Episode 3

Perlahan aku membuka mata. Cahaya matahari menembus di balik kaca. Menusuk retina. Spontan mataku terpejam.

“Bagaimana keadaan, Rin? Udah baikan?” tanya Mama berjalan ke tempat tidurku sehabis menyibakkan gorden. Lalu menempelkan telapak tangannya pada jidatku.

Aku menggeleng pelan dan mulai berakting lagi.

“Gak panas.”

“Tapi, Rin masih gak enak badan, Ma.”

“Alah, makan Rin lahap banget kemaren, pake nambah lagi,” ujar Mama terkekeh. “Ayo, bangun!” perintah Mama berusaha membangunkanku. Dengan porsi tubuhku yang super jumbo, dia berhasil membuatku beranjak dari kasur kesayanganku. Benar-benar wanita yang kuat.

Ah, Mama gak bisa diajak kompromi. Apa aktingku kurang bagus?

***

Aku menuruni anak tangga dan menuju ruang makan. Tas sekolah cokelat sudah menempel di punggung. Kaus kaki sudah terpasang. Tinggal perut belum diisi. Bangun pagi-pagi, sudah demo saja nih perut. Aku ingin seperti Luffy (One Piece), sebanyak apa pun makan, dia tetap kurus. Oh, aku sangat menganggumimu, Luffy-kun.

Aku duduk di kursi sambil melihat menu hari ini. Nasi goreng cumi. Tanganku meraih gelas yang telah diisi Mama dengan air putih, lalu meneguknya hingga meninggalkan separuh.

“Rin, udah sehatkah? Kemaren Mama bilang Rin sakit?”

“Papa?” teriaku girang. “Kapan Papa pulang?” Aku berlari menuju anak tangga. Memeluk pria tinggi berotot itu. Sunggguh nyaman.

“Tadi malam. Karena anak gadis papa tidurnya lelap. Jadi, papa gak mau bangunin.” Tangan besar Papa mengelus kepalaku. Aku melepas pelukan, menatap matanya yang cokelat, sama sepertiku. Papa keturunan Jerman. Rambutnya pirang kecokelatan. Berhidung mancung. Pokoknya, papaku keren tiada banding. Pantasan saja Mama tertarik dengan Papa. Hahaha, lucu juga membayangkan ekspresi Mama saat ditolak Papa.

“Kenapa Rin tersenyum gitu?” goda Papa.

Aku menggeleng pelan. “Seneng aja.” Aku pun kembali memeluknya.

“Gimana sekolahnya, lancar?”

DUG!

Dadaku serasa kesetrum. Kalau Papa tahu apa yang kuperbuat, pasti dia kan kecewa berat. Reputasi anak baik di depan Papa dan Mama hancur. Tidak! Aku tidak mau memberitahu mereka kejadian waktu itu. Masalahku dengan Vino yang berakhir dengan skorsing.

“B-Baik,” jawabku gugup.

***

Hari ini Papa mengantarku ke sekolah. Biasanya Pak Nono yang mengantar. Ah, Apa yang kulakukan sekarang? Tidak mungkin diriku masuk ke sekolah. Aku masih di skor. Huh, tidak adil! Masa Si Vino gak dihukum. Di sini akulah korbannya! Di mana letak keadilan? Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Beginilah cara dunia memperlakukanku!

Mungkin ada sekitar sepuluh menit aku berdiri di depan gerbang sekolah sambil menendang-nendang kerikil. Aku

membalikkan badan—melangkah jauh dari sana. Tujuan kemananya, entar dipikirkan.

Bingung juga mau ke mana. Biasanya ke mana pergi aku selalu diantar oleh Pak Nono. Gak terbiasa naik angkot ataupun bus. Nanti nyasar, ntar aku masuk koran hilang lagi.

“Ya! Aku naek taksi aja!” Ide yang cemerlang, aku segera mengambil Hp dalam ransel. “Hihi, untung Mama ngasih uang lebih.”

Tanganku sudah sibuk mencari-cari kontak langganan taksi.

“Hallo, Pak ....”

Tidak butuh waktu lama. Taksi sudah ada di depan mata. Sekarang aku sudah tahu tujuan ke mananya. Berusaha menikmati hidup, gunakan kesempatan dalam hukuman, hahaha. Kau sungguh pintar Dorin,

seruku dalam hati.

