"Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan Ekonomi Kota Malang untuk tahun depan bisa diprediksi menggunakan metode ini.
Hal ini diperkuat oleh pembuktian dalam makalah saudara Agis Baswara @informatika.stei.itb.ac.id berjudul 'Predicted Economic Growth Rate using Linear Regression Method' dengan menggunakan metode yang sama.
Berikut kutipannya:
First, the impulse response function shows the largest response ...
Second, ... .
Third ...."
Kubacakan hasil kesimpulan presentasi kelompok kami itu dengan tenang. Saat mataku bertemu Pak Agam, ia tersenyum.
"Oke, bagus sekali Kelompok Dua." Ucapan Pak Agam itu disambut tepukan tangan oleh teman-teman seantero kelas.
Kami bertiga dipersilakan kembali duduk di bangku audiens oleh moderator.
Rasa puas menjalari dadaku begitu kembali ke bangku audience. Mario dan Mbak Dina juga terlihat lega. Padahal saat presentasi tadi Rendra sempat menyerang kelompok kami dengan pertanyaan yang tidak masuk akal.
Untung mood-ku sedang baik dan partnerku memang keren. Mbak Dina dan Mario, seperti seorang ahli yang bisa mematahkan argumen Rendra. Selain itu, kami bertiga cukup solid dan mengusai materi,sehingga bisa meng-counter semua pertanyaan yang dilontarkan teman-teman dengan baik, serta memberikan penjelasan atas sanggahan mereka.
Masih ada satu presentasi lagi dari kelompok Enam, untuk hari ini. Sengaja kupusatkan perhatian pada Deni yang sedang presentasi, untuk menghindari Rendra yang ada di sebelah kiriku dan Neva di sebelah kananku.
Ya, aku masih kesal pada mereka berdua. Ditambah lagi sudah hampir sepekan aku tidak bicara dengan Rendra setelah bertengkar di halaman gedung fakultas tempo hari.
Sebenarnya Mario sudah berusaha mendamaikan kami, tapi aku tidak terlalu menanggapi obrolan mereka dan hanya menjawab jika ditanya. Sementara ini lebih baik aku menjaga jarak, karena emosiku juga sedang tidak stabil.
"Psst-pssst, Nada!" bisik Neva, memanggilku.
Aku menoleh, diberikannya binder lalu mengkode agar membukanya. Aku mengangguk. Maklum, ini adalah jam Pak Agam jadi tidak ada yang berani ngobrol meskipun sekarang hanya presentasi saja.
Binder Neva kubuka, tepat pada bagian yang ditempatkan ballpoin. Tertulis beberapa kalimat di sana.
'Serenade, gue minta maaf kalau ada salah.
Gue ngerasa nggak enak lu kayak ngehindar terus dan irit banget ngomongnya.
Jujur gue nggak tahu kalau lu sudah jadian ama Rendra sebelum kejadian kemarin. Rendra juga udah ngaku.
Maaf, gara-gara gue kalian jadi berantem.
Soal pemanggilan lu sama Pak Agam kemarin gue di kasih tahu sama Mario pas di perpus.
Sama sekali gak ada niatan nguntit elu atau gimana
*Cuma gue mu ngingetin lu kudu ati-ati, soalnya bisa jadi gosip sama Pak Agam.
Apalagi Pak Agam sudah beristri.
Tapi gue tetep sahabat lu apa pun yang terjadi.
Plisss, kita baikan ya ...
Nevariana*'
Hahahha, Pak Agam punya istri? Sotoy banget sih! Siapa juga yang tanya pendapatnya, memangnya dia siapa? Apa pun yang terjadi padaku adalah hakku sendiri.
Aku sudah bosan diatur oleh orang-orang yang pada dasarnya hanya ingin didengarkan tapi sebenarnya mereka tidak benar-benar peduli. Orang-orang yang hanya menjadikanku komoditas obrolan ketika menghabiskan waktu untuk ngerumpi. Tipe-tipe manusia yang kurang happy dan suka usil dengan hidup orang lain.
Kuabaikan binder itu di atas meja lalu memusatkan pandangan ke slide di depan kelas. Untung saja presentasi ini banyak yang mengajukan pertanyaan, jadi aku tidak perlu terlalu aktif.
Tidak ada gunanya menglarifikasi semua kejadian ini padanya. Bukannya membersihkan namaku, tapi nanti justru membuat bahan gosip baru. Mirip-mirip infotainment, satu statement bisa dipelintir menjadi ratusan berita dengan tajuk yang berbeda-beda. Fiuuhh, no comment saja aman.
Lagi-lagi pikiranku balik ke urusan itu, aduuuh. Untuk membuang jenuh dan menyingkirkan pikiran untuk melabrak Neva, kembali mataku menyapu ruangan.
Tanpa sengaja mataku terkunci pada sosok yang bersandar di dinding kanan kelas. Dua bola mata sedalam lautan itu menatap tajam padaku.
Di tengah riuhnya debat, tidak ada yang menyadari kontak mata ini selain kami berdua. Dia menyipitkan mata lalu tersenyum padaku, membuat cambangnya yang baru saja di cukur, terlihat jelas. Bayangan hitam tipis di dagunya itu, mungkin sedikit kasar jika disentuh.
