18

Sebuah tangan kekar bergerak perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tersebut. Lelaki dengan setelan jas lengkap itu memperhatikan anaknya tertidur pulas dengan selimut yang tak lagi menutupi tubuhnya.

Alex melangkah pelan agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Arkan, ia duduk di pinggiran tempat tidur. Alex menarik selimut untuk menutupi tubuh Arkan hingga sebatas leher. Posisi Arkan yang meringkuk membuktikan bahwa ia kedinginan. Papa Arkan meraih remote AC dan menaikkan suhu nya agar Arkan tidak kedinginan.

Ada rasa penyesalan yang timbul saat Alex melihat wajah Arkan yang tenang saat tidur, menyesal karena telah memperlakukan Arkan berbeda dengan Sarah. Entah kenapa ada sesuatu terbesit di hati Alex yang mengatakan bahwa harapannya kini hanya Arkan.

"Sarah koma Kan." Lirih Alex sembari mengusap wajah anak laki-lakinya, ia menghela napas keras. Memandangi anak nya sekali lagi lalu keluar dari kamar Arkan.

Mata Arkan terbuka saat pintu kamarnya ditutup kembali. Sebenarnya Arkan sudah bangun, melihat Papa nya masuk Arkan pura-pura tidur. Arkan mendengar Papa nya yang mengatakan Sarah koma.

Arkan menendang kasar selimut yang menutupi tubuhnya. Arkan kesal karena Mama nya mengatakan Sarah baik-baik saja padahal Sarah sedang koma. Terakhir Arkan berada di rumah sakit, keadaan Sarah memang terlihat membaik bahkan bisa berjalan dengan kakinya sendiri walau sebentar.

"Aaarghh!" Arkan berteriak frustasi. Ia merasa dunia tidak adil untuknya, tidak adil untuk Sarah. Air mata Arkan mengalir begitu saja saat ucapan Sarah tiba-tiba muncul di pikirannya.

Kakak ingin sembuh dan segera melanjutkan kuliah

Arkan beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke dalam kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin untuk mendapatkan ketenangan. Tadinya Arkan berpikir untuk mengisap sabu-sabu seperti kebiasaannya saat sedang gusar tapi akhirnya ia memutuskan untuk mandi air dingin saja.

Arkan ingin segera bertemu dengan Gysta sebagai pengganti sabu-sabu dan pil ekstasinya. Arkan ingin menatap wajah cantik Gysta lama agar dirinya kembali tenang.

*****

Suara ketukan terdengar memburu memekakkan telinga Gysta yang tengah tertidur pulas. Gysta enggan membuka matanya namun suara ketukan di pintu kamar nya tidak juga berhenti.

Mama! Geram Gysta kesal dalam hati. Siapa lagi jika bukan Mama nya yang mengetuk pintu berkali-kali seperti itu.

"Iiihh!" Gysta menendang selimut yang menutupinya dan beranjak ke arah pintu dengan mata setengah terbuka.

"Temen kamu tuh nunggu di bawah!" Ujar Mama Gysta sebal karena melihat anaknya masih mengenakan piyama dan rambut acak-acakan.

"Siapa?"tanya Gysta malas. Lagi pula ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah.

"Eh maksud Mama bukan temen tapi pacar kamu."

"Hah!" Mata Gysta membulat. "Maksud Mama, Arkan?"

"Iya." Mama Gysta mengangguk.

"Aaa Mama kok nggak bilang dari tadi." Gysta mengacak rambutnya frustasi lalu menutup pintu kamarnya dengan keras.

Gysta melesat menuju kamar mandi. Setidaknya tubuh Gysta harus dibasahi oleh air sebelum mengenakan seragam sekolah. Gysta tidur begitu pulas karena kelelahan menata ratusan lilin aromaterapi pemberian Arkan kemarin. Rak kamar Gysta sampai sesak, tidak ada ruang lagi untuk meletakkan lilin disana.

Sementara di ruang makan tampak Papa dan Mama Gysta sedang menikmati sarapan bersama Arkan. Walaupun sudah lama pacaran tapi baru kali ini mereka sarapan bersama. Biasanya Arkan datang agak saat Gysta sudah siap berangkat namun kali ini gadis itu bahkan belum bangun tidur. Sebelum berangkat tadi Arkan sudah menelepon Gysta beberapa kali namun tidak ada jawaban.

"Gysta kesiangan, mungkin kecapekan habis nyusun lilin di kamar nya." Mama Gysta tertawa sesaat mengingat kejadian kemarin yang tak disangkanya dimana mobil pick up datang membawa ratusan lilin dengan berbagai macam corak kemasan. Ternyata lilin tersebut merupakan hadiah dari Arkan, calon menantunya yang tampan.

"Maaf tante, sebenarnya kemarin saya mau bantu tapi Gysta nggak mau." Kata Arkan merasa bersalah karena Gysta harus kelelahan akibat menata lilin pemberiannya.

"Nggak apa-apa." Mama Gysta mengibaskan tangannya. "Gysta itu suka lama-lama bareng buku dan lilin."

Arkan membalas ucapan Mama Gysta dengan senyum tipis. Untuk sesaat suasana hening, mereka sibuk menyantap nasi dengan berbagai lauk dan sayur yang dibuat Mama Gysta. Tidak seperti Gysta, Mama Gysta sangat pandai memasak karena dulu pernah bekerja di sebuah hotel sebagai juru masak sebelum menikah dengan Rega.

