“Cih, sebaiknya lo ngaca gimana sebenarnya lo itu. Perlahan sosok iblis dalam diri lo kan terendus Dorin!”
“Lo jangan sembarangan, ya, ngatain gue!” bentak si cewek tak terima.
“Kenyataannya memang seperti itu, bukan?” Lelaki itu tersenyum sinis. “Kita sama, Riss. Sama-sama porotin si Miss Ball.”
“Brengsek lo, gue gak sama kek elo!” geramnya mendorong si Dino. Ini tidak seperti Karissa yang kukenal. Kasar. Tanpa sengaja, aku mengintip percakapan mereka.
“Gue heran. Kenapa Fandy bisa suka sama lo.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan!” celetuk Rissa semakin geram.
“Lo lebih busuk daripada gue, Riss. Gue liat kok, waktu Dorin nembak Fandy. Lo ngintip mereka, kan? Dengan tampang malaikat. Sok polos, lo nerima Fandy. Berpura-pura, sepertinya lo gak tahu apa-apa. Dan sampai sekarang lo jadian dan manfaatin ntu si Mis Ball.”
“Diam lo!”
“Kenapa? Apa lo takut bau busuk lo kecium, ha? Atau lo takut dompet berjalan lo gak bisa diporotin lagi?”
Sudah! Sudah cukup. Aku gak tahan mendengar pembicaraan mereka. Terlalu menyakitkan. Kenapa orang yang kupercaya melakukan ini dan mengkhianatiku?
Tak tertahankan lagi. Air mata yang sedari tadi membendung, sekarang pecah. Bukan retak lagi, tapi hatiku hancur menjadi kepingan kecil.
Karissa, kenapa kamu tega melakukan ini? Sudah satu tahun lebih kita berteman. Rasanya seperti saudara sendiri. Apa yang kudengar barusan adalah kenyataannya? Benarkah itu?
“D-Dorin ...?”
Mereka berdua serempak melihat ke arahku. Mungkin isak tangisku mengalihkan perdebatan mereka.
Aku melipat bibir, berusaha menahan tangis. Lalu tersenyum. “Rissa, terima kasih telah menjadi teman terbaikku, dan kamu Doni, terima kasih sudah menjadi pacar terbaikku.” Tanpa melihat ke belakang lagi, aku segera berlari dengan deraian air mata.
“Rin, Tunggu!” teriak Karissa berlari mengejarku hingga ke kelas, dia mencoba menahanku, namun aku menepis tangannya—mengambil ransel dan menghilang secepat mungkin dari sini. Tujuanku hanyalah rumah karena tidak ada tempat yang bisa disinggahi kecuali rumah.
Bagaimana mungkin kau bisa menjangkau sang rembulan. Melewatinya saja, kau tak mampu.
Benar. Aku tak mungkin bisa menjangkau Karissa yang sempurna dalam segala hal. Aku pikir sudah dekat dengannya, tapi tetap saja aku masih berdiri di bawahnya dengan kepolosan dan kebodohanku.
***
Tanganku sudah tak mampu mengusap air mata. Isakan tangisku teredam oleh derasnya hujan. Pekik pun tenggelam bersamaan petir yang menyambar. Aku meringkuk memeluk lutut di sudut kamar. Perih. Rasanya di hati mau meledak-ledak, bagaikan nuklir meluluhlantakkan negeri. Hancur.
Siapa? Aku harus percaya sama siapa? Semuanya sama!
Kenapa? Kenapa mereka melakukan itu padaku?
Aku salah apa? Semua yang diminta aku beri. Tapi inikah balasannya?
Kejamnya. Aku sudah tak tahan. Orang yang dipercaya mengkhianatiku. Sahabat maupun pacar. Hanya memanfaatkanku saja. Dan perkataan seseorang yang kuanggap dusta adalah fakta.
Sehabis istirahat, aku meluncur ke rumah. Tidak peduli dengan pelajaran hari ini. Apalagi Mama menyambutku dengan tatapan bingung saat di depan pintu masuk tadi. Pertanyaannya kuhiraukan. Terserah. Aku tak ingin mendengarkan apa pun atau menjelaskan apa pun.
“Rin ....”
