Pelan. Namun pasti, aku membuka amplop
putih itu deg-deg-an. Sedikit gemetaran membuka lipatan kertasnya. Meski bisa
menjawab semua soal ujian, takutnya hasil ujian berbeda dengan kertas kelulusan ini. Sebelum membukanya ...
“Kampret!” decakku kesal. “MEKA!
BALIKIN!” Kutu kupret itu berulah lagi. Oh, sampai kapan dia terus jail begini?
Kakiku refleks mengejarnya. Ke mana pun dia
pergi, aku turuti. “Paman, bolehkah aku menghajarnya!?” teriakku melihat ke arah paman yang sedari tadi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang anak.
Para orang tua sengaja diundang ke sekolah biar anak-anak bandel yang tidak lulus tidak melakukan seenaknya sendiri. Kata guru, sih, ada beberapa yang tidak lulus.
“Lakukan sesukamu, Dorin!” ucap paman
membuat bibirku mengembang.
“Meka, aku sudah dapat restu. Persiapkan
dirimu ...!” teriakku sembari membuka sepatu sebelah kiri. "Kalau dapat awas! Tak pukulin kepalamu itu dengan ini." Tidak peduli apa kata mereka yang ada di sini. Yang terpenting adalah aku bisa membalas Meka hari ini.
“Meka! Apa yang kamu lakukan!!!” teriak
Pak Wakil Kepala Sekolah menggenggam kerah baju Meka dari belakang. Syukurin, dia tertangkap juga.
“Sini balikin!” Aku memukul bahunya beberapa kali dengan sepatu—dia masih dipegang Pak Beno.
"I-Ini ....” Meka melempar kertas kelulusanku ke lantai koridor.
Ma-Pa, perjuanganku tidak sia-sia.
Mataku berkaca-kaca. Aku lulus! Sorakku dalam hati melihat kertas di tangan. Ini adalah hari yang paling membahagiakan, aku harap mama-papa segera sampai ke
sini.
...***...
Seharian penuh aku menunggu di teras, duduk di bangku kayu. Kedua sosok yang kurindui belum muncul juga. Padahal aku ingin segera membagi kebahagiaan ini pada kalian.
Rindu ini menggebu. Aku tidak tahan. “Ma, Pa ... hati-hati di jalan,” gumamku melihat ke langit.
Awan hitam mambungkah bak manisan kapas. Mengembang menutupi langit biru--berjalan ke arah yang diterangi sedikit cahaya. Total. Kelam keseluruhan.
Aku mendesah, sepertinya hujan turun lebat.
Apalagi jalan masuk ke kampung ini buruk! Bakalan becek. Itulah yang kujalani selama pergi ke sekolah.
Tidak!
Aku tidak membenci hujan. Mana mungkin aku membenci nikmat dari Tuhan. Air hujan membantu perkebunan ini tetap subur.
Dari jauh, aku melihat kakek menyandang
cangkul di punggungnya, sedangkan nenek membawa ceret di tangan kiri. Tangan kanan menggenggam rantang.
Karena menunggu mama-papa di sini, aku
tidak bisa menghampiri mereka di ladang.
“Sini, biar Dorin yang bawa, Nek!”
“Cucu Nenek memang pintar!” ucap Nenek
mengusap kepalaku. Mungkin paman sudah memberitahu nenek kalau aku sudah lulus.
Aku mengangguk senang.
“Hmmm, seharusnya Nenek pulang lebih
awal tadi. Biar bisa masakin yang enak untuk merayakan kelulusan, Dorin,” sambung Kakek.
Aku menggeleng. “Gak perlu Kek. Dorin
sudah masak, kok. Tidak perlu dirayain segala.”
Aku meletakkan teko kosong dan rantang
di atas meja, kemudian menutup pintu depan. Angin begitu kencang. Debu-debu beterbangan. Tak lupa aku menutup jendela. Lagi pula sudah senja.
“Minum, Kek!” kataku meletakkan gelas
berisi air putih di depan kakek. Lelaki tua itu menyandar di dinding dengan meluruskan kedua kaki. Matanya terpejam—tampak kelelahan. Keringat di jidatnya besar-besar, seperti bongkahan batu akik.
Kakek membuka mata—mengangguk—lalu
meneguk minumannya.
“Jadi, Dorin mau lanjut sekolah di
mana?” tanya kakek sembari meletakkan gelas di samping kirinya.