Satu alis matanya terangkat, mengirimkan gelombang tak kasat mata yang membuat wajahku terasa panas. Mendadak isi perutku seperti lautan di tengah badai, bergolak dan teraduk aduk.
Stop! Aku menunduk, tak tahan lagi menatapnya. Entah apa yang merasuki pikiran dosen itu. Mungkinkah dia mengamatiku yang bengong saja dari tadi? Tapi kenapa tidak menegur?
Pipiku masih panas karena kontak mata kami tadi. Bahkan bisa kurasakan saat ini dia masih mengamati. Kenapa pikiranku sampai kacau begini? Hanya bertatapan mata dengannya saja membuatku salah tingkah.
Kuraih binder Neva untuk mengalihkan pikiran, lantas kutulis kalimat di kertas sebelahnya.
Cukup dengan sekali colekan, Neva berpaling. Kukembalikan bindernya dalam keadaan tertutup. Ada sedikit rasa senang menyelimuti hati, membayangkan ekspresi Neva ketika membacanya nanti.
Segera dibukanya binder itu dengan antusias. Sesuai prediksiku, ekspresi wajahnya berubah seketika. Ia menoleh padaku sesaat, lalu membuang muka dengan cemberut.
Rasanya aku ingin tertawa kencang. Neva pasti kesal membaca kalimat: "MAAF, INI BUKAN URUSANMU!!!" dengan font besar dan Capslock jebol, masih ditambah tiga tanda seru di belakangnya.
Dulu aku tidak akan berani berkonfrontasi dengan para nyonya rumpi, tapi kali ini berbeda. Neva dan orang-orang yang ada di sini tidak akan kutemui lagi setelah semua usai. Aku hanya perlu bertahan dua semester lagi, sebelum kembali ke habitat asalku. Sebenarnya setelah selesai kuliah mungkin juga akan dipindah ke bagian lain, tapi aku tidak peduli. Toh, di mana saja pasti ada saja orang yang iri.
Kulihat sepatu pantovel yang dikenakan Pak Agam bergerak menuju mejanya. Rupanya diskusi hampir berakhir.
Tidak lama setelah Dedi menutup diskusi dengan salam, bel pergantian jam berbunyi. Pak Agam juga mengucapkan salam perpisahan tapi tidak beranjak dari kursinya. Biasanya setelah salam dia langsung meninggalkan kelas.
Malas banget keluar kelas jam segini, pasti di luar panas mendera. Enakan juga ngadem di kelas, ada AC-nya. Sementara yang lain masih mengemasi barang-barangnya, Neva langsung cabut tanpa menoleh padaku. Aku terkikik.
Mario tiba-tiba datang dan duduk di bangku depanku menghadap belakang. Makalah yang sudah terjilid rapi ada di tangannya.
"Ini makalah presentasi tadi, sudah kutambahkan pertanyaan dan hasil diskusi. Kamu mau lihat hasilnya ta, sebelum dikumpulkan?" tanyanya.
"Nggak usah, aku percaya sama kamu, Bro. Kumpulin saja, dah," jawabku malas.
Aku merebahkan kepala beralas tangan di atas meja. Kulihat di sebelah, Rendra juga sudah beranjak dari tempat duduknya.
"Kamu nggak apa-apa Nad?"
Pertanyaan Mario membuatku seketika mendongak melihatnya. Kukira dia sudah pergi tadi.
"Cuma ngantuk. Udah sana kumpulin," jawabku dengan malas.
Mario akhirnya pergi ke arah meja Pak Agam. Kuamati dari posisi malasku saat dia menyerahkan makalah itu, kemudian disusul oleh Rendra dan Dedi. Setelah itu mereka semua keluar kelas.
Pak Agam masih di mejanya, mengatur makalah-makalah yang baru diserahkan tadi dan memasukkannya ke dalam tas. Melihatnya beraktivitas dari kejauhan, mengingatkanku pada beberapa peristiwa dengannya.
Kami pernah berada sangat dekat, di kursi depan taman, di kedai baso, di dapur, dan ruang tamu rumahku. Sama sekali tidak pernah kubayangkan orang seperti dia, maksudku seorang dosen, ganteng, keren, parlente, sekaligus galak itu bisa sedekat itu denganku.
Jika kubandingkan dengan Rendra, memang sangat jauh berbeda dari segala sudut. Sikapnya, sifatnya, perhatiannya, dan tentu saja fisiknya.
Bersama Rendra itu, penuh dengan kesenangan dan petualangan. Meskipun sifat egois dan arogansinya kadang-kadang membuatku kesal, tapi aku merasa lebih hidup di sampingnya. Dia juga lucu dan baik, terlepas dari hobinya yang suka koleksi cewek.
Yang aku heran, sudah seminggu sejak pertengkaran kami dia tidak berusaha sedikit pun mendekatiku atau meminta maaf. Seratus persen cuek bebek. Apakah egonya sebesar itu? Hanya gara-gara aku dipanggil Pak Agam lalu ia marah tanpa alasan yang jelas. Sangat menggelikan dan sama sekali tidak masuk akal.
