Aku sedang mematut diri di cermin ketika klakson mobil berbunyi di depan rumah. Segera aku berlari ke depan melihat siapa yang datang. Fortuner hitam yang tidak asing terparkir di depan pagar.
Oh, tidak! Mau apa Pak Dosen itu kemari?
Setelah kubuka pintu gerbang, tampak Ayah yang sedang turun dari kabin depan penumpang. Tumben kali ini Ayah tidak bawa mobil sendiri dari Surabaya. Segera saja aku menghampiri beliau dan mencium tangannya.
“Assalamualaikum. Kok nggak nyetir sendiri, Yah?” tanyaku.
“Waalaikum salam. Ini tadi habis dari rumah Wigyo, mobilku kutinggal di sana. Besok pagi dia yang nyetir dan kami kumpul di sini.”
Mendengar penjelasan Ayah, aku hanya bisa berkata, “Ooo.”
“Oh iya, Fian ayo masuk!” ajak Ayah pada Pak Dosen yang berjalan membuntuti kami. Dia mengenakan kaos polo biru tua dan jeans, bukan outfit untuk mengajar. Sengaja aku tidak membuka pembicaraan dengannya, sangat canggung jika ada Ayah di antara kami.
“Permisi, Serenade,” kata Pak Agam setelah masuk ke ruang tamu.
“Ayo, masuk. Duduklah, tidak usah sungkan-sungkan,” kata Ayah.
“Ayah, maaf Nada harus berangkat sekarang. Empat puluh lima menit lagi Nada ada ujian,” ujarku beralasan, agar tidak perlu ikut duduk bersama mereka.
“Oh, begitu. Ya sudah sebaiknya kamu segera berangkat,” kata Ayah.
“Ujian apa?” sahut Pak Agam.
“Ekonometri, Pak Heru,” jawabku singkat seramah mungkin.
Ayah memandang kami bergantian, seolah ada yang aneh.
“Dia mahasiswa saya, Om,” sambar Pak Agam cepat.
"Ohhh begitu. Kok kalian nggak ada yang cerita?" Ayah tertawa mendengar keterangan Pak Agam barusan. “Wah, kamu bisa minta bocoran soal dong, Nad,” kelakarnya.
“Sayang, ujiannya Pak Agam sudah semua, Yah,” jawabku sinis.
“Hahahahha. Saya titip-titip Serena, ya Pak Dosen,” kata Ayah yang dijawab dengan anggukan oleh Pak Agam.
“Dia itu agak badung waktu masih sekolah dulu. Silakan ditegur saja kalau nakal, hahahahha.”
Aku menangkap sorot mata tajam Pak Agam serta bibirnya yang tersenyum penuh arti.
“Nada kelihatannya memang perlu bimbingan, Om. Jangan khawatir, akan saya jaga dia baik-baik,” katanya lagi.
What? Yeeeee, emang ada maunya!
Tiba-tiba aku teringat resume, ”Oh iya, Pak. Eh, Mas Alfian. Saya mengumpulkan resumenya sekarang saja ya, sudah selesai kok.”
Tanpa menunggu jawaban aku segera melesat ke kamar. Usai mengambil resume yang sudah terbendel rapi, tak lupa memakai ransel kesayanganku. Isinya hanya sebuah buku catatan hasil mind mapping tadi pagi buat persiapan ujian siang ini. Setelah mengambil kunci motor, aku segera kembali ke ruang tamu.
“Ini, Pak. Eh, Mas, resume saya,” ujarku sambil mengulurkannya ke Pak Agam. Dia menerimanya dengan ogah-ogahan.
Dasar menyebalkan!
“Bukannya waktu mengumpulkan yang saya berikan sampai besok?”
“Maaf, besok saya sudah ada janji dengan seseorang. Makanya saya percepat sekarang," tegasku, lalu kuhampiri Ayah, "Nada pamit, takut terlambat, harus segera berangkat,” seraya mencium tangan beliau.
