"Seharusnya dari dulu kita bawa Sarah ke Singapura!"
Teriakan perempuan setengah baya itu membuat langkah Arkan terhenti. Ia berdiri di tengah-tengah anak tangga rumahnya yang menghubungkan lantai dua dan lantai dasar. Bagi Arkan, ini adalah pemandangan yang biasa ia jumpai hampir setiap hari.
"Kamu ibu nggak becus! Urus anak aja nggak bisa!" Balas lelaki yang mengenakan setelan jas hitam tidak mau kalah.
Arkan memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana seragamnya menatap jengah pada kedua orangtuanya, Arkan membiarkan kedua mereka bertengkar, ia sudah muak untuk melerai mereka.
"Kamu yang nggak becus, memangnya kamu tahu keadaan Sarah gimana?" Mata Mama Arkan berkaca-kaca, suaranya bergetar menahan tangis.
"Aku kerja dari pagi sampai malam untuk biaya hidup kalian, untuk pengobatan Sarah, jangan bilang aku nggak becus!"
"Tapi kamu nggak peduli sama anak-anak!" Suara wanita berambut pendek sebahu itu semakin meninggi.
"Diam!" Papa Arkan melempar vas bunga yang ada di dekatnya membuat Mama Arkan terbelalak, sementara Arkan melihat pertunjukan di depannya dengan wajah suram. Ia sudah tidak tahan lagi dengan Papa nya yang selalu melempar barang setiap kali mereka bertengkar.
"Gila kamu!" Mama Arkan berteriak frustasi.
"Kamu yang gila!" Balas Papa Arkan, ia mengangkat tangannya bersiap-siap untuk menampar istrinya namun sebelum itu terjadi, Arkan lebih dulu menahan tangan Papanya yang sedikit lagi mendarat di pipi Mamanya. Arkan menatap Papanya penuh kemarahan. Keduanya terdiam karena merasa bersalah telah memperlihatkan sesuatu yang tidak pantas di depan Anak laki-lakinya.
"Kalian berdua nggak gila, aku sama Kak Sarah yang gila karena kelakuan kalian." Ucap Arkan dingin namun penuh penekanan. Perlahan, Papa Arkan menurunkan tangannya.
Arkan menarik napas lalu mengembuskannya kasar sebelum akhirnya meninggalkan kedua orangtuanya yang tidak tahu harus berbuat apa padanya.
Laki-laki bertubuh atletis itu hendak mengenakan sepatu sekolahnya, barulah ia sadar kalau telapak kaki kanannya terkena pecahan vas bunga yang dilemparkan Papanya. Arkan kesal, ia melempar sepatunya sembarangan lalu berjalan cepat naik ke atas motornya. Ia menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi meliuk-liuk di antara ribuan kendaraan lain tanpa mempedulikan darah yang mengalir dari telapak kakinya. Sakit di kaki itu tak seberapa jika dibandingkan dengan sakit hatinya. Kedua orangtua Arkan selalu sibuk menyalahkan satu sama lain tanpa tahu cara menyelesaikan masalah dengan baik-baik.
Arkan berjalan meninggalkan jejak noda darah di sepanjang koridor yang dilewatinya. Bel tanda pelajaran dimulai sudah berdering sekitar 15 menit yang lalu tapi Arkan tidak tergesa sedikitpun, ia sudah biasa datang terlambat dan dibebaskan dari hukuman oleh para guru. Padahal walaupun dihukum, Arkan dengan senang hati akan menjalankannya sehingga tak perlu mengikuti pelajaran di kelas. Lebih baik ia terlambat sari pada tidak datang ke sekolah, begitu pikir Arkan.
"Loh, kok kamu nggak pakai sepatu!"
Arkan mendongak mendengar suara yang tak asing di telinganya. Tampak Gysta tengah berdiri tak jauh dari Arkan. Gysta menghampiri Arkan dan melihat ke arah kaki lelaki nya yang tidak terbungkus sepatu.
"Umh ini.." Arkan menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal.
"Kaki kamu berdarah Kan!" Gysta membelalak melihat jejak darah yang ditinggalkan oleh kaki Arkan. Dengan gerakan cepat, Gysta menarik tangan Arkan membawanya ke ruang UKS agar ia bisa memberi pertolongan pertama.
"Hei, ini cuma luka kecil." Arkan berusaha menenangkan Gysta yang panik mengeluarkan antiseptik dan obat merah dari dalam kotak P3K. Arkan sudah duduk di atas ranjang UKS menuruti perintah gadis nya.
"Luka kecil kamu bilang!" Gysta menatap tajam ke arah Arkan sebelum ia duduk atas kursi untuk menuangkan cairan antiseptik pada telapak kaki Arkan. "Kamu kok bisa luka gini sih, sepatu kamu mana?" Omel Gysta, wajah nya memerah karena panik. Arkan tersenyum melihat kekasihnya yang menggemaskan saat gusar seperti itu. "Sakit nggak?" Gysta mendongak sesaat lalu memberi obat merah dengan hati-hati.