Aduh, kenapa aku masih di kelas sendirian? Eh, maksudku berdua dengan Pak Agam. Kenapa aku bodoh sekali sih?
Kukemasi barangku secepat kilat, lalu beranjak meninggalkan kursi. Setengah berlari aku menuju pintu, walau tidak punya tujuan setelah ini mau kemana, yang penting pergi dari sini.
"Serenada, bisa bicara sebentar?" suara Pak Agam menghentikan langkahku.
Dia berdiri dari kursinya, lantas berjalan mendekat. Seperti biasa Pak Agam mengambil satu bangku lalu menghadapkannya pada bangku yang lain.
"Duduk," perintahnya sambil menunjuk bangku kuliah di barisan depan.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Kuletakkan tas ransel biru di pangkuan sebelum duduk berhadapan dengannya.
Pak Agam terlihat ceria, terbentuk senyuman samar di bibirnya yang tipis. Walau begitu tatapan matanya selalu saja tajam. Posisi duduknya agak condong ke depan, dengan dua siku bertumpu pada paha, lalu kedua tangannya saling menggenggam. Benar-benar sangat mengintimidasi.
"Ada masalah dengan tugas kelompok saya, Pak?" tanyaku hati-hati.
"Oh, bukan masalah kuliah kok." Ia mengangkat sebelah alis. "Emm, kamu masih ingat ‘kan, dengan perjanjian kita?" tanyanya dengan penuh arti.
Aku mengangguk takut-takut. Bagaimana aku bisa lupa? Gara-gara resume sialan itu, membuatku merasa tidak bebas sampai sekarang.
Sudut bibirnya membentuk senyuman yang misterius, mengingatkanku pada seringai vampir.
Aku bergidik, menyadari kebodohanku karena tertinggal di kelas. Sekarang aku terjebak dalam situasi yang agak mengerikan. Kulirik pintu keluar dan memperhitungkan peluang untuk melarikan diri, tapi rasanya dalam jarak sedekat ini sangat mudah baginya mencegahku melarikan diri. Kalau lewat kanan, jende ....
"Kamu ada acara nggak, Sabtu besok?”
"Eh?" ucapku spontan terkejut, karena sibuk dengan pikiranku sendiri.
”Mau kuajak meninjau lahan yang satu lagi. Aku butuh bantuan untuk mengambil beberapa foto lokasi karena tidak bisa mengambil foto sendirian," ia berhenti menunggu responku, "foto yang kami ambil dulu masih kurang. Aku juga sudah minta izin ke Om Guntur untuk mengajakmu," terangnya.
Aku masih berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang diutarakan Pak Agam. Tumben Ayah melibatkanku dalam proyeknya? Kenapa harus mengajak aku, yang sama sekali buta tentang tanah, pembangunan, dan segala ***** bengeknya? Ah, jangan-jangan ini hanya trik mister Agam saja.
"Bagaimana, kamu bisa kan?" tanyanya lagi.
Mau tidak mau aku mengangguk. Jika Ayah sudah mengizinkan berarti ini adalah perintah tidak langsung. Lagi pula aku tidak punya alasan kuat untuk menolaknya.
Damn, I was trapped!
"Oke kalau begitu, Sabtu besok kujemput jam tujuh pagi. Kita sarapan di jalan saja," lanjutnya.
"Permisi?"
Suara dari ambang pintu mengagetkan kami berdua. Neva langsung masuk dan melewati kami menuju ke arah bangkunya.
"Maaf binder saya ketinggalan," katanya, sambil mengangkat binder yang baru saja diambil dari bawah kursi.
Aku tersenyum kikuk, tapi dia tidak memandangku. Neva mengangguk sopan seraya tersenyum pada Pak Agam sebelum keluar kelas. Setelah ini, pasti segera disebarkannya gosip ke teman-teman lain. Oke, fine!
Pandanganku masih terpaku pada pintu yang baru saja dilewati Neva, ketika lenganku disentuh.
"Nada, kamu langsung pulang habis ini?" tanya Pak Agam.
"Emmm, saya, saya–.”
"Nada! Ayo pulang, buruan!"
Teriakan dari arah pintu, membuat Pak Agam melepas lenganku. Rendra tiba-tiba sudah berada di ambang pintu.
"Se-re-nada, "panggil Rendra sekali lagi.
"Saya, sudah ditunggu. Saya duluan ya, Pak." Aku beranjak dari tempat dudukku.
Tidak kusangka Pak Agam ikut berdiri, membuat jarak di antara kami hanya sejengkal. Mataku tertumbuk pada dadanya yang terbalut kemeja kotak-kotak, bahkan aku bisa menghirup aroma tubuhnya. Spontan jantungku berdentum-dentum hingga membuat kepalaku pusing.
"Oke, sampai jumpa besok," suaranya terdengar serak dari jarak sedekat ini. Lalu dia menambah jarak di antara kami dan berbalik pergi ke mejanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 319 Episodes
Comments
Dewi Agustina
kerwn ceritanya🥰
2020-11-15
0