Episode 7

Tanpa mengucapkan kata perpisahan dari

sekolah ataupun sama Tante Mona, aku langsung meluncur ke sini bersama Pak

Nono. Sengaja, aku tidak ingin Mama ikut mengantar. Takutnya tambah sedih, tidak bisa melepasku. Sebelum berangkat ke sini, aku melihat Mama menitikkan air mata. Aku hanya pura-pura tidak melihat.

Ingin menangis rasanya ketika jauh dari mereka, daripada stres dan nafsu makan tak terkontrol, bikin badan semakin gendut, aku memutuskan untuk tinggal di kota ini. Kampung halaman Mama yang di kelilingi kebun teh.

Aku membuka kaca mobil. Mengambil

napas dalam-dalam--perlahan dikeluarkan dari mulut. Ah, segarnya. Tidak seperti di kota besar, membuatku sesak. Di sini udaranya

segar dan semakin sore udaranya pun semakin dingin.

Aku merapatkan jaket. Padahal di rumah

biasanya aku tidur dengan AC batas paling bawah, enam belas derajat celsius. Tapi di sini ... brrrr, dingin banget! Mungkin udara alami berbeda kali, ya? Seakan menusuk-nusuk kulit.

Mobil pun melaju dengan pelan karena

jalanan buruk. Terombang-ambing seperti di atas kapal. Untuk melepas kejengahan, aku menoleh pada sisi kiri dan kanan. Menabjukkan. Sepanjang pemandangan hanya warna hijau terlihat. Daun teh terlihat menggoda, inginku berlari di tengah sana.

Tit ... tit!

Pak Nono membunyikan klakson. Anak-anak

berlarian—main kejar-kejaran. Hampir tertabrak. Pak Nono bergumam, “Dasar anak-anak!”

Tidak peduli. Aku kembali menatap

pemandangan langka itu. Di kota mana ada pemandangan seperti ini. Kalau kebunnya seluas ini ...

“Pak, masih jauhkah ke dalam?” tanyaku mengalihkan pandang ke depan.

“Sekitar dua kilo lagi, Non!”

Aku mendengus. Kalau jalanannya bagus,

pasti cepat sampainya. Nah, ini kayak siput. Mungkin siput lebih cepat daripada

ini.

***

Sampai. Akhirnya, aku bisa keluar dari

kursi panas ini. Ah, mungkin pantatku sudah tempos. Setelah keluar dari mobil, kakek-nenek menyambutku di teras rumah yang tampak sederhana.

“Nenek!” teriakku menghampiri. Meski

jarang pulang ke kampung halaman Mama, tapi kakek-nenek sering berkunjung ke rumah dan menginap beberapa hari di sana. Hanya untuk melihatku, cucu tercintanya. “Dorin juga kangen, Kakek!” Sekarang pelukanku beralih pada pria yang rambutnya sudah mulai memutih. Kakek pun membalas pelukanku dan megelus-elus punggung juga kepalaku.

Aku melihat, di kampung ini rumahnya lumayan banyak daripada jalan yang kulewati tadi. Hanya satu-dua rumah teronggok. Itu pun jaraknya minta ampun. Cukup juah. Seperti tidak ada kehidupan.

“Ayo, masuk, masuk!” seru nenek.

Aku menggandeng tangan nenek ke dalam.

Dari belakang, Pak Nino mengekor sembari membawa koper dan tasku.

“Taruh aja di kamar, Pak!” kataku dan

nenek pun menujukkan kamar yang akan kutempati.

Di ruang tamu ini ukurannya tidak terlalu besar. Sofanya juga tidak terlalu empuk. Di tengah ada meja kayu kecil yang di atasnya ada kue kering. Setelah meletakkan barang-barangku ke kamar, Pak Nono ikut duduk bersamaku diruang depan.

“Silakan diminum,” kata nenek pada Pak Nono sembari meletakkan kopi panas di depannya. Asapnya mengepul, mungkin kalau di sini makanan atau minuman panas akan cepat dingin.

“Iya, makasih, Buk!”

Tanpa disuruh, aku langsung menyeduh teh

hangat di tangan. Ah, tenggorokanku rasanya fresh, inikah kenikmatan teh alami? Dipetik langsung dari sumbernya. Buatan nenek

lagi.

Setelah mengobrol dengan kakek-nenek, aku masuk ke kamar untuk beristirahat. Melepaskan penat sejenak.

“Ah, nikmatnya!” gumamku membaringkan tubuh di kasur.

Tidak begitu besar, sih, kasurnya. Hanya

cukup ditempati satu orang. Beda kalau di rumah, di sana aku bisa berguling-guling sepuasnya.

Aku melirik ke sudut dinding. Ada foto

anak perempuan berpakaian seragam SMP. Rambutnya dikepang dua. “Mama dari sononya udah cantik, tidak heran pacar Mama banyak,” gumamku memperhatikan

senyuman di wajahnya.

Aku menutup mata dengan punggung tangan.

Bayangan Dino mencuat. Sial! Padahal ke sini ingin melupakan tentangnya, tentang semuanya yang berhubungan dengan sekolah. Tapi, malah terbayang.

Aku menurunkan tangan. Menatap

langit-langit kamar. Di sinilah mama dulu tinggal. Saat lulus SMP, mama pindah ke kota besar untuk melanjutkan sekolah ke SMK, jurusan tata boga. Dulunya, mama tinggal bersama tantenya (kakaknya nenekku) tapi sudah meninggal lima tahun yang lalu. Dia tak punya anak, makanya mama sangat disayang sampai dikuliahkan keluar negeri.

“Hoaaam ....” Perjalanan kemari sungguh

melelahkan. Mataku terasa berat ... semakin berat. Samar-samar terdengar seseorang memanggilku.

Terpopuler

Comments

brshaaffn_18★HFN★

brshaaffn_18★HFN★

aku like sampai sini dulu kakak, rate 5 juga 😁

always spirit in the working 💪😄
salam dari MACAC dan KCADA ✌️😆

2020-10-11

1

👑 ☘s͠ᴀᴍʙᴇʟ͢ ᴍᴀᴛᴀʜ💣

👑 ☘s͠ᴀᴍʙᴇʟ͢ ᴍᴀᴛᴀʜ💣

tarok apa taruh, kak? 😁
over all, cerita ini asik bgt. ceritanya sewruu. tp tambahin bom lg boleh dong, kak... biar tambah pecah 😚😚🙏🏻🙏🏻

2020-10-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!