Episode 14

Tak nafsu, sedikit pun aku tak menyentuh makananku. Masih teronggok di atas meja. Kalau masakan mama mungkin sudah habis kusantap pada suasana hati apa pun. Karena masakan mama adalah penolak stres selain cokelat. Tangan mama masih dibalut, jadi si mbok yang memasak untuk saat ini.

“Rin, makanannya gak dihabisin?” tanya mama saat aku hendak beranjak ke kamar.

Aku menggeleng. “Udah kenyang, Ma.”

Padahal di sekolah tadi bekal pun tak habis. Karena malas berurusan dengan mereka (perkumpulan orang yang menyebalkan), aku pun tak berhasil mengambil HP-ku dan memilih kabur seperti biasanya. Hmm, sampai kapan aku akan lari? Entahlah.

Aku membaringkan tubuh dengan malas di kasur. Masih syok keberadaan trio serigala, terlebihnya si Vino. Sejak kapan dia

pulang? Kemarin saja masih kayak kuburan itu rumah. Ah, kenapa dia nggak menetap

saja di kampung halaman dan nggak usah balik ke sini. Bikin muak. Tapi jujur ... Vino tambah ganteng saja, meski dulu diriku tak pernah mengakui wajahnya yang memuakkan

itu. Tidak! Aku tidak tertarik dengannya.

“Bodoh! Apa yang kupikirkan?” Aku membanting guling ke lantai. “Oh, sayang, maaf,” lirihku turun dan mengusap bantal guling bergambar Luffy. Maaf, aku tidak bermaksud melukaimu. Lalu memeluknya erat. Menciumnya beberapa kali. Kalian jangan protes, aku tidak gila!

“Jendelanya masih terbuka,” gumamku

sembari memeluk guling—berdiri di depan jendela. Padahal ini sudah jam tujuh malam, apa dia belum pulang? Tentunya membosankan apalagi seorang diri berada di rumah. Kata mama, Tante Mona masih berada di kampung halamannya, belum bisa pulang ke sini bersama Vino. Maka dari itu Tante Mona meminta mama untuk mengawasi anaknya.

Aku mendengus—menopang dagu di guling—berpikir sejenak, secara otomatis, trio serigala adalah seniorku saat ini. Ah, beruntungnya diriku tidak mengikuti MOS saat itu. Jadi, mereka tidak perlu tahu identitasku di awal. Bagaimana tidak? Di sekolah saja, aku sudah

susah payah menghindari si Rega, saat menuruni tangga, di kantin, dan di mana

pun aku selalu was-was. Selalu mendahulukan langkahnya dariku. Mengumpet di semak. Memanjat di atas pohon. Semua itu dilakukan untuk tidak melihat wajahnya! Entah orang berkata, aku tidak peduli.

Lah ini ... ditambah lagi dengan trio serigala?

Terlanjur sudah, kayu sudah menjadi abu. Keberadaanku sudah terlihat. Jadi tidak perlu

bersembunyi. Tapi belum tentu bisa menghadapi ....

...***...

“Rin!” Suara mama terdengar dari bawah. Dengan malasnya aku bangkit ke luar kamar, menuruni anak tangga dengan setengah mengantuk. Hampir saja aku berada di dunia mimpi sebelum nama meneriaki namaku.

“Ada apa, Ma?” tanyaku sembari mengusap mata, sudah berada di ruangan tengah.

“Hai ...,” sapa seseorang membuat

mataku terbuka penuh.

 Vino?!

Ngapain dia ke sini? Dan juga ... biasanya tuh orang langsung memanggilku kinkong. Oh, mungkin di sini karena ada mama, makanya rada sedikit segan gitu kali, ya.

Sedikit penasaran dengan kedatangannya ke mari, aku pun bertanya, “Ada apa ke sini?” tanyaku ketus.

 Vino megeluarkan sesuatu dari kantung

celananya. “Gue cuma mau ngembaliin ini.”

“Oooh, terima kasih!” jawabku mengambil HP itu dengan kasar dari tangan Vino. Sebenarnya aku tidak ingin bersikap seperti ini pada Vino, masa lalu dan dendam sudah kubuang jauh-jauh, namun entah mengapa ada rasa yang membuatku ingin memperlakukannya dengan kasar.

Vino tak berkata setelah itu. Tatapannya yang kurasa tidak sejahil dulu membuatku merasa bersalah atas tindakaku barusan. Dia benar-benar berubah. Ah ya, aku ingat, dia bersikap kekanakan hanya padaku. Saat bersama teman lain atau dengan gadis lainnya Vino bersikap berbeda. Bersahabat dan hangat.

Buruk! Seharian ini aku selalu membicarakan Vino. Otak dan hatiku ... kumohon, berhentilah memikirkannya.

 “Vin, udah makan?”

Iiih, si Mama malah nawarin lagi. Biarin

aja itu orang jadi gembel. Mati kelaparan karena nggak ada mamanya di rumah.

“Sudah, Tan,” jawab Vino, “maaf, Tan. Aku balik dulu. Mau ngerjain tugas.”

Tugas? Tumben rajin. Biasanya dulu juga

sering kena hukum bikin tugas di luar kelas. Apakah seseorang bisa berubah begitu drastis? Aku mengangguk dalam diam, ya, tentu saja. Contohnya saja berat badanku ini.

Punggung Vino sudah menghilang di

balik pintu setelah berpamitan dengan Mama.

“Rin, kangen Vino, ya?” Suara Mama menyadarkanku dari lamunan.

“Ng-nggak!”

“Lalu, kenapa liatin Vino segitunya.

Orangnya palingan sudah nyampe di rumah.”

“Iiih, Mama apaan sih!” gerutuku lalu

kembali ke kamar. Suara gelak tawa Mama masih terdengar di belakang, aku tidak mau menanggapinya.

...***...

Sudah rapi.

 Aku tidak membutuhkan jam beker lagi

untuk bangun pagi. Sudah terbiasa bangun subuh saat masih di kampung dulu. Di

sana jam bekerku ada, yaitu si Meka. Cowok usil yang kelakuannya super ngeselin. Dia

selalu mengejekku dengan sebutan Gentong, pemalas, manja, dan masih banyak lagi. Saat ke rumah nenek, Meka membangunkanku secara tidak manusiawi, menyeret kakiku hingga menjuntai ke lantai. Aku heran, tenaga apa yang dia pakai saatnmenarik tubuhku yang begitu beratnya.

Ternyata sikap orang nyebelin itu selalu

ngangenin. Kecuali untuk mereka, ya, si trio serigala. Jangankan kangen, aku muak melihat mereka. Ah, aku harap tidak melihat mereka hari ini dan hari seterusnya.

“Benda bikin masalah,” gumamku sembari

memasang dasi. Ya, sudah rapi. Waktunya bersiap-siap sarapan, mama dan papa mungkin sudah menunggu di bawah.

Aku megambil posisi. Di meja makan

sudah tersedia nasi goreng cumi. Bau dan bentuknya sangat menggoda. Hampir mirip

dengan masakan nama, ternyata masakan bibi sudah berkembang dari tahun lalu.

“Makan yang banyak,” ujar Mama menyendokkan nasi untukku. Lima sendok nasi. Gila! Itu sih memang makanku dulu,

habis itu nambah tiga sendok nasi lagi.

“Ma, kebanyakan,” kataku.

“Biar tenaganya kuat saat belajar.”

Aku paham apa yang dikatakan mama dan

teringat cerita waktu itu, bahwasanya mama tidak ingin melihatku sakit lagi. Akhir-akhir ini nama selalu protes akan badanku yang kurus. Tapi, aku suka dengan tubuh yang sekarang. Ringan. Mudah berlari, manjat, ataupun melakukan tendangan.

Menyisakan setengah piring. Aku tak sanggup. Apa lambungku sudah mengecil?

“Habisin, Rin!”

“Sudah kenyang, Ma,” kataku sambil

mengambil minuman dan meneguknya hingga habis. “Papa mana?”

“Belum bangun. Eh, jangan!” Tahan Mama

saatku hendak berdiri. “Kemarin Papa lembur, jadi biarkan hari ini dia beristirahat.”

Baiklah. Itu artinya aku berangkat sama

Pak Nono tanpa Papa. “Kalau begitu aku berangkat dulu, Ma.”

Sesampainya di sekolah, aku menuju kelas

dengan dada berdebar. Takut bertemu trio serigala. Sebenarnya aku belum siap meski sudah mempersiapkan diri dari semalam. Hah, gara-gara mereka aku tidak bisa tidur nyenyak.

“Dor-Dor, tunggu Ela.”

Aku tidak menghentikan langkah hanya

sekadar menunggu gadis itu. Apalagi balik menyapa. Apa aku salah bersikapnseperti ini? Dia hanya orang baru yang mencoba mengakrabkan diri denganku. Sikapnya itu, mengingatkanku pada Karissa, mantan sahabatku. Dulu dia juga seperti Ela, datang tiba-tiba padaku yang mungkin merasa kasihan melihat diriku tiada teman. Duduk seorang diri di pojok kelas ketika istirahat berlangung. Karissa menyapaku dan menawarkan diri untuk menjadi sahabatnya. Karena terharu, aku menyetujuinya.

