Episode 13

Bagi yang merasa HP-nya disita saat MOS. Harap menuju ruang OSIS untuk mengurus pengambilan.

Aku ikut berdesakkan bersama anak lainnya untuk melihat pengumuman di papan pengumuman. Sesak. Terlalu ramai. Para cewek saling dorong. Tubuhku ombang-ambing seperti berada di atas kapal. Sedikit bersyukur juga dulu punya tubuh besar karena tahan banting. Dipukul pun tidak terlalu sakit hanya bunyinya saja yang terdengar seperti gendang.

Aisshh, kata ‘gendang’ mengingatkanku

akan Fandy. Dia selalu memukulku bak gendang.

***

Bagi yang merasa punya HP. Harap menuju ruang OSIS. Kalau tidak! HP-nya akan dibuang!!!

Ini hari kedua tulisan itu terpampang di papan pengumuman. Tapi, ada yang berbeda.

Dibuang. Dengan penegasan tanda seru tiga buah. Oh, berarti dia sungguh-sungguh ingin melakukannya. Terserah! Dari awal, aku juga sudah berniat untuk mengikhlaskannya. Meski hari ini aku belum bisa melobi papa untuk membelikan HP yang baru.

Jalan satu-satunya hanya menabung. Ah, uang jajanku bakalan gak tersisa kalau seperti ini. Komik yang diidam-idamkan

belum sepenuhnya terkumpul.

“Untung HP-nya terkunci berlapis dan wallpaper-nya make gambar Sanji, jadi mereka tidak bisa membuka sembarangan,” gumamku setelah keluar dari kerumunan.

Luffy-kun, maaf. Aku mengubah Wallpaper-nya dengan Sanji. Aku sempat jatuh hati dengan penampilan baru Sanji, dia terlihat lebih keren setelah dua tahun meski tetap omes (otak mesum). Sanji kerennya saat diam atau disaat lagi serius, itulah yang membuat unik dari tokoh anime tersebut, dia takkan pernah melukai wanita meski ditendang ataupun dipukul berkali-kali. Tenang saja, kau akan tetap menjadi cinta sejatiku, oh, Luffy-kun. Bisikku dalam hati sembari manggut-manggut sendiri. Mungkin ini terdengar gila kalau aku berbicara sendiri apalagi mengenai tokoh anime favoritku.

Balik ke masalah HP-ku.

“Sial! Semua kenanganku berada di sana.” Aku tersadar. “Foto di kebun teh bersama kakek-nenek. Foto kakek saat latihan silat dan juga ada foto-fotoku bersama Meka, Paman ... Bibi. Oh tidak!”

Bagaimana ini? Mana mungkin aku bisa

merelakan kenangan-kenangan saat berada di kampung dulu?

Sedari tadi aku tak berhenti mondar-mandir di depan kelas. Berhenti—melangkah sedikit menuju pembatas balkon—melipat tangan di atasnya lalu menempelkan dagu. Mataku beralih menatap ke bawah sambil memikirkan tindakan apa yang harus kulakukan tanpa mengambil risiko.

Kalau sampai ketahuan nggak ikut MOS. Aku bisa disidang, mungkin.

***

Pengumuman hari ketiga.

Bagi yang merasa punya HP dan dasi, harap menuju ruang OSIS! Atau Anda akan mengulang MOS tahun depan!!!

Nb:

Saat pembagian seragam, dasi kalian disita dan dapat diambil setelah MOS selesai!

“Kampret!” gerutuku sambil ke luar dari kerumunan. “Akhh, bener-bener sial-lah.” Punya dendam apa, sih, itu orang sampai segitunya gigih. Rega, apa yang kau rencanakan?

“Dor-Dor, bagaimana ini?” kata Ela melongokkan kepala di antara kerumunan. Kepalnya diapit di antara bahu cewek.

Buset, dah. Sejak kapan dia di sana? Apa

Ela mengikutiku?

“Dor-Dor! To-tolong tarik, E-LA!” pintanya memberikan tangan kanan yang barusan dia keluarkan dari kerumunan.

Aku menghela napas—meraih tangan Ela dan

menariknya sekuat tenaga. Ah, bikin susah saja nih, anak!

“Haaah ... makasih, Dor-Dor.” Ela membungkuk, menumpu badannya pada lutut. Napasnya terengah.

“Apa kamu mengikutiku?”

“Hump.” Angguknya. “Habisnya Ela penasaran. Sudah dua kali Dor-Dor ke sini. Ela pikir ada pengumuman apa? Wow! Ternyata ada yang menarik. Pantesen waktu itu Ela panik. Ela pikir si Shiro yang ambil dasi Ela, eh ternyata ....”

