Episode 12

Deg-deg-an!

Aku menghela napas. Ini adalah hari pertama mulai sekolah sehabis MOS. Bakalan linglung sendiri mencari kelas baru. Saat penutupan MOS aku juga tidak hadir, menurut informasi yang kudengar, pengumuman kelas keluar hari itu juga. Oleh sebab itu, pagi sekali aku telah menginjakkan kaki di sekolah ini.

Belum banyak yang datang.

“Mana namaku?” gumamku menggeser ke kiri. Jidatku mengernyit karena belum menemukan nama Dorin Tanea di papan pengumuman. Aku menoleh ke samping kanan. Terdengar juga desahan yang sama denganku. Desahan kecewa. Aku tersenyum hambar melihat cewek yang sedikit pendek dariku. Mungkin dia juga belum menemukan lokalnya.

Mataku kembali menatap ke atas. Tidak

putus asa. Ini baru empat lokal aku cek. Masih ada empat kelas lagi.

“Ketemu!” seruku.

“Namaku?” Aku kembali menoleh samping kanan. Menatap bingung.

“Hah?”

“Itu! Namaku juga ada! Horai!” teriaknya sembari melompat kecil.

Aku kembali tersenyum hambar. Gadis

bertampang imut ini juga melemparkan senyum ke arahku. Lalu, dia memainkan rambutnya yang panjang hitam bergelombang dan berkata, “Kita satu kelas.”

Setelah menengetahui berada di kelas X-5, kali ini aku dibingungkan di mana tempat tersebut, secara gedung sekolah ini besar dan bertingkat tiga. Aku belum pernah berkeliling. Kau ingat, kan? Saat pertama kali menginjakkan kaki di mari, aku langsung cabut dari sini.

Aku menghela napas sembari menengok ke

belakang. Percuma bertanya sama orang yang membuntutiku sedari tadi. Sepertinya

dia tidak tahu menahu tentang lokasi sekolah ini. Ah, parah! Sebaiknya aku mencari letak denah sekolah ini, pasti ada.

“Kita ke mana?” tanya gadis yang kini telah berada di sampingku.

Kepalaku mendongak membaca tulisan yang

terpampang di pintu masuk. Kelas XI-IPA. Aku mendengus. Jangan-jangan kelas sepuluh berada di lantai dua atau tiga lagi.

Lagi-lagi dia mengikuti dari belakang, seperti penguntit. Aku berjalan melewati koridor kelas sebelas IPA, menuju tangga lantai dua, samping perpustakaan. Perpustakaan itu terletak di tengah gedung, sedangkan ruang guru di seberangnya. Lumayan besar. Entah berapa guru mengajar di sekolah swasta ini.

“Apa kelas kita ada di atas?” tanya gadis berambut gelombang.

“Mungkin,” balasku tanpa menoleh ke belakang. Kakiku terus menaiki anak tangga dengan santai. Tiba-tiba teringat

diriku yang dulu. Waktu ke toko buku saja, susahnya minta ampun naik ke atas. Rasanya berton-ton barang betengger di pundak.

“Yei! Ini kelas kita!” sorak gadis itu melihat

papan yang menempel di atas pintu. Dia memasuki kelas duluan. Hah, tadi saja

tingkahnya terlihat canggung gitu dan sekarang? Dia malah tampak santai dan girang. Gantian, kini aku mengikuti langkah kakinya memasuki kelas.

“Sini!” serunya sembari melambaikan tangan. Dia memilih duduk di depan. Depan meja guru.

Aku menggeleng—melangkah ke

belakang—menuju meja nomor empat--deretan tengah. Posisi di sini lebih asyik. Bisa melihat dan mendengar orang-orang yang menggosipimu. Mungkin sudah terbiasa duduk di belakang waktu SMP dulu. Habisnya anak-anak pada protes karena tubuhku yang besar menutupi papan tulis.

“Boleh gabung?” tanya gadis itu sembari tersenyum lebar.

Aku mengangguk.

“Namaku Pelangi. Tapi mamaku manggil

Dedek, jadi nama Dedek udah melekat pada diriku. Begitu juga indra pendengaranku. Sejauh apa pun mama memanggil, pasti aku bisa mendengarnya. Terkadang teman-teman di sekolah dulu manggil Ela. Ta—”

“Jadi?” Aku mengerutkan jidat. Memotong

pembicaraannya yang terlalu lebar. Hello, ini sebuah nama dan panggilan. Bukan pembahasan sejarah Indonesia.