Aku pun ikut duduk di samping kakek. “Rencananya, Dorin mau lanjutin sekolah di sini saja, Kek,” jawabku. Karena
sudah lama tinggal di sini, aku tidak tega meninggalkan tempat ini. Awalnya, aku pernah berpikir dan bilang sama kakek untuk bersekolah di tempat mama dulu.
Dan pergi ke Paris untuk kuliah.
“Apa pun itu, nenek akan mendukung
keputusan, Dorin!” sambung Nenek sambil membawa cemilan.
Aku tersenyum. Mereka memang mirip. Saat
melihat wajah nenek, aku selalu terbayang wajah nama dan begitu pula sebaliknya. Nenek tidak mengekang anaknya, begitu juga mama. Apa yang kuinginkan selagi itu hal positif, mama mendukungku. Aku selalu bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan kado terindah dalam hidup. Aku tidak membutuhkan apa pun, kecuali keluargaku.
Aku beranjak—mengintip di balik
jendela—mereka belum datang juga.
Aku mendesah sembari mengeluarkan HP
dari saku celana. Tidak ada telepon masuk. Biasanya kalau mama ada keperluan mendesak, mama pasti menelepon dulu.
“Huft, aku gak punya pulsa lagi!” Aku
kembali menutup jendela. Mataku perih karena kemasukan debu.
“Nek! Aku ke tempat paman dulu!”
Tidak ada jalan lain, mungkin hanya itu
satu-satunya cara yang terpikir oleh otakku. Sebenarnya, sih, ogah banget. Tapi, ya sudahlah, semoga saja dia bisa membantuku.
“Mek, boleh pinjam HP-kamu, gak?” tanyaku melirik handphone di genggamannya. Cowok itu sedang asyik main game. Suara yang keluar dari benda itu terlalu keras. Memekakkan telinga.
“Ogah!” dia memutar arah duduknya. Membelakangiku.
Sial! Ngeselin bangat, nih, anak. Sabar
... sabar, Rin!
“Mek, ndak boleh gitu. Pinjamin atuh!”
seru bibi.
Aku tersenyum tipis. Aku tahu bibi orangnya baik. Terkadang sedikit jutek juga, tapi setelah perubahanku, dia baik gitu sama aku. Bibi bilang, ‘Dorin, maaf. Bibi ndak marah sama kamu, tapi bibi hanya ingin mengajarkan kamu bagaimana menjadi seorang perempuan yang sesungguhnya. Biar kamu berguna’, nusuk banget. Aku pernah dongkol dalam hati, memangnya aku perempuan jadi-jadian apa?!
Aku paham dan menghargai cara bibi
mengajariku. Karena dia juga, aku bisa bersikap lebih dewasa sedikit. Memahami apa yang orang lain rasakan.
“Ndak mau, Mami! Ntar pulsa aku habis.”
Kampret nih, bocah. Tahu aja aku bakalan
nelpon. Eh, sejak kapan pula itu anak manggil ibunya mami? Dia emang sableng.
Aku melirik ke TV. Buset dah, pantasan
saja. Nontonnya sinetron gitu. Sekarang, aku tahu kenapa bahasanya sedikit berubah.
Terkadang alay bin lebay minta ampun.
“Mek, pleas!” pintaku memelas.
Cowok itu meyipitkan mata. Mungkin mengintip raut tegang di wajahku.
“Awas aja kalo lu habisin pulsanya! Tak
lempar lu pake sendal ini!”
Aku cengengesan. Tidak peduli apa yang
dia omongin. Itu urusan belakangan. Yang jelas sekarang, aku ingin menelepon my mam. Kalo pulsanya habis tinggal kabur dan melempar HP ini ke wajahnya, hahaha. Siapa suruh beda operator. Pan, kalo sesama bisa pasang paket dulu.
“Akh, telepon Mama nggak aktif. Papa juga
sama!” Apa mereka baik-baik saja? Kenapa perasaanku jadi nggak enak gini?
“Rin, ada apa?” tanya paman yang barusan ke
luar dari kamar. Mungkin dia bingung melihatku mondar-mandir.
Aku tak menjawab. Mataku sudah berair.
Aku menggigit ibu jari untuk menghilangkan kecemasan di dada. Yap, ini hanya pikiranku saja. Mereka pasti baik-baik saja, kataku dalam hati berusaha meyakinkan perasaan yang resah ini.
“Hei, jangan dibanting!” teriak Meka.
Aisshh, itu orang masih bercanda juga.
Siapa juga yang membanting HP-nya? Tapi kalau melihat kejahilannya, benar tak banting, loh!
