Episode 10

Seminggu sudah orang tuaku menginap di

ruangan serba putih ini. Bersyukur hari ini mereka sudah boleh pulang. Aku pun

berkemas membereskan barang-barang. Jujur, aku nggak betah berlama-mama

di rumah sakit. Sehari bagaikan neraka apalagi dulunya aku pernah dirawat di

sini, itu mengingatkanku tentang jarum suntik yang menusuk-nusuk kulitku yang

belemak tebal. Ah, kalau diingat-ingat itu sangat mengerikan. Jarum suntik itu

hampir seutuhnya menancap di dagingku.

“Dek, maaf ya. Karena tangannya gemuk,

jadi pembuluh darahnya susah dicari,” jelas perawat yang ingin mengambil darahku

sekali lagi. Aku menggeleng kuat sembari memegang tangan mama. Ini sakitnya

luar biasa. Aku tidak mau disuntik lagi.

“Makanya ... kesehatan itu lebih penting

daripada apa pun, Dorin harus memperhatikan diri sendiri. Tidak ada diet-diet!” Kata-kata mama waktu itu.

Aku pun kembali berkemas yang tadinya sempat terhenti karena mengingat masa lampau.

Nenek sama kakek sudah pulang dua hari

yang lalu. Berat hati berpisah dengan mereka. Terlebihnya lagi aku sudah dua tahun lebih tinggal bersama mereka, aku akan merindukan kalian.

Tangan mama masih dibalut. Luka-luka

memar di wajahnya agak mulai memudar begitu juga dengan papa. Meskipun papa

diizinkan pulang lebih dulu, tapi dia ingin

dirawat sampai istrinya dibolehkan

pulang. Mereka memang pasangan yang so

sweet. Rasa cinta di antara mereka makin bertambah setiap harinya. Hmmm, mungkin merekalah pasangan teromantis di dunia ini. Aku juga pengen! Teriakku dalam hati.

Pak Nono membantuku memasukkan barang ke bagasi. Penuh. Ditambah dengan batang-barangku yang belum dioper ke rumah. Semenjak dari kampung, aku gak pulang ke rumah. Mandi di sini. Makan di sini.

Tak ingin ketinggalan moment-moment penuh kehangatan.

Mobil pun melaju ke rumah. Aku duduk

bagian depan, samping Pak Nono. Sedangkan mama-papa di belakang.

Aku menoleh ke belakang sebentar. Lalu

kembali menghadap ke jalan raya. Selama di rumah sakit, aku ingin membicarakan

tentang mau melanjutkan sekolah di mananya. Masih bingung juga. Padahal awalnya sudah mentok ke SMK. Namun secara diam, aku mendengarkan percakapan mereka dalam keadaan pura-pura tidur. Papa menginginkanku jadi dokter atau menjadi

seperti dirinya. Melanjutkan bisnis. Ya, tentunya di perusahaan papa. Tapi mama

hanya membalas, ‘Pa, terserah Dorin saja mau ngelanjutin ke mana. Lagian, Dorin

juga, kan, yang menjalankan hidupnya’. Kata-kata Mama membuatku terharu.

Bagiku, mama adalah wanita yang sempurna; baik, cantik, jago masak, penyayang, tegas sama anaknya, dan ... ah, aku tidak bisa mendeskripsikan dengan kata-kata.

Tidak lama kemudian, kami pun sampai di

depan pagar rumah. Pak Nono menekan remot. Perlahan pagar besi itu terbuka secara otomatis. Masuk. Pagar pun tertutup kembali.

Aku berdiri lama di depan rumah.

Mendongak. Menatap kamarku dari bawah. Sudah lama tidak melihat mereka, koleksi

komik kesayanganku. Aku mengusap sudut mata kiri yang tak berair, terserah! Mungkin terlihat lebay. Tapi aku benar-benar kangen rumah ini.

Huaaa!

Aku segera berlari ke dalam dan disambut

Mbok Nini di depan pintu. “Mbok, tolong bawa barang-barangku!” teriakku berlari menaiki anak tangga. Entah kenapa setelah berada di sini, diriku kembali seperti semula. Pemalas kata yang cocok untuk itu. Kalau Meka ada di sini pasti dia akan berkomentar, ‘dasar pemalas! Bawa barang-barangmu sendiri!’.

Hmmm, soal Meka, orang tuaku hanya

terkekeh mendengarkan ceritaku tentang kejahilan Meka di telepon. Padahal

anaknya ditindas, loh! Terlebih lagi Mama, mungkin wajahnya sudah memerah

karena tertawa terpingkal-pingkal di ujung sana. Dia mirip Meki, komentar Mama di sela tawa.

Jidatku berkedut.

Tidak! Paman tidak mirip dengan Meka.

Dia lebih mirip dengan mamanya. Aku membantah, tapi Mama melanjutkan

komentarnya, ‘dulu pamanmu memperlakukan mama seperti itu, biar gak cengeng dan manja!’.

Pokoknya dilihat dari kaca pembesar pun.

Sikap Meka gak mirip dengan paman.

“Oh, kamarku tersayang,” gumamku setelah

berada di depan pintu, lalu mengusap gagangnya dengan lembut—membuka perlahan dan melangkah masuk. Mataku berair dengan senyuman merekah menyaksikan koleksiku pada rak-rak kayu yang menepel di dinding. Tertata rapi. Tadinya aku berpikir Mama akan membakar atau membuangnya. Karena dulunya Mama sempat memprotes hobiku. Meski kena marah tiap kali membeli komik, Mama hanya bisa menghela napas kasar.

Aku menghempaskan tubuh ke kasur.

Menghirup dalam-dalam selimut tebalku. Wangi dan lembutnya masih sama. Aku rasa

Mbok Nini selalu membersihkan kamar ini, tak ada sedikit pun debu menempel di kaca atau di meja belajarku.

“Aku merindukan kalian,” gumamku pada seisi

ruangan ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!