“Panggil saja Ela.” Lalu gadis itu

melebarkan kedua sudut bibirnya ke samping. Aku rasa harinya penuh dengan keceriaan. Seperti pelangi yang memiliki banyak warna.

“Dorin Tanea, panggil saj—”

“Baiklah, aku kan memanggilmu Dor-Dor,”

ucapnya menempelkan tangan di pundakku. “Bukankah itu terdengar imut?” Ela mengedipkan kedua mata.

Aku membuang napas pelan. Imut dari

mana coba? Memangnya main perang-perangan dor dor segala. Ah sial, seharusnya aku senang sudah dapat teman sebangku. Bukankah sulit mendapatkan teman di hari pertama sekolah? Ah, tidak penting! Otakku menegaskan. Percuma kalau mereka semua memanfaatku. Lebih baik tidak punya teman sama sekali.

“Aku senang sekali kenalan sama kamu. Tadinya aku takut nggak bisa nemuin, nih, kelas. Habisnya ini pertama kalinya aku masuk sekolah,” jelas Ela sembari nyengir lebar, memperlihatkan gigi putih kecilnya

yang rapi.

Sedikit lega, ternyata bukan diriku saja

yang tidak mengikuti MOS. Baguslah, jadinya ada teman. Setidaknya kami sepemikiran untuk datang ke sekolah pagi-pagi sekali.

“Jadi kamu gak ikut MOS?”

Ela menggeleng.

“Sakitkah?”

Dia mengangguk cepat.

Eh, buset dah. Ternyata ada orang lain

yang meng-copas ideku.

Tak lama kemudian satu per satu orang-orang sudah memasuki kelas.

***

“Dor Dor ke kantin, yuk!” sorak Ela.

Aiiish, nih, anak. Duduk kami cuma bersebelahan, teman sebangku lagi. Pake acara teriak segala. Kayak anak kecil

tahu, nggak?

“Tidak. Aku bawa bekal,” ucapku sambil merebahkan kepala di atas meja. Kemarin malam sempat begadang memikirkan nasibku di sekolah ini. Tapi syukurlah hari ini berjalan dengan lancar, meski diam di tempat duduk.

Aku melihat anak-anak lain yang sudah

akrab satu sama lain. Tidak beberapa lama, meski tersirat, mereka sudah memiliki kelompok tersendiri. Tidak di mana-mana semuanya sama. Perbedaan di kelas itu pasti ada. Aku menoleh ke sisi sebaliknya dengan pipi masih menempel di meja. Di sudut dekat dinding tampak seorang gadis berkacamata.

Rambut panjang berkepang dua. Dahiku mengerut, apa aku pernah melihat dia

sebelumnya?

“Dor Dor, ayuklah!” Ela telah berdiri di

depanku. Nih, anak satu gigih banget.

“Aku gak ada uang!” Jujur. Uangku habis

untuk beli komik kemarin. Untuk jajan di sini mungkin gak cukup. Beda sama di kampung dulu. Sekolahnya saja sudah begini, secara otomatis jajanan kantin tarifnya level tinggi pula.

“Biar aku yang traktir!” Ela menarik

tanganku kuat. Tapi diriku sedikit pun tak bergerak.

“Aku cuma temenin doang.”

Ela mengangguk setuju. Lagian aku bukan

tipe memanfaatkan orang lain. Ela menarik tanganku hingga menuju tangga. Dia

seperti anak kecil yang kegirangan apabila diajak ke taman bermain.

Dug!

Langkahku terhenti, mendongak ke arah

tangga yang menuju lantai tiga. Dia? Aku membalikkan badan. Seorang kukenal

turun dari sana. Orang yang merampas milikku. Benda kesayanganku. “Bagaimana

ini?”

“Do Dor, ayuk!” Ela menyeretku turun ke bawah.

Aku tahu kelas dua belas di lantai tiga. Tapi, gak berharap juga bertemu dia di sini. Jangan sampai Rega melihatku.

“Dor Dor, tunggu Ela!”