“Shiro?”

“Iya. Kucing Ela. Dia nakal! Liat nih, tangan Ela merah-merah gini ... digigit dan dicakar Shiro,” jelas gadis itu sembari memperlihatkan tangannya.

Aku terdiam. Tentu saja dasi Ela juga disita, dia kan tidak mengikuti MOS. Apa ada anak lain yang tidak mengikuti MOS? Tersadar. Aku menarik Ela jauh-jauh dari anak-anak. Takut pembicaraan ini didengar orang lain.

“Eh, apa yang kamu lakukan?” sontakku

memegang tangan gadis itu yang hendak mengeluarkan dasiku dari rompi.

“Ela pengen buktiin ucapan seseorang.”

Dahiku mengernyit. Apa yang ingin dibuktikannya?

“Wah, ternyata bohong. Tadi anak-anak

bilang dasinya juga memiliki NIS (Nomor Induk Siswa) di belakangnya, kek di rompi ini.” Tunjuk Ela ke dada sebelah kanan.“Punya Dor-Dor saja nggak ada!” sambung Ela menaikkan intonasi.

Bodoh! Tentu saja tidak ada. Aku kan nggak

ikut MOS.

Mataku melebar. Pakai NIS? Oh, sial! Ternyata sekolah ini begitu mengerikan.

“Ke mana?” tanyaku saat Ela menarik tanganku.

“Mengambil dasi,” jawabnya santai seakan tidak ada beban sedikit pun.

Otakku masih nge-blank. Tanpa disadari, aku mengikuti perkataan gadis itu menuju ruang OSIS yang terletak di samping perpustakaan.

RUANG OSIS

Kepalaku mendongak bersamaan helaan

napas panjang ketika membaca tulisan terpampang di kunsen pintu. Jantungku tak

bisa diajak kompromi untuk diam. Sentruman-sentruman kecil menggelitik jantung.

Kenapa aku jadi tegang begini?  Dorin tenang ... tenanglah. Bersikap biasa

mungkin. Sebisa mungkin aku mensugestikan diri.

“Ayuk, Dor-Dor!” Tarik Ela saatku hendak

berhenti di depan pintu masuk. Kaki gadis itu sudah selangkah masuk ke dalam. Tidak ada pilihan. Kakiku mengikuti langkahnya dari belakang dengan kepala tertunduk.

“Permisi ..., Kak,” ucap Ela terdengar sopan.

Aku mengangkat sedikit kepala. Mengintip

di balik kepala Ela. Di meja panjang—senior itu duduk saling berhadapan, jumlahnya ada sekitar enam orang. Mungkin mereka sedang rapat. Sepertinya kedatangan kami kurang tepat, deh.

“Permisi ...,” ucap Ela lagi.

“HAH?” Jantungku berdegup. Aku kembali

menunduk dan menyembunyikan wajah di belakang kepala Ela ketika para senior itu

serempak menoleh ke arah kami. Rega! Cowok itu juga ada di sana. Dia, kan, wakil ketua OSIS tentu saja ada. Ah, bodohnya aku.

“El, balik, yuk!”

“Dor-Dor! Jangan pangil El. Tapi E-L-A. Ela!” protes gadis itu seraya menghadap ke arahku.

“Hah ... iya-iya, sorry,” desahku.

“Hei, kalian. Ini bukan pasar!” celetuk seorang cowok.

Refleks aku membalikkan tubuh Ela—menghadapkan ke arah depan. Suara itu ... aku kembali mengintip, seketika mataku membola melihat cowok yang kukenal. Dia bermata sipit ala Jepang, berkulit putih, hidungnya pun juga mancung.

Shi-Shiro?

“Maaf Kak, nganggu. Ela ke sini cuma mau ngambil dasi ...,” ujar Ela to the point.

Aku melongo. Nih, bocah enggak baca situasi apa? Mereka semua terlihat memelototi kita, ELA! Ah, kakiku sudah gemetaran. Rasanya tak sanggup menopang tubuh ini. Bagaimana jika mereka mengenaliku?

“Oh, jadi kalian berdua yang punya ntu dasi?” tanya seorang cewek yang duduk di samping Shiro. Menatap kami angkuh. Cewek itu? Bentar. Aku berpikir lama, mengingat-ingat. Gayanya yang sok membuatku muak. Oh ya! Bukankah cewek itu yang memarahiku saat hari pertama MOS?