Ketukan pintu terdengar melemah, mungkin Mama membiarkanku agar lebih tenang sedikit. Maaf, Mam. Aku juga tak ingin membuatmu khawatir. Biarkan aku begini sesaat. Dan, aku pun tidak akan bertindak bodoh yang dapat menyakiti diriku sendiri. Aku masih ingat kata-katamu Mam, sesakit apa pun, kita harus bisa mengendalikan diri. Itulah
yang diajarkan.
Akan adakah pelangi setelah hujan? Mungkin tidak jika hujannya pada malam hari. Inilah kenyataan yang paling menyakitkan.
Aku merangkak di kasur. Mengintip ke jendela. Aku mendengus, di luar hanya tampak kaca jendelanya Vino dan derasnya hujan. Aku suka hujan, tapi tak suka petir.
Kilat!
Aku bersembunyi di bawah selimut. Beberapa detik kemudian petir menggelegar, memekakkan telinga. Membuat dadaku berdegup hebat. Air mataku sudah tak keluar. Ketakutan akan petir membangunkanku dari rasa sakit.
“Rin, buka pintunya, Nak!”
Aku menyentuh perut yang berbunyi. Lapar. Baru ingat, jam istirahat tadi aku makan cuma sedikit. Paginya hanya minum susu sama roti. Aku menoleh ke jam beker di atas nakas. Sudah sore. Sudah berapa lama aku berpose seperti ini? Menyelubungi tubuh dengan selimut.
Mama masih saja mengetuk pintu.
“Iya, Ma. Bentar!” teriakku parau.
Sekejap, aku berdiri di depan cermin. Rambutku berantakan, seperti singa tak terurus. Mataku sembab dengan hidung memerah. Akh, sulit bernapas. Aku mengangkat hidung ke atas berusaha mengambil oksigen.
“Rin, kenapa?” peluk Mama setelah diriku membukakan pintu.
“Ma, aku gak mau ke sekolah lagi,” lirihku membalas pelukan.
“Cerita sama mama, apa yang terjadi?”
“Rin pikir bisa mengulangi kisah Mama dan Papa. Ternyata Dino hanya memanfaatkan Rin.” Mataku mulai berair lagi. “Rissa juga, sahabat yang Rin banggakan, ternyata nusuk Rin dari belakang! Mereka sama, Mam. Sama-sama memanfaatkan Rin!”
“Rin—”
“Masa Dorin dibilang dompet berjalan?!” sambungku lagi.
Mama mengusap punggungku dengan lembut.
“Mam ....” Aku melepas pelukan. Menatap Mama dan berkata, “Aku lapar.”
Mama tersenyum sambil mencubit pipiku. “Yuk, kita ke bawah.”
Aku mengangguk pelan. Rasa lapar menghunjam perutku. Cacing di perut melilit lambungku. Oh, aku mengeluh kesakitan. Terkadang lapar mengalahkan segalanya.
***
Apu pun kata Mama nantinya, aku gak bakalan balik ke sekolah itu. Gak mau ketemu Doni. Gak mau menatap Karissa lagi. Bosan melihat mereka. Anak-anak di sekolah juga sama. Ngeselin minta ampun. Miss Ball sudah melekat pada diriku. Senior kelas sembilan pun ikut memanggilku Miss Ball.
“Pa, kok gak gemuk-gemuk, yah? Pan makan kita sama!” Lirikku pada piring Papa.
“Iya sama, tapi Rin pake nambah setelah itu!” ledek Papa. Kemudian terkekeh pelan diikuti Mama.
“Papamu kalau makan banyak, tapi teratur Rin. Papamu juga sering ke gym,” jelas Mama.
“Apa Rin bisa kurus?”
“Hayuk, habisin makananmu, ntar dingin gak enak!”
Aku memonyongkan bibir. Sepertinya Mama ingin mempertahankanku dalam kondisi seperti ini. Aku kan gak mau diejek Miss Ball terus.
“Rin gak mau makan, Rin pengen kurus!”
Mama mengerutkan dahi. “Bener nih, gak mau makan? Entar mama sama Papa habisin, loh!”
Aku menelan ludah. Siapa juga yang tahan dengan godaan itu. Masakan Mama terbaik di seluruh dunia. Tiada duanya. Uh! Mama dan Papa kembali terkekeh melihatku mengambil semua makanan yang ada di meja.