Sedikit kesal. Ela terlalu kencang

memanggil namaku. Kalau sampai Rega tahu keberadaanku gimana? Dan memanggilku Mis Ball gimana? Aku gak mau mengingat masa lalu. Bisa dibilang aku sedikit trauma mengenangnya.

Jangan remehkan kata trauma. Karena kau akan mengerti yang kurasakan setelah kau

berhadapan langsung dengan sesuatu yang tidak ingin kau ingat.

Aku memejamkan mata sebentar. Berpikir. Itu

tidak mungkin, lagian, dia memanggilku Miss

Ball waktu MOS SMP. Setelahnya, para trio serigala melestarikan nama suci itu. Aku tersenyum kecut membayangkan. Itu sudah lama sekali. Lagi pula, dia tidak bakalan mengingat wajahku. Dorin, tenanglah!

Segitu penakutkah diriku? Apakah selamanya aku akan dibayang-bayangi rasa takut ini?

Aku menghentikan langkah tepat di depan

anak tangga bawah, tanpa menoleh ke belakang. Aku menggenggam erat ujung rompi cokelat, dan berusaha menguatkan diri. Jangan takut, Dorin! Kau bukan Dorin yang dulu lagi. Kamu sudah berubah. “Ya, aku sudah berubah ...,” bisikku pada diri

sendiri.

“Dor ... Dor, jangan cepet-cepet!”

protes Ela kewalahan menyeimbangi langkahku. Gadis itu merangkul lenganku dan

kembali membawaku berjalan bersamanya.

Kantinnya lumayan jauh. Membutuhkan

waktu lebih kurang tujuh menit. Kalau di kampung dulu mah, cuma di balik

jendela. Tinggal pesan langsung makan deh dalam kelas. Ya, saat itu aku beruntung banget mendapatkan kelas itu. Tidak susah-susah keluar untuk jajan. Tapi masalahnya konsentrasi belajar kami terganggu, bau makanannya menusuk hidung.

“Dor-Dor, duduk sini, aku mau pesen dulu.”

Tanpa disuruh pun. Bokongku sudah

menempel di kursi sejak tadi. Seberapa pun bagus tempat ini. Kantin tetaplah kantin sekolah yang harus memesan sendiri dan mengantre. Di meja panjang berjejer berbagai kue; dari kue kering, lembab, dan basah. Pada daftar menu ada; nasi goreng, bakso, lontong sayur, dan masih banyak lagi. Namun, harganya tetap selangit.

Mataku tak lepas memperhatikan buku

menu. Karena kere, aku jadi berpikiran kere. Ingin protes. Di sekolah ini tidak semuanya anak orang kaya. Meski swasta, di sekolah ini juga menerima orang yang kurang mampu. Syaratnya mudah, kau hanya perlu pintar dan dapat nilai tinggi. Itu akan menaikkan rating sekolah nantinya.

“Ini ....” Ela meletakkan jus jeruk di depanku.

“Aku tidak pesan.”

“Aku yang traktir,” balas Ela.

“Terima kasih.”

Ela mulai menyendok nasi gorengnya.

“Tidak.” Aku menggeleng ketika Ela ingin menyuapiku. Aku mengangkat gelas, mendekatkan pipet ke bibir.

“Hahaha, lo bisa aja, Bro!” Bahuku

bergidik ngeri medengar suara itu. Aku menoleh ke belakang sambil menyedot minuman. Sekelompok pemuda pada asyik bercanda.

“UHUK!!” Mataku melebar. Lalu membalikkan badan cepat.

“Dor-Dor, apa kamu baik-baik saja?” tanya Ela mendekatkan wajah.

Tidak. Kondisiku sangat buruk, Ela! Rasanya sekarang ini aku sedang  memasuki rumah hantu. Berasa ngeri dan badanku seketika berkeringat dingin. Mati aku!

“I-Iya, aku baik-baik saja,” bisikku sembari mengambil buku yang sudah ada di meja ini--menyembunyikan wajah.

Oh, Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Seharusnya aku mendengarkan intuisiku memilih ke SMK, bukan ke SMA. Ouggh! Apa

ini namanya deja vu? Kenapa harus ketemu mereka? Bukankah di kota ini begitu banyak SMA negeri maupun swasta yang bagus-bagus? Tapi, kenapa mereka malah nyasar ke sini atau aku-nya yang nyasar?

