Episode 11

Akhirnya hari ini datang juga. Tahun ajaran baru. Sekolah baru.

Dan paling menyebalkannya, keinginanku

tidak terpenuhi. Mama menolak mentah-mentah permintaanku yang ingin masuk sekolah setelah MOS selesai. Katanya, aku harus mengikuti masa-masa indah itu, masa perkenalan antar junior dan senior. Dalam hati aku hanya bisa berkomentar, indah apanya? Masa-masa hidup di neraka, sih iya!

Waktu masa orientasi siswa di SMP dulu, aku sering dikerjai, dibentak, dibilang Mis

Ball (nama suci yang diberikan). Itulah kenapa julukan itu sampai melekat pada diriku—seorang cowok memberikannya, senior. Aku mengentakkan kaki ke lantai. Bodo amat! Siapa juga yang peduli dengan MOS?

Aku mengembungkan pipi—menatap diri di

cermin. Rambut dikuncir dua dengan pita putih, diharuskan pakai kaca mata, menggunakan dasi berwarna merah dari kertas, tas dari kantong plastik berwarna

merah putih, dan gantungan nama panggilan tergantung di depan dada. Diriku tampak culun. Kau beralih menatap ke bawah. Kaus kaki hitam sebelah kiri dan sebelah kanan berwarna putih. Aku pun menggoyangkan kedua ibu jari kaki.

Tampak hancur, kan?

Tidak senada, kan?

Aku mendesah sembari membalikkan gantungan nama di dada. Kalau ada kesalahan yang kuperbuat, aku bisa langsung

lari tanpa ada seseorang yang melihat namaku. Hahaha, ide yang bagus Dorin.

***

Hebat! Para senior memang hebat! Lihatlah

murid baru itu, mereka tampak seperti kutu buku. Pakai kacamata semua. Haha, lucu juga. Dan, para cowok juga sama. Rambut mereka, aduh Mak! Gaya rambut mereka seperti era tahun 80-an disisir rapi belah samping. Mengkilat, Bok! Entah minyak apa yang dioleskan pada rambut mereka. Karena dilarang pake gel.

Mungkin diriku sudah berdiri sekitar lima

menit di depan gerbang ini, memperhatikan orang-orang yang lewat. Mataku menyipit. Ralat! Mereka bukan tampak seperti kutu buku, lebih tepatnya kata culun pantas untuk mendeskripsikan penampilan mereka. Termasuk diriku.

“Woi! Ngapain lo bengong di sini?” teriak seseorang mengagetkanku.

Kepalaku menoleh ke samping. Biasanya

yang ada di sebelah kiri bukannya setan, ya?

Dia menatapku dengan sorotan tajam.

Cewek itu berdiri sembari melipat tangan di depan dada. Cantik. Rambut panjangnya digeraikan bak iklan sampo. Dandanannya tidak seperti murid baru. Dan ....

Sial!

Aku tersadar. Ini baru hari pertama, tapi sudah dibentak senior?

Tanpa pikir panjang dan tidak menjawab pertanyaannya, aku melangkah masuk daripada berurusan dengan namanya senior.

Tahu sendirilah hari ini adalah hari kekuasaan mereka.

Ramai. Semua terlihat sama. Susah juga

membedakannya. Aku terkekeh dalam hati. Ingin mengabadikan momen ini. Tanganku sudah merogoh HP dari saku rok cokelat petak-petak bergaris merah. Yap. Inilah

model seragamku. Di atasnya pakai rompi cokelat dan dalamnya kemeja putih lengan panjang, memakai dasi merah terang yang terbuat dari kertas. Karena dasi sesungguhnya disita saat pembagian seragam. Dan akan dikembalikan seusai MOS. Bodoh! Mereka pikir aku bodoh apa? Dasi seperti itu bisa kudapatkan di pasar.

Aku sudah mengatur posisi, sengaja pakai

kamera belakang, biar wajah anak baru tampak semua. Ini baru momen yang lucu.

