7

Warna putih mendominasi ruang tamu rumah 2 lantai di kawasan perumahan elit Lembang, menyambut siapa saja yang menginjakkan kaki di atas lantai marmer mengkilap seperti baru saja selesai dipel. Terdapat foto keluarga berukuran 1 meter di sisi kiri pintu utama. Rumah mewah namun sepi, seperti tidak ada siapapun di dalam nya kecuali sepasang kekasih yang baru saja masuk itu.

"Kita ke atas ya." Ujar Arkan pada gadis yang tengah berdiri di sampingnya. Gysta menjawabnya dengan anggukan dan senyum manis. Mereka berencana mengerjakan tugas kimia bersama karena Gysta tahu dirinya lemah dalam mata pelajaran tersebut jadi ia akan minta bantuan Arkan yang disebut sebagai jagonya kimia di kelas walaupun tidak pernah belajar.

Vas bunga dengan berbagai macam bentuk tertata rapi di atas bufet kayu. Orang yang pertama kali datang ke rumah ini tidak akan tahu seberapa sering vas bunga itu diganti dengan yang baru. Namun Arkan sudah hafal, hampir setiap hari vas tersebut diganti akibat Papa nya selalu memecahkan vas bunga saat bertengkar dengan Mama nya. Arkan heran kenapa Mama nya selalu memasang vas disana padahal sudah tidak terhitung berapa banyak vas bunga yang pecah.

Pandangan Gysta terpaku pada foto yang terpajang di dinding dekat tangga. Terdapat sepasang suami istri dengan anak lelaki dan perempuan. Tidak salah lagi, mereka pasti Papa dan Mama Arkan serta Arkan dan Sarah. Beberapa kali Gysta bertemu langsung dengan Pak Alex, Papa Arkan saat menghadiri acara di sekolah.

Wangi maskulin seketika menyeruak ketika pintu dibuka, wangi yang tak asing lagi bagi perempuan yang sedang berdiri di depan pintu. Ruangan yang cukup rapi untuk kamar seorang cowok. Tidak banyak barang di dalam kamar itu, hanya tempat tidur dengan dua nakas di samping kanan kiri nya, lemari dan meja belajar di dekat jendela. Tidak ada buku sekolah layaknya pelajar. Arkan meletakkan buku sekolahnya di ruangan lain. Gysta tahu kalau Arkan paling anti dengan tumpukan buku apalagi di dalam kamarnya.

Gysta membayangkan Arkan tidur di atas ranjang dengan bedcover putih tersebut. Membayangkan aktivitas Arkan di dalam kamar. Senyum Gysta mengembang membayangkan itu semua.

"Ayo masuk." Suara Arkan menyadarkan Gysta yang sudah cukup lama berdiri di depan pintu.

"Oh!" Gysta kembali ke dunia nyata. "Iya." Gysta mengangguk sekali kemudian melangkah masuk diikuti Arkan.

Mereka meletakkan tas sekolah di atas tempat tidur.

"Kalau kamu lapar, aku bisa delivery makanan." Arkan melepas dasi sekolah nya dan meletakkannya sembarangan. Arkan berjalan untuk mengambil pakaian ganti dengan langkah pincang akibat luka di telapak kaki yang membuatnya sulit berjalan.

"Aku ada makanan di tas." Pandangan Gysta mengekori Arkan. "Kita makan itu aja." Gysta duduk di pinggiran tempat tidur masih memperhatikan kekasihnya yang baru saja berjalan melewatinya sambil menenteng kaos.

"Aku ganti baju dulu di kamar mandi, tunggu ya." Arkan sedikit mengacak rambut Gysta yang terurai sebelum meninggalkan gadis itu ke kamar mandi. Hobi Arkan-mengacak rambut gadis nya yang bergelombang berwarna kecoklatan alami itu.

Gysta melihat punggung Arkan yang semakin jauh lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Pincang aja ganteng. Diam-diam Gysta tersenyum sambil memegangi kedua pipi nya yang bersemu merah mengingat Arkan yang menurutnya dua kali lebih tampan saat berjalan pincang.

Gysta beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah lemari dekat jendela kaca yang mengarah langsung pada jalanan. Gysta belum puas melihat-lihat kamar Arkan yang dua kali lebih luas dari kamarnya itu, ia membuka gorden yang menutupi jendela agar bisa melihat pemandangan luar. Jangan harap dengan membuka jendela bisa menyaksikan pemandangan pepohonan yang dapat menyegarkan mata,nyatanya hanya terlihat gedung-gedung pencakar langit yang berlomba-lomba meninggikan bangunannya serta kendaraan yang berlalu lalang tiada henti. Namun Gysta tetap mengembangkan senyumnya, ini pemdangan yang biasa ia lihat. Mau bagaimana lagi, Gysta memang dilahirkan di kota yang super sibuk ini.

Senyum Gysta memudar ketika melihat beberapa bungkus rokok dan plastik bening berisi bubuk berwarna putih pada rak dinding dekat lemari pakaian. Gysta mengambil bubuk putih tersebut karena penasaran.

Ini sabu-sabu? Gysta bertanya-tanya dalam hati. Ia sering mengikuti kegiatan pekan Anti Narkoba di sekolahnya, ia pernah melihat gambar bubuk seperti itu di internet namun tak pernah melihatnya langsung. Gysta tidak mau berburuk sangka. Lagi pula bubuk putih itu bukan hanya sabu-sabu.

Tiba-tiba seseorang merebut plastik di tangan Gysta membuat gadis cantik itu terkejut.

"Arkan!" Pekik Gysta. Arkan berdiri di depannya setelah berhasil merebut bubuk putih di dalam plastik pada tangan Gysta. Arkan memegang kedua lengan Gysta, mendorongnya hingga membentur dinding dan menatapnya tajam dari jarak sangat dekat.