“Pak, entar aku telepon lagi ya,” ucapku sambil membuka pintu mobil. “Oh, ya!” Aku menahan kaki kiri hendak melangkah ke luar. “Jangan kasih tahu Mama soal hari ini.”

Pak supir mengangguk. Takutnya nanti Pak supir taksinya keceplosan memberitahu kalau aku kabur dari sekolah. Pan kalo Pak Nono gak ada di rumah, lalu Mama pergi ke luar dengan taksi. Bisa brabe, kan? Aku bisa dihukum.

Aku menutup pintu taksi dan melangkah masuk ke toko buku. Menaiki anak tangga. Senyum pun mengembang. Tujuanku adalah lantai tiga, sedikit ngos-ngosan juga. Sudah lama gak ke sini. Atau akunya yang gak pernah olah raga? Sehingga kakiku terasa berat untuk dilangkahkan. Kenapa gak ada lift, sih? Atau eskalator?

Semua yang diinginkan memerlukan perjuangan. Dorin semangatlah! Berusaha menyemangati diri sendiri. Aku terus melangkah maju, tak putus asa.

“Hah, napasku sesak!” Badanku membungkuk sedangkan tangan kanan menempel di lutut, tangan kiri di pinggang. Aisshh, teringat ucapan Vino, ‘Kong, pinggang lu yang mana! Bulat semua, hahaha’.

Aku menepis bayangan beserta perkataannya yang bertengger di kepala. Meski gemuk dan bulat dari atas sampe

bawah. Tampak sama. Tapi aku masih tahu di mana letak pinggangku. Bocah kampret itu minta dipites sekali-kali. Aku remukin tahu baru rasa dia!

Bibirku mengembang. Di rak sudah tersusun rapi berbagai komik. Jerih payahku sudah terbayarkan. Tidak peduli

seberat apa pun usaha dilakukan, asal sungguh-sungguh kau akan memperoleh hasil yang diinginkan.

“Bingung, yang mana dulu, ya?” Mataku liar memerhatikan komik-komik yang sampulnya lepas segel. Hi hi, aku ingin membaca semuanya. Pelan saja. Gak usah buru-buru Dorin, lagian hari ini kamu punya banyak waktu.

“HAHAHA,” terbahak. Aduh, gak tahan—mataku berair. Komik ini benar-benar lucu. Aku tak kuasa menahan tawa sembari memukul-mukul rak buku yang ada di sampingku. Untung rak ini masih kukuh

berdiri.

Aku mengangkat wajah. Hawa sekitar terasa aneh. Aku menoleh samping kiri, kanan, dan belakang. Semua mata tertuju padaku—menatap aneh. Aku kembali menunduk, menenggelamkan wajah ke dalam buku yang terkembang di tangan. Ah, malunya.

“Dik, dik, kamu gak sekolah?”

Aku mengangkat kepala. Melihat orang yang berdiri di samping kiriku. Seorang karyawan toko bertanya sembari

mengerutkan kening. Tatapannya sinis.

“Tenanglah, ntar aku akan borong semua buku di sini!” ucapku kesal. Mengganggu saja. Mentang membaca gratis, sedari tadi dia melirik ke arahku.

Entah berapa jam aku berdiri di sini. Kakiku pegal habis. Berdiri, jongkok, lalu berdiri lagi. Untuk melepas penat

aku mengentak kaki ke lantai dan memutarnya membentuk lingkaran kecil. Tapi yang namanya hobi, aku gak bisa berhenti membaca komik. Ini adalah surga dunia, bagaimana mungkin aku pergi begitu saja?

“Sepertinya komik One Piece terbaru belum rilis.” Aku menggeser langkah ke samping kanan. Mencari komik lepas segel lainnya.

***

Setelah memilih beberapa komik, aku ke kasir, membayar komik yang dibeli. Tadinya sih, songong dikit mau ngeborong. Tapi kalau ketahuan Mama bisa gawat. Uang jajan akan ditilang. Tidak mungkin, kan, seorang Dorin hanya tahan dengan bekal yang dibawa?

Setelah keluar dari toko buku, aku memasukkan komik ke dalam tas. Dan mengambil Hp.

“Buju buset!” teriakku melihat dua puluh panggilan tak terjawab dan lima belas pesan masuk. Keringat dingin memenuhi jidat ketika melihat jam di layar menunjukkan setengah empat sore.

