Aku merasa kembali ke masa lalu. Mendengar kekaguman cewek-cewek pada ketiga cowok itu. Mereka memang tampan,
tapi rasa tertarikku sama cowok tampan sudah hilang. Mungkin hatiku sudah tertutup penuh untuk makhluk yang bernama cowok. Tidak. Aku tidak berubah haluan. Hanya saja mengubah prinsip. Tidak berpacaran selama SMA.
Aku geleng-geleng kepala melihat Ela yang juga mengagumi mereka, dirinya seakan terhipnotis oleh trio serigala. Apa dulunya aku seperti itu ketika melihat cotam? (cowok tampan). Ya, meski tidak senafsu Ela yang terlihat ingin jingkrak-jingkrak di tempat. Kurasa Nora juga naksir salah satu dari mereka.
“Dor-Dor, kenapa sembunyi di situ?”
Sial! Itu mulut bisa dikunci gak, sih?
Aku merapatkan diri ke tiang koridor. Bersembunyi. Jangan sampai mereka melihatku. Kau tahu, kemarin saja Fandy mampir ke kelasku. Dengan cepat aku bersembunyi di balik pintu. Untung saja Ela tidak melihat, kalau sampai, mulut embernya akan memberitahukan keberadaanku. Ela anaknya antara polos dan begok.
“Rin!”
Aku mendesah. Fandy menemukanku. Sial!
“Eits, tunggu! Kita perlu bicara.” Fandy mencegat langkahku. Aku tidak bisa kabur sekarang karena pergelangan tanganku ditahan. “Miss Ball, maksud gue, Dorin ....”
Aku meronta. Fandy sunguh terlalu karena
menyebut nama itu lagi di depanku.
“Gue minta maaf!” ucap Fandy cepat pergerakanku melemah. Fandy selalu saja membuat hatiku luluh dengan tampang melasnnya itu.
“Kenapa kamu minta maaf?”
“Ya ... karena gue selalu nyakitin lo. Selalu nyebut lo Miss Ball—aaaw!” Fandy memekik. Baru saja aku menendang kakinya.
“Aku tidak kenal dengan nama itu.”
Fandy nyengir lebar. “Maaf-maaf, sekarang lo makin cantik dan ....” Fandy membuat gerakkan seperti body biola di udara. Aku pun tersipu malu.
Nora?Aku melihat raut wajahnya yang kusam—kemudian beralih menatap Fandy lekat. Apa
jangan-jangan dia menyukai Fandy? Dan Ela ... malah senyam-senyum pada dua
cowok yang baru saja berdiri di depannya. Shiro dan juga Vino. Aku pun segera
memalingkan wajah ketika mata kami bertemu.
“Lo berhutang penjelasan ama gue, kenapa
lo pindah gitu aja,” bisik Fandy ke telingaku. “Ayo, Bro, cabut. Waktunya latihan.”
Vino dan Fandy sudah pergi, namun Shiro
masih berdiri di tempatnya, menatapku sebentar kemudian pergi mengejar kedua
temannya. Dari tatapan Shiro tadi, sepertinya ada sesuatu yang ingin dikatakan.
“Oh iya, Aisssh!” Aku mengentakkan kaki
ke lantai. Kartu memoriku pasti masih ada sama Fandy. Aku sudah mengeceknya di handphone-ku, tapi tidak ada. Sial! Fandy
sudah jauh lagi. Kenapa dia selalu saja seenaknya mengambil dan membongkar barang milik orang lain?
Pletak!
“Aaah, sakit Dor Dor!” keluh Ela sembari
mengusap jidatnya. Barusan aku menepuk keningnya cukup keras biar dia sadar dan kembali ke dunia nyata.
“Mau sampai kapan berdiri di sana?” tanyaku datar. Ela malah tersenyum gaje sembari
memainkan rambutnya yang bergelombang. Aku memutar bola mata lalu pergi meninggalkan Ela. “Kita tinggalkan saja dia!” kataku pada Nora.
“Dor-Dor, Nora, tunggu Ela!” rengeknya dari belakang. Bodo amat!
***
“Masih zamankah menulis surat?” gumamku
sembari mengambil amplop warna-warni itu. Lagi. Setelah tragedi di kantin waktu itu, lagi-lagi aku menemukan setumpuk surat di dalam loker. Rencananya akan membuangnya nanti karena menurutku, membacanya sama saja memberikan harapan pada mereka. Ah, sepertinya aku mendadak populer setelah menyirami Friska dengan jus jeruk. Ngomong-gomong dengan kata populer, aku tidak suka apalagi berminat.