“Iya, hati-hati di jalan,” jawab Ayah.
Aku berlalu tanpa melihat ke arah Pak Agam. Biar saja dia merasa kalau aku tidak welcome dengan kehadirannya.
*
"Hai, Nev," sapaku riang, mendapati gadis centil itu duduk sendirian di bangku depan taman. Tumben dia datang awal, biasanya mepet walau musim ujian.
"Nad, gue sengaja nungguin elu," jawabnya sambil memberi kode padaku untuk duduk di sebelahnya.
"Udah siap ujian terakhir?" tanyaku lagi.
"Gue mau ngomong serius sama elu," ia mendesah perlahan, "lu sama Pak Agam ada hubungan apa? Sorry kalau gue seperti nyampurin urusan lu. Tapi kayaknya elu makin sering menghindar dari gue sejak peristiwa elu diusir pak Agam dulu itu."
Ada sedikit rasa sebal ditanya Neva seperti itu. Memang sih, kami tidak seakrab waktu awal kuliah dulu, terlebih lagi setelah pengusiran pak Agam. Jujur aku masih kesal padanya karena menganggap aku yang salah. Padahal itu kan gara-gara Rendra.
"Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Dosen itu. Okey? Apa yang kamu lihat di sore kemaren cuma gara-gara resumeku kudu ada revisi." Terpaksa aku menutupi kisah sesungguhnya.
"Lalu, di kedai bakso? Jangan bilang kalau kamu nggak janjian sama dia."
"Kami kebetulan ketemu di sana. Namanya juga warung, Nev. Siapa aja bisa makan di sana kan?" elakku.
"Hmmm, begitu ya?" ujar Neva sambil terlihat memikirkan sesuatu. "Gue cuma mau ngasih tau, sama lu, Nad. Kalau nggak baik punya hubungan khusus sama dosen. Apalagi nanti orang jadi mikir macam-macam sama nilaimu."
Aku terhenyak mendengar penuturan Neva. "Maksud kamu?"
"Ya, kali aja ada servis lebih buat ngedongkrak nilai---"
"Stop! Dengerin ya, Mbak Neva yang baik! Pak Agam sama aku nggak ada hubungan apa pun! Kami kemarin cuma berurusan masalah tugas.Titik." Emosiku sudah sampai ubun-ubun, tapi tetap berusaha kutahan.
Neva benar-benar menganggap ku main curang sama dosen itu. Gila apa? Lagian ini kan juga gara-gara Rendra yang ngasih resume! Duuuhhh, bikin ruwet hidupku saja tuh Beruang!
Kuhela napas dengan sedikit embusan keras di akhir. "Huh!"
Neva menoleh. "Gosah emosi lah, kalo lu emang nggak ada apa-apa sama tuh orang."
"Maumu apa sih Nev, sebenarnya? Aku punya salah apa sih sama kamu?" tanyaku menyudutkan.
"Nggak usah kayak gitu juga, Nad. Gue pan temen lo, wajib dong ngingetin kalo lo salah." Ia berhenti sejenak dan mengalihkan pandangan ke depan. "Atau lu sudah nggak nganggep gue temen lu lagi? Cuma Rendra temen lu sekarang?"
Aku terdiam. Benar-benar kehabisan alasan untuk menyanggah.
"Masuk yuk, tuh Mario sama Rendra dah dateng," ajaknya. Neva segera berdiri dan menghampiri dua orang itu.
Aku masih terdiam beberapa saat sebelum beranjak juga dari bangku dengan malas.
Okeh, kita selesaikan ujian ini dulu. Semua masalah lain, abaikaaaaaaan, batinku mengafirmasi.
*
Aku berjalan keluar gedung dengan perasaan lega, akhirnya satu semester telah terlampaui. Ujian berjalan lancar, adalah hal yang patut sekali disyukuri. Meski butuh kerja keras, tapi tidak ada kendala yang berarti.
