Memasuki kawasan Poncokusumo menuju Coban Pelangi, medannya cukup menantang. Jalannya berkelok, semakin menanjak dan sempit. Bahkan untuk dua mobil yang berlawanan arah, salah satu harus mengalah dan berhenti. Sepertinya letak air terjun ini benar-benar hampir di atas gunung dan suasanannya seperti berada di tengah hutan.
Udara dingin mulai menusuk, padahal AC sudah dimatikan. Sepanjang perjalanan aku berkonsentrasi melihat kondisi jalan dan tidak berhenti berdoa. Akhirnya Pak Agam membawa mobil dengan selamat sampai gapura masuk air terjun.
“Wuuaaaahhh, kereeeen,” ucapku tanpa sadar begitu keluar dari mobil. Patut kuberikan pujian pada Pak Agam karena berhasil sampai di tempat ini. Mungkin jika aku yang menyetir, lebih baik pulang saja biar selamat.
Dosen kece itu tersenyum lebar ketika turun dari mobil. Dia membuka pintu jok belakang lalu mengeluarkan ransel berisi minuman dan kamera.
“Mau pakai jaketku, Nad?” Aku menggeleng. “Tasmu ditinggal di mobil saja. Ambil barang berharganya, biar kutaruh di ransel,” katanya. Rupanya Pak Dosen sudah mempersiapkan semua.
Kuberikan ponsel dan dompet padanya. Setelah ransel bertengger di punggung, Pak Agam berjalan menuju loket tiket masuk. Aku membuntutinya.
Pada saat membayar tiket, petugas memberi arahan untuk mengikuti rambu-rambu petunjuk, menghindari tebing-tebing longsor, dan tidak boleh keluar jalur. Tempat wisata ini masih terbilang asli, karena tidak terlalu banyak bangunan pendukung, hanya beberapa lapak penjual, musola dan toilet. Pak Agam menawariku ke kamar mandi sebelum melakukan perjalanan–hal ini sama sekali tidak terpikirkan.
Mengawali perjalanan, aku berjalan di depan Pak Agam. Sudah tidak sabar rasanya ingin melihat air terjun yang konon bisa membiaskan warna pelangi itu. Aku harus hati-hati melangkahkan kaki di jalan setapak yang terbuat dari tanah ini. Apalagi jalurnya menurun. Keputusan memakai sneaker sangat pas sehingga aku leluasa bergerak di medan seperti ini.
Mataku benar-benar dimanjakan oleh alam hijau. Hutan dengan pepohonan yang masih lebat, suara burung dan hewan liar bersahut-sahutan seperti alunan musik klasik yang menenangkan.
“Nada, awas!”
Karena terpesona, aku tidak melihat jalan yang basah hingga terpeleset. Akibatnya tubuhku kehilangan keseimbangan dan pasti akan terpelanting ke belakang. Kupejamkan mata mengantisipasi rasa sakit yang akan menghantam punggung. Namun, punggungku rasanya tersangga sesuatu. Bersamaan dengan itu sepasang tangan kekar melingkupi sisi tubuhku, memeluk dari belakang. Lantas penyangga itu mendorongku hingga kembali tegak berdiri.
“Kamu nggak apa-apa?” Suara serak Pak Agam begitu dekat di telingaku. Terdengar lembut dibandingkan suara degup jantungku yang tidak beraturan. Rupanya dia menahanku agar tidak jatuh kebelakang.
Aku mengangguk dalam keadaan gemetar karena kaget. Pak Agam membiarkanku tenang dalam rengkuhannya. Rasa nyaman dan hangat membuatku berhenti gemetar. Beberapa saat kemudian udara dingin terasa menerpa punggung, membuatku sadar bahwa dia telah melepaskan pelukannya. Tubuhku masih membatu.
“Ayo lanjut. Kamu pegangan saja sama ransel. Ikuti jejak kakiku,” katanya sambil berjalan mendahuluiku.
Kami melanjutkan perjalanan dengan agak pelan, beberapa kali melewati penjual makanan dan tempat pemberhentian yang berupa gubuk bambu. Pak Agam menawarkan untuk berhenti, tapi aku tidak mau.