“Ya, hallo, Ma!”

“DORIN! KAMU DI MANA?!” pekik mama membuatku menjauhkan Hp dari telinga. Suara cempreng Mama membuat telingaku sakit.

Haduh, bagaimana ini? Aku mesti jawab apa?

“Kenapa kamu belum pulang?”

“Aku ada ekskul, Ma. Bentar lagi juga pulang. Bey.” Dengan cepat aku mematikan Hp. Takut ketahuan berbohong. Lagian aku melarang Papa menjemputku, kalau usai sekolah ntar aku telepon Pak Nono, ucapku sama Papa pagi tadi sebelum ke luar dari mobilnya.

Tanpa jeda, aku segera melaju ke rumah tentunya setelah menelepon Pak Yoyo. Taksi langganan.

Di dalam mobil pikiranku kalut. Semisalnya Mama gak percaya gimana? Ah, lagian ekskul biasanya hari kamis.

Tepatnya besok. Ya sudah, nanti aku akan berusaha keras berakting dengan baik. Yosh! Semangat Rin.

“Gak turun, Neng?’ tanya pak supir melihat dari cermin depan.

“I-Iya,” ucapku gugup. Ini lebih gugup daripada menembak Shiro. Lebih menakutkan daripada ketahuan ditolak anak-anak.

Setelah keluar dari mobil. Tanganku ragu membuka pagar rumah. Jantungku berdebar tak karuan. Baru kali ini kebohongan dan kebodohan kubuat. Menyesal. Seharusnya aku bisa menahan diri untuk tidak bersikap

konyol. Tidak membuat Vino terluka. Namanya juga perempuan, kalo sudah datang bulan tingkat sensitifnya lebih tinggi, loh.

Tidak! Aku tidak boleh menyesal. Tidak apa-apa mereka mencemoohku. Tapi kalau dibilang anak pungut. Itu keterlaluan sekali. Mama sudah susah menlahirkanku, mempertaruhkan nyawanya.

Dengan tangan gemetar, aku berusaha sekuat tenaga mendorong pagar besi. Di halaman belum terlihat mobil Papa

terparkir. Pasti Papa masih berada di kantor.

“Masih aman,” gumamku.

Perlahan aku membuka pintu rumah. Mengintip di celah pintu. Melangkah kecil. Dorin ... biasa! Bersikaplah biasa,

hatiku memperingatkan. Tapi ini seperti mau maling saja, mengendap-endap.

“DORIN!”

Terdengar suara perempuan memanggil.

Kakiku telah berada di anak tangga pertama—menoleh sedikit dengan cengiran.

“Dari mana saja kamu?”

“Dari sekolah, Ma.”

Mama menyilangkan tangan di depan dada. Menyipitkan mata, mungkin mencoba membaca pikiranku. “Jangan bohong!”

“D-Dorin gak bohong!”

“DORIN!” suara cempreng Mama meninggi. “Mama tidak pernah mengajarkan kamu berbohong!” Mama mendekat.

Aku menunduk sembari menggigit bibir. Tanganku menggenggam erat tali ransel dengan kedua tangan.

“Mama bertemu teman kamu ... katanya kamu di skor! Apa itu benar?”

Gawat. Mama benar-benar marah. Kalau Mama marah sangat mengerikan. Memanggilku dengan sebutan ‘kamu’ yang penuh dengan penekanan. Mengerikan!

“M-Maaf, Ma!”

“Sekarang kamu cepetan masuk ke kamar. Jangan harap Mama akan masak untukmu malam ini!”

Oh, tidak! Hukuman paling mengerikan adalah aku gak bisa memakan masakan Mama. Hiks, demi apa aku kena sial beruntun seperti ini. Tanpa membantah, aku mengikuti perintah. Melangkah menaiki tangga rumah—berhenti—menoleh ke belakang. Mama masih menatap horor.

“Setelah kamu mandi, kita bicara,” ucap Mama, lalu pergi ke dapur.

Kakiku lemas bagaikan menaiki seribu jenjang.

“Ah, menyebalkan!” Aku membanting tas ke tempat tidur. Membaringkan badan. Memejamkan mata sebentar. “Siapa? Siapa yang bilang kalo aku di skor!?” Sontak aku bangun. “Ah, aku tahu. Pasti si bocah kampret itu!” Aku berjalan ke jendela. Mengambil kerikil di atas meja belajar lalu melemparnya ke jendela kamar Vino.