Suasana makan malam begitu hangat dan menyenangkan. Berkumpul sama keluarga adalah suatu anugerah karena mempunyai orang tua yang sayang padaku. Aku tidak menginginkan apa pun, kecuali kebersamaan ini.
“Rin, kata Mama, Rin beneran ingin tinggal bersama Kakek dan Nenek?”
Terdiam. Aku benar-benar lupa akan hal itu. Tadi sore aku membicarakan masalah itu dengan Mama. Kalau tinggal bersama Granpa dan Granma di Jerman, terlalu jauh. Aku pun tak pandai bahasa Jerman, masa cuma mengobrol sama Granma? Sedangkan Granpa mengerti bahasa Indonesia, tapi susah ngomongnya. Makanya, aku memilih tinggal bersama kakek-nenek. Lagian aku belum pernah ke sana. Waktu kecil. Mama bilang saat usiaku lima tahun, aku pernah dibawa ke kampung halaman Mama. Mana ingat. Sedikit memori pun tak melekat.
“Iya.” Aku mengangguk pelan. Asalkan bisa keluar dari sekolah itu tak masalah. Karena sebelumnya aku sudah mengusulkan untuk pindah sekolah, namun Mama tidak mengizinkan. Kalaupun dapat izin dari Papa, aku masih bertemu sama Vino Virgo, musuh bebuyutan. Tidak mungkin kan aku pindah rumah juga?
“Baiklah, kalau itu pilihan, Rin,” ucap Papa. Kemudian menyendok nasinya kembali.
“Tapi, setelah Rin di sana. Kagak boleh cengeng! Gak boleh manja! Jangan susahin kakek-nenek!”
“Iya, iya! Kan Rin dah besar, Mam! Rin akan betah di sana kok.”
Mama gak percaya amat sih, sama anaknya. Aku bukan anak kecil lagi, setelah berada di sana mana mungkin minta balik dan merengek seperti anak kecil. Ya, nggak lah. Seharusnya Mama senang aku bisa mandiri. Tidak terus-terusan nyusahin Mama-Papa.
Tapi ... ada keraguan di mataku. Apa aku bisa ... jauh dari Mama-Papa?
***
“Ma, lihat apaan?” tanyaku ikut duduk di sebelah Mama. Mama asyik membolak-balikkan album yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Anak kecil itu siapa?” tunjukku pada anak kecil berambut pirang kecokelatan, mungkin umurnya sekitar lima tahunan. Berdiri di antara seorang lelaki dan perempuan.
“Hayo, tebak siapa?” tanya Mama balik.
Aku mengernyit. Kalau dua orang itu aku tahu, Papa dan Mama. Papa terlihat sedikit gemuk di foto. Apa karena pekerjaan Papa agak kurusan? Ke luar kota juga menguras energi. Ditambah lagi pulang larut malam.
Aku kembali memperhatikan foto itu lamat-lamat. Kalau melihat dari rambut dan matanya, tampak seperti milik Papa. “Apa itu Dorin?” Tatapku terkejut menoleh ke Mama.
“Iya, itu Dorin.”
Aku mengerutkan dahi. Gadis kecil di foto itu terlihat kurus. Kurang gizi. Apa itu benar-benar diriku? Aku lupa gimana wajahku dulu.
“Iya, dulu gara-gara Mama-Papa sibuk. Dorin gak keperhatian, deh. Tiap hari ditinggal sama si Mbok. Dorin juga sering sakit-sakitan. Untuk itu, Mama memilih berhenti bekerja jadi chef. Memilih membesarkan Dorin dengan kasih sayang.”
Aku sungguh terharu mendengarkan cerita Mama sampai menitikkan air mata.
“Dorin sayang Mama!” Pelukku.
“Mama juga.”
“Karena itukah Mama menyiapkan semua makanan yang Dorin suka?”
Mama mengangguk mantap.
Pantasan saja aku tumbuh subur begini. Eh, bukan subur lagi, tapi kelewat subur. Tapi, aku senang dan sangat bersyukur memiliki orang tua yang menyayangiku. Rasa syukur ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Apakah di luar sana masih ada Mama seperti mamaku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Lastri M Saleh
smnggt dorin
2021-01-03
1
👑 ☘s͠ᴀᴍʙᴇʟ͢ ᴍᴀᴛᴀʜ💣
gezzz... apa2an ini. smp eps ini, isinya sedih semua. fiuhh....
2020-10-04
1