"Arkan mana?" Tanya Sarah karena tidak melihat Adik nya bersama dengan Gysta padahal tadi pagi Arkan sangat bersemangat untuk menjemputnya di bandara.
Senyum Gysta memudar mendengar pertanyaan Sarah. Terlalu semangat hingga Gysta lupa mempersiapkan jawaban jika Sarah menanyakan keberadaan Arkan.
"Arkan?" Ulang Gysta, ia memutar kepala menghindari tatapan Sarah. "Arkan...." Arkan dimana? Gysta kembali melihat Sarah. "Arkan tiba-tiba ada urusan Kak, sekarang aku yang antar pulang." Gysta menebarkan senyum lebar untuk menyembunyikan rasa tegang nya di dalam sana.
Sarah mengangguk walaupun tidak percaya pada ucapan Gysta. Sarah benar-benar tahu kebiasaan adiknya, ia tidak mungkin punya urusan mendadak yang lebih penting dari pada menjemput dirinya di bandara. Dari dulu Arkan selalu mengutamakan Sarah dan satu gadis lagi, Gysta.
Gysta membantu mendorong kursi roda milik Sarah sementara Mama Arkan berjalan di samping mereka tanpa banyak bicara.
Suasana di dalam mobil canggung dengan Gysta yang berada di balik kursi kemudi. Dua anggota keluarga Arkan yang tengah bersama Gysta itu mungkin bertanya-tanya, jika Arkan sedang ada urusan mengapa cowok itu tidak membawa mobil nya. Mungkin kecurigaan mereka akan bertambah saat tahu motor Arkan juga ada di rumah.
Gysta membasahi bibir bawah sebelum bicara "Kak Sarah dan Tante sudah sarapan?" Melihat ke arah Sarah di samping nya. Gysta berusaha mencairkan suasana canggung di antara mereka.
"Udah kok." Sarah tersenyum tipis sambil mengangguk. Gysta ikut manggut-manggut.
Sarah melihat Gysta dari ekor matanya. Ada rasa tenang saat melihat gadis itu, Sarah percaya bahwa Gysta mampu menjaga adik nya. Sarah tahu bagaimana perubahan Arkan selama kurang lebih 2 tahun ini saat keluarga mereka mulai tidak harmonis karena penyakit yang menyerang nya. Sarah yakin Gysta adalah gadis yang baik seperti cerita Arkan selama ini.
Satpam bergegas membantu mengeluarkan koper saat mobil Arkan berhenti tepat di halaman rumah yang luas. Sedangkan Gysta dan Mama Arkan membantu Sarah duduk di kursi roda nya.
Kedatangan Sarah langsung disambut Papa nya dengan senyum lebar. Alex terlihat begitu merindukan Sarah, sebenarnya jika tidak ada pekerjaan mendesak yang tak bisa ditinggalkannya pasti Alex akan menemai Sarah juga di Singapura.
"Maaf Papa nggak bisa jemput kamu sayang." Alex mengecup kening anaknya sayang. Sungguh berbeda perlakukan lelaki itu pada Sarah. Penuh kasih sayang dan senyum hangat.
"It's okay Pa." Sarah memeluk Papa nya sesaat.
"Umm... saya jemput Arkan dulu ya tante." Ujar Gysta setelah memastikan Sarah duduk di kursi nya dengan benar. Tubuh tinggi Sarah terlihat sangat kurus namun Gysta tahu bahwa Sarah memiliki semangat hidup tinggi.
"Oh, iya." Mama Arkan mengangguk sambil tersenyum tipis ke arah Gysta. Walaupun wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu sangat ingin mengetahui keberadaan Arkan tapi ia tidak bertanya pada Gysta. Sebagai seorang ibu, ia tahu gelagat Gysta yang tampak gelisah ingin segera pergi dari situ.
"Hati-hati." Timpal Sarah dengan suara pelan mendongak untuk melihat Gysta.
"Iya." Gysta mengangguk. "Saya permisi dulu, Tante, Pak Alex." Gysta menundukkan kepala sesaat sebelum masuk ke dalam mobil dengan gerakan cepat bahkan setengah berlari. Dari tadi ia tidak bisa fokus karena khawatir pada keadaan Arkan yang tengah terkunci di kamar mandi. Apalagi Gysta sudah benar-benar membuang semua pil milik Arkan. Dulu Gysta sangat ingin membuat Arkan berhenti mengkonsumsi pil itu namun saat tahu penderitaan cowok itu, Gysta jadi berpikir ulang. Walau bagaimanapun Gysta tidak mau Arkan menderita.
Semuanya serba terlambat bagi Gysta, andai ia mengetahui ini jauh lebih awal mungkin Arkan tidak akan terlalu menderita seperti ini.