Di dunia ini, masih adakah persahabatan yang tulus? Tidak memandang dari fisik dan

status seseorang?

Aku melirik ke samping, Ela berusaha

menyeibangi langkah kakiku. Kurasa, dia cukup berusaha keras agar dekat

denganku. Apa dia benar-benar tulus berteman denganku?

“Bawakan ini juga!”

“Tapi ....”

Aku memelankan langkah. Tak jauh di

depan, aku melihat cewek berkacamata dan tiga orang lainnya, yang kurasa adalah

senior. Karena salah satu di antara mereka adalah cewek centil yang memarahiku

saat awal MOS, juga membentakku saat di ruangan OSIS, nama cewek itu Friska.

“Berani ngelawan, ha?” Friska berkacak

pinggang sembari memelototi cewek di depannya. Dua cewek di belakang yang

kurasa dayangnya ikut serta memojokkannya.

“Maaf, Nona. Aku tidak bisa membawa tiga

tas sekaligus.”

“Wah, semakin ngelunjak babu lo, Fris,” kompor sang dayang. Dayang yang di sebelahnya juga ikut-ikutan memanasi.

Aku menutup mata untuk kejadian ini. Itu

urusan mereka, lebih baik tidak terseret masalah apa pun di sekolah ini. Cukup

waktu SMP saja aku menjadi sorotan di sekolah. Cewek yang terkenal ditolak oleh

para cowok ganteng. Trauma keduaku, aku tidak tertarik lagi menembak ataupun

menerima perasaan seseorang saat ini. Cukup Dino seorang yang menjadi pacar

pertama dan terakhir. Aku tidak mau tersakiti lagi.

“Dor-Dor, bukankah itu si Nora, teman sekelas kita?” tanya Ela menolehkan kepala ke belakang.

“Lalu?” tanyaku cuek. Ela terdiam lalu

menggeleng, mungkin dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Lebih baik kita tidak

terseret ke dalam masalah,” lanjutku memperingatinya.

Ela memanyunkan bibir. Seperti yang kulakukan saat itu, ketika ngambek atau tidak suka dengan pendapat seseorang. “Tapi Ela

kasihan liat Nora.”

“Yaudah, bantuin sana!” ucapku acuh.

Kurasa Ela juga tidak berani masuk area itu. “Hah?” Aku melongo di tempat ketika Ela berbalik arah. Berjalan menuju ke arah Friska. Aku hanya bisa berkomentar ‘bodoh’ dari jauh.

Ela sudah berada di samping Nora. Aku

memperhatikan dari sini. Tidak. Aku bukannya pengecut, hanya saja tidak mau

mengambil risiko. Karena aku sudah memutuskan untuk hidup tenang dan damai di sekolah ini.

“Lo yang waktu itu kan?” Suara Friska

masih bisa kudengar dari sini. “Mau apa lo, ha? Mau jadi pahlawan kepagian?”

“Biar Ela bantu bawain, Kak,” kata Ela, membuatku menepuk jidat sendiri. Itu anak terlalu bodoh atau baik, sih? Aku menggelengkan kepala pelan. Tadinya aku pikir Ela memprotes kelakuan Friska, namun malah sebaliknya. Menawarkan diri membantu Nora membawakan ketiga tas senior itu. Bodoh! Yang ada mereka akan memanfaatkan kamu terus.

“Kita ada babu cadangan,” komentar salah

satu dayang Friska. Kemudian tersenyum sinis sembari memberikan tasnya ke

tangan Ela. Dayang satunya pun ikut meletakkan tasnya. Aku membuang napas.

Benar, kan, mereka akan memperlakukanmu seperti babu juga. Yang kemudian memanfaatkanmu terus-menerus. Hah, lebih baik aku kembali ke kelas ....

“Dor-Dor!” Panggilan Ela membuat

langkahku tersendat. Aku mempunyai firasat buruk akan hal ini. “Bantuin Ela,

ini berat!” Dia melangkah cepat ke arahku dan memberikan satu tas ke tanganku. Aku

mendengkus. Kenapa cewek itu selalu membawaku ke dalam masalah?

“Hehe, sesama teman harus saling

membantu.” Ela menyengir lebar kemudian berteriak pada ketiga senior itu bertanya

di mana kelasnya.

Lantai tiga. Di sinilah kami sekarang.

