Sekarang, aku tidak peduli dengan orang-orang apalagi dengan gosip murahan itu. Mengatakan kalau aku operasi plastik dan sedot lemak. Kesal? Tentu saja aku kesal dengan tuduhan itu. Setelah menerangkan pada mereka, lalu apa yang kudapat? Pujian karena badanku sudah kurus karena kerja kerasku?
Saat membuka loker. Aku tidak menemukan tumpukan surat di dalam sana. Semua berkat gosip itu, jadi rasa kesalku sedikit berkurang. Masalah seakan teratasi dengan sendirinya. Aku tidak perlu membuang surat-surat cinta yang mereka kirim.
"Hai, Rin."
Aku menutup pintu loker dan di samping sudah berdiri cowok blesteran Jepang.
"Lo nggak apa, Rin?"
"Seperti yang kamu lihat," jawabku, saat ingin menuju ke toilet untuk mengganti seragamku dengan pakaian olahraga, Shiro menahan lenganku.
"Aku mengkhawatirkanmu."
"Terima kasih, tapi aku tidak apa-apa."
Melihat raut wajah Shiro ... apa aku bersikap terlalu dingin padanya? Tapi, aku tidak suka dia bersikap pura-pura peduli padaku apalagi karena penampilanku yang sekarang.
"Rin!"
Aku pun mengabaikan panggilannya. Maafkan aku, mungkin akan lebih baik seperti ini.
***
Cuaca pagi ini sangat cerah dan panas membakar kulit, padahal ini masih jam delapan pagi. Ah, rasanya ingin kembali ke kampung, meski di sana cuacanya cerah, tapi masih terasa sejuk.
Sebelum mengelilingi lapangan, kami disuruh pemanasan terlebih dulu yang dikomandoi langsung oleh guru olahraga. Setelah menghabiskan waktu selama sepuluh menit untuk pemanasan. Semua murid disuruh lari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali. Lumayan bikin banjir keringat.
"Dor-Dor tunggu Ela!" serunya dengan napas terengah mengejarku. Padahal sudah kubilang untuk tidak memaksakan diri menyamai lariku. "Apa Dor-Dor nggak lelah?"
"Aku masih bisa berlari dua puluh putaran lagi," jawabku dengan santai sembari mempercepat lariku. Aku tersenyum mendengar teriakan gadis itu memangil.
Kalau diingat-ingat saat berbadan gemuk dulu, aku memang kesulitan untuk berlari. Memutari setengah lapangannya saja membuatku sulit bernapas, bahkan aku menganggap seluruh lemak di tubuhku adalah beban.
"Dor-Dor!"
Aku menoleh belakang sambil berlari. Suara Ela terdengar kesakitan saat memanggil namaku.
Brak!
"Ough!" Rintihku saat menubruk tubuh seseorang, pantatku terhempas di atas rerumputan. Sial! Aku mengupat dalam hati sembari menyentuh wajah dan bokongku yang terasa panas. "Sialan di mana mata--" Aku mendongak dengan mata melebar, mulutku terkunci seketika.
Rega?
Dan cowok yang kutabrak barusan adalah Devin. Cowok yang pernah menganggu Ela. Apakah dia sekelas dengan Rega?
Dia tersenyum sinis. "Apa dia Miss Ball yang lo maksud, Bro?"
Mendengar kata itu tubuhku serasa lemah dan lututku gemetar. Rega sudah mengetahuinya. Kepalaku spontan menunduk sembari mengcengkeram lutut. Entah mengapa keringat dingin keluar memenuhi jidatku.
Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengendalikan diri dan menenangkan dadaku yang tadinya tiba-tiba berdebar hebat. Aku perlahan berdiri, menatap Devin dengan tatapan biasa.
"Dor-Dor nggak apa?" tanya Ela sudah sampai di tempatku dengan napas terengah-engah. Aku menoleh ke samping.
"Bagaimana denganmu?"
Ela mengelap jidat yang membanjiri wajahnya dengan punggung tangan. "Ela nggak apa. Hayuk, Dor-Dor." Ela menarik tanganku menjauh dari kedua cowok itu.
...***...
Aku melirik bangku kosong di sampingku. Sehabis pelajaran olahraga, Ela dibawa ke ruangan kesehatan karena kepalanya pusing. Bibirnya pun pucat begitu juga keningnya dipenuhi bulir-bulir keringat dingin sebesar jagung.
Aku menoleh ke samping, lebih tepatnya ke arah Nora. Gadis itu sedang memandang ke arah luar jendela. Mungkin dia masih merasa bersalah padaku, seharian tadi dia tidak ikut makan siang di kantin ataupun berlari bersama kami. Dia menolak ketika diajak Ela untuk gabung bersama, membuat alasan lain agar menjauh.
Nora menoleh dan mata kami pun bertubrukan dan dengan cepat gadis itu memalingkan wajah, dia menyadari kalau aku memperhatikannya.
Bukankah sudah kubilang tidak apa-apa? Kenapa dia malah menghindarku?
"Permisi, Buk." Seseorang mengetuk pintu dan berbicara pada guru kemudian meminta izin untuk mengambil tas Ela. Mungkin saja pria itu datang untuk menjemput Ela.
Kuharap Ela baik-baik saja.
Sejujurnya, merasa sepi juga kalau tidak mendengar celoteh gadis itu. Suasana tenang yang kualami sekarang terasa sangat membosanksan.
...***...
"Tunggu!" Aku mendecak ketika Nora mengabaikanku begitu saja. Ketika bel pulang baru saja berbunyi dia cepat-cepat mengemaskan alat tulisnya dan keluar setelah itu. Karena mengejar gadis itu, aku meninggalkan tasku di dalam. "Nora!"
"Aku mau pulang," katanya seraya menarik tangannya yang kugenggam erat. Kalau tidak, dia bakalan lari.
"Kenapa kamu menghindariku?"
"Ti-tidak. Aku hanya sedang buru-buru," jawabnya tanpa melihat ke arahku.
Aku menghela napas pelan. "Kalau ingin berbohong carilah alasan yang bagus agar aku bisa membiarkanmu pergi."
"Maaf."
"Bukankah sudah kubilang aku tidak mempermasalahkan itu?"
Nora menatapku dengan tatapan sedih. "Ini semua terjadi karena aku, Friska tidak menyukaiku, dan orang-orang yang dekat denganku. Aku tidak mau kemarahan Friska akan berimbas padamu juga, Rin."
"Aku tidak peduli." Toh, dia juga sudah terlanjur membenciku duluan.
"Tapi--"
"Jangan menjauhi kami hanya karena alasan itu. Kalau Ela tahu, Ela akan merasa sedih, karena dialah yang menjalin tali pertemanan kita."
Mata Nora berkaca-kaca. "Terima kasih," katanya hampir menangis. Mungkin pertemanan ini sangat berharga baginya, makanya Nora bertindak seperti itu.
Aku mengangguk. "Bukankah itu gunanya teman? Saling mengerti dan juga membantu."
Akhirnya aku mengatakannya juga, arti dari sebuah pertemanan. Memang terdengar lucu , sih, jika dikatakan oleh orang yang tidak percaya dengan hubungan semacam itu.
Tapi setidaknya, kali ini aku mencoba untuk membuka hati untuk mempercayai orang-orang terdekatku.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Ihwari Prowiska Rambe
lanjut thor
2020-10-05
2