"Gimana bisa sakit kalau disini ada kamu, Nadia Gysta Finleza itu obat aku, obat paling ampuh di dunia ini." Arkan menatap Gysta yang sedang menahan rasa malu nya. Arkan meniup-niup rambut Gysta yang terurai membuat gadis itu dapat mencium napas nya yang beraroma mint.
Bisa-bisanya disaat seperti ini dia mengucapkan kata manis yang membuatku melayang.
Pipi Gysta semakin merona akibat ucapan manis kekasihnya. Ia menyelesaikan pertolongan pertamanya dengan membalut luka Arkan dengan plester.
Siapa bilang Arkan itu dingin? Arkan itu hangat seperti ibu kucing.
"Kamu kena beling ya?" Gysta beranjak dari duduk nya. Walaupun bukan anggota PMR seperti Noura tapi ia tahu bahwa luka sobek sepanjang 3 centimeter di telapak kaki Arkan adalah luka akibat goresan benda tajam seperti beling atau pecahan kaca yang cukup dalam. "Untung nggak ada beling yang tertinggal disana." Gysta mengembalikan peralatan pertolongan pertama ke dalam kotak P3K.
"Kalau ada gimana?" Arkan mengangkat kedua alisnya menggoda Gysta yang sedang khawatir luar biasa pada keadaannya.
"Kalau ada aku tusukin aja biar masuk ke daging kamu." Dengus Gysta, ia kesal karena Arkan terus bercanda bahkan dalam keadaan seperti ini.
Arkan tertawa, ia mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut Gysta yang sedikit berantakan karena dari tadi ia meniupnya. Arkan menyelipkan rambut bergelombang Gysta di belakang telinga lalu mengusapnya lembut.
"Besok plester nya diganti." Titah Gysta mengingatkan Arkan yang ia tahu tidak akan peduli pada tubuh nya sendiri.
"Kan ada kamu yang mau bantu ganti." Arkan terkekeh, tangannya turun beralih menggenggam kedua tangan Gysta yang dingin, Arkan tahu saat panik seperti tadi, tubuh Gysta akan dingin bahkan bisa mengeluarkan keringat dingin.
"Iya." Gysta mengangguk. "Kamu disini aja nanti aku ijinin sama Bu Rusmi."
"Kamu mau kemana?" Tanya Arkan posesif.
"Aku mau ke ruang OSIS, nanti istirahat aku kesini lagi."
"Oke." Arkan melepaskan tangan Gysta dengan enggan, sebenarnya ia mau gadis itu menemaninya di tempat ini. Walaupun Arkan tidak suka keramaian dan UKS adalah tempat yang sepi tapi tetap saja ia akan bosan sendirian. Apakah lebih baik Arkan keluar dari tempat ini ketika Gysta sudah pergi.
"Jangan kabur." Pesan Gysta seolah tahu apa yang Arkan pikirkan.
"Iya sayang." Arkan mengangguk, ia bisa melawan kedua orangtuanya, memukuli seluruh preman yang pernah menghadangnya saat hendak pulang sekolah, ia bisa mengabaikan perintah guru bahkan kepala sekolah sekalipun namun saat berhadapan dengan kekasihnya, Arkan tidak bisa melakukan apapun selain menurut.
Gysta tersenyum puas setelah membuat Arkan seperti tikus kecil yang terkurung. Sebelum keluar dari UKS Gysta mencabut beberapa tisu di samping ranjang.
"Buat apa?" Arkan memutar kepala melihat kekasihnya yang tengah mencabut banyak tisu.
"Ada deh." Gysta menjulurkan lidah ke arah Arkan sebelum meninggalkan lelaki itu sendiri.
Arkan terkekeh melihat kekasihnya yang cantik itu, kedua tangannya gatal ingin menarik Gysta ke dalam pelukannya. Tapi gadis cantik itu sudah menghilang dari UKS. Tinggal Arkan sendiri.
Arkan merebahkan tubuhnya di kasur UKS yang kecil sehingga kaki nya harus menggantung karena tidak dapat menampung tubuhnya yang tergolong tinggi dari ukuran lelaki Indonesia pada umum nya. Arkan lega karena Gysta tidak menanyakan tentang luka nya lebih jauh karena ia tidak mempersiapkan alasan apapun yang harus dikatakan pada gadis itu. Rupanya Gysta terbiasa dengan Arkan yang tertutup. Bagi Gysta, Arkan mau menceritakan tentang keluarganya itu sudah bagus.
