Mata kuliah terakhir hari ini sudah selesai lima belas menit yang lalu. Kini kami berempat—aku, Rendra, Mario dan Neva—menjalankan ritual nongkrong di kedai bakso langganan tiap akhir minggu. Sambil menunggu pesanan bakso datang, pembicaraan berkutat tentang jadwal ujian akhir semester satu yang baru saja di-upload oleh website jurusan.
Otakku masih memikirkan cara untuk merangkum semua materi agar mudah dipelajari sebelum ujian. Rasanya, ingin kutambahkan hardisk eksternal saja. Lalu menginputnya dengan teori-teori Ekonomi terapan.
Jika bukan karena timbunan literatur yang membuat keriputku bertambah—karena saking banyaknya bahan bacaan—akhir semester satu terasa datang dengan kecepatan super. Walau faktanya memang lebih cepat dari rentang waktu satu semester biasa. Khusus prodi beasiswa, masa satu semester hanya berlangsung selama empat bulan. Pemampatan jadwal dan tatap muka selama empat bulan pertama ini sukses membuatku ngos-ngosan.
Setelah pesanan datang kami konsentrasi pada isi mangkuk masing-masing. Sesekali timbul pembicaraan santai tentang tugas-tugas yang belum dikumpulkan. Kebetulan, aku masih punya tanggungan satu tugas dari Pak Agam yang belum selesai, deadline-nya hari Senin depan.
"Ah, mungkin lagi PMS dia," celetuk Rendra.
Aku terbahak. Entah bagaimana, obrolan kami kembali membahas peristiwa pengusiranku yang telah lalu.
Sejak kejadian itu Pak Agam jadi lebih sangar. Sikapnya padaku terasa mengintimidasi, sering menyindir pula. Suasana di kelas juga lebih tegang, kedisiplinannya makin tidak bisa ditoleransi, dan beliau mudah sekali tersinggung. Hal ini membuat teman-teman sekelas seperti menyalahkanku. Memang mereka tidak mengatakan secara terang-terangan, tapi atmosfer yang kurasakan tidak senyaman sebelumnya.
"Atau lagi LDR sama istrinya kali. Jadi gampang uring-uringan," timpal Rio.
"Hahaha, kayak kamu kan," sahut Rendra.
"Sialan kamu, Ndra," balas Rio.
Aku terkikik melihat tingkah mereka berdua. Di antara kami berempat, hanya Rio yang sudah berkeluarga. Istri dan anaknya ada di Tulung Agung, sekitar tiga sampai empat jam perjalanan dari Malang. Karena itulah ia sengaja membawa mobil agar setiap akhir minggu bisa pulang.
"Kamu sama Rendra kayaknya perlu minta maaf deh, sama Pak Agam. Beliaunya jadi nggak asyik gitu ngajarnya di kelas," sahut Neva tiba-tiba. Sedari tadi Neva memang terlihat sangat serius. Bahkan dia tidak tertawa sama sekali mendengar celetukan Rendra.
Kami bertiga terdiam. Kalau boleh jujur, aku sangat jengkel mendengar perkataan Neva barusan. Aku ‘kan korban, yang bikin gara-gara waktu itu Rendra.
"Kamu kok ngomongnya kayak gitu sih? Memang sekarang tugasnya makin banyak. Tapi Pak Agam udah pernah bilang juga dari awal kalau kita bakalan banyak tugas," kataku membela diri.
"Gimana kalau kalian minta maaf baik-baik. Bentar lagi kita ujian, loh. Jangan sampe gara-gara kalian, nilai kita semua jadi taruhan," ujar Neva tanpa menggubris perkataanku.
"Ogah!" semprot Rendra. "Dia itu lebay," lanjutnya.
"Tapi, Ndra—,” sahut Neva.
"Nggak! Titik!" Intonasi Rendra yang tinggi berhasil membungkam Neva. Bahkan semua pengunjung melihat ke arah kami.
Cowok chubby itu memang temperamental dan tidak suka diperintah. Mungkin juga pengaruh dari jabatan yang cukup penting di kantornya selama ini.
"Woles, Bro. Kita ndak di tengah lapangan. Jadi ndak perlu teriak," ujar Rio sambil menepuk-nepuk bahu Rendra untuk meredam kemarahannya. Sementara itu Neva terlihat ketakutan.