Entah kenapa dadaku berdegup hebat sedari tadi. Mungkin karena takut kalau-kalau bertemu Rega. Aku menghirup napas lalu mengeluarkannya pelan. Kalau aku terus lari dan lari, berarti aku masih lemah. Baiklah, ini sudah kuputuskan sebelumnya. Jika aku terus lari, maka masa lalu akan mengantuiku seumur hidup. Karena ketakutan itu imajinasi yang dibuat oleh otak sendiri.

Aku memberikan tas itu pada Ela. Ogah

banget memberikannya pada dayang Friska. Yang ada nantinya mereka malah ngelunjak.

“Terima kasih sudah membantuku,” ujar

Nora.

“Tidak masalah. Bukannya sahabat itu

saling membantu?” Ela nyengir lebar. “Iya, kan, Dor-Dor?” tanya Ela padaku. Dan aku pun menyipitkan mata. Kenapa dia begitu mudahnya menjadikan orang yang baru

dikenal sebagai sahabat?

“Sahabat?” Nora bertanya kemudian. Matanya tampak berkaca-kaca.

“Iya. Kita sabahat, Ela, Nora dan juga Dor-Dor.”

“Terima kasih sudah menjadikanku sahabat

kalian,” balas Nora mengusap sudut matanya yang berair. Aku rasa dulunya dia

juga tidak memiliki sahabat.

Aku membuang napas. Percuma membantah

perkataan Ela. Dia tetap kukuh dengan pendiriannya. Contohnya sekarang ini, aku terpaksa ikut dengannya mengantarkan tas milik senior itu. Lebih baik aku turun

dan kembali ke kelas.

Deg!

Tubuhku mematung di tangga. Rega berada

di depanku.

“Pe-permisi, Kak!” ucapku pelan menyingkir dari hadapannya. Berlari cepat menuruni anak tangga. Bodoh! Aku merutuki diri. Sepertiya aku belum kuat seutuhnya. Bertatap muka dengan Rega saja aku tidak bisa. Padahal belum tentu dia mengingatku, atau hanya aku saja yang terlalu membesar-besarkan tentang masalah Miss Ball?

***

“Cepetan Dor Dor, Nora. Ela sudah lapar!” Cewek itu menarikku, sedangkan tangan satunya menarik Nora. Ya, sepertinya kelompok kecil kami sudah terbentuk. Sebuah persahabatan yang dibuat Ela. Aku tidak peduli akan hal itu.

Kami sudah berada di kantin. Ela langsung memesan makanan untuk kami, dia bilang akan mentraktir. Tadinya Nora sempat menolak, namun tetap menarimanya karena kamu tahu sendiri watak Ela yang keras kepala.

“Terima kasih, lagi-lagi kakak menolongku.”

Aku menoleh ke samping. Apa Nora mengenaliku? Lalu sebutan kakak?

“Kakak lupa, ya. Waktu itu, saat pulang sekolah aku tidak punya uang dan  pulangnya terpaksa jalan kaki. Tapi bukannya tiba di rumah. Aku malah berada di rumah sakit.”

“Ya, waktu itu kamu pingsan di jalanan.” Aku ingat sekarang. Dia adalah juniorku di SMP dulu, aku pernah menolongnya karena tiba-tiba pingsan di jalan, jadinya aku dan Pak Nono membawanya ke rumah sakit. “Panggil Dorin saja. Kita seangkatan sekarang,”

lanjutku setelah diam beberapa saat. Nora pun mengangguk.

“Aku tidak menyangka kalau ini Kak ... maksudku kamu, Rin.”

“Kamu bisa langsung mengenaliku?” tanyaku heran. Trio serigala saja tidak mengenaliku sama sekali. Lantas orang yang pertama kali bertemu denganku bisa langsung menebak kalau itu aku, Dorin Tanea?

Nora tersenyum lalu menggeleng. “Aku

tidak sengaja mendengar percakapan kalian di ruang OSIS waktu itu.

“Kalian lagi ngomongin apa sih?” tanya Ela tiba-tiba dengan napan di tangan.

“Tidak ada,” kataku. Aku pun memberikan isyarat pada Nora untuk tidak menceritakan masa laluku. Ya, jelas saja Nora bakalan tahu, aku sangat terkenal dulunya. Terkenal dengan hal yang memalukan.

“Kalau gitu, ayo kita makan!” seru Ela dengan semangat penuh. Tampaknya dia sangat kelaparan. Heran, makannya banyak, namun badannya tetap kurus. Kenapa aku merindukan diriku yang dulu? Menurutku,

bisa menikmati makanan apa pun, itu adalah nikmat hidup terindah.

 BRAK!

Bahu Nora terangkat, sedangkan Ela batuk-batuk karena tersedak makanan. Ela menyambar minumanku lalu meneguknya hingga habis.