Selanjutnya kami harus melewati jalan menurun yang cukup curam. Pak Agam beberapa kali berhenti untuk menahan tubuhku yang hampir tergelincir. Sepatuku terlihat kumal dan warnanya menjadi coklat karena lumpur. Bahkan bagian bawah celanaku sudah cukup kotor karena mendapat cipratan sana sini. Beberapa menit setelah melewati kawasan tanah lapang perkemahan, kudengar suara aliran sungai.
Di ujung turunan curam, terlihat jembatan bambu yang melintang di atas sungai. Setelah melewati satu turunan yang hampir membuat kami berdua jatuh, akhirnya sampai juga di jembatan.
“Kamu capek?” tanya Pak Agam sambil terengah-engah. Dia membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya.
“Mungkin seharusnya kita tidak ke sini tadi, medannya terlalu berat.” Aku merasa lemah menghadapi medan seperti ini. Mungkin karena sudah jarang latihan karate dan hanya duduk di kursi saja kerjaanku sekarang.
Pak Agam menegakkan tubuhnya. “Tenang saja sedikit lagi sampai. Kita berhenti dulu istirahat di gubuk itu,” katanya sambil menunjuk gubuk tempat istirahat yang tak jauh dari ujung jembatan.
Setelah menyeberangi jembatan, ia berhenti di depan gubuk peristirahatan yang mirip gazebo. Ukurannya tidak terlalu besar, sekitar 2 x 2 meter. Atapnya terbuat dari rumbai dan setengah dinding bagian bawah dari anyaman bambu. Terdapat satu meja dan kursi panjang di dalamnya. Pak Agam masuk lebih dulu lalu melepas ransel dan menaruhnya di meja. Aku menyusulnya masuk lalu ikut duduk.
“Minum dulu. Aku capek,” katanya. Dia mengeluarkan botol minuman miliknya tadi dan menghabiskannya. Kemudian kuambil botol minumanku dan ikut menghabiskannya. Pak Agam mengambil hape dari dalam ransel.
“Foto dulu yuk,” katanya.
Aku menatap pria di sebelahku dengan heran. Tidak kusangka Pak Agam yang killer itu juga doyan selfie.
“Ayo hadap sini,” katanya lagi.
Aku menurut dan berpose victory sambil tersenyum. Dia mengambil foto kami berdua.
“Buat kenang-kenangan,” katanya sambil mengutak-atik hape di tangan.
Pemandangan di sekeliling gubuk ini sangat indah. Di depan sana ada bukit menghijau yang tadi kami turuni hingga ke jembatan yang terbuat dari kayu. Jembatan itu melintang di sungai yang tidak terlalu lebar, airnya jernih dengan riak-riak kecil di bebatuan.
Suara alam yang hening membuatku merasa nyaman. Berada di alam bebas membuatku makin hidup. Sedetik kemudian aku menyadari bahwa hanya ada kami berdua di tempat sunyi ini sehingga membuatku merasa kikuk.
Pak Agam menyandarkan punggungnya di dinding bambu, kepala diletakkan pada kedua tangannya yang berada di belakang kepala. Hapenya sudah berada di atas meja. Dia memejamkan mata, terlihat sangat lelah.
Memandangi dia dalam posisi seperti itu membuat teringat peristiwa saat terpeleset tadi. Tubuh yang kokoh itu telah merengkuh dan menahanku agar tidak terjatuh.
“Bapak capek ya. Maaf tadi saya bolak-balik terpeleset,” ujarku.
Mendadak matanya terbuka, lantas melihat ke arahku. Dia menegakkan tubuhnya. “Bapak?” ucapnya mengulangi perkataanku.
“Eh maksud saya Mas Alfian,” koreksiku.
“Untuk kesekian kalinya jangan panggil ‘bapak’ ya, nggak mesra sama sekali.”
“What the–”
“Psssst, jangan mengumpat sembarangan.” Pak Agam meletakkan jari di bibirnya. “Pamali, kita lagi di hutan. Pasti banyak makhluk tak kasat mata sedang memperhatikan, harus jaga adab,” lanjutnya.