Rendra yang beberapa kali memanggil saat ujian, sama sekali tidak kugubris. I can do it by my self.
Rencananya ada tiga novel yang akan kuhabiskan secara marathon sebagai reward pada diriku sendiri. Sekaligus untuk menghabiskan waktu bersantai hari sabtu dan minggu besok.
“Hallo, Narendra to Serenada,” sapa Rendra yang tiba-tiba saja sudah menjajari langkahku. Dia tadi sudah mengumpulkan ujian dan keluar kelas lebih dulu. Ternyata dia menungguku di luar gedung, di tengah gerimis.
“Ngapain panggil-panggil?” tanyaku acuh tak acuh
“Ihhh, masa ketus gitu jawabnya.”
“Cepetan ada perlu apa? Aku mau pulang, nih hujan,” jawabku ketus.
“Makanya ikut aku, sini!” Tanpa aba-aba Rendra menyeret lenganku ke sebuah pohon besar di dekat tempat parkir.
Di bawah pohon itu terdapat bangku-bangku taman seperti di depan gedung pasca. Bangku yang sama ketika aku bertemu Pak Agam pertama kali.
Eh, kenapa malah teringat orang itu? Menyebalkan!
Rendra duduk lalu menepuk-nepuk bangku di sebelahnya, memintaku duduk. Kemudian dia mengeluarkan sekotak martabak telor bertopping keju mozzarella dengan aroma menggoda. Diletakkannya kotak martabak itu di antara kami.
“Aku tadi beli di pinggir jalan,” jawabnya melihat keherananku. Rendra mencomot sepotong dan langsung dimakannya dengan ekspresi lebay macam iklan.
“Anggap saja pizza asli Indonesia,” katanya sambil mencomot sepotong lagi. “Ayo ambil, jangan malu-malu,” ujarnya dengan mulut hampir penuh.
Mau tidak mau aku ikut tergoda untuk mencicipinya. Apalagi udara sore ini cukup dingin dengan hujan rintik-rintik.
“Nyogok martabak, pasti ada maunya nih?” tanyaku di sela kunyahan.
“Sebenarnya aku ingin melanjutkan obrolan kita semalam.” Perkataan Rendra membuat kunyahanku berhenti. “Bagaimana dengan tawaranku?”
Kuangkat bahu, lalu kembali melanjutkan kunyahan. Sebelum menggigit bagian akhir, aku menoleh pada cowok di sebelah. Jaket denim dark blue yang membalut tubuhnya, tidak dikancingkan. Di dalamnya terlihat kaos polo navy polos, mirip warnanya dengan yang dipakai Pak Agam tadi.
Eh? Ngapain inget tuh orang!
"Nad," panggilnya lagi.
“Entahlah, Ndra!" sahutku kesal. "Aku sama sekali tidak tahu,” jawabku jujur seraya mengambil tisu untuk membersihkan tangan.
“Sesulit itukah kamu mengidentifikasikan perasaan padaku, Nad?” tanyanya lagi.
“Aku sudah bilang kalau aku nggak pernah pacaran, Ndra. Aku takut.”
Rendra tergelak mendengar jawabanku.
“Memangnya kalau kita pacaran, aku ngapain kamu? Kita kan bukan mau kawin. Nada, Nadaaaaa! Lucu banget sih kamu,” katanya sambil memegang hidungku dengan tangannya yang berminyak.
“Ih, jangan pegang-pegang sembarangan dong!” bentakku sambil berdiri. Segera saja kuusap hidungku dengan tisu basah.
Rendra menyebalkan!
Beruang kutub itu masih saja terkekeh-kekeh, sama sekali tidak merasa bersalah. "Iya, maap maap. Udah, jangan marah terus dong, Say. Sini-sini duduk lagi," pintanya dengan nada merajuk.
Suer, aku gemes lihat dia kalau sudah bertingkah seperti anak kecil. Sangat susah menolak permintaannya kalau melihat 'puppy eyes' si beruang madu ini. Sipit tapi di bulat-bulatkan, hehehhee.