“Bukan, Kak. Hanya Ela. Dor-Dor cuma nemenin Ela doang,” jawab Ela polos sudah berdiri di tempat mereka. Tentunya aku mengikuti Ela dari belakang. Kemudian, Ela beranjak—berdiri di samping kiriku.

Kampret. Si Ela malah beranjak lagi.

“Benarkah?”

Pasti itu suara Rega. Aku mengangkat wajah sedikit. Tangan kanannya menggenggam kedua dasi. Lalu, membalikkan dasi merah itu. Sorot matanya seperti elang, tenang, tapi tajam menatap ke rompi kami. Mampus! Selesai sudah.

“I-Itu dasi saya ..., Kak!” ucapku

gugup. Terpaksa. Tidak ada pilihan lain selain jujur. Bukankah tujuanku ke sini juga mengambil handphone?

“Wah, berarti Dor-Dor gak ikut MOS juga?” sorak Ela kegirangan. Mungkin dia senang punya teman senasib seperjuangan. Ah, dasar!

Oh, Tuhan. Kenapa diriku memiliki teman sebangku seperti dia? Aku menepuk jidat, pelan.

“Maaf, guys. Kami telat.”

Tiba-tiba bulu kudukku bergidik ngeri mendengar suara yang bersumber dari pintu masuk. Aku membalikkan badan ...

“VINO ...?” bisikku. Mataku beralih ke sampingnya. Fandy? Mataku berkedip tak percaya. Kenapa Tuhan masih mempertemukanku dengan trio serigala itu?

Kedua laki-laki itu berjalan di samping—melewatiku. Hanya menatap sekilas ke arah kami, lalu mengambil posisi duduk di samping si cewek centil. Jidatku mengerut, sepertinya mereka tidak mengenaliku.

Tak terasa lima belas menit telah berlalu. Senior itu benar-benar menginterogasi kami berdua. Syukurlah kami punya kartu As. Surat sakit, jadi mereka tidak bisa menghukum kami seenak jidatnya. Dan, kami pun tidak harus mengikuti MOS ulang. Terima kasih Tuhan.

Ela mengambil kedua dasi itu dari tangan Rega, memberikan yang satunya padaku. “Dor, nih, punya kamu,” kata Ela mencocokkan NIS yang ada di rompi sekolahku. Aku pun mengambil dasi itu dari tangan Ela tanpa mengucapkan terima kasih. “Dor-Dor, hayuk!”

Aku masih mematung di tempat ketika Ela

mengajakku kembali ke kelas. Milikku masih di sana. Tergeletak di meja. Kenanganku.

Ough!

Aku melirik ke Vino yang serius membaca buku di depannya. Berbeda, dia berubah. Lebih banyak diam dan tak mengubris hal yang sia-sia. Dia terlihat serius atau mungkin bisa dibilang cool, sedangkan Fandy sibuk berbicara pada perempuan yang duduk di sampingnya. Ya, cewek yang menyebalkan itu.

Tersadar ...

Kampret!

Bukan kenangan bersama mereka yang kumaksud. Tapi HP-ku! Ah, kenapa malah bertemu mereka berempat di sini?

“K-Kak ... HP itu, bolehkah saya ambil?” gugup—ragu-ragu ingin mengatakannya.

“Jadi, HP ini milik lo?” tanya Rega.

Aku mengangguk.

“MISS BALL?”

Suara itu mengagetkanku. Kenapa? Apa mereka mengacak HP-ku? Sial! Pasti mereka membuka kartu memorinya. Ah, kampretlah!Yang punya ide seperti itu hanyalah ... Fandi!

Aku menoleh ke sumber suara. Mataku membulat. Trio serigala yang tadinya sibuk dengan dirinya masing-masing, sekarang serempak mengangkat wajah, memperhatikanku lamat-lamat. Dari ekspresinya, mereka seakan tak percaya kalau ini aku.

“Beneran itu lu, Dor?” tanya Fandy sekali lagi. Dia pernah membuka kartu memoriku dan memindahkan ke HP-nya. Katanya, ia

ingin nonton anime yang aku download. Menyebalkannya, dia membawa kartu memoriku pulang saat itu. “Pantasan saja gue

kagak pernah liat Miss Ball di sekolah,” sambung Fandy.

Aku menggigit bibir. Menahan amarah. Aku

sudah lama membuang nama suci itu! Mendengarnya saja seakan membangkitkan

trauma lama. Aku tidak menoleh ke arah Rega, entah apa reaksinya. Orang yang

memberikan nama suci untukku. Atau dia sudah melupakannya?

Terpopuler

Comments

wywy

wywy

di tunggu up nya lagi 😍😍

2019-10-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!