Ah, Mama, tidak sia-sia aku datang ke sini.

Satu ... dua ... aku menghitung dalam hati.

“Eh?” Sebelum hitungan ketiga dan sebelum menekan tombol klik!

“HEI!” teriakku. Seseorang mengambil HP dari genggamanku. Spontan membalikkan badan. Dan mendongak.

Dug!

Jantungku berhenti berdetak. Mataku

melebar melihat sosok berdiri di depanku. Ini benar-benar kampret momen sesungguhnya.

Kenapa ... kenapa harus bertemu dia lagi?

“Hei cupu! Lo gak baca pengumuman dan peraturan, ha? Selama MOS dilarang membawa HP ....”

Terpatung. Melongo dengan mulut terbuka.

Entah apa yang dibilang cowok di depanku ini. Entah ayat-ayat apa, baris ke berapa dari peraturan yang dia baca. Suaranya nyaris tidak terdengar atau mungkin setan sekolah ini telah menutup kupingku. Mulutnya terus komat-kamit seperti membaca mantra.

“Sekarang HP ini gue sita!”

Kata-kata terakhir membuatku tersentak. “Apa?” pekikku. “Kumohon jangan, Kak!” Cowok itu mengambil HP-ku secara paksa setelah itu pergi.

Uh, sial! Padahal baru isi kuota. Sepulang sekolah nanti aku berencana ingin melanjutkan download One Piece. Dua tahun lebih ketinggalan anime itu membuatku

merogoh uang saku lebih banyak lagi. Terlebih membeli komiknya. Huhu, menyedihkan.

Aku mengentakkan kaki. Menyebalkan! Kenapa harus bertemu dia? Jangan lagi. Padahal aku sudah berdoa pada Tuhan supaya tidak bertemu orang-orang yang pernah kukenal di sekolah dulu.

“Eh, apa dia tidak mengenaliku?”

Cowok itu bernama Rega Valen. Mana mungkin aku melupakannya. Orang yang telah memberikan nama suci di SMP dulu, Miss Ball. Dan sekarang, dia malah memanggilku ‘cupu’. Ya, tentunya murid-murid baru di sini terlihat cupu semua.

“Huft, untungnya HP-ku itu cuma untuk browsing saja.” Kalau untuk menelepon, aku menggunakan Hp lipat. Jadi, Mama gak bakalan tahu tentang masalah ini. Berarti sekarang ini Rega sudah kelas dua belas. Tidak disangka, cowok itu tambah tinggi dan tampan. Oh, tidak! Tentunya aku tidak tertarik lagi dengannya.

Aku menggigit bibir. Mataku bergerak liar memperhatikan sekeliling. Tanpa pikir dua kali, aku membalikkan badan. Dan

... KABUR!

“SETOP, PAK!” teriakku berlari ke gerbang yang pagarnya hampir tertutup. “Maaf, Pak!Ada yang ketinggalan,” ucapku memelas dan menghambat pagar besi itu dengan kaki kanan.

“Hehe, makasih ..., Pak!” Aku menyeringai kebebasan.

***

BEBAS!

Aku berteriak dalam hati merayakan kebebasan ini. Siapa juga yang mau berdiam diri di neraka itu. Aku sempat mengeluh dalam hati karena Rega mengambil HP-ku, tapi tenang. Papa bisa membelikan yang baru, tentunya tanpa sepengetahuan mama.

Sekarang diriku berada di kantor papa tercinta. Baring-baring manja di sofa. Sesekali batuk. Memelas meyakinkan. Tak apalah sedikit berbohong sakit. Demi kebaikan dan kelangsungan hidup demi bebas dari MOS. Karena Papa kenal dengan kepala sekolahnya, nyawaku bisa dibilang aman. Papa memang the best.

Kalau soal mama nanti urusan belakangan.

Palingan akhirnya nama juga bisa menerima dan memaafkanku jika ketahuan.