"Nih, minumnya. Cuma nemu air mineral tadi." Rendra membukakan tutup botol sebelum diserahkan padaku. Lalu membuka botol miliknya sendiri.
Kuterima botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya itu. Kuninum sedikit lalu menutupnya kembali.
"Gimana ceritanya kemarin, sama si Agam? Semalam kamu belom cerita." Ditodong seperti itu, mau-tidak mau aku harus ngomong.
Kusandarkan punggung di bangku sambil menerawang jauh. Perlahan kuceritakan semua yang terjadi di ruang sidang itu.
Wajah Rendra terlihat pucat setelah mendengar penjelasan dariku. Sementara aku merasa cukup lega setelah menceritakan semuanya. Biar dia ikut merasa bersalah juga.
Rendra bangkit dari duduknya, lalu berjongkok di hadapanku. “Kenapa nggak bilang sama aku dari awal? Kan aku bisa bilang ke Pak Agam kalau aku yang maksa ngasih resume itu.” Raut mukanya menegang.
“Nggak perlu lah. Lagian salahku juga mau nerima tawaran kamu.”
“Aku minta maaf, Nad. Sumpah, nggak nyangka kalau dia segitu telitinya. Aku yang salah. Maafin aku ya, kamu jadi kena masalah kayak gini,” ujarnya dengan lembut.
“Its okey kok. Semoga saja Pak Agam mau nerima tugas pengganti yang udah kuserahkan tadi,” jawabku tenang.
Ehem-ehem,” suara Neva tiba-tiba terdengar.
“Waahhh, gitu ya sekarang? Gak ajak-ajak kalau makan,” timpal Mario sambil mencomot satu potong martabak.
Aku sampai tidak menyadari kehadiran mereka berdua di belakang.
Neva yang merasa diacuhkan terlihat tidak terima. "Emang kalian sering janjian berdua aja, ya?"
"Bukan urusan kamu," jawab Rendra santai.
"Udah, ah. Gak penting banget buat debat," tukasku jengah. Masih kesal aku sama cewek itu.
Neva hanya tersenyum sambil berdecak. Sejurus kemudian tatapan matanya tajam melihatku. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Gimana ceritanya di ruang seminar sama Pak Agam kemarin?” pancing Neva.
Nah, kan! Rendra dan Mario ikut memandangku dengan serius. Neva sialan!
"Sebenarnya ada apa sih, Nad? Cerita dong,” celetuk Mario.
"Kamu tadi kan udah kuceritakan, napa tanya lagi?" ucapku ketus.
"Saya belum tahu, Bu," sahut Rio bercanda.
"Udah, itu bukan urusan kalian!" sergah Rendra.
Mario terlihat kaget dan tidak berani lagi bertanya. Sementara Neva memandang Rendra dengan tatapan tak percaya. Entah apa yang dipikirkannya, aku tidak peduli.
Kami semua tenggelam dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat. Sampai suara ringtone Perfect dari Ed Sheran berbunyi nyaring.
“Bentar, ada telepon.” Kutinggalkan mereka bertiga dan menjauh, ternyata telepon dari Ayah.
“Assalamualaikum, Ayah.”
“Waalaikum salam, Nada. Sudah selesai ujiannya?"
"Iya, Yah. Alhamdulillah."
Hujan gerimis semakin deras. Aku buru-buru berteduh, di pohon terdekat. Mario juga buru-buru mengemasi martabak dan ikut berteduh. Rendra membawa dua botol kami lalu berjalan ke arahku.
"Ayah sekarang dalam perjalanan ke rumah Om Wigyo, sama Alfian. Nanti malam Ayah nggak tahu pulang jam berapa, kamu tidur saja dulu. Kunci rumahmu kutitipkan ke satpam.“
“Iya, Ayah.”