Stok kerikilku masih banyak. Sengaja aku kumpulkan untuk menyerang balik si Vino. Aku hanya membalas apa yang ia lakukan.

“Sial!” dia kagak nongol. Apa dia sedang ada di luar?

***

Habis mandi. Mama benar mampir ke kamarku. Menginterogasi.

“Rin, kenapa dirimu di skor? Cerita sama Mama,” ujarnya duduk di pinggir kasur, di sebelahku.

Jadi...,Mama belum tahu kenapanya?

“Rin, jawab Mama!”

Aku menekuk wajah. Kalau bilang apa yang sebenarnya, takutnya Mama lebih marah lagi. Aku masih berpikir dan

mempertimbangkan apa yang bakalan terjadi setelah ini.

“Rin!”

Aku menggeleng tak menatap.

“Rin, apa kemaren kamu bohongin Mama juga dengan berpura-pura sakit?”

OMG! Bagaimana ini, kebohonganku terbongkar. Benar kata orang bilang; sejauh apa pun kau menyembunyikan bangkai, baunya kan tercium juga.

“Ma-maafkan Dorin, Ma.”

Mama mengusap kepalaku lembut. “Bagaimana Mama mau memaafkan, kalau Rin saja belum cerita.”

“Kalo Rin cerita, Mama janji gak bakalan marah?” Tatapku cemas.

Mama menggeleng. “Asalkan Rin jujur.”

“A-Aku yang bikin tangan Vino terluka. Karena kesel, aku menancapkan ujung pena ke telapak tangannya.” Air matakumenitik setelah menjelaskan pada Mama, bagaimana Vino mengataiku.

“Apa?!” pekik Mama ke dalam.

Aku tahu Mama akan berekspresi seperti itu. Siapa juga yang gak kaget melihat tingkah anaknya seperti preman.

“Maafkan Dorin!” Aku memeluk lengan Mama.

“Sekarang, kita ke rumah Tante Mona, dan Dorin harus minta maaf sama Vino.”

“Dorin gak mau, Ma!” rengekku. “Vino yang mulai duluan, dia ngejek Dorin Kingkong ... dan lebih nyeseknya lagi, Vino bilang Dorin anak pungut!”

Mama berhenti menyeretku ke luar. Kembali menatapku.

“Rin ....” Mama memelukku. “Meski orang lain mencaci atau menghina kita, jangan balas juga dengan kejahatan. Kalau kejahatan dibalas kejahatan dunia ini bakalan hancur. Dorin paham?”

Aku mengangguk pelan, kata-kata Mama terdengar seperti di anime-anime. Bijak. Aku pun menatapnya lekat-lekat. Aku tahu Mama bersikap begini karena sayang dan peduli padaku.

“Sekarang, kita ke rumah Tante Mona.”

Aku manut. Mengikuti perkataan Mama.

***

Aku sudah kembali ke sekolah. Tiga hari waktu yang terlalu singkat. Kalau ketahuan seperti ini, lebih baik seminggu saja di skornya. Bisa baca komik sepuasnya di rumah.

Sesuai permintaan Mama, meski dongkol dalam hati, aku meminta maaf pada makhluk super ngeselin. Untung saja Tante Mona orangnya baik, bisa menerima penjelasanku. Dan tentunya si Vino Virgo juga kena marah. Haha, syukurin. Aku dengar uang jajannya dipotong.

“Oi, Kingkong! Gara-gara lu, gue gak

bisa jajan!”

Aku mencibir. “Week, lagian ngapain kamu ngadu ke nyokapku!”

“Eh, Kingkong! Terserah lu, ya, percaya atau nggaknya. Cowok sejati nggak ngadu-ngadu kek anak kecil.”

“Huh!” Aku memalingkan wajah. Kemudian memasuki lokal tercinta (neraka). Siapa juga yang percaya sama omongannya. Lagian, pasti dia senang bangat aku diskor apalagi kena marah sama Mama.

“Hoi, Miss Ball, lu dah masuk!?” teriak seorang cowok ketika diriku telah berada di depan pintu. Aku mengangguk. Kurasa, mereka-mereka ini, kangen berat sama aku. Ya, kangen ngebully.