"Neva ada benarnya juga. Okelah Pak Agam ndak mungkin bikin jelek nilai anak sekelas. Tapi piye sama nilai kalian berdua? Lagipula kita wajib lulus loh," lanjut Rio.
Perkataan Mario benar juga, tapi Rendra tampaknya masih tidak terima. Rio akhirnya mengangkat tangan sambil berkata, "Oke-oke, terserah."
"Udah, ayo dihabisin baksonya. Keburu dingin," potongku cepat.
"Eh ngomong-ngomong kita jalan-jalan ke mana gitu, yuk. Hari Sabtu atau Minggu,” usul Neva tiba-tiba. Gadis mungil itu memang agak kompulsif. Celetukannya selalu saja bikin orang kaget.
"Sorry, guys. Aku nggak ikut. Tugas resumeku masih kurang satu. Senin ada ujian juga kan?" sahutku.
"Ih, Nada gak seru deh," timpal Neva.
"Seru, seru, seru kepalamu? Nyuruh-nyuruh orang itu yang gak seru tau!" sahut Rendra sengit.
Aku tersenyum masam padanya. Pembelaan Rendra cukup membuatku tersentuh. Sikapnya yang protektif membuatku nyaman. Kecuali saat dia terpancing seperti tadi.
Hampir setiap hari jalan bersamanya, aku semakin mengenal karakternya dengan baik. Bahkan kami sering mengerjakan tugas bersama dan berbagi password e-mail masing-masing serta sharing jurnal daring.
Hari-hari kuliah kulewati dengan penuh kerja keras. Siang mencari bahan, sampai rumah begadang mengerjakan paper. Belum lagi menerjemahkan textbook yang menjadi rujukan utama. Rasanya aku seperti tenggelam dalam lautan buku dan jurnal ilmiah. Intinya kuliah kali ini sangat berbeda dari bayanganku.
Untung saja ada Rendra, aku banyak berhutang budi padanya. Kuakui beruang kutub itu memang pintar. Dia banyak membantuku belajar materi yang membuat otakku kram.
"Aku juga nggak bisa. Ada janji sama calonku," lanjut Rendra selow.
"Calon? Maksudnya calon istri?" Pertanyaan Neva mewakili isi hatiku.
Beneran elu sudah tunangan?" tanya gadis yang pernah ‘nembak’ Rendra tapi ditolak mentah-mentah itu memastikan. Pantas saja si centil itu cemburu melihat kedekatan kami.
"Pan aku sudah pernah bilang, dijodohin sama nyokap," jelasnya. Rendra terlihat malas merespon pertanyaan Neva. Dia sama sekali tidak memandang gadis itu.
Sebenarnya aku juga tidak percaya jika Rendra sudah bertunangan. Apalagi dia tidak pernah menyebutkan nama gadis itu sama sekali.
"Trus kapan nikah?" celetuk Rio. Rendra hanya mengangkat bahu sambil menyedot teh botol. "Jangan lupa undangannya ya, ntar. Mayan makan gratis, hahahahha."
“Beres, Bro.”
Rendra dan Rio kompak tertawa. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat mereka. Sementara Neva terlihat tidak nyaman. Kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.
“Balik yuk,” ajakku, melihat di luar mulai gerimis. Padahal saat berangkat tadi, cuasa cerah dan panas. Aku heran, Malang adalah daerah pegunungan tapi kok panas ya? Ternyata cuaca memang tidak dapat diprediksi.
Kami berempat keluar kedai dan berhenti di teras.
“Waduuuhh, aku nggak bawa mantel nih. Mana lagi bawa laptop juga,” ujar Rendra. Sudah kebiasaan, dia tidak pernah bawa jas hujan dan tidak suka pakai jas hujan. Gerah katanya.
“Sini titipin aku saja, besok kamu ambil ke rumah,” Neva menawarkan bantuan, rupanya belum menyerah juga. Pepatah sebelum janur kuning melengkung, Rendra masih milik umum rupanya masih dianut Neva.
“Nggak, Ah. Aku titip ransel ke Nada saja nanti,” kata Rendra membuat Neva semakin cemberut.
