4

Arkan terbangun oleh suara petir yang begitu keras hingga terasa menggetarkan kaca jendela mobil. Ia memijat pelipis nya pelan karena merasa pusing. Arkan terkejut menyadari dirinya yang sedang berada di dalam mobil, ia melirik ke kanan dan mendapati Gysta tengah tidur pulas dengan kepala bersandar pada bahunya. Tangan Arkan menyentuh pipi Gysta hati-hati dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantik kekasihnya. Arkan memejamkan mata berusaha mengingat kejadian sebelum ia tidur di dalam mobil.

Arkan mengembuskan napas kasar ketika ingat bahwa semalam ia mabuk saat bertemu dengan Gysta. Setelah itu Arkan tidak dapat mengingat apapun, ia mengangkat tangan kanan nya yang sudah berbalut dengan plester kecil-kecil di beberapa bagian. Arkan tersenyum kecut, ia mendapat luka itu ketika membersihkan vas bunga yang Papa nya pecahkan saat bertengkar dengan Mama nya kemarin. Arkan menyingkirkan pecahan tersebut penuh emosi mengingat sudah banyak vas bunga yang sudah dipecahkan oleh Papa nya. Mereka berteriak satu sama lain tak mau kalah, Arkan muak pada orangtuanya yang tak pernah absen bertengkar setiap hari.

Jam tangan yang melingkar di tangan kiri Arkan menunjukkan pukul 04:35. Arkan memandangi wajah tenang Gysta ketika tidur. Setelah ini mungkin gadis itu akan marah karena telah dibohongi oleh Arkan.

"Nngghh." Gysta menggeliat, ia bangun dari tidurnya yang nyenyak. Arkan diam. Memperhatikan gadis nya yang baru saja bangun, senyum Arkan mengembang melihat pemandangan yang begitu indah di depannya.

"Udah bangun?" Suara berat Arkan mengejutkan Gysta, gadis itu memutar kepala dan akhirnya menyadari bahwa ia sedang berada di dalam mobil bersama Arkan.

"Umm." Gysta mengangguk. Ia merapikan kunciran rambut nya yang sudah tidak berbentuk seperti kunciran bahkan karet yang digunakan untuk melilit rambut panjang bergelombang itu sudah melorot hampir ke ujung.

Gys, kau tahu? Kau cantik sekali saat sedang menguncir rambut. Aku ingin melihat pemandangan ini setiap hari.

"Udah pagi, pulang gih." Ujar Gysta pada Arkan yang asyik memperhatikan dirinya bahkan mata lelaki itu tidak berkedip sedikitpun, ia tidak rela melewatkan pemandangan paling indah di hadapannya. "Motor kamu ada di luar kan." Gysta sudah selesai menguncir rambut. Ingin sekali Gysta bercermin, ia tidak pernah membayangkan betapa jelek muka nya saat bangun tidur. Tapi Arkan melihat Gysta dengan penuh kekaguman.

"Jangan liatin aku gitu!" Gysta meraup muka Arkan dengan tangan nya membuat lelaki itu sadar dan terkekeh.

"Makasih ya, udah obatin luka aku." Ucap Arkan tulus.

"Kamu selingkuh kan." Tandas Gysta setelah ingat apa yang semalam Arkan katakan, ia menyebut nama Sarah terus-menerus. "Jangan-jangan kamu luka karena berantem sama selingkuhan kamu."

"Hm?" Arkan mengerutkan kening. "Kok kamu bisa punya pikiran gitu?" Arkan memperbaiki posisi duduk nya, menegakkan tubuh menghadap Gysta.

"Selama ini aku bodoh banget Kan, berpikir kalau aku satu-satu nya bunga yang ada di kebun kamu padahal banyak bunga-bunga lain yang jauh lebih cantik dari pada aku." Gysta menatap Arkan tajam.

"Aku semalem bilang apa?" Arkan mengerti, mungkin semalam dirinya menyebutkan sesuatu saat mabuk yang membuat Gysta berpikir bahwa dirinya selingkuh.

"Aku tahu kamu tampan tapi bukan berarti..."

Belum sempat Gysta menyelesaikan kalimatnya, Arkan lebih dulu menempelkan pipinya di bibir Gysta sehingga perempuan itu tidak bisa membuka mulutnya lagi. "Mmmppp" Gysta berusaha mendorong dada Arkan agar menjauh darinya. Tapi kekuatan Gysta tidak seberapa jika dibandingkan dengan Arkan.

"Aku nggak selingkuh sayang." Bisik Arkan di telinga Gysta.