Mataku kembali menatap layar HP. Tanganku memencet nomor-nomer tang tertera lalu menekan tombol hijau di samping kiri. Uh! Kenapa lama sekali diangkatnya? Si mbok ke mana lagi?
“Hallo, Mbok. Ini Dorin. Mama ada? Apa
Mama jadi berangkat ke sini?” tanyaku khawatir.
Tak ada balasan dari seberang sana.
Beberapa detik kemudian, napas si mbok terdengar berat di telingaku. Aku
menggigit bibir, seketika napasku sesak, serasa ada cairan memenuhi dada. Tercekik di teggorokan. Perutku seakan dililit dari dalam.
“Mbok, jawab Dorin! Apa Mama jadi
berangkat?” lirihku.
Seharusnya empat jam yang lalu mama
sudah sampai. Pikiranku semakin kacau.
“N-Nyonya ... sama Tuan kecelakaan, Non
....”
Tercekat. Air mataku berderai membasahi
pipi. Disambut hujan yang baru turun menghujani atap. Terdengar bagaikan ribuan
peluru menghantam.
“M-Mbok ... Mbok!” Aku menaikkan
intonasi.“Kenapa dimatiin?!”
Meka merebut HP dari tanganku. “Eh,
dodol! Ini namanya pulsa gue habis, bukan dimatiin!” sambar Meka bak petir yang tak diundang.
Aku mengatup mulut rapat—tersandar di
kursi kayu—menyembunyikan wajah di kedua belah telapak tangan. Isak tangisku akhirnya pecah, beradu dengan derasnya hujan.
“Ntong, lu kenapa?” tanya Meka.
Aku tak menyahut.
“Ada apa, Rin?” tanya paman baru saja duduk di sampingku.
Aku mengangkat wajah. “Paman ... Ma-mama
dan Papa ....” Aku memeluk paman. “Mereka kecelakaan. Hiks ....”
Paman mengelus-elus kepala dan pundakku.
Berusaha menenangkan.
Hujan semakin deras di luar. Begitu juga
petir ikut menyambar. Aku ingin pulang! Aku ingin bertemu mama-papa. Aku nggak
tenang kalau tidak melihat mereka. Ah, andaikan tadi aku menelepon di HP-nya
mbok, bukan telepon rumah. Kan nomorku terbaca di sana, mungkin si mbok bisa menelepon balik. Kemungkinan si mbok juga nggak nge-save nomor baruku.
Aku melepas pelukan. “Paman, aku mau
pulang ....” rengekku mengusap air mata.
“Rin. Tenangkan diri kamu. Berdoa supaya
mama dan papamu ndak apa-apa,” ujar Bibi melangkah ke sisiku, lalu mengusap
kepalaku.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan.
Bagaimana mungkin aku bisa tenang setelah mendengar kabar buruk ini? Aku gak
bisa mengendalikan perasaanku. Pikiranku sedari tadi sudah buruk. Tidak mungkin berkompromi dengan otakku sekarang apalagi menenangkannya. Itu mustahil bibi!
“RIN!” Teriakan paman kuhiraukan.
Aku berlari di bawah hujan deras.
“Aaaa ... aaa!!!” pekikku saat petir
menggelegar. Tubuhku spontan jongkok dengan tangan menutupi telinga.
“Gentong, apa kau ingin sakit? Maen
hujan-hujanan di luar?!”
Aku mengangkat wajah, menatap sosok
menyebalkan itu. Di saat seperti ini, dia masih saja sempatnya bercanda. Mataku
terpejam karena air hujan masuk ke mata.
“Berdirilah ....” Meka memegang lenganku
dan menarikku.
“Hiiikhs ...,” tangisku pecah di
sela-sela hujan deras. Refleks, aku memeluk cowok di depanku. Erat. Membenamkan
wajah di bahunya. Aku menangis sejadi-jadinya. Meski petir menyambar, tidak
peduli. Kegelisahan menenggelamkan ketakutanku akan petir.
Aku merasakan tangan Meka melingkar di
punggungku. Dia menepuk-nepuk pelan, seperti memperlakukan bayi yang dinina bobokkan.
“Masuk yuk! Ntar kamu sakit,” bisik Meka
di telingaku.
Baru pertama kali ini dia berbicara
begitu lembut padaku. Dia yang selalu memanggilku dengan kata ‘kau atau lu,
sekarang menjadi ‘kamu’. Dia memang plin-plan dalam hal itu. Bagaimana tidak,
Meka suka nonton sinetron, mungkin hal itulah yang membuatnya terbawa suasana.
...***...
