9

Sugar cafe tampak ramai oleh pengunjung remaja. Kebanyakan mereka hanya memesan kopi dan berlama-lama demi menikmati fasilitas free wifi. Dinding cafe dipenuhi hiasan bertema vintage dengan lantai kayu coklat muda hingga sangat cocok untuk foto-foto. Bagi remaja jaman  sekarang yang terpenting saat berkunjung ke suatu tempat adalah spot foto dan koneksi internet.

Arkan melepas helm yang Gysta kenakan saat mereka sampai di tempat parkir sugar cafe yang padat. Cafe ini letaknya berdekatan dengan rumah Arkan, dulu Arkan sering makan disini dengan Sarah. Sekarang untuk pertama kalinya Arkan mengajak cewek selain Sarah.

"Kamu nggak apa-apa?" Gysta melihat Arkan yang sedang menarik kursi untuk Gysta duduki.

"I'm okay sayang." Jawab Arkan. "Kamu boleh pesen apa aja, aku ke kamar mandi dulu mau bersihin darah." Arkan sedikit menunjukkan punggung tangannya yang terdapat noda darah akibat perkelahiannya tadi. Sebenarnya kejadian tadi tidak pantas disebut perkelahian karena hanya Arkan yang menyerang.

"Hati-hati." Pesan Gysta sebelum Arkan meninggalkannya.

Gysta melihat buku menu di meja nya. Mereka belum makan siang, seperti kata Arkan tadi, Gysta hanya makan sepotong roti padahal aktivitasnya sangat padat. Gysta memutuskan untuk memesan macaroni schotel, 2 porsi beef brisket, red velvet dan lemonade minuman kesukaan Arkan serta cappuccino dingin.

Gysta mengantarkan catatan menu yang telah dipesannya pada meja kasir agar segera diproses. Sambil menunggu Arkan dan makanan datang, Gysta membuka laptopnya. Akhir-akhir ini Gysta sering mencari tahu tentang kecanduan pada narkotika di internet dan buku. Hal ini ia lakukan demi menyembuhkan Arkan dari kecanduannya pada obat-obatan terlarang dan alkohol.

"Lama nggak?" Suara Arkan dari belakang membuat Gysta otomatis menutup laptopnya. Arkan tersenyum lebar duduk di hadapan Gysta.

"Kok cepet?" Tanya Gysta, ia seperti maling yang tertangkap basah. Gysta tidak mau membuat Arkan tersinggung dengan hal ini.

"Aku takut kamu digangguin serigala." Ujar Arkan dengan wajah serius namun justru membuat Gysta tertawa. "Tunjukin tangan kamu." Pinta Arkan.

Gysta kebingungan namun tetap menuruti permintaan Arkan mengulurkan tangannya. Arkan memegang kedua tangan Gysta dan melihatnya cukup lama di setiap sisi.

"Kenapa sih?" Tanya Gysta penasaran.

"Aku takut kamu kenapa-napa, kalau kamu nggak tahan aku tadi mungkin dia udah abis!" Ujar Arkan penuh emosi, alisnya bertaut.

Gysta melepaskan pegangan Arkan dan mengubah posisi tangannya agar bisa menggenggam tangan cowok itu.

"Aku nggak mau tangan kamu kotor karena mukulin orang." Ucap Gysta lembut agar kemarahan Arkan reda. "Aku juga nggak mau kamu kenapa-napa." Sudut bibir Gysta tertarik membentuk senyum manis yang menular pada Arkan. "Berhenti mikirin kejadian tadi, yang penting sekarang aku baik-baik aja kamu juga." Gysta mengeratkan genggamannya seolah tidak ingin kehilangan lelaki tampan itu.

Tak lama kemudian seorang waitress menghampiri meja mereka dengan membawa menu yang telah Gysta pesan. Arkan melihatnya tidak sabar ingin memindahkan makanan itu ke dalam perut.

"Makasih." Ucap Gysta sebelum waitress tersebut meninggalkan meja. Gysta sudah melepaskan genggamannya pada tangan Arkan.

"Kamu pesan sebanyak ini?" Arkan terkekeh, ia memegang sendok dan garpu untuk mengambil brisket di atas nasi.

"Aku tahu kamu rakus orangnya." Gysta menjulurkan lidahnya sesaat sebelum menyantap sesendok penuh macaroni schotel.

"Kamu suka makanan itu juga?" Arkan melihat macaroni schotel di hadapannya, mengingatkannya pada Sarah.

"Emang kamu suka?" Gysta menatap Arkan.

