekelebatan putih melintas di belakangnya sangat jelas terlihat saat Kirana menghadap ke cermin. Dia segera menoleh ke belakang, namun tak ada apapun di sana.

Wajah nya mulai tegang dan pucat, dia mengusap kasar muka dengan telapak tangan, lalu mengucek mata berharap dia salah melihat sosok tadi.

Suasana semakin mencekam sangat terasa di hati Kirana, dia segera bangkit mengambil pakaian tidur motif bunga dan segera mengenakannya. Setelah itu dia bergegas membawa sisir yang masih berada di tas kecil miliknya yang belum sempat ia simpan di meja rias tadi.

Dia menyisir rambut dengan asal-asalan. Setelah di rasa rapi segera ia keluar kamar. Di ruang tengah tampak seorang perempuan berkebaya merah dengan di padukan kain batik sebagai bawahannya.

Pakaian yang sangat aneh menurut Kirana jika dipakai di jaman ini. Dia sendiri memakai kebaya jika ada acara khusus saja, sedang wanita itu memakainya di rumah.

"Maaf anda siapa?" tanya Kirana dengan sangat hati-hati.

Wanita tua itu menoleh ke arahnya, wajahnya berhasil membuat Kirana tertegun. Wajah yang sangat asing untuknya. Kirana hanya melongok menatap wanita tua itu, sementara wanita itu tersenyum melihat gadis dihadapannya.

"Selamat datang Nak Kirana,," tegurnya lirih.

"Si-siapa anda? Kenapa tau nama saya ? " tanya Kirana kembali setelah pertanyaan pertamanya belum dijawab oleh sosok misterius itu.

"Saya Bi Sari, isteri dari Mang Nur, '' jawab wanita itu.

"Oh..kirain siapa, habisnya Bibi terlihat aneh sih..eh..maaf maksud saya Bibi membuat saya kaget. Saya fikir..." Kirana tak melanjutkan ucapannya. Wanita di hadapannya malah kembali tersenyum tipis sambil membelai pipi Kirana.

Tangannya sangat dingin sekali, tapi Kirana tidak mungkin menepis tangan itu karena tak ingin dikira tidak sopan.

Tadinya dia mulai lega karena wanita itu mengaku istri dari Mang Nur, tapi setelah tangan itu menyentuh kulitnya, Kirana kembali tegang, jantungnya berdetak agak kencang dan darahnya seolah terasa sekali mengalir disekujur tubuh. Mata mereka saling menatap satu sama lain.

"Hei ngapain bengong nanti kesambet loh." Tiba-tiba Bagas muncul dan mengejutkan Kirana.

"Kakak bikin kaget aja sih." Kirana menoleh ke arah Bagas lalu kembali melihat ke depan namun wanita tadi sudah tidak nampak dihadapannya, Kirana celingukan mencari sosok wanita tadi. Padahal tadi tangan wanita itu masih menyentuh pipinya, tapi kenapa bisa begitu cepat dia pergi tanpa bisa Kirana rasakan saat ia melepas sentuhan pada pipinya.

" Nyari apa hayoh? Aneh banget sih ni anak baru sehari disini tapi kelakuannya udah parno gitu. Buruan udah ditunggu di belakang buat makan malam." ujar Bagas yang memang di minta Ibu nya untuk memanggil Kirana.

"Ng-nggak ada Kak. Apaan sih ngawur deh.'' Kirana segera menyambar lengan Kakak nya dan mengajaknya untuk segera melangkah ke arah lorong menuju dapur dan ruang makan.

Dia sengaja tidak memberitahu Kakaknya tentang wanita misterius tadi yang mengaku sebagai istri Mang Nur. Mungkin saja Bi Sari tadi pergi setelah melihat Bagas dan Kirana tidak sadar akan kepergiaan wanita tadi karena suara Bagas Kakaknya sangat membuatnya kaget. Itulah yang terlintas dibenak Kirana, demi tetap membangun kewarasaannya dari hal-hal yang aneh yang ia rasakan saat itu.

Kalaupun Kirana menceritakan semuanya pada Bagas, tentu saja Kakaknya itu pasti akan semakin membuat dirinya merasa terlihat konyol.