Paginya, aku dapat telepon dari Pak Nono. Dia bilang, nama dan papa lukanya tidak terlalu parah. Bohong! Aku tidak
percaya, bisa saja Pak Nono berkata seperti itu agar aku tidak perlu mengkhawatirkan mereka. Aku pun memaksa Pak Nono untuk menjemputku. Kalau tidak, aku pulang sendirian. Hari ini juga. Dengan sedikit ancaman, Pak Nono mengikuti perintah. Mungkin besok pagi aku bisa berangkat.
Yang perlu kulakukan sekarang adalah berkemas. Memasukkan semua barang-barang ke dalam koper. Nenek-kakek juga ikut bersamaku. Kemarin malam, aku sudah membahas tentang di mana diriku akan melanjutkan sekolah. Aku memilih tinggal bersama nama dan papa. Tidak mungkin kan aku meninggalkan mereka dalam keadaan seperti itu? Nanti ... jika diriku balik ke sini takutnya pendaftaran masuk ke SMK sudah tutup.
...***...
Pak Nono sudah datang. Mobil sedan hitam
terparkir di halaman. Paman membantuku memasukkan barang-barang ke bagasi dibantu Pak Nono yang barusan keluar dari mobil.
“Rin, jangan lupa telepon bibi, ya, bibi
pasti merindukanmu,” katanya sembari mengecup keningku.
“Tentu, Bi.”
“Ntong! Beneran lu pergi?”
Aku mengangguk. “Kenapa? Kamu merindukanku?”
“Yang ada lu yang kangen ama gua!” balas
Meka. “Aww! Kenapa dipukul, sakit tau!” Meka menggosok-gosok jidatnya setelah aku pukul dengan HP-ku.
“Mek, pleas, deh! Jangan bertingkah plin-plan seperti ini. Kamu membuatku pusing. Hah, seperti F saja!” Aku mengerutkan bibir, itu tandanya aku sedang kesal sama si kunyuk satu ini. Kemarin malam saja dia bersikap baik. Lah sekarang, penyakitnya kambuh. Dan gaya bahasanya itu ...?
“Ef?” Meka mengernyit.
Aku menghela napas. Tidak penting juga
membicarakan seseorang yang pernah kutembak di masa silam. Entah kenapa aku
bisa menyatakan cinta pada cowok SMA itu. Aku pernah diundang ke rumahnya. Lebih tepatnya Mama F mengundang keluargaku makan malam di rumah mereka. Saat
itulah, aku tertarik pada cowok tinggi itu. Aku juga heran, kenapa diriku mudah kepincut dengan cowok ganteng. Tapi sekarang tidak lagi, aku sudah berubah.
Hmmm, meski F tidak pernah bersikap
plin-plan kepadaku atau gadis manapun, kecuali pada satu orang, yaitu sama Kak
Fer yang tinggal di sebelah rumahku. Pernah sekali aku tidak sengaja mengintip
dan mendengar percakapan mereka di balik pagar rumahku.
Kalau bisa berharap, aku inginnya
jendela kamarku yang berhadapan dengan Kak Fer. Dia anaknya manis, imut, aku
suka mata hitamnya. Bulu matanya lentik pula.
Ough! Kenapa aku membahas dua makhluk
itu? Bahkan mereka tidak menjadi bahan pokok utama dalam skenario hidupku. Hah!
“Bukan E + F. Tapi F!” Aku menulis huruf F di udara.
Meka menambah mengerutkan keningnya.
Sekarang entah berapa lapis, mungkin ratusan.
“Ah, lupakan!” ucapku sembari membalikkan badan.
“Paman, aku berangkat. Jaga kesehatan Paman, ya!” ucapku telah berada di samping Pak Nono, sedangkan nenek sama kakek
sudah duduk mantap di kursi belakang. “Bye ....” Berat hati rasanya meninggalkan mereka dan juga kampung ini. Aku akan merindukan suasana di sini.
Mobil pun melaju. Perlahan meninggalkan
mereka yang tak lepas memandangi mobil hitam ini yang melaju semakin jauh, kecuali Meka. Tak tampak sosoknya di belakang. Sedari tadi mataku tak lepas
memandang dari kaca spion. Bibi mungkin menangis, dia tampak mengusap pipinya.
***
Sepanjang perjalanan aku nggak bisa
tenang, masih memikirkan keadaan orang tuaku. Sedari tadi kaki kiriku tak mau
berheti bergoyang. Ingin segera lekas sampai. Aku menoleh ke belakang. Nenek juga sama, terlihat gelisah dan khawatir. Sedangkan Kakek berusaha meyakinkan nenek bahwa Mora anaknya baik-baik saja. Terlihat dari cara Kakek menggenggam tangan Nenek.