Gysta mendelik, bulu-bulu di tengkuk nya meremang ketika mendengar bisikan Arkan. Gysta mencubit lengan Arkan sekuat tenaga sehingga lelaki itu menjerit kesakitan dan menjauhkan diri dari Gysta.

"Terus siapa Sarah? Dari semalem kamu sebut nama dia terus." Ketus Gysta, dada nya memanas mengingat Arkan semalam terus saja menyebutkan nama Sarah.

Arkan terdiam. Ia meremas sandaran jok yang Gysta duduki. Rahangnya meremas mendengar Gysta menyebutkan nama itu.

"Keluar." Ucap Gysta dingin. "Aku nggak butuh jawaban kamu, keluar." Gysta memalingkan muka, ia lebih memilih melihat pemandangan hitam di depannya.

Arkan menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan sebelum membalas ucapan Gysta.

"Aku bisa jelasin siapa Sarah tapi bukan sekarang." Lirih Arkan.

"Huh?" Spontan Gysta memutar kepala melihat Arkan dengan tatapan heran sekaligus kesal luar biasa. Bagaimana ia bisa menunggu sedangkan ini mengenai perempuan lain di antara mereka berdua.

Arkan menelan saliva nya dengan susah payah, ia belum siap menceritakan semuanya pada Gysta. Ia bukannya tidak mau bercerita hanya saja Arkan menganggap waktunya belum tepat.

"Keluar!" Bentak Gysta, air matanya sudah merebak bersiap-siap ingin meluncur bebas di pipi nya.

Arkan terkejut mendengar bentakan Gysta yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Perlahan Arkan mundur dan membuka pintu mobil sebelum akhirnya keluar dari dalam mobil meninggalkan Gysta yang sudah terisak. Gysta menunduk mencengkram setir mobil nya. Sedangkan Arkan masih melihat kekasihnya dari luar mobil, berharap Gysta memanggilnya lagi untuk masuk.

Gysta mendongak lalu menghapus kasar air matanya dan menghidupkan mesin mobil. Ia menginjak gas dan melaju meninggalkan Arkan yang masih berdiri di tempatnya. Gysta tidak peduli pada hujan yang mulai turun dan akan membasahi tubuh kekasihnya di luar sana.

Sudah cukup aku peduli sama kamu semalem. Hari ini, karena aku nggak dapat penjelasan apapun, aku nggak bisa peduli lagi Kan.

Arkan naik ke atas motornya melesat dari tempat itu, bukan ke arah rumahnya, ia tidak ingin pulang dengan keadaan hancur seperti ini. Bukan karena takut pada amukan Papa nya melainkan malas bertemu orangtuanya yang akan semakin menghancurkan hati nya.

  ******

 

Ruangan yang dipenuhi oleh warna putih dan didominasi bau antiseptik itu nampak sepi. Hanya terdengar desahan nafas lemah seorang gadis yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Seluruh tubuhnya pucat pasi dan dingin. Ia hanya wanita rapuh yang pasrah terhadap takdir kehidupannya.

"Pagi.." Suara berat Arkan terdengar ketika ia memasuki ruangan rawat tersebut.

"Hm?" Gadis yang sedang memejamkan mata itu perlahan membuka matanya mendengar suara Arkan.

Arkan melepaskan jaket kulit hitam yang dikenakannya, jaket tersebut sudah basah oleh air hujan yang turun deras saat ia dipaksa turun dari mobil kekasihnya. Arkan meletakkan jaket nya di atas sofa tak peduli jika air dari jaket itu akan membasahi sofa di bawahnya.

"Udah makan?" Arkan mencium pipi gadis pucat itu singkat lalu duduk di kursi samping ranjang nya.

"Belum." Perempuan itu menggeleng lemah sambil memaksakan segaris senyum di wajahnya. "Kamu nggak sekolah?" Tanyanya melihat Arkan lurus.

"Aku mau nemenin Kak Sarah disini." Arkan menggenggam perempuan yang terlihat beberapa tahun lebih tua dari pada dirinya.

"Kamu kenapa?" Sarah mengangkat tangannya, menyentuh pipi Arkan perlahan.

Arkan terdiam. Ia ingat bahwa tadi Gysta menuduhnya berselingkuh dengan perempuan bernama Sarah. Arkan hanya menatap Kakak perempuannya itu sendu. Andai saja Gysta tahu bahwa nama perempuan yang Arkan sebut adalah nama Kakak nya yang sedang sakit. Tapi tentu saja Gysta tidak tahu karena Arkan belum siap menceritakannya. Walaupun sudah hampir satu tahun berpacaran tapi Arkan belum siap menceritakan pasal keluarganya pada Gysta.