"Bukan aku, Kak Sarah, dulu kami sering kesini." Arkan tetap mengunyah makanannya dengan lahap seolah menutupi kesedihannya.

"Dia suka pesan ini juga?"

"Iya, sama cappuccino." Arkan manggut-manggut. "Yang punya cafe ini temen Kak Sarah."

"Oh ya?" Gysta mengangkat kedua alisnya.

"Iya, mereka sama-sama kuliah jurusan psikologi." Arkan meminum lemonade dengan sedotan sebelum melanjutkan ceritanya. "Harusnya sekarang Kak Sarah udah lulus kuliah."

"Dia tahu kalau Kak Sarah sakit?" Gysta menatap Arkan antusias mendengarkan cerita Arkan.

Arkan menggeleng. "Kak Sarah sengaja hilang kontak sama semua temen nya."

"Jangan sedih." Gysta mengusap punggung tangan Arkan untuk membesarkan hati cowok itu. "Dia punya cafe sekaligus jadi psikolog, wah hebat."

"Katanya sekarang cafe ini udah dikelola adik nya yang masih SMA."

"Oh." Gysta ber-oh panjang sambil mengangguk beberapa kali.

Mereka diam sesaat, asyik menyantap makanan masing-masing. Sesekali Gysta mencomot brisket di piring Arkan begitupun dengan Arkan.

"Kamu nyanyi nggak minggu depan?" Gysta melihat Arkan sesaat, ia mengaduk-aduk makanan di depannya. Arkan paham, kalau Gysta mulai mengaduk makanannya itu berarti cewek itu sudah kenyang dan tidak sanggup menghabiskannya.

"Enggak." Arkan meraih makanan Gysta membuat gadis itu kebingungan. "Mau dessert kan" Tebak Arkan sambil menyodorkan red velvet ke dekat Gysta, ia tahu kebiasaan gadis nya. Jika sudah bosan dengan makanan utama maka Gysta harus menggantinya dengan makan dessert.

"Makasih ya." Gysta tersenyum lebar ke arah Arkan, bersemangat untuk menyantap kue di depannya. "Jadi yang nyanyi Galen doang?"

"Iya." Arkan menyuapkan sesendok penuh macaroni schotel ke dalam mulutnya.

Tuh kan gemes, ada yang bisa bungkusin cewek saya nggak? Biar nggak ada orang lain yang lihat.

"Oh." Gysta manggut-manggut, ia mengaduk-aduk cappuccino dengan raut wajah kecewa. Padahal Gysta berharap Arkan menyanyikan lagu saat acara dies natalis minggu depan.

"Lain kali nggak usah sembunyi-sembunyi." Ujar Arkan.

"Hm?" Gysta mendongak melihat Arkan bingung.

"Aku tahu tadi kamu lihat apa di laptop." Arkan tidak melihat Gysta justru sibuk pada makanannya yang sudah hampir habis.

"Oh, aku nggak sengaja." Dusta Gysta, ia tidak mau membuat Arkan tersinggung.

"Sengaja juga nggak apa-apa sayang, makasih udah perhatian sama aku." Arkan mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Gysta.

"Kamu mau berhenti nggak?" Gysta menatap ke dalam manik Arkan yang hitam pekat.

"Aku coba semampuku." Ibu jari Arkan mengusap punggung tangan Gysta lembut.

Rasanya Arkan ingin sekali mengabulkan semua permintaan kekasihnya untuk berhenti konsumsi obat-obatan terlarang itu tapi ia sudah berusaha dan belum berhasil hingga sekarang. Belakangan ini Arkan juga banyak membaca buku tentang narkoba, hanya saja usahanya belum membuahkan hasil. Setiap kali ia sakau, maka tak ada pilihan lain kecuali mengisap sabu-sabu atau minum pil itu.

Kini hidupnya penuh dengan rasa syukur bukan lagi keluhan dan umpatan kepada dunia sebab gadis itu membuat kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Bahkan ia mulai mensyukuri hal-hal kecil seperti senyum Gysta misalnya, melihat kekasihnya tersenyum manis itu membuat Arkan melonjak bahagia. Kadang kebahagiaan memang tak perlu sesuatu yang bernilai rupiah, melihar senyum orang yang kita cintai saja merupakan kebahagiaan yang tak terhingga nilainya.

Gysta ceria banget sih senyumnya, bikin Arkan pengen bungkus kamu tuh! 😂

Thanks udah baca sampai sejauh ini teman-teman. jangan lupa like dan komentar ya^^

Terpopuler

Comments

Khmsbl

Khmsbl

bagus bgtsi beneran deh 😂

2019-09-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!