Satu sudut bibirnya terangkat,”Lumayan capek sih. Tapi jangan khawatir, aku masih kuat kok. Kalau kamu berencana untuk jatuh bilang saja. Aku siap menahannya.”
Aku melotot mendengarnya dan kehilangan kata-kata yang sudah di ujung lidah. Untuk beberapa saat kami membiarkan keheningan alam mengambil alih suasana yang canggung. Seperti dikomando kami menoleh bersamaan, berpandangan cukup lama tanpa suara. Situasi ini membuatku merasa malu. Aku bangkit dan melihat sekeliling, terlihat trek selanjutnya yang menanjak.
“Serena,” panggilnya lembut.
Aku menoleh. Dia sudah duduk tegak kembali.
“Ketika bertemu pertama kali denganmu di bangku itu, kita sama-sama belum saling mengenal. Apakah jika aku bukan dosenmu, kamu mau dekat denganku?”
Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Apakah jika bukan karena resume sialan dan project perumahan ini, kamu mau jalan denganku?” tanyanya frustasi.
Aku menunduk, benar-benar tidak mengerti harus menjawab apa.
“Please, aku ingin tahu. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama denganku?”
Suaranya yang terdengar putus asa itu membuat hatiku ikut terasa sakit. Aku bingung dan tidak mengenali perasaanku sendiri. Selama ini yang kulakukan hanya menjalani semuanya sesuai perintah. Lalu ada Rendra. Meski pun dia menyebalkan, tapi perasaanku mulai tumbuh untuknya.
“Aku tidak tahu!” teriakku sambil berlari keluar. Menghindari situasi yang menyesakkan dada ini. Bulir bening dari kedua mataku jatuh.
“Serena, tunggu!”
Tidak kuhiraukan panggilan Pak Agam dan terus berjalan. Jantungku berdetak tidak karuan. Aku mengerjap dan menyeka air mata sambil terus berjalan. Kakiku menapaki trek menanjak ini selangkah demi selangkah.
Detak jantungku mulai teratur dan napasku mulai tenang. Air mata sudah berhenti mengalir. Sebagai gantinya telingaku menangkap suara deburan air. Kelihatannya air terjun itu sudah dekat, mungkin setelah tikungan di depan.
Melihat ke belakang, kudapati laki-laki itu berjalan di kejauhan. Tanpa ragu kakiku melangkah mengikuti jalur yang semakin menanjak dan berbelok di tikungan. Benar saja, ketika sudah berada pada titik tertinggi, terlihat curahan air deras dari tebing di depanku. Samar-samar kulihat pembiaskan sinar matahari yang membentuk pelangi pada cipratan air di bawah sana.
“Indah sekali,” bisikku.
Aku berbalik, dan tidak menemukan dia di belakang. Seketika rasa panik menyergap. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengannya? Insting membawaku kembali turun dengan hati-hati. Langkahku menjadi semakin cepat karena gravitasi. Namun begitu sampai di tikungan, aku tidak bisa mengerem. Bayangan tubuhku jatuh terperosok ke sungai di bawah terlintas di kepala.
Sebelum itu terjadi, sebuah lengan kokoh menahan perutku dan serta merta menarik pinggangku ke arah tubuhnya yang bertumpu pada dinding tebing. Spontan tanganku berpegangan pada pundaknya agar tidak terperosok. Tidak ada lagi jarak di antara kami. Kurasakan tubuhku mulai gemetar sementara air mataku meleleh pada dadanya yang bidang.
Dia mengelus kepalaku. “Its okey. I hold you.”
Entah berapa lama aku mematung dalam pelukannya. Lalu kesadaran datang tiba-tiba.
“Maaf.” Aku hendak mundur tapi dia menahan pinggangku, membuat pandangan kami kembali bertemu. Sosoknya yang tinggi menghalangi sinar matahari, membentuk siluet seorang pria.