“Enak lo ,ya, makan di sini?” Suara itu membuat telingaku berdenging—wajah Nora memucat. Sendok makan terlepas dari

tangannya. Pandangannya menunduk menatap ke dalam nasi goreng yang dipesan Ela tadi. Padahal dia baru menyuapinya, tapi nenek sihir itu menganggu acara makan

kami.

Sekarang aku jadi tidak bernafsu makan.

“Oh, jadi lo sudah punya teman. Karena itu lo berani mengabaikan gue, ha?” Sang nenek sihir melipat tangan di depan dada. Kemudian mengeluarkan HP dari saku rok cokelatnya—memperlihatkan layarnya ke wajah Nora. “Lo lihat, berapa kali gue menelepon lo!”

“Ma-maaf, Non. HP saya tinggal di

rumah.”

“Alasan!” geram Friska mengambil mangkok bakso di meja sebelah tanpa permisi, lalu menyirami isi mangkok tersebut ke kepala Nora. Dia pun sontak berdiri dan menutup mata rapat-rapat.

Aku mengepal tinju erat. Kenapa nenek lampir itu tega sekali, bukankah dia anggota OSIS? Seharusnya dia memberikan contoh baik pada juniornya. Aku heran, kenapa mereka bisa bertindak seenaknya. Dipikir ini sekolah milik bapaknya?

“Nora, apa kamu tidak apa-apa?” teriak Ela sembari membuka kacamata Nora dan membantu menyiram wajahnya dengan air.

“Eh, Babu tengil. Sekali lagi lo mengabaikan gue, awas lo!” tunjukku tajam ke mata Nora yang belum terbuka seutuhnya. Kurasa kuah bakso itu menyakiti matanya.

Babu, babu! Dia selalu saja memanggil Nora dengan kata itu. Memangnya kekuatan senior bisa berbuat hal demikian? Memperlakukan anak baru seperti sampah? Aku berdiri dengan tangan masih terkepal erat. Jujur, aku muak mendengar ancaman Friska dan tingkah lakunya. Ya, dulu aku juga sering dibully, tapi tidak sekasar ini. Mereka

memperlakukanku sebatas mengolok-olok saja.

Sekarang, aku sudah berdiri di depan

Friska.

“Tch! Mau nantang gue?” Friska

tersenyum sinis. Dua dayang di belakangnya juga sudah bersiap-siap dengan kedatanganku. Mereka pun melempar senyuman meremehkan.

Nora menahan tanganku. “Dorin, aku tidak apa.” Kemudian menggelengkan kepalanya seakan memberikan isyarat, tidak perlu melawan si nenek sihir.

“Sebaiknya kita kembali ke kelas,” kataku pada Ela dan Nora.

 “Dasar pengecut!”

OK. Untuk kata itu aku bisa mengabaikannya, trik murahan seperti itu tidak mempan memancing amarahku ....

“Dasar Miss Ball!”

Aku membalik—menatapnya tajam. Untuk

kata satu itu aku tidak bisa memaafkannya—refleks tanganku menyambar jus jeruk

yang ada di meja samping—menghampiri Friska lalu menyirami jus tersebut ke

kepalanya. Biar otaknya dingin!

“Wooow!” terdengar suara sorakkan di

kantin. Kemudian terdengar tepukkan kecil yang kurasa hanya para cowok yang

melakukan itu. Aku melihat, Friska syok dengan apa yang baru saja kulakukan.

Mulutnya menganga dengan mata melebar. Kedua tangannya terangkat di samping

kepala.

“Semoga otak lo bisa lebih dingin!” kataku sebelum melangkah pergi. Kalau aku sudah benar-benar marah kata kamu berubah jadi ‘lo’.

Friska, si nenek lampir itu, mungkin dia tahu julukanku saat di ruangan OSIS waktu itu. Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku kembali merutuki diri. Padahal aku sudah berjanji untuk tidaknterikat dengan masalah apa pun. Tapi, sekarang aku malah membuat masalah itu ada. Aku yakin, Friska tidak akan melepaskanku setelah ini. Kurasa, dia tipe

cewek yang pendendam dan tidak mau kalah ataupun mengalah.

“Dor-Dor keren!” teriak Ela takjub.

“Berisik!” balasku membuat Ela terdiam. Namun, setelah itu dia tersenyum lebar sembari mengedipkan mata beberapa kali.

...***...

Terpopuler

Comments

Yaya Nur

Yaya Nur

kereen dor dor..

2021-01-05

0

wywy

wywy

2 hari di tunggu. tapi cuma up 1part🤣🤣
maaf ya thor, seru soalnya

2019-10-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!