Kebetulan hari ini si matic sedang ngambek, dari pagi tidak mau distarter. Makanya aku meminta Rendra mengantar jemput untuk hari ini saja. Maklum, motor itu sudah menemani sejak aku mulai bekerja tujuh tahun lalu. Besok rencananya akan minta bantuan Pak Satpam untuk membawanya ke bengkel.
“Ya udah kalau gitu kita duluan aja Nev,” ajak Rio sambil menekan kunci remote. Setelah terdengar bunyi alarm dimatikan, ia berlari sambil menutupi kepala dengan tas.
Tidak berapa lama terdengar deru mesin dan mobil itu berhenti tepat di depan kami. Neva masih memandangi Rendra yang berdiri di sebelahku. Terdengar klakson dua kali, ada kendaraan lain yang juga hendak keluar di belakang Mario. Dengan enggan, akhirnya gadis yang naksir Rendra itu masuk mobil.
“Ati-ati, ya” pesanku pada mereka berdua.
Rio membunyikan klakson lantas mobilnya melaju. Aku dan Rendra melambaikan tangan sambil berjalan menuju teras kanan kedai. Rendra segera melepas jaket yang dikenakannya, meninggalkan kaus lengan panjang yang berkerah. Selera berpakaiannya cukup aneh memang, selalu memakai baju lengan panjang.
Aku tertegun, ia memayungi kami berdua menggunakan jaket. “Ayok, Nad,” ajaknya menyeberang ke tempat parkir.
Berdua berpayung jaket, kukira hanyalah adegan romantis yang ada dalam novel. Tidak pernah terbayangkan scene itu menjadi kenyataan, terlalu picisan. Namun Rendra membuatnya jadi kenyataan.
Hanya lima meter membelah derai hujan, bahkan jaket Rendra tidak terlalu basah. Namun momen di bawah rengkuhan tangan yang melindungi, mengirimkan rasa yang tak biasa.
Kami telah sampai di parkiran motor yang memiliki atap, tapi tidak serta merta ia melepas rengkuhannya.
Pandangan kami bertemu tanpa sengaja. Tatapan elangnya membius, membuat logikaku tidak bekerja. Saat wajahnya semakin mendekat, tidak ada sedikit pun protes keluar dari bibirku.
Namun sebelum kelembutan itu kurasakan, ia berhenti dan menjauh. Rendra berbalik memunggungiku. Jaket yang setengah basah dihempas ke tanah lantas memukulkan tinjunya ke tiang penyangga. Embusan napas berat terlepas dari mulutnya.
Aku memejamkan mata. Entah apa yang terjadi jika tadi ia tidak berhenti. Hampir saja aku melanggar satu prinsip: no make out session without marriage, yang selalu mengundang tertawaan teman-teman kuliah S1 dulu.
Tidak sedikit pula yang menyangka diriku tidak tertarik pada cowok. Pernyataan cinta yang datang tidak satu pun aku terima, karena tidak ada yang memenuhi kriteria.
Bahkan mereka sempat memberi julukan ‘gunung es’ gara-gara aku tidak punya pacar. Aku pemilih? Mungkin. Bukankah setiap orang mempunyai pilihan? Lagi pula, hatiku belum menemukan seseorang yang mampu membuatnya ‘tak berdaya’.
Para cowok itu memang mampu memberiku kenyamanan, tapi cuma sebagai sahabat yang sering hang out bareng.
Membuka mata, kudapati Rendra telah kembali menghadapku. Ia tersenyum hangat, seolah tadi tidak terjadi apa-apa. “Betewe, kamu besok nggak kemana-mana kan?” tanya cowok yang mirip boneka moshimaro itu sambil memberikan helm.
“Nggaklah, kan mau bikin resume itu. Belom belajar juga.” Kuterima helm yang diulurkannya.
Usai mengemas hape dan dompet ke dalam jok, ia mengenakan jaket lalu naik ke atas motor.
“Pegangan, Nad,” kata Rendra begitu aku naik ke boncengan.
Ah, andai saja Rendra masih single.
Buru-buru kutepis pikiran itu seraya berpegangan pada jaketnya di bagian pinggang. Ransel di punggung Rendra menjadi pembatas kami. Di tengah rinai hujan, kujernihkan pikiran yang tadi sempat berkabut.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Kunara Dita
seruuuuu
2020-05-04
0
Ranalia
udah nahan napas.. eh nggak jadi 😅
2020-03-08
2