“Ya sudah, nanti Ayah kabari lagi. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Setelah sambungan tertutup, aku menatap wajah beruang lucu itu lagi. Terlihat penyesalan mendalam dalam tatapannya. Dimasukan kedua botol minum tadi ke dalam tasnya.
"Ayok pulang, Say," ajaknya.
Neva dan Mario menghampiri kami, lalu bersama-sama menuju ke parkiran. Rintik hujan semakin rapat.
“Titip ransel ya, Ren. Soalnya ada laptop di dalam. Aku nggak bawa mantel tadi,” kata Rendra sambil berjalan menuju motornya yang terparkir agak jauh.
“Kebiasaan!” sergahku.
Aku sibuk membongkar jok, mengambil jas hujan. Usai meletakkan hape serta jam tangan ke dalam ransel dan memasukkannya ke dalam jok.
Hendak memakai jas hujan, Mario mendekatiku seraya berbisik, “Kamu jangan dekat-dekat Rendra deh. Kayaknya dia punya pengaruh buruk.”
Aku mendelik mendengar nasihatnya.
“Percayalah sama aku,” lanjutnya serius.
Neva yang sudah cemberut menunggu Mario berteriak dari dekat mobil, “Rio, ayo cepet!”
“Ya udah aku cabut dulu ya,” pamit Mario. Aku mengangguk.
Rendra mendekatiku dan menyerahkan ranselnya. Mario pergi lebih dulu setelah mengklakson mobil. Kami berdua melambaikan tangan padanya.
Hanya tertinggal kami berdua di parkiran, memandang hujan yang tidak terlalu deras, hanya cukup rapat. Langit pun belum gelap. Bisa kurasakan pria di sebelahku beralih pandangannya.
Begitu aku menoleh, benar saja. Rendra memandang dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan.
“Kamu cewek spesial, Serenada," ujarnya kemudian. "Ijinkan aku menjadi seseorang yang menjagamu,” pintanya lembut.
Ada perasaan menggelenyar yang tiba-tiba hadir dalam dadaku. Entah karena tatapan Rendra, atau karena perkataannya. Yang jelas, aku merasa terlindungi. Setelah mendapat intimidasi dari Pak Agam, dia memberikan sebuah tawaran kenyamanan yang sulit kutolak.
Rendra meraih tanganku. “Let me be the luckiest man. I am yours and you be mine." Genggaman tangannya erat menghangat. "Mau ya?” lanjutnya.
Dari tangan kekar itu muncul percikan hangat yang menjalar hingga ke wajahku. Aku tak sanggup lagi menatap matanya. Menundukkan kepala, seraya menarik tangan hingga terlepas, lalu aku menjauh.
Its not right, Nada! You can't do this! Dia menawarkan hubungan tanpa kejelasan. Bukan sebuah hubungan yang kauimpikan. Please, don't!
“Please say something, Nada?” pintanya lagi.
Tapi dia baik, aku juga suka sikapnya. Setidaknya, aku bisa mencoba mengenalnya lebih jauh. Bisa jadi, kan. Dia jodohku?
Setelah perdebatan sengit dalam benak, akhirnya aku mengangguk.
“Yesss!” serunya sambil mengepalkan tangan.
Aku terkikik melihatnya. Jujur, ini pengalaman terlucu seseorang menanyakan perasaanku. Sebelumnya, aku tidak pernah merasa seperti ini. Sebelumnya, selalu kujawab 'tidak' tanpa berpikir dua kali. Sebelumnya tidak ada yang membuatku mampu berkata 'iya'.
Suara hujan yang semakin deras menyadarkan kami. “Waduh, makin deras,” ujarku spontan.
“Ya udah buruan sana pulang,” perintahnya sambil memberikan helm kepadaku.
“Aku duluan, ya,” pamitku.
“See you dear, “ jawab Rendra.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Zulianik Anik
baca judul ini terhanyut alur ceritanya.......bagus.......😍😍😍😍😍😍
2020-01-06
4