Sesampai di ruang makan, Ayah dan Ibu mereka sudah duduk di kursi meja makan dan menyantap banyak hidangan disana.

"Kirana..kayaknya kamu ketiduran cukup lama ya, pasti kamu lelah habis perjalanan jauh tadi, sini makan Nak, masakan Bi Sari enak banget.Sini duduk!" ucap Ibu Ratna.

Deg!!

'Bi Sari? Maksudnya wanita yang tadi?' batin Kirana sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut.

Ruang makan yang tidak begitu luas dan di sebelah kiri ada jalan menuju dapur namun cahaya lampu yang remang-remang membuatnya tak bisa menembus jalan itu dengan pandangannya.

"Iya Bu, tadi aku ketiduran capek sekali. Sekarang lapar banget nih." jawab Kirana sembari mengelus perutnya.

Kirana dan Bagas duduk dan segera mengisi piring nya dengan nasi dan lauk pauk yang sudah tersedia. Makanan yang cukup menggugah selera dan membuat Kirana ingin segera mengenyahkan rasa lapar yang mendera perutnya.

"Supnya enak nih coba Nak, masih hangat. Semua ini masakan Bi Sari, beliau nantinya yang akan bantu Ibu masak disini," kata Ibu sembari memberi semangkuk sup hangat kepada Kirana dan Bagas.

Bagas nampak menikmati makanannya sedangkan Kirana masih saja bertanya-tanya setiap kali Ibunya menyebut nama Bi Sari di tengah-tengah makan malam.

Kirana memasukan satu sendok nasi dan sup ke dalam mulutnya, saat itu pula ada seseorang keluar dari arah pintu dapur.

"Nah ini Bi Sari, kenalin Bi ini Kirana anak bungsu saya, '' ujar Ibu mengenalkan Kirana pada wanita bernama Bi Sari itu.

"Uhuk !! uhuk!!" Kirana tersedak saat memasukan makanan ke mulutnya karena melihat Bi Sari yang lain di sini.

"Pelan, pelan makannya neng, ini minum air dulu," ujar wanita itu sembari menyodorkan air putih.

Kirana segera meraih gelas dari tangan wanita itu, namun tangannya tak sengaja menyentuh jemari yang di sebut Bi Sari itu. Tangan nya hangat tidak seperti Bi Sari yang berada di ruang tengah tadi.

"Iya nak, pelan makannya. Untung Bi Sari sigap ngambilin kamu minum. Makasih ya Bi, '' ujar Ibu sambil tersenyum pada wanita yang di panggil Bi Sari tadi.

Wanita itu memakai daster berwarna hijau dengan corak batik bunga,berbeda dengan yang tadi yang mengenakan kebaya merah dan bawahan lilitan kain batik saja.

Kirana melihat wajah Bi Sari berdaster itu dengan seksama, wajah yang sangat lain dengan yang dilihat sebelumnya. Rambut si kebaya merah tadi di cepol/sanggul seperti orang jaman dulu. Tapi Bi Sari berdaster ini terlihat lebih kekinian, beliau memakai hijab yang menutupi rambut dan sebagian dada nya.

"Makasih Bi." ucap Kirana pelan sambil terus memandangi wajah wanita yang berdiri di sampingnya itu.

Dia menyimpan gelas minum di meja, tangannya sedikit bergetar karena kejadian itu, kejadian yang sangat janggal dan sulit di jelaskan.

"Sama-sama Neng, lanjutin makan nya. Bibi mau ke dapur lagi. Permisi." Bi Sari kembali menuju ke arah dapur.

'Neng? Dia panggil aku Neng? Yang sebelumnya manggil aku Nak. Sebenarnya sosok yang tadi itu siapa.' pikir Kirana bertanya-tanya dalam hati mencoba menetralisir fikirannya dan mencari jawaban agar semuanya bisa ia terima oleh akal sehat dan logika.

Orang tua Kirana masih sangat asyik dengan makan malam mereka, begitupun dengan Bagas.

Kirana menatapi mereka satu persatu, dari wajah mereka tak terlihat sedikitpun mengalami hal yang ia alami barusan.

Kirana ingin bertanya dan menceritakan apa yang ia alami pada mereka tapi ia urungkan karena percuma, seperti nya mereka tidak akan percaya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!