Langkah sepatu Gysta menggema di koridor karena tidak ada murid yang berada disana selain dirinya. Sesekali Gysta membungkuk untuk melihat lantai di sepanjang koridor yang baru saja Arkan lewati. Gadis dengan rambut bergelombang tergerai itu membersihkan noda darah yang Arkan tinggalkan di atas lantai menggunakan tisu. Gysta mengikuti noda tersebut hingga ke halaman sekolah.
Gysta mengembuskan napas lega setelah selesai membersihkan semua noda darah di lantai sebelum murid lain penasaran pada darah di sepanjang koridor itu. Entah kenapa Gysta tidak ingin menanyakan dari mana asal luka di kaki Arkan. Gysta percaya suatu hari nanti Arkan akan lebih terbuka dengannya, mempercayakan semua keluh kesah padanya.
Sebelum menuju ruang sekertariat OSIS, Gysta lebih dulu pergi ke ruang guru menemui Bu Rusmi yang merupakan wali kelas 12 IPA 1 untuk memberi laporan bahwa Arkan tidak mengikuti pelajaran pertama karena sakit.
Ruang guru sepi, hanya ada beberapa guru yang tidak memiliki jam mengajar di kelas. Gysta menghampiri meja Bu Rusmi di sudut ruangan setelah mengucapkan salam.
"Ibu baru saja mau panggil kamu" Ucap Rusmi saat melihat Gysta tengah berjalan menghampirinya.
"Ada perlu apa bu?" Gysta sedikit menunduk untuk menyapa wali kelasnya. Rusmi mempersilahkan Gysta duduk di hadapannya.
"Kamu ada apa menemui ibu?" Rusmi melepas kacamata nya memberikan Gysta kesempatan untuk bicara terlebih dahulu.
"Saya mau lapor kalau Arkan tidak bisa mengikuti jam pelajaran pertama, dia sedang berada di UKS, kaki nya luka." Jelas Gysta.
"Sudah diobati?" Rusmi mencatat laporan Gysta pada buku absen miliknya. Hampir seluruh warga sekolah mengetahui hubungan Arkan dan Gysta, termasuk Rusmi. Jadi Rusmi yakin kalau Gysta sendiri yang mengobati luka Arkan, tidak perlu memanggil anggota PMR disana.
"Sudah bu." Gysta mengangguk.
Hening. Gysta menunggu Rusmi selesai menulis pada buku absen, bersiap-siap mendengar kalimat Rusmi setelah ini.
"Saya mengusulkan kamu untuk menjadi Duta Anti Narkoba bersama Adit kelas duabelas IPA tiga mewakili sekolah kita, Ibu sudah mempetimbangkan semuanya dan pilihan jatuh kepada kamu dan Adit." Ucapan Rusmi terdengar sangat jelas di telinga Gysta.
Kenapa tiba-tiba?
Gysta terdiam, dulu ia memang sangat menginginkan jabatan itu tapi sekarang tidak lagi. Ia harus memastikan Arkan tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan terlarang itu dulu barulah ia akan merasa pantas menjadi Duta Anti Narkoba.
"Saya tidak bisa Bu." Tolak Gysta hati-hati.
"Saya pikir kamu akan langsung menerima tawaran ini." Rusmi sedikit terkejut, raut wajahnya berubah kecewa. "Bisa saya tahu alasannya?"
"Emm...." Gysta memikirkan alasan yang tepat untuk menolak tawaran wali kelasnya. "Kenapa ibu memilih Ketua OSIS dan wakil ketua OSIS untuk menjadi Duta Anti Narkoba, bukankah kami sudah sibuk dengan tugas tersebut?" Gysta bertanya dengan berani.
"Hanya kalian orang yang tepat, dan Adit sebagai Ketua OSIS juga tidak menolak." Tegas guru Biologi tersebut.
"Maaf Bu, saya tidak bisa." Tolak Gysta sekali lagi.
"Ya sudah kalau begitu Ibu tidak bisa memaksa, Ibu harap kamu mempertimbangkannya lagi dan segera hubungi Ibu jika berubah pikiran."
"Baik bu." Gysta mengangguk.
"Kamu boleh kembali ke kelas."
"Terimakasih, saya permisi Bu." Gysta membungkuk sesaat sebelum meninggalkan ruang guru.
Dulu Gysta pernah bermimpi mengikuti banyak komunitas di sekolahnya. Ikut serta dalam kegiatan sosial. Menjadi duta anti narkoba adalah salah satu impiannya. Namun sekarang Gysta harus mengubah Arkan menjauhi obat-obatan terlarang itu. Gysta sama sekali tidak peenah menyesal telah mengambil keputusan ini. Memiliki Arkan bukan lah sesuatu yang harus disesalkan dalam hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Dimas Dzaki
semangat thor....bikin penasaran nich cerita
2019-09-18
1
Hanatiffanywijaya✔️
semangat lanjut Thor 💪💪💪
2019-09-18
2