“Sepertinya sainganku banyak.”
Aku terlonjak di tempat. Suara bisikkan
di telinga itu membuatku merinding ngeri—aku pun membalikkan badan. Ingin melihat sosok yang kurang ajar itu.
“Shi-Shiro?”
Cowok itu tersenyum tipis. “Bagaimana
kabar lo, Rin?”
Aku mengangguk pelan. “Baik,” jawabku singkat. Hening. Setelah itu tidak ada percakapan di antara kami. Rasanya
canggung setelah sekian lama tidak bertemu apalagi berbicara berdua di tempat seperti ini. Sepi. Soalnya semua anak sudah pada masuk ke kelas masing-masing setelah bell istirahat berbunyi. Karena ada ketinggalan sesuatu, makanya aku mengambil barang di loker.
“Tunggu!” cegat Shiro mengenggam tanganku.
Aku menatap—menunggunya untuk berbicara,
namun dia tampak ragu berbicara ketika mulutnya sudah terbuka.
“Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?”
tanya Shiro membuatku mengernyit. Bukankah dia yang ingin berbicara denganku,
kenapa dia malah yang bertanya? “Emmm, apa lo masih punya perasaan ama gue?” tanya Shiro to the point. Percaya diri juga dia mengatakan itu.
Kembalilah setelah badan lo kurus ....
Aku teringat ucapan Shiro waktu itu. Dia
menolakku secara halus, tapi sangat menusuk hati.
“Maaf, aku tidak tertarik lagi padamu,” jawabku jujur. Aku harus segera masuk ke kelas, mungkin saja pelajaran sudah dimulai. Tanpa menoleh ke belakang, aku meninggalkan Shiro dengan ekspresinya
tidak kuketahui. Kuharap dia tidak kecewa apalagi marah.
Astaga! Hampir saja aku menabrak seseorang di belokan koridor. Aku mendongak.
“Hei, lo tak apa?”
Aku mengerjap beberapa kali. Tangan itu
masih melambai di depan wajahku.
“Ya. Tentu!” seruku cepat. Kemudian secepat kilat menghilang dari sana. Ngedumel dalam hati, aku tidak suka senyumannya, apalagi wajahnya. Tanpa sadar taganku sudah mendekap ke dada. Berdebar. Ini buruk! Sepertinya aku jantungan.
***
Sepanjang pelajaran hanya wajah Vino yang terbayang, sepertinya ada yang aneh dengan diriku. Tidak mungkin virus merah
jambu itu menyerangku. Tidak, apalagi Vino orangnya. Jujur saja, saat di kampung
dulu aku pernah memimpikannya—parahnya, di dalam mimpi pun dia super usil. Apalagi suaranya selalu terngiang ketika memanggilku dengan sebutan Kingkong.
“Apa yang harus kulakukan?” Aku mencengkeram kepala.
“Dor-Dor, kamu sakit?”
Pertanyaan Ela tak kutanggapi. Aku masih
sibuk memikirkan, bagaimana menghilangkan wajah Vino dari otakku. Entah mengapa pesona Vino keluar setelah dia berada di SMA.
Dorin, sadar! Kamu tidak boleh tertarik dengan cowok hanya modal tampang doang! Ingat itu!
Mantra itu kembali kuucapkan dalam hati.
Aku tidak boleh tertipu dengan cowok lagi. Terlebih lagi dengan tampangnya. Jika kamu tidak ingin kecewa dua kali, kamu harus keras pada diri sendiri.
“Apa dia baik saja?” Aku melihat Nora
memandang keluar jendela sembari menopang dagunya. Aku selalu mendapatinya bengong di kelas. Tadi pagi, aku melihat dia masih saja dikerjai Friska, membawakan barang-barang senior songong itu ke kelasnya. Apa mereka satu rumah? Lalu, kenapa Nora selalu memanggil Non pada Friska?
Aku menggeleng. Aku tidak boleh ikut
campur. Sebelumnya aku pernah menanyakan hal itu, namun Nora tidak menjawab. Dia selalu saja mengalihkan pembicaraan ketika ditanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Reishy Gelieuz
seru ceritanya lanjuttt
2020-10-06
2
Miss Logophile
Jangan lupa mampir di lapakku juga. Ditunggu feedbacknya. (Vote, like, komen, dan rate.)
"DEVA JU (ILFEEL COZ I LOVE YOU)"
Ditunggu, ya. 😉😉😉
2020-08-01
0
Ihwari Prowiska Rambe
lanjut thor, ceritanya seru
2020-07-06
3