“Aku siap menunggu. Mungkin semua ini memang terlalu cepat. Jika kamu memang untukku, semoga perasaanmu juga tumbuh suatu saat nanti.” Pak Agam melepasku dengan hati-hati lalu tersenyum. Perlahan dia berjalan melewatiku, meninggalkan aku yang masih berdiri mematung di belakangnya.
Ada kekosongan di sudut hati. Ada berjuta perasaan berkecamuk di benakku. Ada ribuan penyangkalan di otakku. Semuanya hanya karena satu orang yang bersamaku sekarang ini.
“Ayo lanjut, sedikit lagi sampai.” Suaranya agak jauh.
Aku mendongak, rupanya ia sudah sampai di atas. Dia berhenti untuk mengambil beberapa foto air terjun. Aku menapaki tanjakan itu, sementara Pak Agam sudah berjalan turun ke dekat kolam di bawah curahan air.
Karena air memercik ke mana-mana, maka ransel itu ditinggalkannya di atas bebatuan yang agak jauh dari kolam. Dia memberi kode padaku untuk mendekat dan mengambil foto kami. Setelah itu dia bersikeras menyuruhku untuk berpose di dekat air terjun.
Setelah cukup puas, kami berpindah lokasi foto di bebatuan sungai. Pantas saja dia menyuruhku membawa baju ganti, ternyata ini alasannya.
Air sungai yang jernih membuatku tergoda untuk bermain sejenak. Kulepaskan sepatu, lalu duduk di batu besar sambil mencelupkan kaki. Tidak peduli ujung celanaku basah. Rasa dingin dan sejuk dari telapak kaki menjalar ke atas, memberikan sensasi segar pada otot-otot yang bekerja keras dalam perjalanan ke sini tadi.
Pak Agam berada tidak jauh dariku, sedang membasuh muka dan rambutnya. Sepatunya juga sudah di lepas. Tiba-tiba sebuah imajinasi berkelebat di otakku. Bahwa diriku adalah seorang putri yang tidak berdaya, lemah, dan rapuh. Sementara dia adalah pangeran dari antah berantah yang sangat gagah perkasa hendak menyelamatkanku dari naga raksasa.
Bagaimana tidak? Dia ganteng, tinggi, bertubuh atletis, dan berkali-kali menyelamatkanku dari terjatuh.
“Siap pulang?” Suaranya membuyarkan lamunanku.
“Yap,” jawabku singkat. Kubersihkan sepatu dari lumpur sebelum memakainya kembali.
Perjalanan naik ke titik awal terasa sedikit lebih lama. Selain karena sepatu kami menjadi lebih licin, Pak Agam berkali-kali berhenti. Sudah kukatakan kalau aku tidak capek, tapi dia memaksaku untuk duduk, minum, dan beristirahat di setiap pemberhentian.
Saat sedang duduk di tempat istirahat, melintas serombongan cewek di depan kami. Mereka berbisik-bisik begitu melihat Pak Agam. Tentu saja tidak setiap hari bisa menemukan makhluk tampan, apalagi di tengah gunug antah berantah seperti ini. Atau mungkin mereka menganggap dia penunggu gunung yang tampan.
Tiba-tiba salah seorang cewek atau lebih tepatnya ibu-ibu berkedip nakal pada Pak Agam. Aku terkikik melihatnya salah tingkah sambil membalas dengan senyum sopan. Setelah mereka agak jauh, sifat usilku timbul.
“Cieeee, yang penggemarnya ibu-ibu,” godaku.
“Ayok lanjut,” katanya sambil berdiri.
Aku tertawa terbahak-bahak tanpa bisa kutahan.
“Kenapa, kamu cemburu ya?” Dia menaikkan sebelah alisnya.
“Yeeee, ge-er!” Aku berjalan mendahuluinya.
“Mending GR dari pada minder,” jawabnya dari belakang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Summer Wen
coban pelangi,,, baca episode ini mengingatkan akku akan seseorang yang pernah singgah di hatiku dulu....
ceritanya mirip sama kejadianku yang ku alami dulu...
emanknya author nya asli orang malang kah??
2020-02-22
1
Mia Adrianto
pas like ke 100😁😁😁👏👏
2020-02-11
1