"Rencana mau kuliah dimana nak Arkan?" Papa Gysta melihat Arkan yang berada di hadapannya dengan raut wajah ramah seperti biasa memecah keheningan.

Tidak ada rencana. "Sama dengan Gysta om." Jawab Arkan santun.

"Wah bagus dong bisa deket terus sama Gysta." Sahut Mama Gysta yang tengah menambahkan semur daging pada piring Arkan.

"Makasih tante." Ucap Arkan pelan sambil menunduk sopan.

"Pasti mau meneruskan bisnis Papa nya ya." Duga Mama Gysta.

"Anak pengusaha memang terlahir sebagai penerus usaha orangtuanya, mau tidak mau itu takdir mereka dilahirkan di keluarga tersebut." Timpal Rega serius.

Arkan diam saja. Tidak ada rencana untuk dirinya meneruskan usaha Alex Fahreza lagi pula Papa Arkan tidak pernah membahas hal tersebut dengannya. Dari dulu Alex selalu mengutamakan Sarah di segala macam hal.

"Gysta juga mau ambil manajemen, ya kan Pa." Mama Gysta tersenyum lebar memperlihatkan gigi nya berderet rapi.

"Pagi!" Gysta berseru ceria mencium Papa dan Mama nya bergantian kemudian duduk di samping Arkan, tidak ada tempat kosong lagi kecuali kursi tersebut.

"Kok kamu nggak bilang kalau mau jemput?" Gysta memutar kepala melihat Arkan.

"Aku udah telepon kamu tapi nggak diangkat, ya udah aku langsung kesini." Jawab Arkan dengan suara rendah.

"Tetep aja aku kan masih tidur." Gysta mencubit paha Arkan gemas walaupun hanya kain celana lelaki itu yang terkena cubitannya karena paha Arkan cukup keras dan tidak mudah dicubit begitu saja.

"Ayo cepetan habisin sarapannya keburu telat." Kata Mama Gysta untuk menghentikan obrolan Arkan dan Gysta.

Gysta mengatup bibir memilih ikut menyantap makanan yang telah Mama nya siapkan dari pada melanjutkan perdebatan dengan Arkan.

Usai sarapan mereka berpamitan kepada orangtua Gysta. Tidak lupa Mama Gysta menyelipkan kotak makan berisi 2 potong sandwich ke dalam tas Gysta dan Arkan. Walaupun biasanya Gysta membaginya dengan Arkan namun kali ini Mama Gysta membuatkan khusus untuk Arkan.

Sama seperti hari-hari saat Arkan belum kembali ke Singapura seminggu yang lalu, teriakan histeris dan tatapan heboh dan iri kembali Gysta dapatkan ketika memasuki kampus Limerick Hull. Banyak cowok tampan di sekolah itu namun entah kenapa Arkan selalu berhasil membuat cewek-cewek heboh sendiri saat melihatnya. Mereka menyayangkan Arkan yang sudah punya pacar, andai Arkan jomblo pasti mereka sudah berebut menjadi apapun asal bisa dekat dengan cowok itu.

"Semalem tidur nyenyak nggak?" Arkan membantu melepas helm yang Gysta kenakan. Walaupun sudah 17 tahun tapi Gysta tidak bisa melepas helm sendiri gara-gara Arkan yang selalu melepaskan helmnya. Alhasil Gysta tidak pernah memasang pengait helm nya saat naik motor sendiri.

"Nyenyak dong." Jawab Gysta, sudut bibirnya tertarik otomatis membentuk senyum manis saat menatap wajah kekasihnya yang tampan itu. "Aku bakar candle nya yang citrus, aku suka baunya kayak kamu."

"Oh ya?" Arkan mengangkat kedua alisnya. Arkan senang melihat Gysta tersenyum ceria dengan mata berbinar-binar itu. Apapun akan Arkan lakukan asal Gysta bisa bahagia.

"Aku suka bau citrus, langsung inget kamu." Gysta sedikit mendongak demi melihat sepasang mata indah Arkan.

"Kamu mau nggak nikah sama aku?" Arkan merapikan rambut Gysta yang sedikit berantakan akibat mengenakan helm.

"Mau!" Gysta mengangguk beberapa kali tanpa berpikir. Jawaban itu meluncur sendiri dari mulutnya bahkan sebelum otaknya mencerna kalimat Arkan. Seperti anak kecil yang ditawari permen maka ia akan langsung menerimanya.

Arkan tersenyum teduh, ia menggapai tangan Gysta mengenggam nya sembari melangkah keluar area parkir sekolah. Arkan menyesal telah terlambat jatuh cinta pada Gysta, andai cinta itu hadir jauh sebelum keluarganya kacau pasti saat ini Arkan tidak akan mengenal yang namanya narkotika dan alkohol. Kini Arkan seperti terjatuh ke dalam kubangan lumpur, semakin ia berusaha bergerak melepaskan diri maka lumpur itu juga akan semakin menariknya lebih dalam. Jika diam itu artinya Arkan hanya pasrah dengan waktu dan menunggu lumpur itu menenggelamkannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!