Andai saja aku tidak meminta papa dan
mama datang, mungkin kecelakaan itu gak akan pernah terjadi. Kata Pak Nono saat
itu jalanan licin, mobil papa masuk jurang dan terbalik di kedalaman dua meter
karena menghindari sebuah sepeda motor yang datang dari arah berlawanan. Dan sekarang, mereka berdua dirawat di rumah sakit. Tangan kanan mama patah, sedangkan papa mendapat jahitan di bagian jidat sisi kanan.
Mendengar itu semua, bagaimana mungkin
aku tidak gelisah? Air mata ini entah beberapa tetes keluar sejak tadi. Sudah
bersusah payah diriku menahan tangis, tapi masih saja tetap tumpah!
Sudah gelap. Akhirnya, kami sampai juga di rumah sakit.
Aku mempercepat langkah kaki setelah
turun dari mobil. Diikuti kakek, nenek, dan Pak Nono dari belakang. Aku berlari melewati lorong lumayan panjang. Ah, tidak sempat bagaimana mendeskripsikan tempat ini. Yang terpenting sesegera mungkin menemui mereka.
“Pa! Ma!” Aku ngos-ngosan membuka pintu
kamar inap mereka. Tapi dihiraukan, mungkin suaraku lari ke dalam karena kehabisan napas.
Aku menyipitkan mata.
Apa yang mereka lakukan? Padahal aku
sangat khawatir dan mati-matian datang ke sini. Mama-oapa malah mesra-mesraan di ranjang yang sama sambil nonton TV. Ranjang yang muat hanya untuk satu orang. Tapi ... aku senang melihat mereka seperti itu. Sudah lama sekali rasanya tidak melihat keharmonisan mereka. Aku selalu saja iri dibuatnya. Tuhan sisakan untukku satu pria tampan, baik, pintar, dan juga perhatian seperti papa.
“Papa ... Mama, Rin datang!” teriakku
berhambur kepelukan Papa. “Pa, pindah! Kasihan Mama, ntar tangan Mama tambah
sakit!” Aku mengandeng Papa ke ranjangnya. Ranjang mereka bersebelahan.
Aku menyentuh jidat Papa dengan mata
berair. “Rin cemas banget!” rengekku.
“Sudah gak sakit kok, Rin,” kata Papa
berusaha menangkan hatiku. “Rin kok kurus gini? Apa Nenek gak kasih makan?” ejek Papa membuatku mencubit lengannya dengan manja.
Aku pindah ke sisi kanan. “Tangan Mama
gimana?”
Mama tersenyum. “Kan Pak Nono sudah
bilang ke Rin, Mama-Papa baik-baik saja!”
Aku mengembungkan pipi. Mana ada yang
percaya orang kecelakaan baik-baik saja?
“Apanya yang baik!” Aku menatap tajam
tangan Mama yang patah.
Mama tertawa kecil sambil menyentuh
pipiku dengan telunjuk kiri. “Sekarang, mama mengerti. Saat Rin manyun dulu,
tandanya Rin ngembungin pipi seperti ini, ya? Hahaha!”
“Mama!” pekikku pelan. Lalu memeluk separuh badannya. Kalau diingat, dulu pipiku seperti bakpao. Mau gembungin atau tidaknya. Tetap sama. Sama-sama kek Ball.
Ah, sudah lama sekali aku membuang kosa kata itu dari otakku. Dan ... ‘gentong’, kyaaa! Kalau mengingat kata itu. Aku ingin menghabisi bocah nakal itu. Meka sialan!
“Ibu ... Ayah!”
Aku melepas pelukan. Kakek dan nenek akhirnya sampai juga bersama Pak Nono. Seharusnya aku tidak meninggalkan mereka.
“Apa kalian sehat?” sambung Mama.
Aku duduk di sofa. Membiarkan
kakek-nenek berbicara sama papa dan mama. Dengan melihat mereka bisa tersenyum, aku sudah senang. Terima kasih Tuhan karena aku masih bisa merasakan kebersamaan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Shinya Gou
Maaf, kakak penulis, sedikit kritik, ya..., orang yang kesambar petir itu... langsung gosong, gak terselamatkan. Sedikit beritanya kena petir masih hidup. Jadi, aku rasa lebih baik adegan Dorin kesambar petir diganti sama yang lain saja saat hujan. Maaf, panjang komentarku.
2021-03-28
1
Jennie I Love you
Ko mama jadi nama sih
2019-10-14
1