“Uhuk ... uhukk!” Aku pura-pura batuk lagi.

“Sudah ... ntar Dorin sakit beneran, loh!” komentar papa, tapi matanya masih menatap layar komputer.

Aku nyengir lebar karena ketahuan berbohong. Mungkin Papa mengerti akan perasaanku yang tidak mau ikut masa

orientasi siswa ... atau jangan-jangan, papa pernah mengalami apa yang kurasakan? Secara kan ....

“Pa,” panggilku.

Laki-laki berkumis tipis itu mengangkat

kepalanya. Menatap ke arahku.

“Kalau Mama protes, entar Papa bantu

Dorin, yah?”

Papa tersenyum. Kemudian kembali menatap

komputer. Senyuman itu kuanggap pernyataan setuju.

***

Lima pangggilan tak terjawab terpampang

di layar HP lipatku. Aku benar-benar ketiduran di kantor Papa. Dengan dada dag-dig-dug aku turun dari mobil. Ah, malam ini berasa horor, mama pasti marah besar.

Semoga nyawaku aman malam ini.

Aku bersembunyi di balik punggung papa kemudian melongokkan kepala sedikit. Mengintip. Di depan teras mama sudah

berdiri sembari berkacak pinggang. Mam-tu-pus, mampus! Auranya horor, berasa

seperti berada di dalam rumah tua kosong atau di kuburan.

“Pa, kenapa Dorin jadi merinding gini, yah?” bisikku berjalan di belakang Papa sambil meraba tengkuk. Setelah sampai di teras, aku menyengir sambil keluar dari persembunyian. “Ehe-he, sorry, Mam. Dorin ketiduran di kantor papa, jadi lupa kasih kabar, deh!”

“Eiiits!?” Mama mencegatku. Menempelkan

telapak tangannya di pintu masuk. “Kenapa hari ini Dorin bolos?”

Aku menoleh ke arah papa. Dari mana mama tahu hal itu? Padahal aku sudah menyuruh papa untuk menelepon ke rumah sekitar jam 2-an. Memberitahukan pada nama, bahwasanya aku mampir ke kantor papa. Berencana pulang bareng. Agar acara bolosku tidak ketahuan.

Papa cuma mengangkat bahu seakan bisa membaca pikiranku.

“Ehem!” Mama berdeham. Membuat suasana

semakin horor. Mungkin dia tahu apa yang kami pikirkan. Atau jangan-jangan, Mama

mengikutiku sampai ke sekolah. Secara, kan, aku anti-MOS.

“Pa-pa!” geram Mama memelotot.

Papa hanya menyengir. “Sudahlah, Ma. Ayuk masuk. Lagian Dorin juga dah capek seharian di kantor Papa!”

Keceplosan. Ah, dasar Papa.

“Tuh! Kan!” celetuk Mama. Sekarang tangannya di taruh di depan dada. Semakin kesal.

Sedangkan Papa mengatup mulut rapat. Aku

membuang napas sembari geleng kepala. Papa memang tidak bisa berbohong. Ternyata itu jebakan mama. Ah, wanita ini memang sungguh pintar. Jadi, dia hanya memancing kami? Seandainya bisa memutar waktu, aku kan berekspresi sewajar mungkin.

“Ah, melelahkan!” gumamku melempar diri di kasur. Padahal seharian hanya tidur di kantor papa, tapi badanku penat. Mungkin posisi tidurku yang gak berubah. Meringkuk di sofa.

Tadinya kupikir mama akan marah besar.

Namanya juga orang tua, wajarlah bersikap seperti itu. Ujung-ujungnya juga dimaafi, tentunya dibantu papa juga. Dan ... karena penjelasan dari beliau, aku bisa libur MOS. Hahaha, lagian sudah dapat izin juga dari kepala sekolah.

Terpopuler

Comments

linanda anggen

linanda anggen

boom like + fav + bintang 5 done😁👍

2020-04-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!