“Dorin ... Dorin! Aku kangen, aku kesepian tanpa kamu.” Peluk Rissa menempelkan tubuhnya padaku. “Maaf, ya. Aku gak hubungi kamu.”

“Gak apa-apa,” balasku. Mungkin Rissa sibuk bantu ibunya di warung. Makanya dia tidak sempat menanyai kabarku. Rissa memang anak yang baik. Aku pernah sekali diajak ke rumahnya. Lebih tepatnya

orang pertama diajak ke rumah Rissa. Istimewa apa coba aku sebagai sahabatnya. Dia tidak seperti teman lain, meski sederhana, Rissa tidak minder. Dia pun juga membantu ibunya di warung.

“Rin, ntar pulang sekolah mau ikut nonton bareng, nggak?”

“Sama Fandy lagi?” tanyaku.

Rissa mengangguk tersenyum. Aku sih, mau saja ikut. Tapi, takutnya malah mengganggu mereka pacaran.

***

Akhirnya kami berada di sini, gedung bioskop. Aku sudah minta izin sama Mama untuk pergi bersama Karissa. Yup, tentu saja dibolehkan, secara Mama juga kenal dengan Rissa. Dia sering kuajak ke rumah.

Aku mengantre membeli tiket. Sekilas, menoleh ke belakang—memerhatikan Fandy dan Rissa ketawa-ketiwi. Aku menghela napas. Di depan Rissa saja itu anak baik banget, tapi setelah berada sama

sekumpulan sejenisnya, sikapnya berubah habis. Kembali membully-ku.

“Pegang dulu tiketnya.” Aku memberikan tiga tiket pada Fandy. “Bentar, aku beli cemilan dulu!”

“Sip, Bos! Gue seneng dah, muach!” ucap Fandy sembari memonyongkan bibir. Aku tersenyum tipis. Bagaimanapun juga, sedikitnya aku masih memiliki rasa pada cowok itu.

Tak lama, kedua tanganku penuh dengan makanan ringan dan minuman. Kalau nonton tanpa cemilan, kagak afdol rasanya. Aku memberikan satu kantong sama Fandy. Dia hanya tersenyum menerima dari tanganku.

“Rin makasih, ya, kamu baik banget,” ucap Rissa menarikku duduk di sampingnya.

Tentu saja aku baik padamu, Rissa. Hanya kamu yang mau jadi temanku. Menerimaku apa adanya. Begitu juga Fandy. Dia pernah bilang, dia hanya bercanda sama teman-temannya. Tidak berniat menyakiti perasaanku. Aku bisa menerima alasannya karena dia pacar sahabatku. Teruntuk Vino, kalau sempat mengeluarkan pernyataan yang sama, aku tidak kan memaafkan dia.

***

“Rin, turunin gue di sekolahan ja, tadi gue nitip motor di kafe depan.”

“Baiklah. Pak Nono kita ke sekolah, ya,” ucapku menoleh pada Pak Nono yang duduk di samping kananku. Kemudian mataku beralih ke belakang.” Kamu gimana, Riss?”

“Fan, aku bareng Dorin aja, ya?” lirik Rissa yang duduk di sampingnya.

Tampak jelas Fandy menghela napas. Entah kenapa, kalau diajak pulang sama Fandy, Rissa selalu saja menolak. Lebih memilih pulang bersamaku. Katanya tidak mau merepotkan. Menurutku itu wajar saja, si Fandy mengantar pulang secara dia pacarnya.

Setelah sampai di kafe depan sekolah, Fandy ke luar. “My honey hati-hati, kalo dah sampe kabarin, ya!”

Karissa mengangguk pelan.

Hadeh itu anak mulai dah lebay bin alay-nya.

“Rin, thanks,” ujar Fandy sembari menepuk bahuku. Kebiasaannya gak pernah berubah. Senang bangat nepuk. Dikira gendang apa?

Aku menutup kaca mobil. Dan mobil pun melaju ke rumah Rissa.

Terpopuler

Comments

Lastri M Saleh

Lastri M Saleh

lnjut

2021-01-03

1

Galaxy Piyak🐣

Galaxy Piyak🐣

like like like👍 hai kakak terlempar ke zaman kuno bawa boom like😁

2020-10-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!