"I'm okay." Arkan mengembangkan senyum nya paksa, walau bagaimanapun ia harus terlihat tegar di depan Sarah.

"Lusa Kakak harus berangkat ke Singapura, Mama bilang Kakak harus berobat disana supaya proses penyembuhannya lebih cepat." Sarah menurunkan tangannya untuk menggenggam tangan Adik nya tidak terlalu kuat.

Arkan terkejut dengan pernyataan Sarah. Kenapa ia tidak tahu bahwa Kakak nya akan pergi ke Singapura, tidak ada yang memberitahunya termasuk Mama dan Papa nya.

"Aku ikut." Tandas Arkan cepat.

"Umm." Sarah menggeleng beberapa kali. "Kamu harus sekolah disini yang rajin, do'a kan pengobatan Kakak lancar."

Sarah mengalami Multiple sclerosis sejak dua tahun terakhir sejak dirinya berada di semester akhir masa kuliah di jurusan psikologi. Penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan tidak bisa disembuhkan ini telah memadamkan mimpi Sarah yang dulu menyala terang di kehidupannya. Kini untuk berjalan dengan kedua kaki nya sendiri pun Sarah tidak mampu.

Sejak dirinya mendapatkan diagnosa dokter mengenai penyakitnya ini, ia merasa hidupnya benar-benar berakhir. Walaupun kadang ia merasa baik-baik saja dalam kata lain seperti orang tidak sakit tapi Sarah lebih sering merasa pusing dan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Kadang Sarah memaki pada takdir, kenapa dirinya yang harus merasakan penyakit langka ini?

Sejak Sarah sakit, orangtua nya merasa putus asa karena mereka begitu mengharapkan Sarah menjadi psikolog sesuai permintaan mereka tapi karena penyakit terkutuk ini Sarah tidak bisa mewujudkan harapan orangtuanya dan memutuskan cita-cita nya.

Keluarga Sarah tidak seharmonis dulu karena orangtuanya sudah berkorban banyak demi kesembuhan anak sulung mereka tapi percuma, penyakit itu tidak dapat disembuhkan. Walaupun kekayaan orangtua Sarah tidak akan habis jika digunakan berobat tapi mereka putus asa karena penyakit Sarah bukannya sembuh tapi semakin parah. Langkah terakhir yang akan mereka lakukan adalah membawa Sarah berobat ke Singapura.

"Gysta marah." Gumam Arkan. Pandangannya sayu ketika mengingat kekasihnya yang marah tadi pagi. Ia tidak pernah melihat Gysta semarah itu sebelumnya.

"Kenapa?" Sarah menatap Adik nya sayang sambil mengusap punggung tangan Arkan lembut.

"Dia tuduh aku selingkuh sama cewek yang namanya Sarah." Arkan mendengus kesal, ia bingung dari mana gagasan itu muncul di kepala Gysta.

"Kenapa kamu nggak cerita yang sebenarnya sama Gysta?" Sarah begitu prihatin melihat Arkan yang sangat kacau saat ini. Ia tahu Arkan sangat mencintai kekasihnya bernama Gysta itu. Walaupun belum pernah bertemu dengan gadis itu, Sarah yakin bahwa Gysta adalah yang terbaik untuk adik nya.

Arkan hanya menarik napas dan mengembuskannya kasar. Ia memang harus menceritakan yang sebenarnya pada Gysta tapi bukan sekarang.

"Setelah ini kamu nggak perlu bolos, kamu harus sekolah yang bener, kasihan Papa yang udah biayain kamu dan jadi donatur utama di sekolah supaya kamu nggak dikeluarin dari sana." Sarah memberi nasehat pada Arkan, selama ini adik nya itu sering menemaninya di rumah sakit hingga bolos sekolah. Mama mereka baru datang ke rumah sakit saat siang. Seringkali Arkan tidak tega membiarkan Kakak nya sendirian di rumah sakit.

Arkan mengangguk pelan. Ia bolos bukan hanya karena Sarah tapi memang malas datang ke sekolah. Satu-satu nya alasannya bersekolah hanya satu yakni menemani Gysta, memastikan kekasihnya aman dari laki-laki lain.

Terpopuler

Comments

moonlghx

moonlghx

Semangat!! Ngomong-ngomong baca punya ku juga ya (Destiny Feila with Hiroshima) Jangan lupa di-like

2019-09-17

3

rita

rita

teruskan thor,aq suka cerita'y...

2019-09-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!