"Maaf... aku nggak sengaja lihat itu barusan." Gysta merasa bersalah karena telah menyentuh barang Arkan tanpa izin. Mata Gysta berkaca-kaca takut Arkan marah padanya.

Hening.

Can i kiss you? Pandangan Arkan perlahan turun pada leher jenjang Gysta. Arkan menarik napas dalam lalu mengembuskannya frustasi, ia menahan diri agar tidak melakukan hal tersebut.

"Nggak apa-apa." Arkan mengedipkan matanya sekali sambil tersenyum manis pada Gysta, pandangannya melembut, ia hanya ingin menakuti Gysta. "Maaf udah bikin kamu nunggu." Pandangan Arkan tidak teralih sama sekali, ia tak pernah puas memandang gadis cantiknya itu.

Gysta menelan salivanya, ia lega karena ternyata Arkan tidak marah. Gysta tersenyum melihat wajah Arkan yang tampak lebih tampan dalam keadaan basah, alis tebal laki-laki itu membuat Gysta terpesona. Jantung Gysta berdebar, ia benar-benar jatuh cinta pada orang setampan Arkan. Nafasnya tertahan karena gugup, Arkan begitu dekat dengannya.

Tiba-tiba Arkan menarik Gysta ke dalam pelukannya membuat perempuan berambut panjang itu terkejut untuk kedua kalinya. Tubuh Gysta menegang namun perlahan ikut membalas pelukan Arkan. Gysta memejamkan mata, menghirup aroma tubuh Arkan dengan rakus, sungguh wangi yang sangat ia sukai.

"Aku minta maaf...." lirih Arkan sambil mengusap punggung Gysta.

Arkan merasa bersalah karena telah membuat Gysta melihat narkotika di kamarnya. Ia yakin Gysta pasti tahu nama bubuk itu, ia merasa sangat buruk di depan kekasihnya. Tapi apalagi yang bisa ia lakukan, kini dirinya terlanjur jatuh pada lembah hitam itu, hidupnya bergantung pada narkotika dan alkohol.

"Untuk apa?" Gysta melepas pelukan Arkan demi melihat wajah kekasihnya, tulang hidungnya yang tinggi dan rahangnya yang kuat.

Arkan tidak menjawab justru kembali memeluk Gysta, ia juga tidak bisa menjelaskan semua yang terjadi pada dirinya.

Gysta diam. Tidak lagi banyak bertanya tentang keadaan Arkan walaupun penasaran. Sepertinya ini terlalu berat bagi Arkan untuk menceritakan kehidupannya. Gysta akan sabar menunggu hingga Arkan suka rela membagi keluh kesah nya.

"Aku laper." Ujar Gysta memecah keheningan di antara mereka.

Arkan tersenyum lebar melepas pelukannya.

Lihat wajahnya yang menggemaskan. Boleh kah aku menyimpanmu dalam lemari Gys? Agar tidak ada yang melihat mu selain aku.

"kita makan dulu sebelum ngerjain tugas, kamu ada makanan apa" Arkan mengikuti Gysta duduk di atas ranjang yang cukup besar jika untuk tidur sendiri.

Gysta mengeluarkan kotak makanan berisi 2 potong sandwich dari dalam tas sekolahnya.

"Harusnya ini dimakan untuk sarapan tapi tadi Nindy traktir mie kocok di kantin." Gysta menunjukkan kotak makanannya pada Arkan. "Semoga rasanya masih enak." Tambah Gysta.

"Mama kamu yang bikin ya?" Arkan membuka kotak makanan tersebut lalu mengambil sepotong sandwich dari sana.

"Of course, as usually" Gysta terkekeh. "Nanti aku belajar bikin sendiri." Gysta menggigit potongan besar sandwich berisi daging, mentimun, tomat, bayam dan keju. Hampir setiap hari Gysta membawa sandwich untuk sarapan di sekolah berbagi dengan Arkan, kadang Nindy dan Noura juga.

"Oh iya, Kak Sarah udah berangkat?" Tanya Gysta disela mengunyah makanannya.

"Malam ini" Jawab Arkan dengan suara pelan. Raut wajah Arkan menyiratkan kesedihan yang mendalam. Arkan belum pernah berpisah dalam waktu yang lama dengan Sarah namun sekarang mereka terpaksa berpisah jauh demi kesembuhan Sarah.

"Kita doakan Kak Sarah segera sembuh supaya bisa kumpul bareng kamu lagi." Gysta menggenggam tangan Arkan berharap dirinya dapat mengalirkan kekuatan pada lelaki itu.

"Kamu, jangan pernah pergi dari aku." Arkan menatap sendu ke dalam manik Gysta. Kini ia menyandarkan seluruh hidupnya pada Gysta, jika tidak ada gadis itu mungkin hidupnya akan berakhir dari dulu.

"Aku nggak ada alasan buat ninggalin kamu, banyak cewek di luar sana yang pengen ada di posisi aku sekarang." Sahut Gysta bangga disertai senyum lebar. Arkan ikut tersenyum, ia mengeratkan genggamannya di tangan Gysta.

Orang-orang menyebut Arkan itu dingin, sombong, cuek dan semacamnya namun Gysta tahu Arkan sebenarnya peduli. Buktinya Arkan sangat terpukul atas sakit yang menimpa Kakak nya. Arkan selalu memberi perhatian pada Gysta bahkan hal kecil seperti membuka kan pintu atau memasang tali sepatunya yang terlepas.

Tidak ada yang bisa menyelami hati orang lain namun kekasih adalah salah satu orang yang paling tahu dirimu. Tahu jati dirimu yang sebenarnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!