Apa inikah yang dinamakan ‘takdir’? Kata

yang tak bisa terbantahkan atau terelakan.

“Cepat habiskan makananmu, El. Setelah

itu kita pergi!” bisikku penuh tekanan. “Kalau tidak ... aku akan meninggalkanmu!”

“Ela, bukan El. Itu terdengar seperti nama cowok!” protes Ela di sela kunyahannya. Pipinya kembung terisi penuh nasi goreng karena aku mengancam akan meninggalkannya.

“Terserah,” gumamku sambil meletakkan

buku itu di atas meja. Aku saja tidak protes dengan nama pemberiannya. Lah, dia?

Untuk kesekian kalinya aku menghela napas. Semenjak dikhianati sahabat sendiri, aku masih menutupi diri atas nama persahabatan. Aku tidak bisa bersikap bersahat dengan orang yang baru kukenal.

Kata pantas untukku saat ini adalah bersikap dingin dan cuek.  Entah mengapa, aku jadi kangen Meka. Hanya dia yang bisa membuatku menjadi diri sendiri.

“Dor-Dor, aku sudah selesai. Habis tak

bersisa!” sorak Ela mengangkat piringnya.

Diam, bodoh! Aku membungkam mulut gadis

itu dengan telapak tangan. Kalau berteriak seperti ini, aku akan ketahuan. Hah, parah nih, anak. Kalau dia adikku, sudah aku jitak kepalanya.

***

Sesampainya di ruang tengah, aku

membanting tas ke sofa hijau muda berukuran besar, kemudian disusul tubuhku.

Karena Pak Nono mengantar papa keluar kota, jadi hari ini aku terpaksa pulang dengan bus. Juga, aku sudah tahu jalan. Tidak seperti dulu yang selalu menggunakan taksi.

Semenjak kecelakaan, mobil satunya tidak

bisa diperbaiki. Rusak parah. Tinggal mobil sedan hitam yang sering dipakai untuk mengantar-jemput diriku atau mama. Dan ditambah lagi, papa nggak bisa menyopir jauh. Penglihatannya sedikit terganggu kalau sudah malam karena kecelakaan itu.

“Ini minumannya, Non,” ucap Mbok Nini

meletakkan teh hijau di atas meja kaca.

“Makasih, Mbok.” Padahal aku bisa mengambil sendiri. Gak perlu repot-repot segala, tapi si mbok pasti bilang gini, ‘dah jadi kebiasaan, Non’. Mbok pun juga tidak mau memanggilku dengan sebutan Dorin, lagi-lagi alasannya sudah menjadi kebiasaan.

Dulu sepulang sekolah, Mbok Nini selalu menyiapkan minum dan cemilan di depanku. Sekarang, aku membatasinya. Tanpa cemilan. Teh hijau sudah cukup. Takut gendut. Takut dibilang Miss Ball lagi sama Rega dan anak

lainnya.  Dan soal mereka, tadi aku melihat si ganteng Shiro dan Fandy di kantin. Sepertinya mereka tidak bisa dipisahkan bak sepasang kekasih. Benar-benar setia. Aku juga ingin memiliki sahabat seperti itu. Selalu ada setiap saat. Eh, tapi ... si Vino gak kelihatan.

Apa dia mengambil jalan yang berbeda dari dua sahabatnya itu? Kalau begitu baguslah!

Tapi dia ke mana, ya? Semenjak satu

bulan kelulusan sekolah, rumah di sebelahku tampak seperti kuburan. Tidak ada

tanda-tanda kehidupan. Ogah juga tanya sama mama, nanti dibilang kangen lagi.

Gak banget, kan? Lagi pula aku tidak tertarik mengetahui tentangnya.

Oh ya, soal Fandy. Apa dia masih

berhubungan dengan Rissa? Sudah lama sekali aku tidak menyebut nama itu apalagi

mengingatnya. Dia membuatku sakit. Di sini ... hatiku rasanya perih ketika mengingat apa yang dilakukan pada diriku. Iblis berpenampilan bidadari. Apa aku

jahat memberinya gelar demikian?

Terpopuler

Comments

wywy

wywy

1 part aja thorr..😪😪kurang

2019-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!