Ah sudahlah. Sekarang udah telanjur, harus bisa bantu. Harus!
Hujan turun cukup deras saat Gysta sampai di bandara. Gysta mencari-cari payung di jok belakang namun tidak ada.
"Mana mungkin Arkan sedia payung." Keluh Gysta memutuskan untuk keluar dari mobil. Kaki mungil Gysta bergerak lincah melompat-lompat menghindari genangan air, kedua tangannya digunakan untuk menutupi kepala walaupun sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, rambutnya akan tetap basah oleh air hujan.
Tidak peduli pada beberapa orang yang melihatnya, Gysta tetap berlari menuju kamar mandi dimana Arkan berada. Mungkin orang-orang berpikir aneh karena ada seorang remaja yang lari-larian di bandara dengan baju sedikit basah, seperti adegan dramatis di film.
"Arkan." Gysta mendorong pintu kamar mandi. Terlihat Arkan yang masih setengah sadar dengan wajah pucat. "Ayo pulang." Ajak Gysta berusaha menegakkan kepala Arkan.
"Nggak." Arkan menggeleng lemah. Ia tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini. Butuh waktu paling cepat sekitar 5 jam untuk mengembalikan kesadarannya. "Bawa aku pergi tapi jangan ke rumah."
Gysta terdiam. Menimbang-nimbang apakah akan membawa Arkan pulang atau pergi ke tempat lain sesuai permintaan cowok itu. Gysta yakin Mama Arkan dan Sarah menunggu kedatangan Arkan.
"Ayo." Gysta beranjak dari duduk nya membantu Arkan berdiri. Gysta ingat ada satu tempat yang sering Arkan datangi untuk menenangkan diri. Gysta akan membawa Arkan ke tempat itu.
*****
Hamparan hijau kebun teh menyambut orang-orang yang melewatinya. Suara gemericik air hujan masih terdengar seperti alunan musik klasik yang dapat menenangkan. Hujan sudah tidak terlalu deras, menyisakan rerumputan yang basah dan becek.
Dingin. Kabut turun usai hujan membuat suasana kelabu. Entah kenapa terkadang hujan membuat suasana hati berubah melankolis.
"Gys...." Panggil Arkan yang duduk di samping Gysta.
"Umm?" Gysta menoleh sesaat pada Arkan lalu kembali memperhatikan pemandangan hijau di depannya. Gysta mengusap lengannya sendiri yang tidak tertutup kain, ia sengaja membuka jendela mobil agar udara segar bisa masuk.
"Kadang aku takut banget kamu hilang...." Arkan menggantung kalimat nya. "Sebenernya aku udah nyiapin momen romantis buat ngomong ini."
Gysta memutar badan menaruh perhatian penuh lelaki tampan di depannya. Sepertinya Arkan hendak mengucapkan kalimat serius.
"Biar nggak hilang, aku ikat kamu pakai ini." Arkan mengeluarkan kotak biru dengan bahan beludru. Benda berkilauan terlihat saat Arkan membuka kotak tersebut. Sebuah cincin yang terlihat elegan dan mewah walaupun dengan bentuk sederhana. Arkan tidak sabar untuk menyematkan cincin tersebut di jari manis Gysta.
Arkan tidak mau menunda lagi. Walaupun sebelumnya Arkan telah menyiapkan momen spesial untuk melamar Gysta tapi apapun keadaannya, setiap waktu yang mereka habiskan berdua akan selalu menjadi hal spesial.
Gysta reflek menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. Terkejut pada apa yang Arkan lakukan. Sebelumnya Gysta tak pernah membayangkan hal ini, Arkan yang terkesan cuek bisa juga berpikir jauh ke depan. Mata Gysta berkaca-kaca sembari mengulurkan tangan agar Arkan bisa menyematkan cincin cantik itu di jari nya.
Air mata lolos melalui pipi Gysta saat Arkan mengecup kening nya lama. Mereka berdua memejamkan mata merasakan kesejukan yang mengalir ke seluruh tubuh ditemani irama musik alam. Hujan tak lagi kelabu bagi mereka, justru merupakan saksi cinta yang tengah dirajut oleh sepasang manusia itu.
"Aku suka diikat kamu." Lirih Gysta di tengah-tengah kesunyian mereka.
Sudut bibir Arkan terangkat melengkung sempurna membentuk senyum paling manis. Tangan mereka bertaut enggan berpisah. Gysta adalah satu-satu nya alasan bagi Arkan terus bernapas di bumi ini. Obat saat Arkan marah, penghangat dikala dingin nya dunia, penyejuk saat masalah datang, penguat ketika dirinya merasa putus asa. Gysta adalah pelindung Arkan dari kejam nya dunia, gadis itu segalanya bagi Arkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments